Sunday, December 29, 2013

Terompet Kereta dan Teriakan Gajah

- Almarhum Mbah Kakung dan Papa


Cerpen Yulizar Fadli

SUDAH dua puluh menit Marsi Susamto dan Tri Joko Triwikromo duduk di bangku besi stasiun Kereta Tanjungkarang. Mereka duduk berdampingan sambil sesekali memperhatikan gerak-gerik orang, baik yang duduk maupun yang lalu lalang. Keduanya datang dari Way Kambas, sebuah desa di Lampung Timur. Mereka berdua tengah menunggu kereta tujuan Palembang.

Satu tas besar warna cokelat tua yang mereka bawa sengaja ditaruh di atas lantai, tepat di depan sepasang kaki Tri Joko Triwikromo yang bersepatu kulit hitam mengilat. Sementara dari pengumuman yang mereka dengar satu menit lalu, kereta baru akan berangkat sekitar 15 menit ke depan.

“Terompet kereta itu mirip teriakan gajah ya, Yah?” Tri Joko membuka percakapan.

“Ya. Mirip.”

“Ayah masih ingat, lima tahun lalu gajah-gajah mengamuk di kampung kita?”

“Ya, tentu.”

“Aku mau bikin cerita pendek tentang itu.”

“Setelah lulus kuliah nanti, sebaiknya kamu jadi polisi saja,” sahut Marsi. Tri Joko tak menjawab, tetapi ia memakan cokelat pasta kesukaannya. Sementara Marsi, berkali-berkali menempelkan mulut mungil botol minyak angin ke lubang hidungnya.

“Hilangkan kebiasaanmu itu,“ ujar Marsi sambil dua kali menarik napas cepat karena hidungnya yang mampat. Setiap 30 detik sekali, Marsi memang sering demikian ... mungkin karena penyakit polip yang ia derita.

“Susah, Yah.”

“Bagaimana bisa kamu dewasa.”

“Tak ada hubungannya antara cokelat dan dewasa. Tua itu pasti, dewasa itu pilihan,” sahut Tri Joko Triwikromo sambil membenarkan letak kacamata hitamnya yang agak melorot ke batang hidung.

“Halah. Dinasihati kok malah membantah.” Lagi-lagi Marsi Susamto menarik cepat napasnya dua kali.

“Ya, Yah ... ya ...”

Kereta masih nongkrong dan belum beranjak dari stasiun, demikian pula dua pria dan penumpang lainnya. Bedanya, orang-orang itu bisa berjalan mondar-mandir sambil mengumpat dan melihat jam di tangan mereka, memaki sambil membanting botol plastik bekas minuman ke lantai marmer, atau memukul-mukulkan tangan ke paha mereka sendiri. Sementara kereta itu, hanya bisa nongkrong sambil terus menggumam seperti raksasa.

“Siapa nama teman kakek yang mati diinjak gajah?” Tri Joko Triwikromo berhenti memakan cokelat pastanya.

“Pak Jumadi.”

“Tahun berapa, Yah?”

“1963. Umur Ayah 6 tahun waktu itu,” jawab Marsi. Lagi-lagi ia menarik napas cepat sebanyak dua kali.

“Aku mau buat cerita pendek tentang itu.”

“Ada baiknya kamu jadi polisi seperti kakek dan ayah.”

“Tidak. Anak-anak ayah tak ada yang jadi polisi.”

“Terserah kamu Tri.”

“Terus, Yah ... bagaimana lanjutan ceritanya?”

“Tadinya Pak Jumadi almarhum mau berburu menjangan.”

“Terus ... ayo Yah, jangan sepotong-sepotong ceritanya.”

“Kata kakek, Pak Jumadi salah tembak. Dia malah menembak gajah.”

“Salah tembak. Hmmm ...”

Obrolan mereka terhenti karena dari corong toak, suara perempuan mengumumkan bahwa kereta akan berangkat 20 menit ke depan. Marsi dan Tri Joko berikut penumpang lain menghela napas kuat-kuat.

“Halah ... gombal!” celetuk salah satu penumpang.

“Haaaaaaaah ... mungkin besok berangkatnya.” Marsi menyahut.

“Mau minum apa, Yah?”

“Air mineral saja.”

“Ada yang lain?”

“Tidak.”

Tri Joko beranjak dari duduk dan segera menghampiri pedagang rokok, makanan, dan minuman yang tak jauh dari loket pembelian tiket.

“Ngaret, Mas. Biasa,” kata si penjual.

“Yaa. Berapa?

“Lima ribu. Memang mau ke mana, Mas?”

“Ke rumah kakek di Palembang.”

“Oh begitu. Ini kembaliannya, Mas.”

“Ya terima kasih.”

Tri Joko kembali menghampiri ayahnya dan menyodorkan air mineral, sementara calon penumpang lain mondar-mandir, duduk-berdiri kemudian duduk lagi sambil menggerak-gerakkan kaki dan memukul-mukulkan tangan mereka ke kursi besi berlubang kecil-kecil. Kereta masih saja nongkrong sambil menggumam mirip raksasa.

“Aku ingin menulis cerita pendek tentang Pak Jumadi, teriak gajah, dan terompet kereta.”

“Ada baiknya kamu jadi polisi.”

“Ada baiknya ayah ceritakan lagi tentang Pak Jumadi. Ayo Yah...”

“Kamu tanya sendiri pada kakekmu nanti kalau kita sudah sampai di Palembang.” Marsi menarik napas cepat dua kali.

“Kakek kan sedang sakit. Ayolah, Yah ...”

“Yaa. Dia nembak gajah.”

“Ayah ada di sana?”

“Tidak. Ayah dapat cerita dari kakek.”

“Terus ...”

“Karena terluka dan terancam, si gajah langsung mengejar dan menginjak Pak Jumadi.”

“Kenapa bisa salah tembak?”

“Mana ayah tahu. Yang jelas, kata kakek, Pak Jumadi tidak bisa mengelak lagi dan isi perutnya keluar semua.”

“Bagaimana kakek bisa selamat?”

“Gajah itu hewan peka. Dia hanya mengejar Pak Jumadi, bukan kakek.”

“Owh ...”

“Ada baiknya kamu jadi polisi.”

Pengumuman kembali menyampaikan bahwa 10 menit ke depan kereta segera berangkat. Kereta masih saja nongkrong dan menggumam. Tri Joko sedikit membungkuk untuk meraih tas yang ia taruh di lantai, tepat di depan kakinya. Sementara ayahnya langsung berdiri membawa botol minuman di tangan kiri dan botol minyak angin mungil di tangan kanan. Kedua pria itu, diikuti penumpang lain, berjalan memasuki gerbong kereta dan mencari tempat duduk mereka masing-masing.

“Kuharap kereta ini tepat waktu.”

“Ya ...”

“Yah ...”

“Apa?”

“Ayah tak pernah lagi berburu menjangan?”

“Tidak. Ilegal. Dilarang.”

“Aku ingat rasa dagingnya. Agak alot. Dan paling enak kalau digoreng kering.”

“Ya. Tapi itu ilegal. Dilarang.”

“Ya, ya. Yah ...”

“Hmm ...”

”Kalau aku jadi polisi, apa aku akan punya balok kuning bengkok juga di lengan kananku?”

“Tentu saja.” Tiba-tiba Marsi tersenyum, kemudian melanjutkan, “Bahkan bisa lebih dari sekadar dua balok kuning bengkok.”

“Oh ya ... bisa jadi kapolsek atau kompol?”

“Tentu saja ... tentu saja bisa.” Marsi tertawa.

“Tapi bagaimana jika aku jadi penulis saja, Yah? Ibu setuju denganku dan sering membaca cerita-ceritaku.”

“Ada baiknya kalau kamu jadi polisi.” Marsi berhenti tertawa dan kembali menarik napas cepat sebanyak dua kali.

Kereta masih saja nongkrong dan menggumam, tapi bedanya kali ini, ular besi berwana putih itu akan berangkat 5 menit ke depan. Penumpang lain sibuk menata barang bawaan dan sibuk mengobral obrolan. Demikian juga Tri Joko Triwikromo yang terus mengoceh tentang cerita pendek yang akan ia buat.

“Ayah ingat Pak Kartono?”

“Tentu”

“Aku juga ingin menulis naskah tentang almarhum Pak Kartono. Kata ibu, Pak Kartono itu polisi juga. Dulu, Pak Kartono itu berpacaran dengan Bude Sri. Dan tahun meninggal Pak Kartono hanya berselang setahun dengan Pak Jumadi. Bulan dan tanggalnya sama, 14 Agustus. Menurut cerita ibu, kakek-lah yang menyuruh Pak Kartono main drama. Kata ibu lagi, untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke-19. Waktu itu pemainnya ada dua orang, Pak Kartono dan Pak Sobirin. Bude Sri dan Ibu juga ada di situ. Kata ibu, sebelum memulai gladi resik, kakek sudah memeriksa  pistol dan mengambil semua peluru di pistolnya. Tapi begitu adegan penembakan dimulai, ternyata pistol yang dipegang Pak Sobirin meletus dan mengeluarkan peluru, kemudian mengenai kepala Pak Kartono. Sejak itu Bude jadi pendiam dan kakek berhenti dari kepolisian. Menarik ya, Yah?”

“Kakek tidak berhenti Tri, tapi memang sudah waktunya pensiun. Itu dua hal yang berbeda. Ada baiknya kamu jadi polisi saja, Tri.”

Terompet kereta yang mirip teriakan gajah itu melenguh panjang. Perlahan-lahan kereta merayap di atas rel baja.

“Ada baiknya kalau aku jadi polisi dan penulis.” Tri Joko Triwikromo berkata tanpa menoleh ke arah ayahnya.

“Ya. Sebaiknya kamu jadi polisi saja,” kata Marsi Susamto tanpa menoleh ke arah anaknya.

Untuk kedua kalinya terompet kereta yang mirip suara gajah itu melenguh. Lama-kelamaan laju kereta bertambah cepat. Marsi memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya ke kursi penumpang, sementara Tri Joko Triwikromo memakan cokelat pastanya sambil melihat pemandangan dari balik jendela kaca.

“Ada baikya, aku jadi penulis saja ...” kata Tri Joko, lirih sekali.

Gunungterang, 13-14 September 2013


Lampung Post, Minggu, 29 Desember 2013

Saturday, December 21, 2013

Pasar Malam

Cerpen Mashdar Zainal


DALAM keriuhan pasar malam, gadis kecil itu seperti seekor serangga di antara ribuan serangga dan ngengat yang berpesta mengelilingi pijar bohlam. Gadis kecil itu masih utuh berdiri di depan pagar yang memutar, mengitari kincir raksasa dengan kurungan bergelantungan, yang terus memusing seperti roda raksasa di hadapannya.

Melihat itu, mata kecil gadis itu sempat berkunang-kunang, tapi sesekali ia ikut tertawa saat melihat beberapa anak berteriak histeris di dalam kurungan kincir yang bergulir sampai nyaris ke hulu langit itu.

***

Gadis kecil itu masih berdiri, menggaruk kakinya yang dikerubuti nyamuk. Ia juga masih menggenggam sesobek kertas yang diberikan Mama padanya. Kata Mama, kertas itu penting dan tidak boleh hilang.
Gadis kecil itu celingukan. Bertanya-tanya, mengapa Mamanya lama sekali membeli gula kapas. Sebenarnya kakinya sudah sangat pegal, tapi ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Gadis kecil itu tak tahu sudah berapa lama ia berdiri di samping pagar melingkar itu, yang ia tahu adalah: Mama menyuruhnya menunggu di situ, dan ia tak boleh pergi ke mana pun sampai Mama datang.

“Ingat, jangan ke mana-mana, Mama akan membelikanmu gula kapas sebentar, kau mau kan? Kalau mau, kau tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum Mama datang. Kalau ada orang bertanya padamu, Mama di mana, kasihkan saja kertas ini, kertas ini penting, jadi jangan sampai hilang. Paham?”

Kata-kata Mama lebih terdengar seperti ancaman ketimbang perintah. Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia terus mengawasi punggung Mamanya yang berguncang dan menjauh. Ia tersenyum membayangkan sebongkah gula kapas yang lezat.

Sebenarnya gadis kecil itu sedikit heran ketika Mama menyuruhnya mandi dan memakai pakaian terbaiknya petang tadi. Karena tidak biasanya Mama mengajaknya jalan-jalan. Mama lebih sering mencubit pahanya sampai lebam, ketimbang mengajaknya jalan-jalan.

Mama memang suka sekali mencubit, meski terkadang juga menjewer. Ia ingat, ketika ia lupa menaruh pensil, Mama mencubitnya. Ketika ia tidak menghabiskan makan malam, Mama juga mencubitnya. Bahkan ketika ia tidak sengaja pipis di celana, Mama juga mencubitnya. Namun, ketika ia menumpahkan nasi, Mama tidak mencubitnya, Mama hanya menjewer telinganya sampai panas dan memerah, seolah hampir putus.

Tiba-tiba gadis kecil itu membayangkan punya Papa, seperti Rere, seperti Nina, seperti Farhat, dan seperti teman-temannya yang lain. Mungkin akan sangat menyenangkan punya Papa, ada yang menggendongnya, mengajaknya jalan-jalan, dan tentu ada yang mengingatkan Mama bila Mama mencubitnya.

Gadis kecil itu termangu, ia pernah bertanya sekali pada Mama tentang Papa, tapi Mama malah marah-marah dan membentaknya, “Siapa yang mengajarimu bertanya seperti itu? Papamu sudah mati, sekarang Papamu adalah Mama… Jangan pernah bertanya begitu lagi atau Mama akan mencubitmu.”

***

Gadis kecil itu mengeluh dalam hati, kakinya mulai terasa pegal. Tapi tetap saja, ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Ia jadi ingat kejadian beberapa minggu lalu ketika Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi plastik di pojokan.

Mama menghukumnya seperti itu karena ia menjatuhkan sabun mandi ke dalam kloset. Jadi setelah mandi dan berganti baju, Mama menarik kursi plastik dan menaruhnya di pojokan, lantas Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi itu.

“Tetap berdiri di situ, sampai mama bilang ‘cukup’.”

Sayang sekali ketika Mama meninggalkannya ke dapur ia lupa, karena kakinya terlampau pegal ia kemudian duduk di atas kursi yang seharusnya ia gunakan untuk berdiri itu. Ketika Mama kembali dari dapur dan mendapati ia tengah duduk, Mama berteriak-teriak, “Siapa yang menyuruhmu duduk? Kalau Mama tidak menyuruhmu duduk, kamu tak boleh duduk.”

Sambil berteriak seperti itu, Mama mencubiti lengan dan pahanya tak henti-henti, bahkan sampai ia menangis, Mama masih belum berhenti mencubitinya. Karena itulah, sekarang, meski kakinya terasa pegal, ia tak berani duduk. Ia takut kalau Mama mencubitinya seperti tempo hari.

***

Gadis kecil itu membuka sesobek kertas yang masih ia genggam erat-erat. Ada tulisan di sana. Sayang sekali ia belum bisa membaca. Di sekolah, ia baru diajarkan mengenal angka: satu seperti pentungan, dua seperti bebek, tiga seperti burung yang terbang miring, empat seperti kursi terbalik, dan seterusnya…. Juga mewarnai gambar dan menyebut huruf-huruf: A untuk Apel, B untuk Bola, C untuk Cicak, D untuk Durian, dan seterusnya… Ia belum diajarkan membaca tulisan.

Gadis kecil mecoba memelototi tulisan itu, ada huruf M, atau mungkin N, juga ada huruf A, ada huruf P, dan masih banyak huruf-huruf lain yang ditulis dengan sangat buruk. Gadis itu menyerah, sesobek kertas itu ia genggam kembali, erat-erat.

Gadis itu mulai khawatir, mengapa Mama lama sekali. Kaki kecilnya juga mulai gemetar karena kecapaian berdiri. Tapi ia masih berusaha untuk tidak ambruk. Ia mencengkeram kuat-kuat pagar yang melingkar di hadapannya.

Ia menatap nanar orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Seorang anak kecil yang dituntun ibunya sambil membawa balon berbentuk ikan lumba-lumba. Juga seorang gadis kecil yang digendong ayahnya, gadis kecil itu menjilati lolipop yang besarnya seperti kipas.

Gadis kecil itu menelan ludah. Pasti lolipop itu lezat sekali. Mengapa Mama lama sekali, apa Mama tidak mendapat gula kapasnya?

Karena kakinya sudah benar-benar pegal dan kesemutan, diam-diam gadis itu mulai duduk. Namun, ketika matanya menangkap seorang perempuan melintas, cepat-cepat ia berdiri. Ia mengira itu mamanya. Ketika ia menyadari bahwa perempuan itu bukan Mamanya, ia kembali duduk dan menghela napas lega. Begitulah, lelah duduk gadis itu berdiri, lelah berdiri, ia kembali duduk. Terus begitu. Sampai lama sekali.

***

Perlahan, keriuhan pasar malam mulai berkurang. Beberapa penjual sudah mengukuti barang dagangan mereka dan beranjak pulang. Para pengunjung juga sudah mulai pulang.

Pasar malam menjadi sedikit lebih sepi dari sebelumnya. Lampu-lampu yang berkerlap-kerlip sudah mulai dimatikan. Loket dan aneka permainan juga sudah mulai ditutup. Mesin-mesin pun dimatikan.

Gadis kecil itu semakin cemas karena Mamanya tidak juga datang. Karena sudah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya, gadis kecil itu akhirnya menangis. Suara tangisannya cukup nyaring untuk menarik perhatian beberapa orang di sekelilingnya.

Seketika, sorang lelaki baya mendekatinya dan tersenyum, “Adik ke sini sama siapa?”

Gadis kecil itu semakin takut, tetapi sambil terisak mulutnya bergerak, “Ma.. ma..” suaranya tersendat.

“Lalu Mama di mana?”

Gadis kecil itu menggeleng. Pelan-pelan ia memberikan sesobek kertas yang diberi mamanya. Ia ingat Mama menyuruhnya untuk menyerahkan sesobek kertas itu pada orang yang bertanya “Mama di mana?”

“Kertas apa ini?” Lelaki itu membaca kertas di tangannya perlahan-lahan, kemudian ia menghela napas berat. Lelaki itu tampak bingung. Air mukanya berubah sedih.

“Mama bilang, kamu harus ikut, Om.”

Lelaki itu menuntunnya pergi sambil bertanya-tanya di mana ia bisa menemukan panti asuhan terdekat. n

Malang, Juni 2013


Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013

Sunday, December 15, 2013

Satu Hari yang Ingin Kuingat

Cerpen Yetti A.KA.


AKU minum orange juice di kafe X. Ini satu hari yang ingin sekali kuingat; meja nomor 19, kursi warna krem dengan sandaran beraksen anyaman, kotak tisu, gelas minuman yang kutaksir setinggi 15 sentimeter, sedotan putih susu, tas merah, telepon genggam, novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami, sepasang lesbi bertatap mesra, antrean para pengunjung di kasir, pelayan-pelayan yang kehilangan ekspresi alami—mereka mengantar makanan ke meja-meja dengan seragam dan mimik nyaris sama.

Hari ini kafe X cukup ramai. Orang-orang makan bersama pasangan atau keluarga atau teman-teman. Mereka tentu terlihat bahagia. Hari ini aku sendirian saja—seperti hari-hari sebelumnya, memang—bedanya saat ini aku belum menerima telepon atau pesan dari seseorang yang kemarin masih pacarku. Berulang-ulang aku merasa telepon genggam itu berbunyi, hidup, berkedip. Berkali-kali aku memelototi layarnya untuk memastikan memang tidak ada SMS atau panggilan yang masuk. Memang tidak ada yang bertanya:

“Masihkah kau pacarku hari ini?”

“Tidak ada yang terjadi, dan tentu saja kau pacarku.”

“Kau merindukanku?”

“Pasti.”

“Tidak bisa mengatakannya dengan sedikit romantis?”

“Siapa?”

“Kamu.”

“Hehe.”

“Hmm.”

Itu percakapan kemarin pagi. Percakapan yang ingin terus kuingat. Kalau aku melupakannya maka aku kehilangan dia. Aku mungkin tidak kehilangan dia dalam arti yang sesungguhnya, pastilah tidak sekonyol itu, tapi ini tentang perasaanku saja. Aku merasa kehilangan dia meskipun dia tidak meninggalkanku.

“Apa aku aneh?”

“Eh, kenapa?”

“Aku ingin menyimpan semua percakapan kita karena aku takut kehilangan, padahal tanpa kusimpan aku tidak akan kehilangan apa-apa, bukan? Kau milikku. Seseorang yang terus bertanya setiap pagi ‘masihkah kau pacarku hari ini?’. Kita tidak akan terpisahkan oleh apa pun.”

“Apa kau merasa sakit?”

“Tidak. Aku cuma merasa cemas.”

“Akhir-akhir ini memang agak aneh.”

“Apa?”

“Ya, kau aneh.”

“Iya, ya. Aku tahu itu.”

Sekarang aku betul-betul merasa aneh. Aku duduk di kafe X dengan segelas orange juice dan novel Norwegian Wood yang baru kubaca sampai adegan Watanabe berciuman dengan Midori sehabis mereka nonton kebakaran dari tempat penjemuran (di halaman depan buku itu ada tulisan tanganku: Kelak aku akan mengingat hari ini di mana aku membeli buku kembaran. Satu untukku, satu untuk pacarku. Kelak yang entah apa kami masih bersama atau tidak. Kelak yang apa benar kami akan saling mengingat atau tidak. Tapi aku berharap kami jangan saling melupakan dengan cepat), dan terus-menerus gelisah mengingat telepon genggamku belum juga menerima panggilan atau pesan dari seseorang yang bertanya: Masihkah kau pacarku hari ini?

Ini tidak biasa. Ia tidak pernah lupa menelepon lewat dari pukul 10 pagi. Kalau sangat sibuk, ia sempatkan kirim pesan. Apa ia lebih dari sekadar sibuk? Apa ia jangan-jangan sedang tidak sibuk, tapi belajar melupakan.

Ia tengah menyiapkan kejutan: meninggalkanku. Rencana yang sangat jahat. Pertama-tama ia membersihkan semua tentangku di ponselnya; kutipan-kutipan sajak romantis seorang penyair yang sengaja kutulis dan kusimpan di ponselnya saat kami kencan, pesan-pesan tengah malam kami yang nakal, foto pribadiku saat mengenakan lingerie ungu muda motif floral atau foto kami berdua di pantai pada minggu ketiga bulan Maret dan hari itu aku ulang tahun.

Setelah membersihkan semuanya, pagi-pagi sekali ia menelepon, mengucapkan selamat tinggal. Suaranya dingin. Lebih dingin dari dinding-dinding toilet hotel tempat kami pernah menginap. Sanggupkah aku?

“Kalau kangen kau bisa telepon daripada berpikir macam-macam.”

“Aku tidak mau melakukannya.”

“Memangnya kenapa”

“Aku mau kau yang kangen, bukan aku.”

“Kau membuat rumit.”

Aku rumit. Itu kalimat yang sangat tepat.

Kami sudah sering membicarakan tentang kenapa tidak aku yang menelepon dia. Aku juga sering sebal pada diri sendiri. Kenapa aku mesti serumit ini? Ah, ya, sungguh, lebih baik aku meneleponnya saja. Aku tinggal memilih namanya dan menekan tanda call. Aku bisa langsung bertanya kenapa ia tidak menghubungi setelah kemarin pagi itu. Aku juga bisa mengatakan, aku tidak tahan tidak dihubungi.

Aku bisa gila. Aku bisa menerobos jalanan yang padat kendaraan tanpa benar-benar kusadari dan kemudian orang-orang akan berteriak melihat tingkahku dan aku pasti kebingungan sekali. Itu kalimat-kalimat yang memang sangat didramatisasi. Tapi aku mau sekali mengatakan semua itu seandainya saja aku bisa meneleponnya. Seandainya saja aku bisa memilih namanya dari ratusan nama yang tersimpan di memori ponsel, dan memulai pembicaraan dengan kalimat basa-basi, “Aku bisa menelepon lagi nanti jika kau sibuk sekali.”

Sayangnya, aku sungguh-sungguh tidak bisa melakukan gagasan itu. Jika aku nekat melakukannya, aku pastikan berhari-hari atau bahkan selamanya menyesali diri sendiri. Selamanya aku merasa pada saat tertentu, pada hari itu, aku lebih mencintai dia dan dia tidak terlalu mencintaiku. Seseorang yang merasa tidak terlalu dicintai sejak kecil akan menuntut untuk tampak sangat dicintai ketika ia dewasa. Pikiran semacam itu sangat menyakitkan.

Penderitaan yang sering tidak bisa kuhadapi di saat aku sedang sendirian. Sendirian itu, bagiku, bisa menjadi saat-saat berbahaya. Sedikit saja aku lepas kendali, maka habislah; pikiranku menjadi tertutup, perasaanku menjadi sangat kacau. Mengerikan, bukan?
Telepon genggam kumasukkan dalam tas. Aku harus membuang jauh-jauh keinginan untuk menghubunginya. Dadaku sesak dan bergetar-getar. 
Kupesan minuman baru. Jus melon. Rasanya aneh. Mungkin karena aku tidak suka buah melon. Lalu kenapa aku memesannya? Jika ia tahu,  pasti ini yang dikatakannya: Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan akal sehat—paling tidak saat memesan minuman? Maka aku pasti saja berkilah, “Apa salahnya mencoba. Lagi pula pikiranku sedang kacau.”

“Kalau mau jujur kau bukan orang yang menarik dalam banyak hal.”

“Kau mulai lagi.”

“Kau sering tidak tahu apa yang kaubutuhkan.”

“Pembicaraan ini mulai tidak relevan.”

“Kau tidak lebih dewasa dari gadis lima belas tahun.”

“Ingat ya kita bicara tentang minuman. Kau terlalu melebar.”

“Ya, tentang kau yang berumur tiga puluh tahun dan tetap tidak tahu minuman apa yang seharusnya kaupesan. Sangat relevan.”

“Berhentilah sinis!”

“Aku sinis?”

“Kau harus tahu masalah minuman tidak perlu dibahas serius.”

“Bagiku harus.”

“Aku muak pada kau yang selalu serius. Hidup itu juga soal humor. Ngerti!”

“Baik. Kita tidak cocok. Kita putus.”

Uh, untung dia tidak di sini dan kami tidak perlu bertengkar karena soal sepele. Ada bagusnya pula ia tidak menelepon (walau tentu ia yang tidak menelepon itu tetap saja satu masalah tersendiri) hingga aku tidak perlu menceritakan tentang jus melon yang kupesan dan ternyata tidak aku sukai. Aku tahu ia bukan lelaki yang bisa menahan pikirannya, ia bisa sangat pedas dalam menilai sesuatu, tanpa perasaan, sementara takdirku adalah mencintainya. 

Aku menghembuskan napas keras-keras. Sepasang lesbi sudah pergi tanpa aku tahu kapan tepatnya. Mungkin mereka pergi ke lantai atas. Di sana ada tempat karaoke. Banyak orang memilih kamar karaoke sebagai tempat kencan. Paling tidak bisa ciuman. Di kota ini orang tidak bisa sembarang berciuman. Di kota ini semua orang sibuk mengurusi orang lain.

Ia belum juga menelepon, belum mengirim pesan, sementara aku merasa sudah menunggunya ratusan tahun, meski kenyataannya ia meneleponku kemarin pagi (tentang ini ia sering bilang: kau terlalu mempermainkan waktu). Bagaimanapun tetap saja keterlaluan. Dulu, lelaki itu berjanji saat memintaku jadi pacar bahwa ia akan selalu bertanya setiap pagi: Masihkah kau pacarku hari ini? Dengan cara itulah aku menunjukkan rasa takut kehilanganmu, katanya, sebab malam kadang bisa mengubah seseorang.

Tapi, tapi, malam memang telah mengubah seseorang. Mengubah dia. Kadang-kadang, ketika pikiranku sedang jernih, dan itu hanya sesekali saja terjadi, aku ingat sebenarnya aku sudah kehilangan ia jauh sebelum kemarin. Bahkan mungkin sudah setahun. Ketika itu pagi-pagi sekali ia bilang: sebaiknya kita berpisah. Aku tidak tahan lagi denganmu. Kau rumit sekali. Senang mengacaukan hari-hariku. Aku bisa gila. Please, jangan ganggu aku lagi. Aku ingin sendiri dalam waktu yang lama. Aku mau bekerja dengan tenang.

Sejak itu ia jarang menelepon, lalu berhenti sama sekali. Sejak itu pula ia tidak mengirim pesan lagi. Ia melupakan dengan sangat cepat, sedangkan aku tidak bisa beranjak dari pikiran bahwa ia tetap pacarku yang kemarin pagi bertanya: Masihkah kau pacarku hari ini? Kemarin pagi yang tidak pernah bergerak, tidak menjadi satu minggu, satu bulan, satu tahun.

Selamanya aku akan tetap menunggu telepon atau pesan darinya. Aku harus percaya, dan ini memang sungguh-sungguh harus kupercayai, sebab aku sendirian, sebab aku tidak punya siapa-siapa yang mendukungku, bahwa ia masih pacarku yang kemarin pagi bertanya: Masihkah kau pacarku hari ini?

Karena itu aku masih di kafe X, di meja nomor 19 dengan segala sesuatu yang ingin kuingat. Dengan mengingat, aku tidak akan kehilangan apa-apa. Seharusnya begitu. Seharusnya aku tenang dan tidak perlu berpikir hal-hal mengerikan yang bisa saja kulakukan.

Tapi siang itu aku mendengar orang-orang menjerit saat seorang perempuan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melaju kencang di jalan raya—tepat di depan kafe X. Aku tidak tahu siapa perempuan itu sampai kulihat meja nomor 19 sudah kosong dan begitu sunyi. n

GM D22, 2013


Lampung Post, Minggu, 15 Desember 2013

Sunday, December 8, 2013

Awas, Jangan Salah Pilih

Cerpen Tarpin A. Nasri


BUAT yang terhormat Marzuki Danubrata Wicaksono, ada seribu jalan menuju Roma untuk mewujudkan keinginan, cita-cita, obsesi, harapan, dan impiannya menjadi orang No. 1 di Provinsi Kamis Berseri, setelah dua periode berturut-turut menjadi wakil rakyat dan berkantor di Senayan, Jakarta.

Tampaknya setelah menjadi wakil rakyat berturut-turut dalam dua komisi, Marzuki masih ingin menjadi “presiden” atau “raja” di provinsi. Hebat! Salut!

Bagi Marzuki—dan tentu saja bersama tim suksesnya—semua jalan itu jadi halal. Yang abu-abu, yang haram, yang tidak beretika dan atau yang tidak bermoral, bisa menjadi terang, halal, dan sangat santun. Yang penting dalam pelaksanaannya lembut dan cantik, serta polesan, sentuhan, dan kemasannya manis. Oleh karena itu, aku benar-benar prihatin dan sedih dengan perilaku yang sangat tendensius itu.

Untuk meraup suara dan guna dipilih rakyat, Marzuki—dan orang-orang pilihannya yang bekerja  untuk  mencetak kemenangan untuknya—telah merambah mulai dari wilayah provinsi, kabupaten, kotamadya, kecamatan sampai ke desa-desa, serta bekerja jorjoran memburu, menjaring, dan bila perlu membeli suara rakyat. Karena selain Marzuki, masih ada tiga calon lain, yakni Siti Aisyah, Arif Markasan, dan Edy Nurbawono, yang tidak kalah terkenal di tengah-tengah masyarakat Provinsi Kamis Berseri. Mereka itu adalah putra daerah, keluarga pejabat, serta pengusaha yang juga elite pengurus suatu parpol. 

Perilaku seperti itu tidak ewuh pakewuh dan tidak malu-malu lagi dikerjakan Marzuki. Mulai dari pohon, tembok, jembatan, tikungan jalan, pos ronda, warung, toko, salon, bengkel, tambal ban, cucian mobil, pompa bensin, rumah makan, perempatan jalan dan tempat-tempat terbuka lainnya, telah dihiasi dan dibanjiri potret dirinya, lengkap dengan identitas di bawah atau di atas fotonya: Dr. Marzuki Danubrata Wicaksono, S.H., M.H., Calon Gubernur Provinsi Kamis Berseri Periode 2020-2025, dengan tambahan kredibilitas: wong dhewek, dari rakyat, untuk rakyat! Tujuannya pasti, agar Marzuki dikenal luas, lalu ketika tiba waktunya pencoblosan berharap minta dipilih, dan untuk dipilih itu Marzuki sudah menggelontorkan uang miliaran, dan juga sudah bersilaturahmi atau bermanuver ke mana-mana dengan berbagai acara yang dibuat, diikuti, dan dihadirinya.

Marzuki tidak hanya telah menebar kaus, poster, spanduk, dan baliho, akan tetapi nama atau foto Marzuki juga ada di kemasan sabun mandi, kaleng susu, karung beras, bungkus gula pasir, ada di handuk, ada di kaleng ikan sarden, ada di bungkus kopi, dan ada di bungkus mi yang dibagi-bagikan kepada rakyat. Selain itu, Marzuki juga mengagendakan datang ke hajat sunatan, pesta pernikahan, pengajian, silaturahmi dengan tokoh agama, sowan ke pondok kiai, mendatangi  tokoh/lembaga adat, menggandeng tokoh pemuda dan tokoh masyarakat, merapat kepada ketua/tokoh lembaga, minta dukungan LSM, menyambangi preman sampai dengan menghadiri upacara kematian warga. Sungguh luar biasa dana dan energi Marzuki untuk menjadi Kamis Berseri-01.

Aku sih melihat tata cara yang digunakan Marzuki  untuk meraup suara dan dukungan, senyum-senyum saja.

“Marzuki sedang berakrobat untuk mendapat simpati rakyat agar pada pemilukada nanti dipilih oleh rakyat,” kataku ke Kang Sarman setelah membaca berita di koran, mendengarkan siaran di radio, dan melihat di televisi atas apa yang telah dilakukan Marzuki.

Di pagi yang cerah pada bulan Desember, Kang Sarman kembali silaturahmi ke rumahku. Kang Sarman itu tetangga empat rumah dari rumahku.  Kang Sarman orangnya aktif dan gemar bersilaturahmi sebagaimana yang diajarkan oleh Islam yang dianutnya.

Terkait akrobat Marzuki, Kang Sarman punya penilaian tersendiri. “Untuk mendapatkan  dukungan dan suara rakyat, tidak semua cara jadi halal begitu dong, Mas,” jawab Kang Sarman dengan nada setengah protes.

“Makanya rakyat jangan sampai tergiur dan rakyat juga jangan sampai terkecoh dalam memilih wakil rakyat atau gubernur—juga dalam memilih bupati, wali kota, atau kepala desa,” tukasku.

“Tegasnya rakyat tidak boleh salah dalam memilih pemimpin atau keliru menentukan wakil rakyat ya, Mas,” ujar Kang Sarman minta kepastian, sekaligus  minta dibenarkan pendapatnya, dan aku menyikapinya dengan tersenyum santai.

Aku mengajak Kang Sarman masuk ke ruang tamu rumahku, dan Anisyah—istriku—langsung menyediakan kopi, serta singkong goreng dan munthul rebus.

“Monggo kopinya diminum,“ tawarku. “Sekalian singkong goreng dan ubi rebusnya dinikmati Kang Sarman,” lanjutku dengan tulus dan ikhlas.

“Gulanya, kopinya, dan airnya dijamin tidak ada Cap Marzuki-nya, juga minyak untuk menggoreng  singkong dan gas untuk merebus muthul ini bukan dari tanda cinta, tanda kasih, tanda sayang, tanda peduli, tanda perhatian, dan tanda bakti dari Marzuki,” seloroh istriku.

“Hus! Saru!” cegahku sambil senyum, “Jangan sinis begitu, dia itu calon terkuat dan terpopuler untuk gubernur provinsi kita lo.”

“Benar, Mas. Menurut saya mbakyu Ani tidak salah, Mas,” bela Kang Sarman. “Memang di lapangan begitu kok dan itu fakta. Semua telah dikepung, semua sudah disisir dan semua sudah sukses digarap Marzuki!”

“Maksudnya gimana, Kang Sarman?” tanyaku penasaran.

“Untuk mendapat suara dan dipilih rakyat, Marzuki telah merambah atau menggurita ke mana-mana, Mas,” lanjut Kang Sarman penuh semangat.

“Apa contohnya?” pancingku sambil senyum.

“Kemarin Marzuki menyumbang dan menghadiri pentas kuda lumping—jaranan terbaik asli dari Tulungagung—dan pentas reog terjoss asal Ponorogo, dan belum lama ini Marzuki juga membantu rehab bangunan panti asuhan, merampungkan pembangunan musala, meletakkan batu pertama pembangunan masjid, lalu tempo hari juga memperbaiki sekolah yang mau roboh, memperbaiki gorong-gorong dan jembatan yang rusak, menambal jalan-jalan yang berlubang, serta mengkhitankan anak yatim piatu dan menyantuni anak-anak miskin. Bahkan yang terbaru…” ujar Kang Sarman sambil diselang minum kopi.

“Bahkan yang terbaru apa, Kang Sarman?” tanyaku. “Kok tidak dilanjutkan...”

“Minggu besok Kelompok Pengajian Ibu-ibu dan Kelompok Jemaah Yasinan kampung kita akan dikunjungi dan akan diberi bantuan tikar, buku Yasin, Alquran, sarung, sajadah, busana muslimah, baju muslim, peci dan juga bantuan dalam bentuk uang kas untuk melancarkan roda kegiatan,” jawab Kang Sarman mantap sekali.

“Tujuannya untuk apa ya, Kang Sarman?” tanyaku pura-pura tidak tahu, atau berlaga tidak  nyambung, sekaligus untuk menguji pengetahuan Kang Sarman terkait manuver Marzuki, “Saya sih melihatnya sederhana saja, supaya Marzuki dapat dukungan suara dari kita, dan pada pemilukada nanti minta dipilih oleh rakyat agar jadi gubernur. Iya kan, Mas?”

“Kang Sarman setuju tidak dengan cara-cara seperti itu?” tanyaku ingin tahu isi hati dan pikiran Kang Sarman.

Kang Sarman diam sejenak, mikir juga dia rupanya, dan aku menunggu dengan sabar.

“Sebenarnya sih saya risi, bahkan tidak sepenuhnya setuju dengan cara-cara seperti itu, karena itu dilakukan tidak tulus, mboten ikhlas, ada maunya, ada tujuannya, atau ada udang di balik batunya. Dan semuanya itu demi suara!”

Aku membiarkan Kang Sarman menikmati singkong goreng yang diselingi dengan makan ubi rambat. Dia tampak menikmati kopi dan makanan yang kami suguhkan, dugaanku Kang Sarman tadi pagi belum sempat dibuatkan sarapan oleh istrinya—mbakyu Genuk.

“Kira-kira untuk semua itu, Marzuki sudah mengeluarkan uang berapa miliar ya, Mas?” tanya Kang Sarman sambil ber-hehehe, dan hehehe-nya Kang Sarman kemudian aku hentikan dengan, “Kira-kira jika Marzuki terpilih, uang yang dihabiskan itu harus kembali tidak ya selama yang bersangkutan menjabat?” kataku balik bertanya ke Kang Sarman.

Sebelum menjawab Kang Sarman berpikir dalam-dalam sehingga kesannya jadi takut salah omong. “Kalau menurut saya…kalau menurut saya…kalau menurut saya… ya pasti dipikirkan bagaimana caranya uang itu agar bisa kembali selama dia menjabat!”

“Apa alasannya, Kang Sarman?” tanyaku lagi dengan santai.

“Peribahasa mengatakan ‘tidak ada makan siang yang gratis’ di dunia ini, Mas,” ujar Kang Sarman dengan sangat cerdas, “Lha segelas kopi yang saya nikmati buatan mbakyu Ani ini, dan ditambah dengan singkong goreng dan ubi rebus ini, tidak gratiskan? Karena saya membayarnya dengan bersedia ngobrol dengan Mas Bayu Priyo. Apalagi yang bentuknya uang sampai miliaran rupiah, pasti uang itu harus kembali, Mas!”

“Makanya saya pesan, Kang…” tukasku hati-hati sekali.

“Pesan apa, Mas?” sambutnya dengan cepat dan penuh semangat.

“Awas: jangan salah memilih pemimpin,” kataku, seraya melanjutkan, “Pilihlah pemimpin yang bersih, yang bersedia mengabdi untuk rakyat, yang tulus berjuang untuk rakyat, yang ikhlas membela kepentingan rakyat, yang berasal dari rakyat, dan yang benar-benar mau bekerja untuk melayani rakyat, agar rakyat yang memilihnya menjadi lebih baik nasibnya, lebih makmur ekonominya dan lebih sejahtera hidupnya.”

“Bukan jadi preman berdasi, bukan menjadi pengisap ganja dan shabu-shabu, bukan menjadi peminum, bukan menjadi pemangsa perempuan,  bukan menjadi penjudi, bukan menjadi calo proyek, bukan menjadi pemakan uang rakyat, bukan menjadi pengisap keringat rakyat, bukan menjadi pemeras  tenaga rakyat, dan bukan juga menjadi peminum darah rakyat! Begitu ya, Mas?!”

Aku tersenyum dan tersedak ketika akhirnya aku “ditembak” dengan jitu oleh Kang Sarman, “Lha Mas Bayu Priyo itu berkampanye untuk siapa sih, atau mendukung siapa sih?!”

Setelah aku berhasil menguasai diri, aku berkata hati-hati sekali untuk tidak salah bicara. “Begini, Kang. Saya pribadi tidak punya kepentingan apa-apa. Saya hanya tidak ingin rakyat salah memilih atau keliru menentukan pemimpin, karena jika rakyat salah memilih pemimpin, rakyat juga yang harus menerima dan memikul akibatnya,” kataku.
Kang Sarman menyimak ketika aku melanjutkan omonganku. ”Uang yang dikucurkan dalam bentuk itu dan ini guna membeli suara dan agar dipilih dalam pemilukada seperti Kang Sarman bilang ‘tidak ada makan siang yang gratis’, saya setuju sekali, dan itu pasti dipikirkan bagaimana cara pengembaliannya saat yang bersangkutan menjadi pemimpin, atau saat dia duduk menjabat.”

Kang Sarman manggut-manggut, pertanda dia mengerti, maka kulanjutkan apa yang ingin aku sampaikan, ”Semua itu nantinya yang membayar dan yang menanggung akibatnya adalah rakyat, yang notabene terjebak dan terikat dengan kenikmatan sesaat berupa bantuan itu dan pemberian  ini. Maka pilihlah pemimpin yang benar-benar diajukan dan dipercaya oleh rakyat, bukan memilih pemimpin yang bisa membeli suara rakyat dan terang-terangan minta dipilih oleh rakyat!” 

Kang Sarman manggut-manggut lagi. “Nah siapa calon gubernur yang harus kita pilih nanti, saya harap Kang Sarman dan… tolong ini juga disampaikan ke teman-teman yang lainnya, jangan sampai salah memilih pemimpin. Jika kita salah memilih pemimpin, kita semua yang susah, dan yang senang adalah pemimpin yang kita pilih. Pilihlah pemimpin yang bekerja untuk rakyat dan yang mau melayani rakyat!”

Setelah berjanji untuk menonton pergelaran seni  janger yang diboyong langsung dari Banyuwangi dengan lakon Damarwulan Ngarit malam Minggu besok, dan bersedia menyaksikan pentas wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Semar Dadi Rojo di lapangan kecamatan malam Minggu berikutnya— yang kesemuanya diiming-imingi dengan hadiah traktor, sapi, kambing, bibit sawit, bibit karet, bibit padi, bibit jagung, dan bibit ikan yang disponsori oleh Marzuki—Kang Sarman pamit pulang, dan aku melepasnya dengan senyum dan dalam hati berkata—tepatnya berdoa, ”Semoga Allah berkenan membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk untuk rakyat dalam memilih gubernur—juga memilih bupati, wali kota, wakil rakyat, dan kepala desa—karena selama ini rakyat secara sistematis dan terencana sudah dibimbing, diarahkan, dan diberi petunjuk untuk hanya memelih seseorang dengan serangkaian program-programnya yang manis di awal, dan semoga setelah terpilih dan menjabat tidak banyak melukai hati dan perasaan rakyat yang memilihnya, yakni dengan jalan melaksanakan kontrak politik dan mewujudkan janji-janji manis bermadunya. Tolonglah ya Allah, agar rakyat jangan sampai terus-menerus menjadi susah, dan menjadi korban atas berbagai tanda cinta, tanda kasih, tanda sayang, dan tanda bakti yang diterimanya dengan membayar harga yang sangat mahal, berupa penyesalan dan penderitaan yang harus dipikulnya selama sedikitnya lima tahun,” ujarku sambil menghela napas dalam dan berat.

—Brajaselebah, Lamtim, Agustus-September-November 2013           
    
    
Lampung Post, Minggu, 8 Desember 2013

Sunday, December 1, 2013

Pengantin

Cerpen Dyah Merta


Kehilangan

“Kehilangan berarti kau terbebas dari beban,” kudengar kata-katanya seperti palu, berusaha mencongkel keluar paku yang menancap di ulu hatiku.

“Sebab setelah itu kau tidak memiliki apa-apa lagi.”

Kehilangan berarti tidak memiliki apa-apa, pikirku. Rasa-rasanya ada hembusan angin menyentuh pipiku dengan lembut. Kembali pada kosong. Kembali tidak memiliki. Kembali tidak punya. Apa sulitnya? Aku mencoba menepis gagasan itu, tapi kata-katanya perlahan bergerak menguasaiku. Berulang-ulang dia katakan jika aku adalah pilihan. Dia, pria yang kutemui, atau mungkin tepatnya dia menemukanku begitu yang dia tegaskan, di satu malam di sebuah tempat nongkrong yang sepi. Waktu itu, aku sendiri saja.

Dari dia, aku seperti mendapatkan uluran tangan, tepat ketika aku berada di tubir jurang, persisnya saat tak seorang pun melihatku. Mungkin dia sejenis malaikat penolong yang diutus Tuhan.

Pil Prozac

Tak ada lagi waktu, bahkan untuk secangkir kopi hangat. Tiba-tiba semua menjadi dingin. Kehidupan terasa hambar. Aku juga tak ingat lagi apakah waktu bergerak lebih cepat atau justru melambat.

“Mungkin kau ‘mati rasa’,” komentar Shita, entah kapan itu, saat kami menikmati malam bersama dengan coffee latte di sebuah kafe.

Saat itu aku benar-benar patah hati. Aku gagal menikah, hingga sangat sulit bagiku untuk jatuh cinta lagi. Masih di masa rapuhku, pria itu datang dan bilang bahwa, “Kau terpilih.” Cukup sulit waktu itu untukku memahami kata-katanya. Tulang pipi lelaki itu tertutup bulu-bulu yang terpangkas tipis. Matanya memercikkan keteduhan. Tak sengaja, aku menangkap siluet cahaya memendar di belakang kepalanya membuatku terseret semakin jauh dalam percakapannya.

Kau sudah bisa menduga jika aku pernah jatuh cinta. Aku juga pernah bermimpi menjadi pengantin.

Bagiku jatuh cinta itu kekuatan. Cinta menyalakan caudate nucleus untuk memancarkan dopamin. Dengan dopamin, kau akan merasa gembira, seluruh perhatianmu terpusat. Buruknya, pada saat yang bersamaan ada dorongan kuat untuk memperoleh imbalan. Kau butuh perhatian. Balasan atas cinta.

Masuk akal jika ada “cinta buta”. Cinta sering membuat kita menempuh risiko besar. Cinta juga dekat dengan gangguan OCD atau Obsessive-Compulsive Disorder akibat “ketidakseimbangan” serotonin. Ini sejenis penyimpangan kejiwaan. Kau musti tahu, jika cinta dan gangguan jiwa itu pada prinsipnya sulit dibedakan. Bisa saja kau tiba-tiba menghitung anak tangga terus-menerus. Awalnya, hanya untuk mengalihkan pikiran dari orang yang kau cintai. Akhirnya kau terus menghitung apa saja, mulai dari orang yang kau temui di jalan, garis zebra, mobil yang berlalu lalang hingga bulu alismu sendiri.

Kudengar ada pil anticinta, yaitu pil Prozac. Jika gangguan kejiwaan mulai menghampirimu, sebaiknya kau beli Prozac di apotek. Dia bisa menumpulkan gagasan cinta. Dia ibarat peluru yang membuat kita “ogah” bahkan menyantap kenikmatan seks yang tersaji di depan kita. Pil ini mampu mengacaukan kemampuan untuk jatuh cinta. Setidaknya, bagian terbaik juga bisa mengobati sakit menstruasi.

“Bagaimana dengan aku?” aku berbalik tanya ke Shita, dia meracau mendengar kegilaanku pada Prozac. Wajahnya terlihat begitu nyata di pantulan dinding kaca yang menyekat kafe. Dia masih akan muncul lagi beberapa kali dalam hidupku sampai aku memutuskan untuk sendiri.

Apa yang terakhir kudengar darinya hari itu, dia menguapkan kata-kata jika konon cinta tak sebatas pada gagasan masa depan, tetapi juga bangunan masa lalu.

“Aku tidak lagi jatuh cinta!” mungkin itu jawabanku.

Menurutku, bangunan masa laluku telah runtuh dan saat ini aku tidak memiliki gagasan akan masa depan. Tidak ada sama sekali. Aku tidak tahu apa yang aku butuhkan saat ini, apakah pil Prozac dosis tinggi atau tawaran lelaki itu dengan embel-embel bahwa aku adalah wanita pilihan. Aku pernah gagal menikah dan kini dia menawariku menjadi pengantin.

Sendiri

Akhirnya aku menemuinya. Sekali lagi. Dengan keyakinan sebab aku adalah pilihan.

“Hidup itu sendiri.”

“Sejak awal kelahiran, kau adalah pilihan. Kau telah menyisihkan ribuan sel-sel kehidupan yang lain yang berlomba-lomba untuk dilahirkan. Kau pun harus mengakhiri hidup dengan pilihan.” Setiap kata-katanya rasanya seperti peluru yang menyisir habis hantu-hantu dalam kehidupanku, membawaku perlahan ke puncak ketenangan. Membuatku juga tak ingin menemui Shita.

“Semakin mengerti, semakin kau tahu arti sendiri.”

Lalu dia mengisahkan kepadaku perjalanannya sendirian menjelajahi beberapa belantara hingga sahara. “Aku pernah tinggal di Afghanistan dan Filipina. Kau harus tahu jika saat ini dunia bergerak di luar kendali. Kekuatan perlawanan yang tersisa hanya ada pada yang terpilih.”

Dunia bergerak di luar kendali? Bukankah sejak awal semesta tercipta sudah begitu? Aku diam saja.

Lalu samar kudengar kisah-kisah mulai dituturkannya bak dongeng tentang perjalanan para pejuang di Moro. Aku tidak terlalu paham dengan sejarah hidup tokoh-tokoh dalam kisahnya. Apa peduliku. Entah kapan, aku juga mendengar nama-nama yang tak begitu asing disebut, seperti Hambali, Imam Samudera, Saad alias Faturrahman Al Ghozi, dan Abdul Jabar. Beberapa kisahnya terasa spektakuler, dibumbui dengan aksi seperti koboi dan serupa di film-film Hollywood yang sangat digemari Shita.

Dia juga memperlihatkan kliping surat kabar berisi berita tentang pembakaran kamp di sebuah tempat di Mindanao dan foto-foto penangkapan beberapa orang yang dikenalnya. Dia menjelaskan bahwa dirinya saat ini mendapat tugas untuk memburu dan aku adalah orang yang paling tepat untuk menjalankan aksinya itu.

Tak sebatas itu, dia berulangkali memutar film-film yang tak jauh dari apa yang diceritakan, hanya tokoh-tokoh di film-film itu banyak yang menutup wajah mereka. Kurasa kostum itu cuma sedikit berbeda dengan ninja –tapi gerak ninja lebih lentur, kalau tak ingin kubilang selera mereka dalam berpakaian sangat buruk.

Dia sering mengulang kata-kata itu. Otakku terdikte dengan sempurna. Aku tak melakukan kesalahan sepatah kata pun.

Dua bulan setelah intens bertemu dengannya, aku menemui Shita.
Ketika mendengar pilihanku untuk menjadi calon pengantin, Shita berteriak, “Sebaiknya kau tidur dengan siapa saja. Tak perlu kau pikirkan dia siapa. Anggap saja semua lelaki itu suamimu!”

“Apa kau sudah kehilangan kewarasan berencana mengakhiri hidupmu sendiri?”

“Sepertinya aku perlu mengajakmu ke night club!”

“Katakan padaku siapa lelaki yang menemuimu itu? Dia bukan ustaz, melainkan bagaimana otakmu bisa melengkung sejauh itu. Aku harus bertemu dengannya. Aku tidak mau satu-satunya temanku punya keputusan gila!”

Suaranya detik itu berlompatan tak henti, begitu sumbar, seperti panci-panci dipukuli beramai-ramai. Bagiku Shita adalah tipe perempuan yang tidak percaya pada tatanan sosial, termasuk pernikahan. Dia hidup bebas, itu persepsinya. Dia berbanding 180 derajat denganku.

Kurasa karena jengah, dia berdiri dari tempatnya duduk dan memutar tubuhnya yang tinggi semampai berbalut gaun sifon mini tanpa lengan dengan motif hati berbaris di bagian payudara. Pahanya menjuntai seperti sepasang leher jerapah beriringan. Warna merah marun mendominasi bagian atas berpadu dengan motif abu. Di sisi tepi ada renda tipis. Rambut panjangnya tergerai. “Ini seri Flaming Hearts,” jelasnya menekan rasa penasaranku melihat ke arah gaun yang dikenakannya. Dengan gaun itu, dia semakin mirip burung flamingo.
Lalu dia rebahkan tubuhnya ke sofa.

“Coba kau rasakan hidup bebas seperti burung!” Matanya menerawang.

“Burung tidak benar-benar mengalami kebebasan. Mereka terhambat topografi dan musim,” tukasku.

“Aku cukup bebas.”

“Itu hanya pandanganmu. Dan kau bukan burung. Sepanjang kamu hidup, kebebasan hanya kesemuan. Hanya impian. Itu tidak benar-benar ada.”

“Setidaknya itu lebih baik daripada kau bunuh diri!”

“Bukan begitu, aku mau menjadi pengantin.”

Bicara dengan Shita rasanya sia-sia. Memang dia tidak terkejut dengan pilihanku, atau mungkin dia bisa menduga bahwa keputusan itu sangat bisa kupilih. Sekali lagi karena kami sangat berbeda.

“Apa kau tidak sedih meninggalkan kehidupan?” suaranya mendadak dramatis.

“Kau pernah bilang bahwa aku mati rasa. Maka bagaimana mungkin aku bisa merasakan sedih?”

Benar, aku kehilangan sensitivitas rasa. Tidak senang, tidak juga sedih. Bahkan cita rasa berpakaianku bertambah buruk separah kostum peniru ninja itu.

Tapi keputusanku semakin bulat.

Teroris

Inilah hari terakhir itu. Hari ketika aku yakin untuk tidak memiliki apa-apa. Termasuk tubuh dan jiwaku. Aku tak lagi ingin mendengar suara Shita yang terus memekak di telingaku. Aku tak lagi ingin melihat wajah Shita. Aku tak lagi ingin dia berpikir bahwa aku akan mengikuti kegilaannya. Aku bukan Shita. Aku adalah pilihan.

Dan ini adalah hari ketika aku menjadi pengantin.

“Kau sangat cantik!” ujar pria itu. Dia telah mendandaniku dengan rok panjang dengan celah tinggi di sisi kanan, berwarna emas, dengan lingkar pinggang elastis. Aku nampak seperti putri duyung berbalur atasan hitam berkilat. Aku yakin kata-katanya bukan basa-basi. Sebab hari ketika kau menjadi pengantin adalah hari di mana kau ingin tampil paling cantik dari yang lain. Rasanya, hari ini aku lebih mirip Shita.

Aku pun bergerak ke tengah ruangan yang riuh oleh dentum musik house. Dia sudah memastikan bahwa “siapa” yang dia buru ada di situ. Musik mengentak itu seakan memicuku untuk menekan tombol peledak dalam hitungan detik. Detik ketika aku tidak punya apa-apa. Tidak tubuh dan jiwaku. Juga “dia” yang kuburu.

Di kehidupan yang masih terus bergerak, pada beberapa sekon setelah ini, mereka akan menyebutku “teroris”, sedang keluargaku akan bilang, “dia sudah lama tidak pulang.” n


Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013

Sunday, November 24, 2013

Rumah Impian

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


KARENA orang tuanya tak pernah mempunyai rumah, hanya tinggal di bedeng sewa reyot belaka, Kohar memutuskan untuk meninggalkan kampungnya dan pergi mengadu nasib ke kota. Ia bermimpi suatu hari ia akan memiliki rumah. Di kota, Kohar bekerja sebagai buruh percetakan. Dari pagi hingga petang, ia bertugas mengganti tinta dan mengepak buku, majalah dan koran yang telah dicetak. Penghasilannya lumayan. Selain untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar sewa kamar, Kohar masih bisa menabung. Sebenarnya tabungannya tidaklah banyak, tapi bagi Kohar yang berasal dari keluarga miskin, dengan memilki tabungan sejumlah itu, hidupnya sudah berkecukupan.

Lewat tiga tahun bekerja, Kohar berpikir untuk membeli rumah di kampungnya. Rumah itu bukan untuk ia tempati, melainkan untuk orang tuanya tinggal sehingga mereka tidak perlu menyewa. Sementara, Kohar merasa cukup tinggal di kamar sewanya yang sempit di kota. Dan selama tiga tahun itu, Kohar senantiasa menepati janjinya kepada orang tuanya, untuk pulang setiap hari raya. Betul. Kohar tidak pernah tidak pulang saat hari raya. Ia merasa menjadi anak durhaka jikalau melanggar janjinya itu.

Sekali waktu, setelah bersilaturahmi hari raya, Kohar berkeliling kampung, mencari-cari rumah yang kiranya bisa ia beli. Namun sayang, sejak ia meninggalkan kampungnya, harga tanah melambung, apalagi harga rumah, masih jauh di atas jangkauannya. Uang tabungannya tidak cukup. Sementara itu, adiknya butuh biaya untuk kuliah. Adiknya itu pintar. Sejak kecil selalu juara kelas dan menjadi kebanggaan keluarga. Sayang sekali kalau adiknya itu tak bisa kuliah dikarenakan tak ada biaya, apalagi ia sudah diterima di sebuah universitas terkenal di Pulau Jawa. Kohar, yang hanya lulusan SMA, akhirnya merelakan tabungannya untuk biaya adiknya masuk kuliah. Kohar pun berjanji pada orang tuanya, setiap bulan ia akan mengirim biaya kuliah, indekos, dan keperluan lain untuk adiknya. Dan Kohar selalu menepati janjinya itu. Betul. Ia selalu membayari semua keperluan adiknya, termasuk membelikan sebuah komputer bekas, yang bagi Kohar merupakan barang mewah.

Selama empat tahun adiknya kuliah, Kohar hidup pas-pasan. Tapi ia tak pernah mengeluh. Bagi Kohar membantu keluarga adalah pekerjaan termulia, membuat ia merasa hidupnya tidaklah sia-sia. Apalagi saat ia melihat adiknya itu diwisuda, mengenakan jubah wisudawan berwarna hitam dan kuning cemerlang. Betapa gagah, pikir Kohar, dengan bangga. Kebanggaan Kohar bertambah ketika adiknya diterima bekerja sebagai pegawai kelurahan di kampung mereka.

Sekarang kewajiban pada adiknya telah lepas, Kohar mulai menabung lagi. Impian untuk memiliki rumah masih terpatri di benaknya. Tapi, setelah ulang tahunnya yang ketiga puluh, Kohar merasa ia telah siap untuk menikah. Kohar ingat kata-kata ustaz di kampungnya dulu, bahwa pernikahan itu sebaiknya disegerakan. Kohar pun memutuskan untuk menikah. Karena ia tidak terlalu suka dikritisi dan dicermahi orang, Kohar tidak ingin menikahi perempuan cerewet. Dan kebetulan, di kampungnya ada perempuan cantik, bermata bulat, berbibir penuh dan bertubuh semampai, yang bisu. Perempuan itu bernama Supeni. Saat pulang hari raya, Kohar menyampaikan niatnya itu pada orang tuanya. Awalnya, orang tuanya Kohar menolak.

“Mengapa harus dengan Supeni?” tanya emaknya.

“Karena perempuan bisu tidak bisa cerewet, Mak. Tidak bisa banyak protes.”

Akhirnya, setelah menimbang-timbang baik dan buruk, emaknya Kohar mengabulkan keinginan Kohar.

Saat orang tuanya menyampaikan niat Kohar pada keluarga Supeni, niat itu disambut dengan senang. Sangat senang sehingga keluarga Supeni menyanggupi semua biaya pernikahan. Tentu ini meringankan beban Kohar. Tabungan yang sudah dia ambil tak jadi dipakai. Kohar berencana menggunakan uangnya sebagai uang pangkal pembelian rumah. Namun, selepas malam pertama, kakaknya Kohar meminta tolong, ia butuh tambahan uang untuk membeli tanah. Tanpa pikir panjang, Kohar meminjamkan uang tabungannya. Toh, ia bisa menabung lagi, pikirnya.

Kohar mengajak Supeni ke kota. Mereka tinggal di kamar sewaan yang sempit. Kamar itu tempat mereka tidur, makan, dan mencuci piring. Sementara untuk mandi dan buang hajat, mereka harus pergi ke kamar mandi umum. Supeni tidak pernah protes. Ia menerima keadaan Kohar apa adanya. Lebih lagi, ia sudah bersyukur ada orang yang mau menikahinya. Tapi, kemudian Supeni mengandung, dan layaknya seorang ibu, ia ingin membuat sarang yang pantas bagi anaknya kelak. Dengan tulisan dan gerak tangan, Supeni berusaha menyampaikan maksudnya.

“Punya rumah?” tanya Kohar.

Supeni mengangguk, menunjuk pada perutnya yang gendut.

Kohar setuju, mereka harus kredit rumah di kota. Rumah kecil saja, asal cukup untuk tempat anak mereka tumbuh. Setelah menghitung-hitung tabungan, ditambah dengan uang yang ia pinjamkan ke kakaknya, dan membatalkan rencana pulang kampung untuk berhari raya, Kohar yakin bisa membayar uang muka pembelian rumah sangat sederhana. Dengan bersemangat ia mengirim surat kepada kakaknya, meminta uangnya kembali.

Sebulan kemudian, bukan wesel yang tiba, tapi sepucuk surat dari kakaknya: uangnya sudah diserahkan pada orang tua mereka, dan menurut penjelasan emak, uang itu sudah terpakai.

Kohar, tentu tak bisa berbuat apa-apa. Jika orang tuanya butuh uang itu, sudah seharusnya ia memberi. Demikian ia menjelaskan pada Supeni, dan bahwa mereka tak jadi membeli rumah. Supeni yang bisu, hanya diam menerima, dan berusaha sebaik-baiknya menjadikan kamar sempit mereka sebagai tempat untuk anak mereka tumbuh.

Ketika anak mereka berumur empat tahun, tabungan Kohar hampir cukup untuk membayar uang muka rumah. Namun, selama empat tahun itu, mereka tidak pernah pulang ke kampung untuk berhari raya, mereka hanya menabung saja. Karena itu, hari raya kali ini mereka memutuskan untuk pulang, menggunakan sedikit uang dari tabungan. Mereka sudah sangat rindu bertemu keluarga. Nanti mereka bisa menabung lagi, pikir Kohar.

Di kampung, banyak hal yang berubah. Adiknya Kohar telah memiliki rumah, demikian juga kakaknya. Bahkan kakaknya sudah mengkredit mobil pula. Ramai-ramai mereka mencemooh Kohar.

“Apalah yang kamu dapat dari kerjamu jauh-jauh di kota, Kohar?” tanya kakaknya, menunjukkan rumahnya yang baru selesai dibangun.

“Iya,” tambah adiknya, “Lihat kami. Lihat orang-orang di kampung ini. Kami tak perlu jauh-jauh pergi. Cukup di kampung saja, uang pun datang juga.”

Mereka tertawa gelak-gelak. Dan apa yang mereka katakan itu menjadi beban pikiran bagi Kohar. Berhari-hari sejak kembali ke kota ia melamun saja. Ia sudah merantau di kota selama hampir lima belas tahun, tapi tanah sejengkal pun ia tak punya.

“Aku harus pergi ke Arab, Supeni,” katanya, “Di Arab, uang banyak.”
Supeni, sekuat ia bisa, melarang Kohar pergi. Namun, tabiat Kohar yang keras membuat Supeni tak bisa berbuat banyak selain merelakan. Kohar mendaftar ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), dan akhirnya mendapat kerja sebagai petugas bersih-bersih di Oman. Hampir hari kepergian Kohar ke Oman, Kohar mengantar Supeni dan anaknya pulang ke kampung. Sampai di kampung, dengan bersemangat Kohar bercerita tentang rencana kepergiannya. Ia pun berangan-angan akan bisa naik haji setiap tahun!

“Beruntungnya engkau, Kohar,” kata Bapaknya, “Setua ini, Bapak tak pernah bisa berhaji.”

Perkataan Bapaknya ini membuat hati Kohar terenyuh.

“Apa Bapak ingin naik haji?” tanyanya.

“Tentu Bapak ingin, Kohar,” jawab bapaknya, matanya menerawang pada tembok bedeng yang mengelupas sana-sini.

“Emak juga ingin, Kohar,” tambah Emaknya.

Kohar terdiam. Tabungannya untuk membeli rumah masih ia simpan. Bukankah sekarang ia tak butuh membeli rumah? Dan bukankah nanti setelah bekerja di Oman, ia akan mendapat banyak uang, dan akan mampu membeli rumah?

“Baiklah,” jawab Kohar dengan tegas. “Bapak dan Emak daftarlah haji segera. Untuk biaya janganlah khawatir.”

Betapa bahagia Bapak dan Emaknya Kohar. Apalagi keesokan harinya, Kohar menyerahkan semua uang tabungannya dan berjanji akan melunasi semua biaya haji dari hasil ia bekerja di Oman. Melihat emak dan bapaknya bahagia, Kohar merasa lega untuk meninggalkan Indonesia.

Selama Kohar merantau di Oman, sebelum orang tuanya sempat pergi berhaji, emaknya Kohar meninggal, lalu menyusul kedua mertuanya wafat pula, bapaknya Kohar pun sakit-sakitan. Upah yang Kohar dapat selama bekerja di Oman habis untuk membiayai pengobatan bapaknya.

Setelah tiga tahun bekerja, Kohar jatuh sakit pula. Awalnya ia batuk-batuk dan demam, tapi batuk itu tak pernah sembuh. Dokter bilang, Kohar sakit karena terlalu sering bekerja dengan cairan kimia. Akhirnya, sebelum ia sempat pergi berhaji, Kohar pun dipecat dan dipulangkan ke kampungnya.

Kohar menjadi beban bagi keluarga. Ia tak mampu lagi bekerja dan menumpang di bedeng sewa bapaknya, bersama Supeni dan anaknya. Seharian kerjanya hanya batuk-batuk saja, bahkan kadang batuknya bercampur darah. Mereka hidup dari hasil penjualan kue-kue basah yang Supeni buat. Satu hari, bapaknya Kohar meninggal. Kohar dan Supeni tak sanggup lagi membayar sewa bedeng dan akhirnya menumpang bergantian di rumah adik dan kakaknya Kohar. Dua bulan setelah kematian bapaknya, Kohar pergi menyusul. Sementara Supeni dan anaknya, yang seumur hidupnya menumpang berteduh pada keluarga Kohar, tak pernah mampu protes ketika diperlakukan selayaknya hamba sahaya. n

Lancaster, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 24 November 2013




Sunday, November 17, 2013

Kerinduan

Cerpen Fakhrunnas M.A. Jabbar


IA langsung memeluk saya. Kuat dan semakin kuat. Air matanya berjuntai ke lantai. Baju yang saya pakai turut kuyup. Saya tak bisa berbuat apa-apa, kecuali pasrah saja dalam dekapannya. Dalam tangis dan sesegukan itu, tiba-tiba tangis saya pun ikut berbaur di dalamnya. Kami sama-sama menangis. Sama-sama menumpahkan air mata. Penyebab kami menangis, jelas berbeda. Saya menangis karena ia menangis ketika memeluk saya. Ia menangis karena sesuatu yang amat disayangi telah lesap tak terduga. Jelas, ia sedang kehilangan sesuatu yang amat berarti.

Perempuan dalam usia makin senja itu memperkuat pelukannya. Saya bagai tak bisa bernapas. Air matanya meleleh ke sekujur tubuh saya. Heran, kenapa perempuan seusia dia masih menyimpan air mata yang melimpah-ruah? Barangkali saja, air mata itu sudah ditabungnya bertahun-tahun. Entahlah. Sebenarnya saya bisa saja berbuat tak peduli. Tapi betapa kurang ajarnya, bila saya tiba-tiba melepaskan pelukan yang kuat itu. Dalam adat-resam Melayu yang mengalir deras di tubuh saya, amatlah kualat namanya, bila memengkis orang setua dia.

Ia memeluk saya karena sesuatu yang amat dirindukannya. Dan kerinduan itu ternyata hanya bisa ia tumpahkan pada diri saya. Tidak dengan siapa pun. Padahal, saya hanyalah salah seorang teman dekat anaknya yang telah meninggal gantung diri  beberapa tahun lalu. Dan banyak bekas temannya yang lain, kalau ia mau. Tapi pilihannya hanya pada saya.
Dua jam kemudian pelukan itu makin longgar. Air matanya mengalir lagi. Tapi tak sederas semula. Barangkali ia makin menyadari betapa sebuah kerinduan hanyalah sesuatu hasrat yang perlu diluapkan. Kalau tidak, tentu bisa menjadi bara di hati berkepanjangan. Dan ini pula yang menggugah saya untuk menyediakan diri sebagai tempat berbagi duka dengannya.

Di sisi lain, saya juga tiba-tiba merasa bangga. Saya telah berhasil menyalurkan kerinduan seorang ibu tua. Bagaikan lepasnya sumbatan lahar di lubang kepundan.  Meski ia sendiri tak pernah lega sesudah pertemuan itu. Sebab, kerinduan yang dimilikinya bukan sembarangan kerinduan. Bayangkan saja, ia sedang merindukan sesuatu yang mati.

Bila agak lama ia menatap saya, air matanya mengalir lagi. Begitu sulit di bendung. Saya jadi ikut-ikutan menangis. Tapi tentu saja saya menangis bukan karena menanam kerinduan yang dalam pula pada anaknya. Pada bekas sahabat saya yang setia. Saya menangis karena ia menangis di depan mata saya. Jadi saya terpengaruh.

"Saya heran, kenapa kepergian anak saya itu benar-benar membuat saya kebingungan. Kadang-kadang orang menduga saya sudah berubah akal. Tapi rasanya tidak. Saya masih mengerti batas-batas kerinduan. Merindukan seseorang bukan berarti gila. Apalagi anak bujang yang saya sayangi."

Saya agak tersentak karena ungkapannya yang agak filosofis itu. Padat dan berisi. Andaikan saja ia seorang pensyarah, tentu ucapannya yang baru terlontar itu sudah menjadi bahan rujukan yang amat berharga bagi para mahasiswa. Sayang, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang tak banyak lagi memikirkan yang lain. Tampaknya dalam sisa usianya yang tinggal sepenggal, ia ingin menghabiskannya untuk mengenang anaknya yang telah mati.

Saya semakin bingung. Entah apa benar yang menyebabkan hingga ibu setua itu memeras kerinduannya. Padahal, anak-anaknya yang lain masih banyak. Masih ada sekitar tujuh orang lagi. Apalagi anak yang sedang diratapinya itu bukanlah anak sulung. Bukan pula anak bungsu. Bukan pula anak pertengahan. Menurut pengakuannya, sang anak merupakan anak kedua.

"Bila ingatan saya benar-benar memuncak kepadanya, biasanya saya mengalihkan perhatian pada yang lain. Kalau tak bekerja atau bertandang ke rumah tetangga, ya saya hanya mengadu pada Allah. Saya membaca kitab suci Alquran. Bila hal itu sudah saya kerjakan, luruhlah sedikit rasa kegelisahan meski kerinduan saya tak kunjung lenyap sama sekali. Saya benar-benar tak bisa hidup tanpa bayang-bayang dia. Ia benar-benar sudah bersebati dalam diri saya."

Saya hanya manggut-manggut. Bahkan lebih banyak menunduk ke lantai. Sebab, saya tak ingin mengeluarkan air mata terus-menerus. Saya ingin bertahan. Biarlah ibu tua itu saja yang menangis untuk anak yang dicintainya setengah mati.   

"Ayo, Nak, tatap saya!"  tiba-tiba suara ibu tua agak membentak. Kesal. Tapi suaranya tidak seperti membentak. Padahal selama ini, ia punya suara lembut dan amat bertenggang rasa. Tapi saya memahami kekesalannya. Saya barangkali agak mengecewakannya karena seolah-olah tidak memedulikannya.

Saya melirik. Saya berusaha untuk tidak menampakkan rasa kesal. Padahal, bukankah saya yang lebih berhak untuk kesal. Sebab, tiba-tiba saya menjadi sandra bagi luapan  kerinduannya.

"Eh, maaf, Mak. Saya terbawa hanyut oleh suasana. Maksud saya sebenarnya ingin terus menatapmu."

Lama sekali ia menatap saya. Barangkali ia sedang berusaha menyamakan diri saya dengan anaknya. Setidak-tidaknya, ia ingin membuat persamaan itu sehingga sedikit demi sedikit ia lebih mudah menghadirkan kembali sang anak dalam kenangannya.

"Wajahmu mirip sekali dengan anak saya yang mati itu," lanjutnya tiba-tiba.   

Saya tersenyum. Saya ingin membahagiakannya. Padahal saya tahu bagaimana mungkin bisa menyama-nyamakan antara saya dan anaknya itu. Kulit saya tentu terlalu hitam dibanding anaknya. Dan, kepala saya agak lonjong tentu amat berbeda nyata  dengan bentuk  kepala anaknya yang bulat bak bulan purnama. Pokoknya, menurut saya terlalu mengada-ada bila membuat persamaan saya dengan anaknya.

"Terlalu banyak persamaanmu dengan anak saya," tiba-tiba ia mengeluarkan kesimpulan itu untuk puluhan kalinya.

Saya diam saja. Meskipun masih banyak ungkapan-ungkapan ibu tua itu yang sulit diterima. Tampaknya ia memang membutuhkan seseorang yang mampu menggantikan kedudukan anaknya yang ia rindukan itu.

"Kenapa kamu diam saja?" tiba-tiba ia agak menyergah saya. Ini di luar dugaan saya. Jadi, saya makin tak mengerti, apa lagi mau sang ibu. Apalagi yang ia inginkan dari saya?

“Ayo, bicaralah. Tentang apa saja. Saya benar-benar merindukan suara anak saya. Dan suaramu persis sekali dengan suaranya."

Ya, Allah! Saya mulai pusing memikirkan jalan keluar terbaik.  Saya bukannya memikirkan apa yang harus saya bicarakan. Tapi, bagaimana mungkin saya bisa lepas dari kepungan kerinduan ibu tua yang sedang mabuk kepayang itu. Dan sama sekali, saya tak pernah bermaksud menyakiti hatinya. Saya hanya ingin melepaskan diri dari belenggu sang ibu tua itu.

"Ayolah, bicara lagi. Saya ingin sekali mendengar suaramu. Suaramu sama persis dengan suara anak saya,” ucap perempuan itu lagi. 

Masya Allah! Ampun. Saya benar-benar kebingungan. Saya ingin lari saja. Tapi rasanya kurang masuk akal bila saya melakukan tindakan itu. Untung, saya masih bisa menyadari bagaimana memahami keberadaan diri ibu tua yang mulai pikun itu. Ah, tapi sepenglihatan saya, ia jelas belum pikun. Lantas, apa nama yang tepat untuk menyebut kenyataan itu yang amat berlebihan itu? Inikah yang namanya kemaruk?

Tunggu dulu. Saya tak pernah membayangkan hal semacam itu. Ibu itu jelas hanya menyimpan keresahan belaka. Ia tidak gila. Ia tak pernah merasa gila. Benar juga, buntut pembicaraan yang panjang itu menjadikan diri saya benar-benar menjadi ajang pelampiasan hasrat sang ibu.
Hampir tiap pagi, ia datang ke rumah. Meski ia harus berjam-jam menanti saya pulang. Saya harus bekerja di kantor, sementara menjelang saya sampai di rumah, biasanya ibu sayalah yang harus melayaninya berbicara. Sampai-sampai beberapa kali, ibu saya harus telantar memasak untuk makan siang.

Terus-terang, saya masih bisa menerima kenyataan itu. Ini tentu lahir dari pertimbangan saya bermalam-malam jauh sebelumnya. Sebab, saya bisa menebak pasti, betapa tersinggung dan lukanya hati perempuan tua itu bila saya lari menjauh. Misalnya, saya pindah rumah. Atau, tidur di rumah keluarga atau teman-teman yang lain. Tapi di sisi lain, kalu hal ini dibiarkan berlangsung berkepanjangan, tentu berakibat tidak baik juga. Saya benar-benar berada di dua persimpangan. Amat suit menentukan piihan langkah yang paling nyaman.

Tapi tunggu, masih ada sesuatu hal lain yang lebih patut saya pertimbangkan. Soalnya, beberapa hari lalu, calon mertua saya datang ke rumah. Mereka membicarakan soal jadwal perkawinan saya dengan calon istri yang sudah dipersiapkan sejak lama. Nah, bila saya menikah, tentu saya harus meninggalkan segalanya. Meninggalkan rumah yang sudah saya tempati sedari kecil. Meninggalkan saudara-saudara saya yang masih kecil. Dan jelas, mau tak mau, saya harus meninggalkan ibu tua, tetangga saya itu. Inilah pemikiran saya yang lain.

Saya turut gelisah. Sebab, menjatuhkan keputusan sendiri jelas menimbulkan akibat yang bermacam-macam. Saya berusaha membicarakannya dengan emak dan ayah saya sendiri.

"Ah, teruskan saja pernikahanmu. Sekarang kamu tinggal pilih, menikah atau tetangga?" begitu ayahku berdalih.

Nah, aku terpengaruh juga. Apalagi hal ini diperkuat oleh anggota keluarga yang lain. Terutama, saudara-mara atau karib-kerabat yang lain. Tapi aku masih tetap berpikir. Kucoba membicarakannya dengan calon istriku. Justru reaksi yang lebih keras kuterima darinya.
"Sekarang, terserah kamu. Kalau kamu mau mempertimbangkan ibu tua itu terus-menerus, silakan pilih saja dia. Saya tak ingin dijadikan bulan-bulanan seperti ini," kata calon istri saya penuh kemarahan.

Merasa tak ada lagi yang mempertahankan, saya pun mengambil keputusan untuk menikah saja. Dengan demikian, saya harus meninggalkan perempuan tua itu.

Tanpa pamit saya meninggalkan rumah, beberapa hari setelah pernikahan saya. Sebab, kalau diberitahu lebih dulu dengan perempuan tua itu, jelas akan mempersulit keadaan. Tentu ia akan menanyakan di mana saya tinggal bersama istri saya. Dan bila alamat saya yang baru diketahuinya, tentu ia makin sering pula bertandang ke rumah mertua saya. Saya bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga istri saya menghadapi kedatangannya.

Kebahagiaan hidup rasanya benar-benar sudah saya miliki begitu saya berkeluarga. Barangkali itu pula yang menyebabkan agama saya mewajibkan perkawinan bila sudah mampu lahir dan batin. Saya benar-benar hanya memikirkan istri saya. Setiap hari saya berusaha membahagiakannya. Memenuhi apa saja yang ia minta.

Suatu pagi, sembilan hari sesudah saya menikah, salah seorang anak ibu tua itu menelepon. Suaranya terisak-isak dan terputus-putus. Kata-katanya tak pernah tersampaikan. Tak terselesaikan. n

Pekanbaru, 062013


Lampung Post, Minggu, 17 November 2013

Sunday, November 10, 2013

Rumah tanpa Perempuan

Cerpen Husen Arifin


KEHENDAK hewani sering mengerumuni tubuh Surnan yang tegap. Mata seterang harimau dan tangan siap menerkam bila perlu, kini Surnan telah menjelma lelaki ganas bertongkat api. Di dadanya sudah mengubah diri dari kebiasaan. Gemerutuk giginya sesekali terdengar jelas. Surnan tidak segan-segan mengelupas segala kekhawatirannya di setiap sisi.

Harta yang berbicara kepada Surnan. Emas berkeping-keping. Luas pematang berhektare-hektare. Sedangkan rumahnya sudah mentereng laiknya istana. Surnan terus-menerus mewujudkan diri sebagai lelaki yang mudah membeli apa yang diinginkannya. Termasuk hasrat nafsunya. Ah, Surnan yang raja di atas raja.

Kemudian Sum datang kepadanya. Sum, si gadis yang putus sekolah, meminta kerja seadanya. “Untuk makan ibuku, Pak!” keluhnya. Surnan tak berpikir panjang. Ia pun memberinya lahan untuk dikerjakan Sum.
Kini tahun ketiganya Sum bekerja dengan Surnan, Sum bisa menghidupi ibunya yang sendirian di rumah, ibu yang menderita penglihatan.

Kehidupan Surnan masihlah purbawi. Sesekali ia membayang tentang Sum, ia ingin melumat dan menyeka betis Sum nan halus. Surnan membusung diri bahwa ia mampu bertanggung jawab kepada Sum. Paras Sum yang cokelat dan tingkahnya yang pemalu seperti menggigit nafsu Surnan.

Surnan sang pengusaha desa. Lelaki empat puluh tahun yang perokok. Ia hidup sendiri di rumah mewahnya. Tapi ia tak lantas menyendiri. Ia mengundang siapa pun untuk singgah, atau menemaninya minum kopi. Ia mesti tak pernah kesepian.

Teman-temannya menjuluki Si Kepala Batu. Karena watak Surnan yang keras, sekeras batu atas nafsunya itu. Meski Surnan tak menyadari atas tingkahnya yang berpola begitu. Surnan mengakrabi semua teman-temannya, termasuk wanita-wanita di sekelilingnya.

Hidup Surnan adalah kemewahan yang tak terhingga. Sampai ia congkak sekarang. Surnan angkuh pada apa-apa yang dipunyainya. Kecongkakan sudah kokoh di dada Surnan.

***

LEPAS dari sore yang memerah. Guntur langit tiba-tiba merekah. Sum takut pada amarah Surnan apabila ia tak segera membereskan rerumputan di pepadi yang tertanam di sawah. Kiranya Sum membayang wajah Surnan, ah, ia nyaris terluka di semilir hari ini.

Betapa kekurangajaran Surnan sungguh-sungguh mengerubung ke dada Sum. Dengan tangan yang gemetaran Sum terus menyabit rumput. Walau hujan segera mendaras tanah dan tubuhnya bakal menggigil tak henti-henti.
Telah tertanam rasa sesal Sum apabila mengingat Surnan seperti lelaki berkepala babi. Sum yang sedang menonton televisi di latar rumah, bibirnya sesekali mengunyah camilan keripik, Sum tak sadar jika ia terawasi oleh Surnan dari belakang.

“Kamu tak pernah mengingat gejala kesetanan itu!” Sum mengulangi kalimat dari televisi. “Dan di setiap tubuhmu tersimpan mawar yang tak lagi mekar.” Bibir Sum mengulangi lagi. Sum baru menyadari bahwa kini ia telah di kasur ditimpa tubuh kekar Surnan.

“Bila kau mengadu, kuteriaki kau maling,” ucap Surnan sambil tangannya menutup bibir Sum yang megap-megap. Dan Surnan pun jumpalitan malam itu. Ia menyisir tubuh Sum begitu beringasnya. Pecahlah mimpi Sum yang ranum.

***

TAK sampai-sampai Surnan melakukan reka ulang bagaimana ia mendorong Sum ke sumur yang tua. Sementara orang-orang sudah meneriakinya sebagai Lelaki Batu. Bahkan beberapa terdengar menanggapinya dengan miring.

“Mirip setan kelakuannya. Benar-benar tak dapat diampuni.”  ujar Bambang, bujang yang sedang nyantri di pondok pesantren.

“Hukuman matikah yang akan diterima Surnan?” perempuan yang tampak berkaca-kaca ke halaman yang disesaki orang-orang adalah Ibu kandung dari Sum.

“Kita pasrah pada keputusan hakim saja, Bu!” lelaki tua menimpalinya.

“Surnan pantas dihakimi Tuhan.” Ibu Sum seperti menggenggam kebayanya erat-erat.

Surnan masih melakukan reka adegan di sumur tua, ia yang telah menyorong Sum ke dalam sumur. Lima tahun setelah Sum menjadi pekerja kasar untuk tanah-tanahnya. Lima bulan setelah Sum benar-benar mengandung calon anak dari Surnan.

Surnan telah mengarak awan gelap ke atas kepalanya siang ini. Sedangkan orang-orang meneriakinya dengan sumpah serapah. Di desa yang menjunjung adab santun, Surnan seperti menodai orang-orang di sekitarnya. Dan Surnan kian dibenci lantaran membungkus tubuhnya tiap malam ke tubuh Sum diam-diam.

***

SURNAN mendatangi rumah Sum untuk melamarnya. Rasa yakin Surnan seratus persen diterima oleh Ibu Sum. Surnan sudah berkeyakinan dan ia segera menjadi lelaki yang sempurna. Walaupun kasta antara Sum dan Surnan berbeda. Surnan tak memandang derajatnya Sum yang di bawah, tetapi kehadiran Sum telah membuka rasa cintanya terbuka lebar. Surnan pun mencium tangan Ibu Sum di ruang tamu.

“Aku hadir untuk mencari takdir, Bu!” Surnan mengawalinya dengan tenang. Sedangkan Ibu Sum yang tak mampu melihat Surnan atas wajahnya yang rupawan hanyalah mengangguk sambil menyerutu.

“Ibu, kedatanganku untuk menjadi pilihan terbaik Sum.”

“Seperti itukah niatmu?”

“Betul, Bu!”

Ibu Sum terus menyerutu. Bola matanya berkilau diterpa senja menyapa. Meski ia tak akan pernah tahu sosok Surnan yang kaya.

“Rumahmu menghadap ke mana, Surnan?” Ibu Sum lantas bertanya serius.

“Barat daya, Bu!”

“Mestinya kamu sadari itu, Surnan. Selalu ada hal yang bertentangan dengan nasibmu karena rumah yang menghadap ke barat daya.”

“Mengapa demikian, Bu? Aku tetap ingin menikahi Sum. Aku mencintainya.”

“Tidak. Tak ada restu dariku.”

“Bantu aku mendapatkan restumu, Bu!”

“Tidak. Tak ada restu dariku.”

Dan Surnan melipat tangan. Kemudian ia tinggalkan Ibu Sum di ruang tamu, ia berpulang dengan kehampaan. Wajahnya nyaris ditelan malam dan rembulan.

***

SUM masihlah gadis yang amis. Sesekali ia dijuluki camar yang mawar. Pula disebut burung yang murung. Tetapi Surnan keburu mengucurkan lendir ke dada Sum. Surnan trengginas melibas mimpi indah Sum. Apalagi Surnan adalah lelaki berkepala batu, ia bisa kapan pun menikmati malam yang muram dengan Sum yang merasa tersungkur ketakutan. Sesudah malam, kadang pagi, lalu sore. Sum terus dibuat Surnan menjadi pendampingnya dalam suasana yang kelam. 

“Yang terus kuinginkan adalah kamu tetap bekerja denganku.” Suatu hari Surnan mengucapkan demikian.

“Aku ingin pulang dahulu, Pak! Ibuku mesti tahu kabar ini.” Sum sudah kangen ibunya. Dari matanya ia merasa terbayang-bayang pada cerutu ibunya yang terus-menerus sepanjang hari. Dan Surnan mengangguk dengan tenang.

Surnan sepagi harinya bepergian ke Kota Jombang, ia ingin bertemu Paman. Surnan merasa perlu bantuan. Dari hatinya yang terdalam ia sudah ceritakan kepada Paman sebagai pengantar kepada Ibu Sum yang menolaknya dengan mentah-mentah.

“Dari situ aku nyaris patah semangat. Aku mencintai Sum dengan niat kunikahinya.” Surnan mengucapkannya penuh keharuan.

“Baiklah. Kubantu dengan semampuku ya. Kamu adalah lelaki kaya, tak mungkin ada penolakan dari ibu si perempuan. Aku coba. Biar kudatangi esok hari.” Paman Surnan pun ingin membantu Surnan.

“Tidak sekadar itu saja.”

“Apa lagi?”

“Sum telah hamil lima bulan.”

“Astaga... ya sudah. Kamu harus melangkah dengan caramu. Aku hanya akan membantumu. Sekadarnya saja, Surnan.”

Surnan sengaja meminta pertolongan pamannya agar mudah mendapatkan restu dari Ibu Sum. Demikian Surnan melakukan segala caranya karena ia segera ingin mendapat jawaban.

Dada Surnan menjadi dag-dig-dug tak keruan. Ia mengharap akan terjadi mukjizat yang mampu meluluhkan hati Ibu Sum.

***

“TIDAK. Tak ada restu dariku. Begitulah jawaban Ibu Sum kepadaku, Surnan.” Paman Surnan mencoba memahami alasan Ibu Sum menolak keinginan Surnan meminang Sum.

“Tapi paman aku sangat mencintai Sum.”

“Cintamu tidak bisa melawan ketetapan Ibu Sum.”

“Lantas mengapa gara-gara rumah menghadap ke barat daya, Ibu Sum menolak niat pinanganku?”

“Ingatlah di mana kamu tinggal. Karena di sini menjunjung keyakinan leluhur.”

“Tidak adakah sedikit perubahan? Aku yakin perkara rumah menghadap ke penjuru mana, tapi karena cinta adalah takdir Tuhan.”

“Kamulah yang menghendaki itu. Aku cukup membantu sampai di sini.”

“Baiklah Paman. Aku hendak pulang.”

Terasa sekali sakit yang mengguncang hati Surnan. Sakit yang melilit segala luka dalam rasa. Harapan yang sirna. Mimpi yang tak lagi menelaga. Surnan pun pulang dengan tangan hampa. Di dadanya sesak tak beranjak. Di jantungnya terasa hidup tak lagi berdetak.

***

SEBELUM Surnan digelandang dengan arak-arak orang kampung yang lantang hingga polisi menetapkan Surnan sebagai dalang kematian Sum di dalam sumur.

Surnan menyudahi malam hari bermandi bersama Sum. Sebab, malam itu Sum telah sempurna menjadi perempuan yang hamil lima bulan dan Surnan berpikir bahwa cintanya tak mungkin ia resmikan di pelaminan. Lantaran tak ada restu Ibu Sum.

Kali ini yang dirasakan Surnan adalah penyesalan. Meski sesal Surnan terus dilontarkan kepada Tuhan dalam detik batinnya. Rasanya tak mungkin lagi waktu terulang walaupun Surnan ingin mengembalikan awal pertama cinta tumbuh kepada Sum. n

Sanggar Pena, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 10 November 2013


Sunday, November 3, 2013

Cinta yang Terbelah

Cerpen Tita Tjindarbumi


Jika rindu kubunuh dirimu dengan puisi atau kalimat dalam cerpenku.
MERINDING bulu kudukku membaca tulisan Soimah. Bayangan perempuan berkebaya itu mencabik-cabik jantungku, memicu ketakutanku yang belakangan ini timbul tenggelam dalam benak dan nyaris meracuni perasaanku terhadap perempuan yang sekian tahun ini menempati seruas ruang di hatiku.

Tak bisa kutampik kenyataan ini. Kendati cintaku pada Soimah kian membeludak, aku belum mampu membiarkan seluruh perasaanku dipenuhi oleh bayangannya. Sosok perempuan lain yang sekian tahun hidup bersamaku membuatku ambigu... Aku membutuhkan sosok Elean dengan penuh kesadaran dan kemunafikanku.

Mencintai dua perempuan dalam waktu yang sama, aku tak lebih dari pecundang yang memanfaatkan perhatian dan cinta mereka. Aku tak berani berkata jujur, sebetulnya di antara mereka pasti ada salah satu yang menempati ruang hatiku dengan bebas.

"Kita tak usah bicara cinta jika kau tak pernah tahu dan bisa memaknai cinta dengan benar,” kata Soimah. Bibir mungilnya setajam belati.
Kutahan napas agar degub di dadaku tak terdengar ke telinganya. Rasanya seperti ditendang mendengar ucapannya. Namun, anehnya aku menganggap tendangannya sebagai rasa cintanya kepadaku.

Sebagai laki-laki diriku memang lemah dan tak punya keberanian mengambil keputusan yang tegas. Bukan tanpa alasan bila aku masih saja terlihat sebagai lelaki egois. Tapi apakah ada gunanya bila kukatakan aku tak ingin mengorbankan anak-anakku yang sudah telanjur berada di zona nyaman karena fasilitas yang diberikan Elean yang belakangan kurasakan tak lebih dari kerangkeng? Yang membuatku tak bisa berpaling pada Soimah.

Dan lagi-lagi pesan yang Soimah kirim padaku itu membuatku semakin ketakutan. Ketakutan yang terbawa ke mana pun aku pergi. Bahkan saat aku menikmati belaian Elean.

Hatiku berdarah. Membungkus gelisahku berhadapan dengan Elean yang tatapannya semakin tajam setiap kali menyambutku pulang dengan wajah semringah. Soimah tak hanya membuat ladang hatiku berbunga, ia juga telah menyemai benih rindu yang membuatku kehilangan arah jika tidak melihat senyumnya.

“Aku muak melihat sisa senyummu,” ujar Elean tanpa melihat wajahku.
Dari ujung mata kulihat amarah menguasai wajahnya. Kubiarkan. Tak ada gunanya bicara pada singa betina yang sedang marah.

“Aku mau mandi, bisa tolong siapkan air hangat?” ujarku setelah mendekat. Sengaja kusentuh telinganya dengan ujung bibirku. Elean mengelak dengan gerakan yang sangat kutahu, ia hanya berpura-pura. Aku sangat tahu bagaimana menjinakkan kemarahannya!

Itu yang membuatku tak pernah kapok dan berhenti mencari perempuan sejati yang dapat membuatku tak berkutik dan takluk padanya. Juga takut kehilangan cintanya.

“Kupikir di tempat perempuan itu sudah kau dapatkan segalanya.” tukas Elean dengan wajah ditekuk.

Kubiarkan ia bicara apa saja.. Tak ada hasratku menjawabnya. Bukan tak bisa menjawab, aku hanya tak ingin jawabanku hanya akan membuat suasana bertambah panas. Bahkan kubiarkan ia melengos ketika lewat di depanku.
“Aku lelah pengin istirahat, bisa agak cepat sedikit? Oke..biar aku siapkan sendiri,” kataku sambil berlalu dan bergegas menuju dapur. Memasak air lalu duduk di kursi di ruang makan.

Terbayang lagi wajah Soimah. Mata embunnya, caranya tersenyum, lentik jemarinya , semua tak lepas dari pandangan mataku. Kelembutan hatinya mempertegas garis darah asal usulnya.

Tanpa kuminta Soimah selalu saja melakukan hal-hal yang mungkin dianggap sepele bagi perempuan lain. Soimah selalu menyambutku dengan sikap penuh pengabdian. Ia menyediakan secangkir capucino panas yang aromanya begitu kuat menyeretku pada ruang yang nyaman.. Ia menyapaku dengan sopan sebagaimana layaknya memperlakukan seorang tamu istimewa.
Ia begitu detail dalam segala urusan. Tak heran bila kadang keningnya berkerut melihat kemejaku tak selicin pakaiannya.

“Orang kota sepertimu tetap terlihat keren meski dengan pakaian sedikit lecek begitu. Apalagi harganya selangit,” katanya dengan senyum yang sulit kuartikan.

Ia membiarkan pikiranku berlari kian kemari mencari maknanya. Aku tak peduli itu kritikan atau sanjungan. Bagiku yang terpenting adalah senyum dan mata itu selalu bak magnit. Juga ekspresi kecemburuannya membuatku semakin mabuk kepayang. 

Soimah…

Nguiiiiiiiiiiiiiiiiing…

Air telah mendidih membuyarkan lamunanku.

“Sudah kusiapkan pakaian dan handuk,” ujar Elean yang telah berdiri di depanku. Lalu ia berjalan ke dapur, mematikan dan mengangkat panci air mendidih ke kamar mandi. Meski sedang dibakar cemburu Elean tetap menyediakan apa yang kubutuhkan..

Di dalam kamar mandi bayangan Soimah masih menari-nari di benak. Ia telah merampok habis perhatian dan perasaanku. Bahkan ia juga nyaris membuatku mengabaikan kebaikan Elean yang telah berbuat banyak untuk hidupku.                                    *****

Elean, berdiri di sebelahku. Bau sabun di tubuhku tak mampu mengusir aroma manis dari tubuhnya. Tetapi lagi-lagi bayangan Soimah membuatku ingin segera lelap dalam mimpi. Aku tak ingin  berpura-pura mesra sementara hati kecilku masih dipernuhi bayangan Soimah.

Entah kekuatan apa yang membuatku berani terang-terangan menduakan Elean. Bersama Soimah aku merasa menjadi pribadi yang kuat. Setidaknya dalam menghadapi kemarahan Elean.

“Aku ingin papa lebih konsentrasi dalam urusan pekerjaan. Tidak ngilang di jam sibuk. Tidak menghabiskan weekend untuk hal yang tak jelas. Seharusnya papa pikirkan kesehatan. Papa harus memanfaatkan weekend untuk istirahat,” kata Elean setelah menggeser tubuhnya lebih dekat ke tubuhku. Bau sabun memang sudah menghapus jejak Soimah dari tubuhku, tetapi semua tentang perempuan Jawa itu justru semakin melekat dalam jiwaku.

Malam ini kubiarkan Elean melakukan apa saja atas tubuhku ini. Aku meresponsnya seperti biasa meski tanpa hati. Aku tak mau melukai Elean. Lebih tepatnya aku tak mau kehilangan zona nyaman. Aku tak ingin anak-anakku kehilangan semua fasilitas yang diberikan Elean pada mereka selama ini. Aku juga gak ingin kehilangan pekerjaan dan menjadi gembel yang luntang lantung di jalan mencari pekerjaan.

Jujur, aku takut menghadapi hidup dalam kemiskinan dan harus banting tulang untuk menghidupi anak-anak dan diriku. Belum lagi tuntutan keluarga yang menganggapku punya harta berlebih yang bisa dibanggakan keluargaku di kampung.

Tapi aku tak bisa dan tak sanggup melepas Soimah hanya untuk menyenangkan keluarga dan anak-anakku. Keluarga dan anak-anakku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku tak punya apa-apa. Selain sisa harga diriku yang kian tergadai demi zona nyaman yang ditawarkan Elean.

“Aku bisa menjaga kesehatan. Tidakkah kau lihat belakangan ini kesehatanku semakin membaik,” jawabku datar.

Tak sampai hati mengatakan bahwa kesehatanku semakin baik karena Soimah banyak memberikan suplemen yang telah memperbaiki sel-sel hati dan jiwaku yang mati karena tekanan-tekanan yang berkeliaran di hidupku.
Bahkan sebelum bertemu Soimah aku sudah memasrahkan diriku mengikuti semua kemauan Elean kecuali menikahinya. Aku tak mau menikah dengan perempuan mana pun sebelum benar-benar yakin dia adalah cinta sejatiku.

“Sudah seharusnya kamu pikirkan kelanjutan hubunganmu dengan Elean,” kata Soimah suatu senja. Wajahnya datar saat mengucapkan kalimat yang menohokku itu.

“Dia memang baik. Dia memang telah memberikan separoh napasnya untukku. Tetapi itu saja belum cukup untuk membangun sebuah rumah cinta,” jawabku tanpa bermaksud merendahkan Elean.

Aku juga tak ingin Soimah menganggapku lelaki yang suka bicara jelek tentang perempuan. Terlebih perempuan yang sudah hidup bersamaku sekian tahun tanpa kejelasan status.

“Kamu tak boleh permainkan Elean,” kata Soimah lagi seakan tak peduli pada perasaanku yang sakit ditusuk-tusuk oleh kata-katanya yang tajam.
“Kamu juga tak bisa paksa aku untuk memilih Elean apalagi sampai menikahinya.”

Soimah tertawa. Dalam tawanya ia tak mampu menutupi kegetiran hatinya.

“Aku hanya menawarkan yang terbaik untukmu tanpa bermaksud memaksamu untuk melakukan yang tak kau inginkan. Dari banyak ceritamu tentang perempuan itu…maaf maksudku Elean, kusimpulkan dia perempuan baik dan telah banyak memberikan banyak hal padamu.” lanjut Soimah lagi seperti sedang mengiris perasaannya. Juga perasaanku. Aku tahu ia juga mencintaiku, sama seperti aku yang mencintai dan tergila-gila padanya.

“Cinta saja belum cukup. Begitu kan katamu?” katanya lagi tanpa peduli luka itu kian menganga.

”Aku tak bisa melakukan seperti yang dia lakukan untukmu dan keluargamu. Aku tak punya apa-apa. Dan aku tidak tega melihat orang yang aku sayang hidup menderita hanya demi perempuan yang tak bisa memberikan zona nyaman padanya.”

Aku diam. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku terjebak di antara dua perempuan yang sama-sama istimewa dalam hidupku. Aku tak bisa memilih Elean dan membiarkan cintaku pada Soimah kandas. Namun aku juga belum sanggup menerima kenyataan hidup menderita jika Soimah-lah perempuan yang kupilih.

Kepalaku mendadak sakit. Tiba-tiba aku merasa menjadi banci. Tiba-tiba aku merasa semakin ketakutan setiap mengingat tulisan Soimah.

Jika rindu kubunuh dirimu dengan puisi atau kalimat dalam cerpenku.


Tiba-tiba tubuhku bergetar keras. Lunglai. Gelap. n   
   

Lampung Post, Minggu, 3 November 2013

Sunday, October 27, 2013

Terjebak di Jalan Berlumpur

Cerpen Otang K. Baddy


SEJAK sebelum tiga dekade ini tak sedikit pun tebersit jika kehidupan kami semua bisa terperangkap di jalanan berlumpur. Yang tak cuma sekadar kotor, basah dan lembap, tapi kadang gelap dan dingin. Menggigil dan bulu-bulu pun merinding.

Mungkin sebelum tiga dasawarsa itu kami belum dewasa sehingga segala langkah perjalanan hidup senantiasa diasuh oleh ibu. Tidur dan bangun selalu dikawal ibu. Tidur ditidurkan, bangun dibangunkan. Mandi dimandikan, makan disuapkan. Bermain dan bepergian senantiasa dikawal. Jadi segalanya terjamin selamat.

Seiring dengan bertambahnya usia, baik itu usia hidup dan kehidupan, ibu kami meninggal dengan satu pesan, “Awas, hati-hatilah dalam melangkah, jangan sampai terperosok dalam lumpur,” ujarnya beberapa menit sebelum meninggalkan kami selamanya.

“Jangan khawatir, Bu. Percayalah pada kami, sebab kami kini sudah mulai dewasa!” begitulah kami menandaskan dengan nada sepele demi menyenangkan kepergiannya yang semula tampak cemas. Kami pun mengaku dewasa.

Kami pun merasa tak perlu dan tak butuh diberondong nasihat lagi, terlebih dalam masalah melangkah atau pun berjalan. Toh kami semua sudah punya prinsip dan jalur masing-masing,  bahwa untuk menyambung hidup perlu adaptasi dengan lingkungan dan pandai menyesuaikan zaman.

Namun, setelah semuanya jatuh pada keluh atau igauan, pesan-pesan yang sering terucap dari ibu selalu mengusik hati kami yang labil. “Di jalanan berbatu putih ini rukun-rukunlah kalian semua. Jika merasa gamang dan takut jatuh, peganglah tongkat biar teguh,” katanya dulu ketika kami belajar berjalan menapaki hidup. Kami pun saat itu tak lepas dari yang namanya tongkat. Baik menanjak atau pun menurun, perjalanan terus tapaki dengan tabah. Kami tak pernah oleng apalagi terjatuh, kendati sepanjang perjalanan tak hentinya ditempa angin yang hendak menjatuhkan.

Ah, betapa senangnya saat itu.

Tapi sejak kepergian ibu, segala nasihat atau isyarat, tak satu pun yang kami gubris. Terlebih setelah dusun kami dan sudut-sudut petani terancam pelebaran kota. Berhektare tanaman berbunga dan kehijauan daun terancam punah. Wangi kembang yang mekar, harum tanah gembur sisa hujan semalam, kini tak kami temukan lagi. Area tanaman berbunga serta tanah-tanah gembur kini lumat tertimpa sampah plastik dan tembok beton.

Begitu pun dalam hal jalan, kini sudah jauh bergeser. Sejujurnya kami tak mampu menolak tatkala pertama jalan berbatu putih itu tiba-tiba akan digantikan dengan aspal yang hitam. Juga saat itu tak gubris ketika ada lelucon yang menafsirkan kata “aspal” itu adalah keaslian palsu dan “hitam” berarti gelap. Rasanya tak perlu lelucon itu kami dengar. Namanya juga lelucon, jika pun umpama mengena, semua itu bukan semata-mata perkataan bijak. Tapi lebih kepada “kirata” alias dikira-kira tapi nyata. Maka kami abaikan sepenuh jiwa.

Setelah jalanan hitam itu dibangun ke segala arah dan sudut kampung, kami semua membuang tongkat. Kami semua membuang tradisi. Kalau sebelumnya berjalan itu beriringan dan bergandengan tangan kini semuanya berlari bak suatu balapan. Tak jarang kami pun saling menyalip dan saling jegal satu sama lainnya. Sampai pada waktu tertentu kadang saling membunuh. Membunuh nyawa maupun karakter.

***

JALANAN itu memang terus ramai dan memikat. Betapa tidak, bagi kami dan orang-orang yang tergesa cukup menempuh jalan pintas ini. Jalanan yang lengang berbatu dan berlumut untuk sementara kami tinggalkan. Sebab yang kami cari selama ini berupa perhiasan barang-barang antik demi menyemarakkan kota kami yang kian berkembang. Karenanya, harus serbacepat dan tergesa, sebab kalau tidak, segalanya akan tertinggal. Begitulah naluri kami.

“Marilah akang-akang yang ganteng dan kalem, pilihlah jalur kami!” kata para perempuan-perempuan cantik di jalanan itu. Kendati bibir dan alis mereka bergincu, tak mengurangi daya tarik untuk merengkuhnya. Sebaliknya, kami makin gila, seluruh indera telah kami gadaikan untuknya.

Perempuan-perempuan di gerbang di jalanan itu bukan para ibu bagi anaknya, pun bukan para istri dari suaminya. Mereka jauh terbalik dengan sosok ibu kami. Sebab yang kami lihat mereka tak satu pun yang membawa anak juga tak seorang pun yang bersama suami. Mereka itu perempuan liar bak ular. Tentu saja sebagai makhluk yang gila kami pun sangat cocok untuk memilikinya.

“Kami tercipta hanya untukmu, Kang,” katanya lembut. Sejuta pesona pun ia tawarkan pada kelelakian kami. Akhirnya kami pun berebutan untuk merangkulnya, untuk mengoleksinya. Hingga jatuh kesepakatan bersama bahwa inilah sebenarnya yang kita sebut barang antik. Inilah sebenarnya yang harus kita buru!

“Dunia ini tak akan sempurna jika tanpa adanya perempuan!” begitulah kami berkata pijak. Dengannya kami pun jadi merasa terhormat karena mampu mengantongi barang-barang berharga itu. Hingga melengganglah kami ke puncak kekuasaan.

Sebagai pemangku negeri kami pun peduli akar rumput. Demi wujud nyata kami segera turun ke bawah, terutama ke daerah-daerah pariwisata yang kubangun atas kebijakan kami. Namun, alangkah terkejutnya ketika jalanan yang kami lewati itu berlumpur. Celakanya lelumpur itu begitu tebal, melebihi sawah bajakan.

‘Selamat Datang di Negeri Lumpur!’ Satu spanduk besar menyambut kedatangan rombongan kami sebagai penguasa. Terpampang di atas di gerbang wisata itu dengan tampilan wajah figur kami yang ramah. Di tepi kiri-kanan, para kolega atau pun para jelata tampak hormat dan menahan napas. Tanpa pembangkang, semunya menyembah kami.

Selepas gerbang kami menemukan beragam pengemis. Ada perseorangan, kelompok, atau komunitas. Mereka, kalau tak menadahkan tangan, cukup memasang kantong jaring sebagai penampung sedekah kami. Seraya melambai, kami taburkan receh untuknya. Namun, mereka tampak antipati dengan tindakkan kami. Wajah-wajah mereka tampak cemberut, mungkin apa yang kami berikan tak sepadan.

Sebenarnya bukan tak mau memberi yang lebih, tapi ini demi mengimbangi jumlah pengemis yang tak ada hentinya di jalanan berlumpur itu. Bahkan, kami lewati nyaris tanpa ujung. Sementara kendaraan yang kami tumpangi semakin ringkih, pekat merayap. Hingga tanpa kami duga terperosok dalam kubangan yang dalam.

Dalam keterpurukan itu tebersit pikiran yang nyaris brilian, “Pihak yang bertanggung jawab atas rakyatnya adalah pemerintah, maka apa pun yang terjadi di negara itu akibat perilaku para pemimpin yang sah di negera itu. Sebab, pemerintahlah yang bisa mereka situasi. Mau aman atau kacau, tergantung kemauan.”

Menyadari semuanya, dengan suara meringik dan merunguk kami pun manangis. Sementara para pengemis itu tertawa, sebelum kemudian beringas memburu kami yang berloncatan bertampang cecurut dan monyet. n
     
Pangandaran, September 2013


Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

Sunday, October 20, 2013

Singaralang

Cerpen Arman A.Z.


SANJALAH Tuan ke Tanjung Iran, negeri elok yang akan membuat siapa pun kerasan. Jikalau mengusung niat baik, takkan kehadiran Tuan ditentang. Warga kami tahan berkorban apa saja untuk menjamu tamu dengan hidangan paling nikmat. Bila tak sedang diburu waktu, sambutlah tawaran bermalam di sana. Begitulah kami punya adat menjunjung tamu.

Kututurkan itu pada siapa saja yang kujumpa dalam kembara menyambangi negeri-negeri asing dan jauh. Aku tak sedang bermanis mulut saat mewartakan Tanjung Iran pada mereka yang berbaik hati menyediakan air minum dalam kendi di depan rumah atau menawari makan dan menginap kala langit beranjak pekat.

Tanjung Iran berpagar nyiur berbatang-batang. Sawah ladang hijau membentang. Rumah-rumah panggung beratap ijuk dengan anak tangga berjumlah ganjil. Sungai bagai liuk naga. Ngarai bagai bokong sapi betina. Meski hilir mudik kemarau dan hujan, Tanjung Iran permai belaka. 

Bila Tuan bangga nian pada kampung halaman, gerangan apa membuat Tuan jauh ngembara? Bukan sekali dua pertanyaan itu kuterima. Maka, tanpa maksud mengolok adab, kujulurkan kaki kiri ke hadapan mereka. Tahi lalat kecokelatan di telapak kaki ini, penanda sejak zaman puyang bahwa hidupku kelak penuh kembara.

Kalau merekah sekarang seruni, bunga makanan burung bebarau. Kalau bertuah balik ke sini, tidak bertuah hilang di rantau. Bila belum puas hati, sebutlah namaku di Tanjung Iran. Mengakulah sebagai sanak famili atau handai taulanku. Niscaya sangsi Tuan dan Puan terobati.

***

AKULAH Singaralang, bujang juaro dari Tanjung Iran. Telinga siapa tak pernah mendengar namaku malang-melintang seantero negeri? Bertubuh kekar, bermisai bercambang lebat, pandangan nyalang serupa mata lemawang. Berteman seribu jin, berilmu halimunan, tak mempan segala senjata. Hanya orang-orang lolo yang nekat menjajal adu nyawa denganku.

Begitulah takdir pengembara. Mata angin adalah ibu yang setia menemani perjalanan. Telah kenyang aku ditempa panas dan hujan. Melintas dusun, memintas ladang. Menyeberang sungai, menyusur ngarai. Menyibak belukar, meniti pematang. Tidur beratap gemintang berlampit bumi.

Kerap melanglang bukan berarti kubuang risalah kampung halaman. Musykil kulupakan segar air kendi yang jadi obat dahaga, reranting tempatku menjemur baju, perigi tempatku mandi, juga anak tangga rumah panggung tempat bertukar kelakar. Takkan pula kulupa bujang gadis teman sepermainan yang bersama menabuh gendang meniup serunai.

Sejak belia aku setia menyabung beruga. Singgah dari pasar ke pasar, dari kampung ke kampung, mencari lawan sabung. Jika ada yang culas hendak menggagalkan kemenanganku, alamat mengundang bala. Siapa sanggup menyulut amarahku, harus siap pula menghunus keris. Kerap sabung beruga berujung sabung nyawa. Bukankah ajal, pengintai segala yang hidup itu, telah tertera di kitab takdir? 

Takdir pula yang membawaku jadi hulubalang penjaga Tanjung Iran. Semenjak kakanda Wayang Semu jadi mantu Kerie Carang, orang terpandang di Tanjung Iran, kian jarang aku ngembara menyabung beruga. Tak kuasa kutolak amanat yang dilepakkan di pundak untuk menjaga merawat Tanjung Iran.

Mari bertukar sepah pinang, dirajang dengan runcing kuku. Air mata jatuh berlinang, iringlah saat mengubur daku. Tidak boleh ditebang lagi, kalau ditebang menimpa padi. Tidak boleh dikenang lagi, kalau dikenang menyusahkan hati.

Bila ajalku tiba, telah kutitipkan amanat pada sanak kerabat: tanam aku di kaki kubur bunda. Andai nyawaku putus di ujung runcing keris musuh, usah menghunus balas. Jangan biarkan dendam beranak-pinak tujuh temurun. Jangan pula mengingat yang sudah mangkat. Selayaknya adat, tundalah mengunyah sirih dan pinang beberapa hari untuk menghormati kematianku.

Pangkal selasih bunga cengkudu, mendari dayik tinggal tuan. Tinggallah kekasih tinggallah duduk, jangan muka daku dilupakan.

***

KEMENAKANKU Dayang Rindu, bidadari yang lahir dari rahim Tanjung Iran. Jelitanya semerbak ke seluruh negeri. Senyumnya bak hujan di tengah kemarau, membasahi sawah ladang kerontang. Di buri rumah panggung, di bawah rindang tembesu, berkali kunasihati ia. Peliharalah lagak laku. Jangan kecantikan membuatnya jadi perawan kanji besar kepala yang memeram petaka.

Banyak bujang, hingga dari negeri jauh, datang ke Tanjung Iran. Satu semata hajat mereka: meminang Dayang Rindu. Namun semua pulang menekuk wajah menggumam keluh. Niat mereka ditolak Kerie Carang. Tiada dalih lain, cucunya Dayang Rindu telah dijodohkan dengan Ki Bayi Radin, putra Batin Pasak dari Rambang.

Aku hanya bisa bertanya dalam hati, sebab apa semua yang hendak meminang selalu ditampik Kerie Carang. Jika jodoh Dayang Rindu telah datang, mengapa tega menutup pintu? Mantu dan besan macam apa yang dicari? Setiap yang datang, disuguhi permintaan yang nyaris tak masuk akal. Apakah dia sedang bermain-main dengan jodoh cucunya sendiri? Apa yang diharap dari mematahkan hajat baik orang lain? Ah, Kerie Carang, kian uzur, pikirannya serupa anak kecil. Ataukah demikian adab orang terpandang, bercongkak-pongah di depan orang?

Bukan aku tak paham Ki Bayi Radin. Jejaka gagah sahaja itu pun tak mudah mendapatkan Dayang Rindu. Susah payah dipenuhinya permintaan tak masuk akal dari Kerie Carang. Daun sirih selebar nyiru dan pinang sebesar kulak telah ditemukan. Hanya satu permintaan lagi yang nyaris membuatnya putus asa. Manalah mungkin menemukan kerbau bertanduk tiga?!

Kerap Ki Bayi Radin singgah mengharap petuah. Duduk di jabo, iba aku melihatnya bermuram muka mengeluhkan sikap Kerie Carang. Berbilang purnama telah dicarinya kerbau tanduk tiga. Meninggalkan Rambang dan Dayang Rindu, serasa tubuhnya dibuang jauh. Selalu saja kukatakan kepadanya: jangan gugup jangan sangsi, jikalau jodoh takkan ke mana.

***

DATANGLAH perahu bidar, perahu bercadik, kapal-kapal besar berbendera lambai mengular, mengusung banyak nian muatan. Banyak hulubalang dan prajurit di dalamnya. Turut pula penghulu, ketib, dan imam.

Seisi negeri berpayung risau. Dusun mana hendak dilanggar, negeri mana hendak dilebur. Gawi apa gerangan hendak dituju? Kalau hendak menyabung, orang sini tak punya banyak beruga. Kalau hendak berjudi, orang sini bukan penjudi. Kalau hendak berperang, orang sini tidak berani. Kalau hendak berdagang, orang sini tidak beruang.

Serupa beruga lama dikurung tak kunjung disabung, gatal juga aku bertemu lawan. Beringkas kubawa senjata dan kubebat seluruh jimat. Kalung hitam pusaka puyang yang bertahun terpisah dari leher, kukenakan lagi. Aroma kecut keringat di kalung itu bagai membentangkan kembali lingkaran masa silam.

Semua risau itu pupus. Mereka utusan Pangeran Riya, raja dari negeri Palembang. Berlayar berhari-hari mengarungi Sungai Ogan, Selat Bangka dan Teladas, melabuh sauh di Tanjung Iran. Berpakaian indah, mereka datang mengusung amanat Pangeran Riya untuk menyunting Dayang Rindu. Segala sesembahan dibawa. Kulit macan, sirih dan tembakau, gambir dan pinang, emas dan uang bergantang-gantang, perhiasan berjuntai-juntai, beras berdulang-dulang, puluhan peti berisi kain dan sutera yang terlipat rapi, payung-payung berpucuk intan, juga keris dan senjata.

Ketika hajat itu ditolak Kerie Carang, berat hati mereka segera pulang ke kandang. Tumenggung Itam mendelik berkacak pinggang. Seluruh senjata yang jauh-jauh mereka bawa akan ditikamkan di tanah Tanjung Iran jikalau Dayang Rindu gagal dibawa ke Palembang. Demi langit dan bumi, naluri bujang juaroku mengendus gelagat tak sedap. Telah lama kudengar nama Tumenggung Itam, juga hulubalang-hulubalang sakti dari Palembang. Dibalik pakaian sutera, mereka sembunyikan congkak. Sungguh tamu tak tahu diuntung, sukar diajak berbijak hati. Tebersit sangsi, adakah hajat tersembunyi di balik niat meminang Dayang Rindu? Apakah mereka hendak menguasai Tanjung Iran?

Bunga berkembang di dalam hati, dinanti layu tidak kan layu. Apa lagi dinanti-nanti, mengamuk payu berperang payu.

Inilah harinya beruga menyerang elang. Bagai hidup dari mati bila bertemu lawan sepadan, mengamuk aku bak badai di lautan. Kapal dan perahu kukaramkan. Kutebang orang bagai menebang batang pisang dan tebu. Roh-roh beterbangan dari tubuh-tubuh yang terbunuh. Tanjung Iran menjelma jadi tanah dendam. Pedang dan keris meneguk darah bergantang-gantang. Akan kubuat tulang belulang mereka pulang dibawa gagak. Akan kubuat darah mereka menghilir dibawa arus.

Akulah penjaga Tanjung Iran. Selama hayat di kandung badan, siap kusabung nyawa demi marwah keluarga dan tanah kandung. Buat aku terjengkang, hasut amarahku hingga puncak ubun, maka ruh lemawang menyatu dalam ragaku.

Apa yang tersisa dari amuk? Kakandaku Wayang Semu mati di tangan Ki Bayi Metig. Ki Bayi Radin dibunuh Kerie Niru. Panas menjalar sekujur tubuh. Aku meraung laksana lemawang luka.

Mudik ke hilir mudik ke tanjung, bawa jangkar seribu tali. Putus benang boleh disambung, putus nyawa di mana cari. Kiranya Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig masih sawan pada ajal. Tak mudah mereka menyembah minta hidup. Kutebas telinga kiri Tumenggung Itam. Kucacatkan hidung Ki Bayi Metig. Itulah pengganti harga diri lelaki pemberani, penebus malu mereka yang kalah bertarung.

Siapa nyana siasat busuk mereka berhasil mengelabuiku. Dayang Rindu raib dari Tanjung Iran. Dia berhasil diboyong ke Palembang. Entah siapa yang diam-diam menculiknya. Demi puyang-puyang yang bertakhta sepanjang bukit dan sungai, takkan aku tinggal diam. 

Kalau tumbuh selasih, jangan dilimbang dulang. Kalau sungguh hamba dikasih, jangan diberi di ambil orang.

Terbetik kabar, setiba di Palembang, Dayang Rindu tak sudi diperistri Pangeran Riya. Tinimbang bersanding dengan lelaki bukan pilihan hati, ia terbang ke khayangan, berkumpul kembali dengan kedua orang tua dan tunangannya Ki Bayi Radin.

Malu dan dendam bersekutu membuat Pangeran Riya muntab. Kepalang tanggung, dikerahkannya rombongan perahu dan kapal dalam jumlah lebih besar untuk menebus dendam, melantakkan Tanjung Iran. Tersebab kasih tak sampai, lelaki berharta bertakhta jadi gelap mata.

Aku pun tak jera tarung sekali. Ketika rombongan dari Palembang dalam perjalanan kembali ke Tanjung Iran, aku pergi memburu lawan. Dusun dan rimba kulalui. Menyusur jalan setapak berliku-liku. Dari pinggang hingga puncak bukit. Menyeberang ngarai curam dan sungai berhantu banyu. Akan kuburu Pangeran Riya hingga ke lubang semut.

***

TERANG bulan di Tanjung Iran. Perang Palembang dan Tanjung Iran telah selesai. Kerie Niru mati kubunuh, namun mujurlah Pangeran Riya. Ajal masih jauh dari napasnya. Seperti kijang sawan menghindari terkam lemawang, dia berhasil kabur ke jantung belantara sebelum sempat bersua denganku.

Tapi tak kunyana, sepulang berperang di Niru dan Palembang, Tanjung Iran luluh lantak tak berwajah. Darah menggenang sepanjang jalan. Anyirnya menyesak ke paru-paru. Rumah-rumah panggung jadi arang. Kendi pecah, lampit koyak-moyak. Tubuh-tubuh tanpa nyawa centang perenang. Sanak kerabat dan handai taulan tak tersisa. Sungguh, pulang ini serasa mati. Hidup serasa hilang nyawa. Demi apakah perang ini? Untuk siapakah mengadu nyawa?

Akulah Singaralang, bujang juaro Tanjung Iran. Terkapar di kampung halaman yang berkubang darah, tahi lalat di kaki kiriku berdenyut pelan, seperti mengimbau agar aku kembali berjalan. Menghilir hingga sisa umur. Bukankah ajal, pengintai segala yang hidup itu, telah tertera di kitab takdir. n

Bandar Lampung, 2012-2013


Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013