Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
KARENA orang tuanya tak pernah mempunyai rumah, hanya tinggal di bedeng sewa reyot belaka, Kohar memutuskan untuk meninggalkan kampungnya dan pergi mengadu nasib ke kota. Ia bermimpi suatu hari ia akan memiliki rumah. Di kota, Kohar bekerja sebagai buruh percetakan. Dari pagi hingga petang, ia bertugas mengganti tinta dan mengepak buku, majalah dan koran yang telah dicetak. Penghasilannya lumayan. Selain untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar sewa kamar, Kohar masih bisa menabung. Sebenarnya tabungannya tidaklah banyak, tapi bagi Kohar yang berasal dari keluarga miskin, dengan memilki tabungan sejumlah itu, hidupnya sudah berkecukupan.
Lewat tiga tahun bekerja, Kohar berpikir untuk membeli rumah di kampungnya. Rumah itu bukan untuk ia tempati, melainkan untuk orang tuanya tinggal sehingga mereka tidak perlu menyewa. Sementara, Kohar merasa cukup tinggal di kamar sewanya yang sempit di kota. Dan selama tiga tahun itu, Kohar senantiasa menepati janjinya kepada orang tuanya, untuk pulang setiap hari raya. Betul. Kohar tidak pernah tidak pulang saat hari raya. Ia merasa menjadi anak durhaka jikalau melanggar janjinya itu.
Sekali waktu, setelah bersilaturahmi hari raya, Kohar berkeliling kampung, mencari-cari rumah yang kiranya bisa ia beli. Namun sayang, sejak ia meninggalkan kampungnya, harga tanah melambung, apalagi harga rumah, masih jauh di atas jangkauannya. Uang tabungannya tidak cukup. Sementara itu, adiknya butuh biaya untuk kuliah. Adiknya itu pintar. Sejak kecil selalu juara kelas dan menjadi kebanggaan keluarga. Sayang sekali kalau adiknya itu tak bisa kuliah dikarenakan tak ada biaya, apalagi ia sudah diterima di sebuah universitas terkenal di Pulau Jawa. Kohar, yang hanya lulusan SMA, akhirnya merelakan tabungannya untuk biaya adiknya masuk kuliah. Kohar pun berjanji pada orang tuanya, setiap bulan ia akan mengirim biaya kuliah, indekos, dan keperluan lain untuk adiknya. Dan Kohar selalu menepati janjinya itu. Betul. Ia selalu membayari semua keperluan adiknya, termasuk membelikan sebuah komputer bekas, yang bagi Kohar merupakan barang mewah.
Selama empat tahun adiknya kuliah, Kohar hidup pas-pasan. Tapi ia tak pernah mengeluh. Bagi Kohar membantu keluarga adalah pekerjaan termulia, membuat ia merasa hidupnya tidaklah sia-sia. Apalagi saat ia melihat adiknya itu diwisuda, mengenakan jubah wisudawan berwarna hitam dan kuning cemerlang. Betapa gagah, pikir Kohar, dengan bangga. Kebanggaan Kohar bertambah ketika adiknya diterima bekerja sebagai pegawai kelurahan di kampung mereka.
Sekarang kewajiban pada adiknya telah lepas, Kohar mulai menabung lagi. Impian untuk memiliki rumah masih terpatri di benaknya. Tapi, setelah ulang tahunnya yang ketiga puluh, Kohar merasa ia telah siap untuk menikah. Kohar ingat kata-kata ustaz di kampungnya dulu, bahwa pernikahan itu sebaiknya disegerakan. Kohar pun memutuskan untuk menikah. Karena ia tidak terlalu suka dikritisi dan dicermahi orang, Kohar tidak ingin menikahi perempuan cerewet. Dan kebetulan, di kampungnya ada perempuan cantik, bermata bulat, berbibir penuh dan bertubuh semampai, yang bisu. Perempuan itu bernama Supeni. Saat pulang hari raya, Kohar menyampaikan niatnya itu pada orang tuanya. Awalnya, orang tuanya Kohar menolak.
“Mengapa harus dengan Supeni?” tanya emaknya.
“Karena perempuan bisu tidak bisa cerewet, Mak. Tidak bisa banyak protes.”
Akhirnya, setelah menimbang-timbang baik dan buruk, emaknya Kohar mengabulkan keinginan Kohar.
Saat orang tuanya menyampaikan niat Kohar pada keluarga Supeni, niat itu disambut dengan senang. Sangat senang sehingga keluarga Supeni menyanggupi semua biaya pernikahan. Tentu ini meringankan beban Kohar. Tabungan yang sudah dia ambil tak jadi dipakai. Kohar berencana menggunakan uangnya sebagai uang pangkal pembelian rumah. Namun, selepas malam pertama, kakaknya Kohar meminta tolong, ia butuh tambahan uang untuk membeli tanah. Tanpa pikir panjang, Kohar meminjamkan uang tabungannya. Toh, ia bisa menabung lagi, pikirnya.
Kohar mengajak Supeni ke kota. Mereka tinggal di kamar sewaan yang sempit. Kamar itu tempat mereka tidur, makan, dan mencuci piring. Sementara untuk mandi dan buang hajat, mereka harus pergi ke kamar mandi umum. Supeni tidak pernah protes. Ia menerima keadaan Kohar apa adanya. Lebih lagi, ia sudah bersyukur ada orang yang mau menikahinya. Tapi, kemudian Supeni mengandung, dan layaknya seorang ibu, ia ingin membuat sarang yang pantas bagi anaknya kelak. Dengan tulisan dan gerak tangan, Supeni berusaha menyampaikan maksudnya.
“Punya rumah?” tanya Kohar.
Supeni mengangguk, menunjuk pada perutnya yang gendut.
Kohar setuju, mereka harus kredit rumah di kota. Rumah kecil saja, asal cukup untuk tempat anak mereka tumbuh. Setelah menghitung-hitung tabungan, ditambah dengan uang yang ia pinjamkan ke kakaknya, dan membatalkan rencana pulang kampung untuk berhari raya, Kohar yakin bisa membayar uang muka pembelian rumah sangat sederhana. Dengan bersemangat ia mengirim surat kepada kakaknya, meminta uangnya kembali.
Sebulan kemudian, bukan wesel yang tiba, tapi sepucuk surat dari kakaknya: uangnya sudah diserahkan pada orang tua mereka, dan menurut penjelasan emak, uang itu sudah terpakai.
Kohar, tentu tak bisa berbuat apa-apa. Jika orang tuanya butuh uang itu, sudah seharusnya ia memberi. Demikian ia menjelaskan pada Supeni, dan bahwa mereka tak jadi membeli rumah. Supeni yang bisu, hanya diam menerima, dan berusaha sebaik-baiknya menjadikan kamar sempit mereka sebagai tempat untuk anak mereka tumbuh.
Ketika anak mereka berumur empat tahun, tabungan Kohar hampir cukup untuk membayar uang muka rumah. Namun, selama empat tahun itu, mereka tidak pernah pulang ke kampung untuk berhari raya, mereka hanya menabung saja. Karena itu, hari raya kali ini mereka memutuskan untuk pulang, menggunakan sedikit uang dari tabungan. Mereka sudah sangat rindu bertemu keluarga. Nanti mereka bisa menabung lagi, pikir Kohar.
Di kampung, banyak hal yang berubah. Adiknya Kohar telah memiliki rumah, demikian juga kakaknya. Bahkan kakaknya sudah mengkredit mobil pula. Ramai-ramai mereka mencemooh Kohar.
“Apalah yang kamu dapat dari kerjamu jauh-jauh di kota, Kohar?” tanya kakaknya, menunjukkan rumahnya yang baru selesai dibangun.
“Iya,” tambah adiknya, “Lihat kami. Lihat orang-orang di kampung ini. Kami tak perlu jauh-jauh pergi. Cukup di kampung saja, uang pun datang juga.”
Mereka tertawa gelak-gelak. Dan apa yang mereka katakan itu menjadi beban pikiran bagi Kohar. Berhari-hari sejak kembali ke kota ia melamun saja. Ia sudah merantau di kota selama hampir lima belas tahun, tapi tanah sejengkal pun ia tak punya.
“Aku harus pergi ke Arab, Supeni,” katanya, “Di Arab, uang banyak.”
Supeni, sekuat ia bisa, melarang Kohar pergi. Namun, tabiat Kohar yang keras membuat Supeni tak bisa berbuat banyak selain merelakan. Kohar mendaftar ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), dan akhirnya mendapat kerja sebagai petugas bersih-bersih di Oman. Hampir hari kepergian Kohar ke Oman, Kohar mengantar Supeni dan anaknya pulang ke kampung. Sampai di kampung, dengan bersemangat Kohar bercerita tentang rencana kepergiannya. Ia pun berangan-angan akan bisa naik haji setiap tahun!
“Beruntungnya engkau, Kohar,” kata Bapaknya, “Setua ini, Bapak tak pernah bisa berhaji.”
Perkataan Bapaknya ini membuat hati Kohar terenyuh.
“Apa Bapak ingin naik haji?” tanyanya.
“Tentu Bapak ingin, Kohar,” jawab bapaknya, matanya menerawang pada tembok bedeng yang mengelupas sana-sini.
“Emak juga ingin, Kohar,” tambah Emaknya.
Kohar terdiam. Tabungannya untuk membeli rumah masih ia simpan. Bukankah sekarang ia tak butuh membeli rumah? Dan bukankah nanti setelah bekerja di Oman, ia akan mendapat banyak uang, dan akan mampu membeli rumah?
“Baiklah,” jawab Kohar dengan tegas. “Bapak dan Emak daftarlah haji segera. Untuk biaya janganlah khawatir.”
Betapa bahagia Bapak dan Emaknya Kohar. Apalagi keesokan harinya, Kohar menyerahkan semua uang tabungannya dan berjanji akan melunasi semua biaya haji dari hasil ia bekerja di Oman. Melihat emak dan bapaknya bahagia, Kohar merasa lega untuk meninggalkan Indonesia.
Selama Kohar merantau di Oman, sebelum orang tuanya sempat pergi berhaji, emaknya Kohar meninggal, lalu menyusul kedua mertuanya wafat pula, bapaknya Kohar pun sakit-sakitan. Upah yang Kohar dapat selama bekerja di Oman habis untuk membiayai pengobatan bapaknya.
Setelah tiga tahun bekerja, Kohar jatuh sakit pula. Awalnya ia batuk-batuk dan demam, tapi batuk itu tak pernah sembuh. Dokter bilang, Kohar sakit karena terlalu sering bekerja dengan cairan kimia. Akhirnya, sebelum ia sempat pergi berhaji, Kohar pun dipecat dan dipulangkan ke kampungnya.
Kohar menjadi beban bagi keluarga. Ia tak mampu lagi bekerja dan menumpang di bedeng sewa bapaknya, bersama Supeni dan anaknya. Seharian kerjanya hanya batuk-batuk saja, bahkan kadang batuknya bercampur darah. Mereka hidup dari hasil penjualan kue-kue basah yang Supeni buat. Satu hari, bapaknya Kohar meninggal. Kohar dan Supeni tak sanggup lagi membayar sewa bedeng dan akhirnya menumpang bergantian di rumah adik dan kakaknya Kohar. Dua bulan setelah kematian bapaknya, Kohar pergi menyusul. Sementara Supeni dan anaknya, yang seumur hidupnya menumpang berteduh pada keluarga Kohar, tak pernah mampu protes ketika diperlakukan selayaknya hamba sahaya. n
Lancaster, Maret 2013
Lampung Post, Minggu, 24 November 2013
KARENA orang tuanya tak pernah mempunyai rumah, hanya tinggal di bedeng sewa reyot belaka, Kohar memutuskan untuk meninggalkan kampungnya dan pergi mengadu nasib ke kota. Ia bermimpi suatu hari ia akan memiliki rumah. Di kota, Kohar bekerja sebagai buruh percetakan. Dari pagi hingga petang, ia bertugas mengganti tinta dan mengepak buku, majalah dan koran yang telah dicetak. Penghasilannya lumayan. Selain untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar sewa kamar, Kohar masih bisa menabung. Sebenarnya tabungannya tidaklah banyak, tapi bagi Kohar yang berasal dari keluarga miskin, dengan memilki tabungan sejumlah itu, hidupnya sudah berkecukupan.
Lewat tiga tahun bekerja, Kohar berpikir untuk membeli rumah di kampungnya. Rumah itu bukan untuk ia tempati, melainkan untuk orang tuanya tinggal sehingga mereka tidak perlu menyewa. Sementara, Kohar merasa cukup tinggal di kamar sewanya yang sempit di kota. Dan selama tiga tahun itu, Kohar senantiasa menepati janjinya kepada orang tuanya, untuk pulang setiap hari raya. Betul. Kohar tidak pernah tidak pulang saat hari raya. Ia merasa menjadi anak durhaka jikalau melanggar janjinya itu.
Sekali waktu, setelah bersilaturahmi hari raya, Kohar berkeliling kampung, mencari-cari rumah yang kiranya bisa ia beli. Namun sayang, sejak ia meninggalkan kampungnya, harga tanah melambung, apalagi harga rumah, masih jauh di atas jangkauannya. Uang tabungannya tidak cukup. Sementara itu, adiknya butuh biaya untuk kuliah. Adiknya itu pintar. Sejak kecil selalu juara kelas dan menjadi kebanggaan keluarga. Sayang sekali kalau adiknya itu tak bisa kuliah dikarenakan tak ada biaya, apalagi ia sudah diterima di sebuah universitas terkenal di Pulau Jawa. Kohar, yang hanya lulusan SMA, akhirnya merelakan tabungannya untuk biaya adiknya masuk kuliah. Kohar pun berjanji pada orang tuanya, setiap bulan ia akan mengirim biaya kuliah, indekos, dan keperluan lain untuk adiknya. Dan Kohar selalu menepati janjinya itu. Betul. Ia selalu membayari semua keperluan adiknya, termasuk membelikan sebuah komputer bekas, yang bagi Kohar merupakan barang mewah.
Selama empat tahun adiknya kuliah, Kohar hidup pas-pasan. Tapi ia tak pernah mengeluh. Bagi Kohar membantu keluarga adalah pekerjaan termulia, membuat ia merasa hidupnya tidaklah sia-sia. Apalagi saat ia melihat adiknya itu diwisuda, mengenakan jubah wisudawan berwarna hitam dan kuning cemerlang. Betapa gagah, pikir Kohar, dengan bangga. Kebanggaan Kohar bertambah ketika adiknya diterima bekerja sebagai pegawai kelurahan di kampung mereka.
Sekarang kewajiban pada adiknya telah lepas, Kohar mulai menabung lagi. Impian untuk memiliki rumah masih terpatri di benaknya. Tapi, setelah ulang tahunnya yang ketiga puluh, Kohar merasa ia telah siap untuk menikah. Kohar ingat kata-kata ustaz di kampungnya dulu, bahwa pernikahan itu sebaiknya disegerakan. Kohar pun memutuskan untuk menikah. Karena ia tidak terlalu suka dikritisi dan dicermahi orang, Kohar tidak ingin menikahi perempuan cerewet. Dan kebetulan, di kampungnya ada perempuan cantik, bermata bulat, berbibir penuh dan bertubuh semampai, yang bisu. Perempuan itu bernama Supeni. Saat pulang hari raya, Kohar menyampaikan niatnya itu pada orang tuanya. Awalnya, orang tuanya Kohar menolak.
“Mengapa harus dengan Supeni?” tanya emaknya.
“Karena perempuan bisu tidak bisa cerewet, Mak. Tidak bisa banyak protes.”
Akhirnya, setelah menimbang-timbang baik dan buruk, emaknya Kohar mengabulkan keinginan Kohar.
Saat orang tuanya menyampaikan niat Kohar pada keluarga Supeni, niat itu disambut dengan senang. Sangat senang sehingga keluarga Supeni menyanggupi semua biaya pernikahan. Tentu ini meringankan beban Kohar. Tabungan yang sudah dia ambil tak jadi dipakai. Kohar berencana menggunakan uangnya sebagai uang pangkal pembelian rumah. Namun, selepas malam pertama, kakaknya Kohar meminta tolong, ia butuh tambahan uang untuk membeli tanah. Tanpa pikir panjang, Kohar meminjamkan uang tabungannya. Toh, ia bisa menabung lagi, pikirnya.
Kohar mengajak Supeni ke kota. Mereka tinggal di kamar sewaan yang sempit. Kamar itu tempat mereka tidur, makan, dan mencuci piring. Sementara untuk mandi dan buang hajat, mereka harus pergi ke kamar mandi umum. Supeni tidak pernah protes. Ia menerima keadaan Kohar apa adanya. Lebih lagi, ia sudah bersyukur ada orang yang mau menikahinya. Tapi, kemudian Supeni mengandung, dan layaknya seorang ibu, ia ingin membuat sarang yang pantas bagi anaknya kelak. Dengan tulisan dan gerak tangan, Supeni berusaha menyampaikan maksudnya.
“Punya rumah?” tanya Kohar.
Supeni mengangguk, menunjuk pada perutnya yang gendut.
Kohar setuju, mereka harus kredit rumah di kota. Rumah kecil saja, asal cukup untuk tempat anak mereka tumbuh. Setelah menghitung-hitung tabungan, ditambah dengan uang yang ia pinjamkan ke kakaknya, dan membatalkan rencana pulang kampung untuk berhari raya, Kohar yakin bisa membayar uang muka pembelian rumah sangat sederhana. Dengan bersemangat ia mengirim surat kepada kakaknya, meminta uangnya kembali.
Sebulan kemudian, bukan wesel yang tiba, tapi sepucuk surat dari kakaknya: uangnya sudah diserahkan pada orang tua mereka, dan menurut penjelasan emak, uang itu sudah terpakai.
Kohar, tentu tak bisa berbuat apa-apa. Jika orang tuanya butuh uang itu, sudah seharusnya ia memberi. Demikian ia menjelaskan pada Supeni, dan bahwa mereka tak jadi membeli rumah. Supeni yang bisu, hanya diam menerima, dan berusaha sebaik-baiknya menjadikan kamar sempit mereka sebagai tempat untuk anak mereka tumbuh.
Ketika anak mereka berumur empat tahun, tabungan Kohar hampir cukup untuk membayar uang muka rumah. Namun, selama empat tahun itu, mereka tidak pernah pulang ke kampung untuk berhari raya, mereka hanya menabung saja. Karena itu, hari raya kali ini mereka memutuskan untuk pulang, menggunakan sedikit uang dari tabungan. Mereka sudah sangat rindu bertemu keluarga. Nanti mereka bisa menabung lagi, pikir Kohar.
Di kampung, banyak hal yang berubah. Adiknya Kohar telah memiliki rumah, demikian juga kakaknya. Bahkan kakaknya sudah mengkredit mobil pula. Ramai-ramai mereka mencemooh Kohar.
“Apalah yang kamu dapat dari kerjamu jauh-jauh di kota, Kohar?” tanya kakaknya, menunjukkan rumahnya yang baru selesai dibangun.
“Iya,” tambah adiknya, “Lihat kami. Lihat orang-orang di kampung ini. Kami tak perlu jauh-jauh pergi. Cukup di kampung saja, uang pun datang juga.”
Mereka tertawa gelak-gelak. Dan apa yang mereka katakan itu menjadi beban pikiran bagi Kohar. Berhari-hari sejak kembali ke kota ia melamun saja. Ia sudah merantau di kota selama hampir lima belas tahun, tapi tanah sejengkal pun ia tak punya.
“Aku harus pergi ke Arab, Supeni,” katanya, “Di Arab, uang banyak.”
Supeni, sekuat ia bisa, melarang Kohar pergi. Namun, tabiat Kohar yang keras membuat Supeni tak bisa berbuat banyak selain merelakan. Kohar mendaftar ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), dan akhirnya mendapat kerja sebagai petugas bersih-bersih di Oman. Hampir hari kepergian Kohar ke Oman, Kohar mengantar Supeni dan anaknya pulang ke kampung. Sampai di kampung, dengan bersemangat Kohar bercerita tentang rencana kepergiannya. Ia pun berangan-angan akan bisa naik haji setiap tahun!
“Beruntungnya engkau, Kohar,” kata Bapaknya, “Setua ini, Bapak tak pernah bisa berhaji.”
Perkataan Bapaknya ini membuat hati Kohar terenyuh.
“Apa Bapak ingin naik haji?” tanyanya.
“Tentu Bapak ingin, Kohar,” jawab bapaknya, matanya menerawang pada tembok bedeng yang mengelupas sana-sini.
“Emak juga ingin, Kohar,” tambah Emaknya.
Kohar terdiam. Tabungannya untuk membeli rumah masih ia simpan. Bukankah sekarang ia tak butuh membeli rumah? Dan bukankah nanti setelah bekerja di Oman, ia akan mendapat banyak uang, dan akan mampu membeli rumah?
“Baiklah,” jawab Kohar dengan tegas. “Bapak dan Emak daftarlah haji segera. Untuk biaya janganlah khawatir.”
Betapa bahagia Bapak dan Emaknya Kohar. Apalagi keesokan harinya, Kohar menyerahkan semua uang tabungannya dan berjanji akan melunasi semua biaya haji dari hasil ia bekerja di Oman. Melihat emak dan bapaknya bahagia, Kohar merasa lega untuk meninggalkan Indonesia.
Selama Kohar merantau di Oman, sebelum orang tuanya sempat pergi berhaji, emaknya Kohar meninggal, lalu menyusul kedua mertuanya wafat pula, bapaknya Kohar pun sakit-sakitan. Upah yang Kohar dapat selama bekerja di Oman habis untuk membiayai pengobatan bapaknya.
Setelah tiga tahun bekerja, Kohar jatuh sakit pula. Awalnya ia batuk-batuk dan demam, tapi batuk itu tak pernah sembuh. Dokter bilang, Kohar sakit karena terlalu sering bekerja dengan cairan kimia. Akhirnya, sebelum ia sempat pergi berhaji, Kohar pun dipecat dan dipulangkan ke kampungnya.
Kohar menjadi beban bagi keluarga. Ia tak mampu lagi bekerja dan menumpang di bedeng sewa bapaknya, bersama Supeni dan anaknya. Seharian kerjanya hanya batuk-batuk saja, bahkan kadang batuknya bercampur darah. Mereka hidup dari hasil penjualan kue-kue basah yang Supeni buat. Satu hari, bapaknya Kohar meninggal. Kohar dan Supeni tak sanggup lagi membayar sewa bedeng dan akhirnya menumpang bergantian di rumah adik dan kakaknya Kohar. Dua bulan setelah kematian bapaknya, Kohar pergi menyusul. Sementara Supeni dan anaknya, yang seumur hidupnya menumpang berteduh pada keluarga Kohar, tak pernah mampu protes ketika diperlakukan selayaknya hamba sahaya. n
Lancaster, Maret 2013
Lampung Post, Minggu, 24 November 2013
No comments:
Post a Comment