Sunday, December 30, 2012

Penjinak Harimau

Cerpen Aris Kurniawan


JADE belum mati. Dia hanya tak mau bertemu denganmu. Harimau dalam tubuhnya akan mengaum mendadak, haus darah, ingin menerkam, jika mengingatmu. Tak bisa dibayangkan bila bertemu. Dia terbang menyeberangi benua untuk membunuhmu dalam kepala dan aliran darahnya; menjinakkan harimau dalam tubuhnya.  Di pulau terindah di dunia ini dia menemukannya. Dia melukis saban pagi. Saban sore. Saban malam. Dia melukis perjalanan yang ditempuhnya, orang-orang yang dijumpainya, pohon-pohon yang pernah menaungi tubuhnya, kereta api, bis, pesawat…

Warna-warna kelam mendominasi lukisan-lukisannya. Aku menduga itulah warna yang tepat buat membenam sepenggal kisah hidupnya yang pedih. Langit kusam. Lautan suram. Hutan-hutan, bebungaan, taman-taman, bahkan matahari tak ada yang memancarkan warna cerah di atas kanvasnya. Sungguh, lukisan-lukisan yang menjalarkan gelisah pada perasaan siapa pun yang menatapnya, sama seperti pelukisnya. Seakan Jade sengaja menjalarkan rasa gelisahnya pada orang-orang. Kini aku tahu ada orang yang memelihara kegelisahan.

Tak mudah memahami perempuan. Tapi Jade jauh lebih rumit lagi. Setidaknya buatku. Hampir setahun aku mengenalnya, tapi hanya sebagian kecil saja riwayat hidupnya yang bisa kuendus melalui sepatah dua patah kata yang meluncur dari bibirnya yang juga kelam oleh timbunan nikotin. Selain warna-warna kelam, itulah satu-satunya fakta yang dapat kutelusuri untuk menemukan jejak masa lalunya.

Aku tak pernah bertemu dengan Jade sebelumnya. Mungkin saja dia pernah berkeliaran di pantai itu, atau keluyuran di sepanjang jalan, keluar masuk toko buku, toko kaset, nongkrong di kafe, toko cenderamata, yang bertebaran di kota wisata ini. Dan tentu sangat mungkin dia pernah masuk ke toko bunga tempatku bekerja, membeli bunga. Pernah bertanya padaku tentang mawar, anyelir, teratai, kenanga…tapi aku tak mengingatnya. Banyak sekali pengunjung toko bunga. Aku tak mungkin mengingatnya satu persatu. Jade tidak  memiliki banyak ciri khas yang menonjol pada tampilan fisiknya. Rambut keriting panjang keemasan. Sepasang matanya dalam dan berkantung. Tulang pipinya tinggi seperti struktur wajah model yang kerap kaulihat di majalah. Ada tato salib di punggung telapak tangannya yang pucat. Gelang dengan bermacam jenis dan bahan di kedua pergelangan tangannya yang kurus, mungkin agak sedikit membedakannya dari pengunjung lain. Tapi itu tak akan mampu kutengarai di tengah keramaian kota dan kesibukanku melayani sekian banyak pembeli bunga.

Aku baru dapat mengingatnya setelah dua kali mengantarkan bunga pesanannya pada suatu sore yang tidak terlalu cerah. Wajah Jade yang murung  saat melihat kedatanganku.

“Terima kasih,” hanya itu yang diucapkannya dengan intonasi terdengar datar dan kaku. Pada kedatanganku yang kedua, pada pekan berikutnya, dia menawariku minum teh yang rupanya sudah disiapkannya sebelum aku datang. Tentu aku enggan menampik. Aku menghirup teh dengan sedikit gugup sembari melihatnya melukis. Ditangannya kuas itu bagai lidah yang menari-nari di permukaan kanvas. Dia memindahkan objek bunga ke dalam kanvas.

“Kamu suka lukisan ini,” tanyanya ketika memergoki aku menatap lukisannya dengan seakan-akan serius.        

“Ya, aku suka lukisan bunga,” sahutku sekenanya.

“Kamu bekerja di toko bunga itu?”

“Ya…,” aku kebingungan harus menyebut apa di depan namanya.

“Saya Jade. Panggil Jade saja.”

“Sudiarja,” sebutku, “orang biasa memanggilku Arja”

Sejak itu aku rutin mengantar bunga pesanannya. Dia memesan semua jenis bunga yang ada di tokoku. Tapi yang lebih sering adalah bunga mawar. Semua bunga-bunga itu hanya untuk dilukisnya. Setelah itu dia buang di tong sampah yang selalu tersedia di studionya di lantai dua. Meski tanpa percakapan panjang dan seru, diam-diam kami merasa saling dekat satu sama lain. Dekat dalam keasingan kami masing-masing. Tapi aku tahu ada perasaan bahagia saat berada di rumahnya, berada di dekat Jade. Kurasa dia sepantar bibiku. Hampir saban minggu aku datang mengantar bunga pesanannya dan melihatnya melukis. Aku jadi hapal gerakan-gerakannya kala melukis. Dan aku mulai menyukai lukisan. Aku selalu mengantar bunga lebih banyak dari yang dia pesan.

Jade tinggal sendirian di rumah itu. Dia beli dari seorang petani. Rumah itu menghadap hamparan persawahan yang berundak-undak. Sementara halaman belakangnya, menghadang hutan kecil yang rimbun. Tampak biru kala menjelang malam. Aku kerap membayangkan betapa sepi hidup tanpa teman kecuali lukisan. Setiap aku datang mengantarkan bunga ia selalu tengah melukis. Tangannya tampak belepotan cat. Kadang warna cat menodai tangkai cangkir teh yang selalu disuguhkannya padaku. Dia berjalan tenang menyambut dengan ekspresi yang tak pernah berubah. Sekali dia pernah memberiku tisu untuk menyeka keringat di wajahku. Ini pun dilakukannya tanpa kata-kata. Maka tak kutepiskan jauh keinginan bertanya apakah dia tidak merasa sepi dan bosan sendirian. Jade membagi rumahnya menjadi lima ruangan. Dua ruangan di lantai dua dan tiga ruangan di lantai bawah. Kamar tidur dan studio tempatnya melukis di lantai dua. Ada perpustakaan di lantai satu, dua ruangan lainnya dibiarkan kosong membentang. Tampak tenang dan menyenangkan.

Jade pernah memintaku jadi model lukisannya. Dia mengarahkan aku duduk sejauh dua meter dari kanvas.

“Lepas topimu,  Arja.”

“Begini, Jade?” kataku, kikuk.

“Santailah,” ujarnya mengarahkanku.

Suatu hari, tiga bulan sejak pertemuan pertama kami, Jade memintaku menemaninya pergi ke pantai, mengunjungi candi, melihat-lihat pura dari jarak dekat, menyusuri toko-toko cenderamata. Dia suka duduk berlama-lama menghadap pantai dengan mata mengerjap-ngerjap resah. Membiarkan aku dalam kebisuan. Seharian kami melakukan perjalanan, tapi hanya beberapa kalimat meloncat dari mulutnya untuk hal-hal yang mendesak. Misalnya meminta pertimbanganku saat memilih tas rajut di Pasar Seni Sukawati.

Sesampai di rumah, setelah agak lama tertegun menatap lukisan yang baru diselesaikannya kemarin, untuk pertama kalinya dia bilang tentang harimau di dalam tubuhnya, yang akan mendadak mengaum, haus darah, jika mengingatmu.

“Siapa dia Jade? Apakah dia musuhmu?” begitulah aku bertanya dengan sedikit ragu-ragu. Waktu itu aku mengira ia akan menguak riwayat masa lalunya. Ternyata perkiraanku meleset. Dia hanya mengatakan, “Seseorang dari masa laluku. Kau tak akan mengerti, Arja.”

Aku mengurungkan niat bertanya lebih lanjut. Karena aku melihat dia tak menginginkan itu. Tapi tak ada yang bisa mengekang pikiranku untuk mulai menerka-nerka bahwa dia memendam dendam yang besar pada seseorang. Sebuah dendam karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Selebihnya situasi tidak berubah. Kembali ke semula. Tak ada percakapan panjang. Hanya bahasa yang diantarkan lewat gerak tubuh kami masing-masing. Bahkan sampai sejauh itu dia tak pernah memanggil namaku secara lengkap. Aku pun hanya memanggilnya Jade. Karena hanya nama depannya itu yang aku tahu. Huruf F di belakangnya aku tak tahu kependekan dari apa. Mungkin Foster, atau Fitzgerald, atau Fonda. Semua hanya perkiraan saja.

Seperti biasa dia mengucapkan terima kasih dan senyum sekadarnya sebelum aku meninggalkan rumahnya. Dia menatapku dengan semacam permintaan maaf karena tak membagi masa lalunya padaku. Apakah karena aku baru tujuh belas tahun? Tapi sejak perjalanan itu aku diburu keinginan untuk mengetahui seseorang itu sekalipun tak tahu apa yang akan aku lakukan nanti jika mengetahui seseorang itu.  Aku tak tahu harus merasa lega atau sebaliknya saat tak lama berselang, akhirnya dia menceritakannya.

“Aku mencintai dia sebesar cinta dia padaku. Tapi pada saat bersamaan harimau dalam tubuhku mengaum, ingin menerkam dan mencabik dirinya. Itu yang menyebabkan aku di sini,” bisiknya.

“Dia kekasih gelap ibuku.” Sorot matanya terluka.

“Jade,” ucapku. Aku mencoba memahami kalimatnya yang membingungkan.

“Aku tak bisa mencintai siapa pun selain dia,” desisnya.
Aku mendengar nada bersalah pada kalimat itu. Ribuan pertanyaan berdesakan di kepalaku. Aku pikir hebat sekali kamu. Mampu menerbitkan dua perasaan saling berlawanan pada saat bersamaan dalam benak Jade.

Dua minggu aku absen mengantar bunga ke rumahnya. Beberapa kali Jade menelpon ke toko, menanyakan bunga pesanannya. Aku selalu menjawab habis. Aku menunggu dia mengundangku. Aku ingin datang bukan sebagai pengantar bunga. Aku ingin datang sebagai diriku sendiri. Tapi tak ada telepon untuk itu. Jade hanya menginginkan bunga, seorang pengantar bunga yang dengan sukarela memperhatikanya melukis. Betapa menyedihkan.

“Kamu sakit, Arja?” tanyanya ketika aku muncul lagi mengantarkan bunga.

“Aku baik-baik saja, Jade. Kuharap kamu juga. Bisa melupakan seseorang itu.”

Jade menatapku sebentar. Lalu meneruskan kegiatannya melukis. Sementara dadaku dipenuhi gemuruh kekecewaan. Aku tak menyentuh teh yang dihidangkannya. Aku merasa harimau dalam tubuh Jade kini tumbuh pula di tubuhku. Ingin menerkammu. Apakah kamu telah memperlakukan Jade seperti dia memperlakukan aku? Sekuat daya aku menjinakkan harimau di tubuhku.

“Siapa lelaki itu, Jade? Katakan padaku. Biar kucekik dia” kataku dengan nada tinggi, yang bahkan aku sendiri terkejut mendengarnya. Sesuatu meliuk di udara basah. Kusadari ini mungkin hari yang salah. Aku rasa harimau dalam tubuhku tak mampu kujinakkan. Melontarkanku dari dadaku sendiri. Aku merenggut bahu Jade.

“Siapa laki-laki itu?”

“Apa yang kamu lakukan, Arja!” Jade meronta, gemetar.  “Kamu mabuk?” masih sempat kudengar kalimat itu, sebelum aku berhasil menikam harimau di tubuhku, lantas pergi berlari.

Jade mengejarku sampai pintu. Tapi dia tidak memanggilku. Harimau dalam tubuhku meronta-ronta, dia mengajakku kembali ke rumah Jade. Merobeknya. Tapi kaki-kaki kurusku terus berlari seperti terbang. Pohon-pohon menjadi saksi kejadian menyedihkan itu. Udara bagai penuh debu yang bikin sesak napasku.

Jade belum mati. Dia hanya tak ingin bertemu denganmu. Suatu sore, sepekan setelah peristiwa itu dia menemuiku di toko bunga. Meski tanpa kata-kata, aku tahu Jade ingin mengucapkan pamit padaku. Jade pergi untuk membunuh harimau dalam tubuhnya. Dia bilang kamu telah datang di pulau ini untuk mencarinya. Sekarang, seperti yang kamu lihat, rumah ini kosong. Dan maaf, aku tak bisa menjinakkan harimau di tubuhku. Berbaringlah sementara di ruangan studio ini. Nikmati lukisan-lukisan yang ada di sini.  Biarkan kusiapkan liang untukmu di belakang rumah. Santai saja. Kamu masih punya cukup waktu.

Denpasar-Jakarta Desember 2012


Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012



Sunday, December 23, 2012

Di Antara Luka dan Tawa

Cerpen Magenta Helmera


Tawa bocah itu memecah senja yang baru saja bergeser menjadi malam. Celoteh suara Bintang membuatku tak tega memenggal kegembiraan yang terpancar dari sorot mata polos yang selalu berbinar setiap kali sedang bersama Hang, lelaki yang telah sekian kali menancapkan ujung pisaunya yang tajam ke jantungku. Telah berulang dan terus berulang. Sehingga kata maaf seperti hanya aksesoris berharga recehan.
                   
***

MEMANG ini sungguh tak adil, setidaknya bagiku situasi ini membuatku tak bisa memilih dan menentukan sikap. Aku ingin Hang pergi jauh dari kehidupanku. Aku tak ingin melihat wajahnya yang penuh kepura-puraan. Senyum yang ia berikan pada Bintang di mataku hanyalah semacam kemunafikan. Yang aku tak suka ia selalu berusaha memanfaatkan Bintang agar aku selalu bisa memberi maaf padanya. Dan memberi tempat setiap kali ia pulang.

Sejak pertengkaran besar itu, aku tak pernah lagi bertanya apa-apa lagi atas segala sepak terjangnya. Bahkan ketika ia tak pulang pun perasaan ini tak lagi risau memikirkan kemana dia pergi. Rasa cemburu yang dulu gampang terbakar, sejak peristiwa itu, melihat bercak lipstick di kerah kemejanya, rasa cemburu itu hilang entah kemana. Aku justru merasa lebih tenang  jika Hang tidak berada di rumah. Setidaknya aku bisa konsentrasi mengerjakan pesanan-pesanan baju yang hasilnya kupergunkaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sebagai istri yang dinikahi Hang di catatan sipil, perkawinan kami tidak dilengkapi dengan pemberkatan di gereja dimana dulu Hang kerap kesana. Belakangan aku tahu, Hang bukan pemeluk agama yang taat. Ia datang ke gereja saat ingat saja. Meski begitu terhadap Bintang aku selalu menutup-nutupi setiap kali ia bertanya mengapa papanya tak ikut ke gereja.

“Mama…apakah papa akan merayakan natal bersama kita?” Tanya bocah itu sambil mendekatiku. Tangan mungilnya memegang baju yang sedang kujahit.

“Ini baju Bin? “ tanyanya lagi sambil mengangkat kemeja berukuran kecil. Natal kali ini Bintang memilih sendiri corak yang ia inginkan. Bintang juga ikut-ikutan demam Jokowi.

Aku tersenyum mengangguk sambil melepas kancing kemeja baru itu. Bintang selalu gembira mencoba baju yang sudah selesai kujahit. Dan berharap Bintang tak bertanya lagi tentang hal yang sama : apakah papa natal bersama kita?
“Baju Bin kembalan ya dengan baju papah?” Tanya Bintang lagi, bicaranya yang masih cedal. Mata polosnya penuh harap,  membuatku tak tega untuk bilang “tidak”.  Dengan cepat meski ragu , aku menggerakan kepala member isyarat mengangguk, meski dengan penuh keyakinan keingian Bintang seperti pungguk yang merindu rembulan.

“Papa kemungkinan besar akan memakai baju yang kembar dengan Bin meski tak sama persis…” ujarku seperti ingin meralat isyarat anggukan tadi. Rasa sakit menjalar ke sekujur tubuhku. Aku tak ingin anakku menangis karena keinginannya merayakan hari natal bersama papanya tidak terkabul.

Bintang diam. Seperti sedang mencerna kalimatku yang baginya mungkin membingungkan.

“Papa pasti gak suka dengan baju buatan mama!” teriaknya  tiba-tiba sambil mendekap baju yang mau dicobanya.

“Papaa jahat ya…padahal baju buatan mama pasti keren!”

Ya, Tuhan…mengapa Bin tiba-tiba seberang itu? Aku tak pernah mengajarinya membenci Hang. Aku selalu memberi kesan baik untuk sosok laki-laki yang selalu dirindukan anakku. Setiap malam ia selalu bertanya mengapa papanya belum pulang. Dan aku selalu berusaha menenangkannya dengan melakukan kebohongan-kebohongan kecil. Yang terpenting bagiku adalah menjaga agar buah hatiku hatinya tak terluka yang akan membuatnya tercedera sampai dewasa kelak.

Nyaris aku terisak. Anak sekecil ini saja bisa menghargai pekerjaannya. Mataku memanas. Air mata sudah mendesak-desak ingin keluar. Ah, aku tak boleh menangis di depan anakku. Aku harus tegar agar ketegaran ini bisa menguatkan diriku dan esok anakku tak menjadi anak yang cengeng.

“Bin gak boleh bilang begitu. Papa tidak jahat…hanya papa belum punya waktu yang banyak untuk temani kita di rumah.” Kataku cepat sebelum kekecewaan meracuni jiwanya.

“Papa ..tak seperti papanya teman Bin…” ujar bocah itu lagi dengan suara pelan, lalu dengan cepat disembunyikan wajahnya ke pangkuanku. Hmm aku tahu ia tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Aku selalu mengajari Bintang agar menghadapi hidup dengan senyum. Setiap kali ia bertanya tentang papanya selalu saja aku berusaha untuk memberikan jawaban yang menyenangkan hatinya.

“Papa adalah yang terbaik untuk kita, Bin. Meski papa sering tidak bersama kita, percayalah, Papa sedang bekerja untuk kita.”

Maafkan, Bin…mama terpaksa berbohong. Dirimu masih terlalu kecil untuk memahami persoalan orang dewasa. Mama juga tak ingin kamu membenci papamu.

“Kenapa papa tidak tinggal di rumah kita?”
Duh…haruskah kujawab papamu sedang tergila-gila pada perempuan kaya? Papamu tak kuat hidup sederhana? Papamu di luar sana menjadi “gula-gula” perempuan kaya yang kesepian?

Tentu tidak! Aku tak boleh melukai perasaan Bintang. Aku tak boleh bisa jujur padanya. Mungkin untuk kali ini bohong adalah yang terbaik.

“Ma…kalo papa gak pernah pulang, Bin pingin papa baru saja!”

Aku tersenyum mendengar celotehnya yang sungguh di luar dugaan. Dari mana ia temukan kalimat ajib itu? Sungguh ini permintaan yang tak seharusnya kutanggapi serius.
“Bin pingin seperti teman-teman yang papanya selalu ada. Bin ingin main sama papa. Tapi papa tak pernah pulang.” Katanya memelas.

Kupandangi wajah Bin yang sedih. Selama ini kupikir ia enjoy saja hanya berdua denganku.  Jika sedang berduaan, ia seperti menjelma menjadi sahabat dan teman ngobrol yang asyik. Padahal usianya baru 4 tahun.  Ia hampir tak pernah rewel meski waktuku tak banyak untuk bermain atau megajaknya jalan-jalan.

Aku tahu Bin tidak serius. Kadang acara televisi membuat anak-anak seusia Bintang mendadak menjadi dewasa.
               
***

MELIHAT keceriaan Bintang membuat rasa sakit di hatiku bisa kuabaikan. Aku tak ingin merusak kegembiraan Bintang dengan membatasi kebersamaan mereka. Mungkin Hang memang bukan suami yang baik untukku, tetapi kehadirannya dapat membuat anakku gembira. Meski kadang Bintang memperlihatkan kemarahannya pada Hang, tetapi binar di matanya tidak bisa bohong, dia sangat gembira bila sedang berada di pelukan Hang. Aku tahu Hang berusaha menjadi bapak yang baik dan berusaha keras agar anaknya menyayanginya.

“Mama bikinkan pisang goreng dan teh,” ujarku mendekati mereka dengan membawa nampan berisi sepiring pisang goreng dan teko mungil berisi teh panas dan dua cangkir kecil.
“Kok cangkirnya hanya dua?” ujar Hang sambil menebar senyum yang dulu selalu  membuatku terpesona.

Kubiarkan pertanyaannya menguap di senja yang mendung. Dengan cekatan kutuang teh yang masih mengepul ke cangkir mereka. Aroma pisang goreng membuatku terlempar ke senja-senja yang manis ketika hubungan kami masih mesra.
“Duduklah disini bersama kami…,” Hang menyentuh tanganku. Menarik dengan halus tanganku agar lebih dekat dengannya. Aku menurut saja ketika Hang memeluk bahuku. Aku hanya ingin Bintang tertawa dan menikmati senja dengan gembira.
“Mamah deket Bin aja ya? Bin mau dipeyuk mamah…”

Jari-jari mungil itu menggenggam jemariku dengan kuat. Rasa hangat menjalar ke sekujur tubuhku. Genggaman Bintang seperti memberi enerji positif.

“Oke…oke mama matikan kompor dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban mereka aku bergegas menuju dapur. Entah mengapa aku belum bisa menerima perlakukan Hang yang terlalu sering melukai perasaanku. Betapa mudahnya ia mengganggap apa yang dilakukannya hanya sebagai kekhilafan. Dia bisa pulang ke rumah kapan saja tanpa merasa bersalah. Bercanda dengan Bintang dan bersikap seolah ia suami yang baik dan bapak teladan.

“Aku ingin kita tetap mesra di depan Bintang, ma” ujar Hang pelan.

Tiba-tiba ia sudah berada di dapur. Bisa jadi sudah cukup lama ia memperhatikanku yang sengaja menyibukan diri di dapur. Bahan masakan yang akan kuolah untuk makan malam memang sudah kukeluarkan dari lemari es. Aku akan memasak makanan kesukaan Hang dan Bintang. Sop kepiting dan perkedel kentang.

Kulirik Hang melirik daging kepiting yang masih membeku.
Ya, Tuhan, mengapa rasa sayang dan cinta ini masih saja bergulung-gulung di dadaku? Aku bisa saja berhenti memikir Hang jika ia tidak di dekatku. Tetapi mengapa setiap berada di dekatnya hati ini tak mau diajak kompromi.
Getar-getar itu masih sama ….

“Aku juga berpikir begitu meski kita tak seperti dulu lagi,” jawabku singkat dan terdengar dingin.

“Aku ingin papa merayakan natal bersama kami,” ujarku dengan suara lirih. Berat rasanya mengucapkan kalimat itu. Rasanya seperti sedang mengemis belas kasihan Hang. Tetapi aku rela melakukan apa saja demi kebahagian Bintang. 
Hang menatapku. Aku tak bisa membaca sorot matanya. Hatiku gamang.

“Aku tak memaksamu. Jika memang tak bisa aku tidak akan membiarkan Bintang kecewa. Aku bisa membawanya liburan.” Kataku cepat dan mungkin terdengar seperti mengancam.
“Akan kuusahakan,” jawabnya pelan. Lalu berbalik dan meninggalkanku sendirian.

***

BINTANG sibuk menggantung hiasan natal di pohon natal mini yang kubikin sendiri. Untuk membeli sebuah pohon natal mini saja aku tak mampu. Tetapi keinginanku menggembirakannya  tak bisa dikalahkan oleh keadaan. Entah sudah berapa lama Hang tak memberi nafkah  pada kami. Bagiku selama masih mampu aku tak terlalu risaukan soal itu. Yang terpenting bagiku adalah membahagiakan anakku.
Sambil bersenandung entah lagu apa, Bintang menikmati kesibukan yang ia ciptakan sendiri. Memandangi setiap bentuk benda yang ingin digantungnya lalu bibir mungilnya sibuk bertanya ini dan itu. Aku meladeninya dengan sabar.

“Pohon kita bagus ma,” kata Bin sambil memandangi kelip lampu kecil yang dipasang Leka adikku. Aku tak mau Bin ribut soal lampu dan merasa kehilangan papanya karena tak ada yang memasang lampu kecil warna-warni itu.

“Terima kasih sayang, itu mama buat sendiri lho…” kataku sambil membelai pipinya.

“Mama hebat…,” pujinya dengan mata yang memancarkan ketulusan lalu dengan cepat mendaratkan ciuman di pipiku. Mataku berkaca-kaca mendapat pujian dan ciumannya. Ia adalah hartaku satu-satunya. Untuk dialah sampai saat ini aku bertahan atas sikap Hang yang seenaknya.

“Bin…cayang mama,” ucapnya lirih sambil menepuk-nepuk tanganku.

“Mama juga sayang, Bin, ayo kita pasang lagi hiasannya,” ujarku dengan nada riang. Jangan sampai Bin larut dalam keharuan. Nanti ia bertanya lagi tentang papanya yang belum juga muncul.

“Abis pasang hiasannya, boyeh Bin bantu mama masak?” ujarnya tiba-tiba.

Aku tertawa dengan menahan haru. Aku harus terus gembira di depannya. Tak boleh ada air mata. Aku mengangguk sambil meletakan beberapa hadiah yang telah kubungkus dan kuberi pita warna-warni. Semuanya menggambarkan keceriaan. Bintang harus tertawa dan melonjak kegirangan ketika membuka hadiah-hadiah itu.

“Boleh dong, siapa takut?”

Memasak bersama Bintang tentu kegembiraan yang tak ternilai. Dengan berkutat di dapur sambil mendengar celoteh dan semua pertanyaannya tentang bahan masakan tentu akan membunuh kegelisahan menunggu Hang. Entah mengapa aku sangat berharap Hang datang membawa hadiah natal untuk kami dan memberi kecupan bertubi-tubi.

Ah, kenapa juga mengkhayal sesuatu yang tak pasti?
Natal selalu saja menyisakan luka dan kesedihan. 
Tiba-tiba terdengar suara bel. Seperti dihipnotis Bintang menghentikan celotehnya. Ia lalu memandangku. Aku pun melakukan hal yang sama. Tetapi tak satu pun dari kami bergerak ke depan untuk membuka pintu.

Aku tahu Bintang tak berani membuka pintu. Ia seperti punya firasat yang datang bukan papanya.
Kami tetap di dapur. Suara bel berbunyi lagi. Kami kembali sibuk di dapur seperti ini mengabaikan suara bel yang kian mengganggu. Aku tahu bukan Hang yang datang.  Ia bisa masuk rumah kapan saja ia mau tanpa harus mengetuk pintu atau memencet bel.

Aku menggendong Bintang dan memeluknya.

“Ayo mandi…kita jemput papa.”

Aku tak tahu apakah keputusanku ini benar. Menjemput Hang mungkin akan merendahkan diriku, tetapi aku ingin anakku bahagia di malam natal bersama papanya. (Natal indah untukmu EMP)


Lampung Post, 23 Desember 2012

Sunday, December 16, 2012

Dalam Peluk Badai

Cerpen Tita Tjindarbumi


Luka itu tergambar jelas di mata perempuan renta itu. Kerut di wajahnya tak bisa berbohong betapa sarat beban hidupnya. Aku masih ingat dan selalu ingat masa tuanya selalu ingin berbicara betapa hidup ini selalu melulu penuh luka. Luka yang tercecer di sepanjang perjalanan hidupnya.
TAK mendapat restu dan harus pergi dari rumah karena tak mendapat restu dari orang tua adalah derita yang menguras air mata tak berkesudahan. Mencintai lelaki yang tak disetujui orang tua dengan alasan yang tak jelas membuat perempuan itu harus memilih, menjadi terasing dan harus belajar dengan susah payah menjadi bagian dari keluarga yang tak dikenalnya.

Sungguh cinta membuat hidup perempuan itu berubah drastis. Kehidupan mewah anak pejabat harus secepatnya dilupakan jika tidak ingin berkubang lebih lama dalam dunia mimpi. Kebiasaan memakai baju bagus dan naik turun mobil harus dienyahkan dari benak. Dunianya sekarang seperti jungkir balik. Perempuan itu kini bukan lagi anak pejabat, ia kini istri seorang lelaki biasa, lelaki yang lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan mencari uang demi kehidupan barunya sebagai kepala keluarga. Meski terkadang pulang dengan tangan hampa.

Cinta adalah satu-satunya milik perempuan itu. Ia di usia yang masih muda harus menerima hidup apa adanya. Tak bisa lagi ia menikmati kehidupan yang selalu diwarnai dengan limpahan harta. Kini menjadi seorang istri ia harus belajar menerima keadaan. Untunglah ia mendapat keindahan yang tak ia rasakan di istana bapaknya yang pejabat. Di rumah barunya, keluarga barunya, ia cukup dilimpahi perhatian dan kasih sayang. Di keluarga barunya ia belajar hidup yang sebenarnya.

SUATU malam aku terbangun karena isak tertahan perempuan itu. Dari balik guling yang menutupi wajahku, kulihat matanya tak hanya berkaca-kaca seperti biasanya. Kini air di kedua telaga itu telah merembes perlahan ke pipinya yang tirus.

Aku ingin memeluknya, ingin bertanya mengapa ia menangis. Meski pikiranku sibuk menduga-duga apa penyebab perempuan itu menangis, tetap saja aku tak mampu melakukan itu. Aku tak ingin membuatnya semakin sedih. Sudah tentu ia tak akan menangis dengan wajah sekeruh itu jika hatinya tidak terluka. Lalu mengapa?

Aku selalu saja bertanya, mengapa dan mengapa tanpa berani bertanya padanya. Rasa takut ini sudah bersemayam sejak aku mengalami bagaimana rasa ketakutan itu menghantui pikiran dan sepanjang bayangku. Lelaki itu selalu saja keukeh dengan pendirian dan prinsip-prinsipnya. Sikap yang sama sekali tak bisa kupahami. Lelaki itu pemarah, membuatku bertanya sebegitu besarkah cinta perempuan itu sehingga ia mampu menerjang hal-hal yang menurutku menakutkan.

Sulit rasanya menerima kenyataan hidup bersama orang yang tidak romantis, jarang bicara, punya prinsip-prinsip yang menurutku kaku dan menerapkan aturan main dalam keluarga yang (maaf) menurutku sama sekali tidak manusiawi. Kami, misalnya, tidak boleh keluar rumah selain pergi sekolah. Kami harus membantu pekerjaan rumah dan membuang impian bermain dengan teman-teman sebaya yang kesehariannya bermain. Saya harus tahu diri.

Sungguh aku tak paham tentang istilah tahu diri.

Perempuan itu, ibuku, dalam penglihatanku selalu saja siap dengan berkarung-karung kesabaran setiap kali menghadapi kemarahan lelaki itu, bapakku, yang kemarahannya bisa datang dengan tiba-tiba. Sampai aku dapat menghitung berapa kali bapak tersenyum dalam seminggu. Tetapi, ibuku, selalu saja membuatku ternganga?ia selalu menyiapkan senyum setiap kali menghadapi kami, anak-anaknya yang tak bisa berbuat apa-apa ketika ia berada di tengah amukan badai kemarahan bapak.

Sampai suatu ketika aku ingin sekali mengetahui apa yang membuat bapakku menjadi pemarah. Ketika kanak-kanak aku hanya mengenal dua hal tentang manusia, jika ia lebih banyak diam dan suka berkata keras, kusebut pemarah. Dan bila ia banyak bicara dan bibirnya selalu tersenyum, maka ia kuanggap orang yang baik hati.

Aku memang belum pernah melihat tangan bapak mendarat di pipi ibuku. Sebab, ibuku tak pantas mendapat perlakukan semacam itu. Ibuku seharusnya dilimpahi kasih sayang atas kesabaran dan pengabdiannya pada bapak dan keluarga. Tetapi ibuku selalu saja membuatku gemas dan tanpa sadar kuremas semua benda yang berada di genggaman tanganku, setiap kali melihat kesabaran ibuku yang tak pernah berubah.

Aku kesal melihat sikapnya yang nrimo. Tak banyak bicara apalagi membantah. Mungkin itu pula yang membuat ibuku disayang nenek dan tante-tanteku. Kadang aku tak paham mengapa ibuku bisa bersikap baik pada orang yang pernah menyiksaku. Orang yang nyaris saja membuatku kehilangan masa depan. Untunglah? aku masih bisa mengendalikan diri dan terus melangkah menuju masa depan. Mungkin?kesabaran ibukulah yang menjadi cermin dalam menghadapi kejamnya hidup.

?IBU jangan diam saja jika diperlakukan tidak adil oleh bapak,? ujarku dengan suara lirih. Tak sanggup rasanya member tekanan pada kalimatku. Apalagi ketika melihat raut wajah ibuku yang datar tanpa ekspresi. Hanya matanya saja yang beriak.

Ya, Allah? jangan biarkan aku mengeluarkan kata-kata yang akan membuat air matanya luruh. Aku tak mau menjadi anak durhaka?

?Maaf, Bu? maksud saya Ibu bicara pada bapak, jangan diam saja. Ibu tidak salah?ibu harus tunjukkan pada bapak bahwa ibu punya pendapat. Bapak harus dengar keinginan Ibu bukan hanya ibu saja yang mendengar dan harus menelan semua ucapan dan perintah bapak. Itu tidak adil, Ibu!?

Telah menjadi anak durhakakah aku? Berbicara pada perempuan yang telah mengandung dan melahirkanku dengan taruhan nyawa tanpa titik koma? Jika sikapku ini bisa membuatku masuk neraka, baiklah, aku rela! Lebih baik aku masuk neraka daripada membiarkan bapak menjajah ibuku tanpa perlawanan!

Aku tidak rela!

Kami sama-sama terdiam. Aku tak berani menatap mata ibu, tepatnya tak sanggup. Aku akan merasa bersalah telah membuat ibuku menangis. Dan air matanya semakin membuat amarahku berkobar di dada. Mengapa ada lelaki yang tak punya hati? Mengapa ia selalu menyalahkan ibuku untuk semua kesialan yang menimpanya. Bahkan bapakku selalu menganggap semua kegagalannya dalam usaha dikarenakan ia telah salah pilih perempuan. Sungguh menjijikan sikap bapakku.

?Sudahlah, Rea? kamu tidak tahu apa-apa. Sebaiknya kamu konsentrasi saja ke kuliahmu,? begitu selalu yang ibu ucapkan setiap kali aku protes.

Bahkan, yang juga membuat darahku mendidih adalah ketika Tante Fe datang ke rumah. Tante Fe, kakak bapak yang menampungku selama kuliah di luar pulau. Dengan pongahnya ia berkata,? kalau bukan karena adikku, saya tidak mau minum pake gelas ini,? ujarnya setelah mencium gelas yang dipegangnya. Gelas model lama warisan nenek. Aku menatap ibu yang hanya diam sambil menundukkan kepala. Oh..betapa sombongnya perempuan itu. Ia telah menghina ibuku. Ia mencium gelas seakan gelas itu baud an menjijikkan. Dan lagi-lagi ibuku tak melawan. Ia menerima semua hinaan dengan pasrah.

?Mengapa Ibu diam saja. Gelas itu memang jelek tetapi gelas itu bersih dan tidak mau. Terlalu sekali Tante Fe menghina kita!? Aku mengepalkan tanganku. Rasanya ingin menonjok mulut perempuan sombong itu.

?Jangan terpancing emosimu, Rea. Bukankah selama tinggal bersamanya, kamu sudah mengenal dengan baik tantemu itu,? ujar ibu seraya menarik lenganku. Perlahan ia membuka kepalan tanganku dengan tangannya yang ringkih dan kasar.

?Jika ia menghinaku atau bahkan mencaci maki, aku terima, Ibu. Tetapi jangan menghina ibu,? kataku masih dengan suara tinggi.

?Ibu tahu kamu menderita tinggal bersama mereka. Tetapi ibu lihat kamu sudah bisa menerima keadaan itu. Begitulah kalau kita menumpang, harus tahu diri. Kita jangan melawan kekerasan dengan sikap yang keras juga, Rea. Untuk itulah kita harus belajar sabar dan ikhlas menerima semua keadaan,? kata ibu dengan senyum yang terasa getir.

?Jika saja bukan karena demi mengejar mimpi-mimpiku, lebih aku pulang seterus dan tak usah meneruskan kuliah!?

Lagi-lagi hanya senyum tipis yang mengabut di mataku.

?Kamu tidak boleh kalah dengan keadaan," ujarnya lirih sambil menarikku ke dalam pelukannya. Meski tubuh ibu terasa semakin menipis, aku masih tetap merasakan pelukan hangatnya, tak beda sseperti pelukannya di masa kecilku.

?Sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa mengalahkan kesabaran ibu.? Ujarku pelan, malu rasanya bicara pada ibu dengan gaya menggebu-gebu. Seperti sedang orasi saja.

?Jangan pernah menyerah pada keadaan. Teruslah langkahmu, jangan berhenti sebelum sampai di titik yang kau inginkan. ?

Betapa hangat belaian ibuku. Kalimat demi kalimatnya seperti amunisi yang harus aku jadikan bekal untuk mengarungi hidup yang keras ini.

?Bersabar dan selalu bersyukur atas semua yang diberikan Allah pada kita, baik berupa kebahagiaan ataupun penderitaan. Itulah hakikat keikhlasan.?

Sejak itu aku lebih banyak diam dan mengamati semua perilaku ibuku yang awalnya bagiku sangat tidak masuk akal. Menikah dengan lelaki yang dicintai lalu disia-sia. Bekerja keras demi menghidupi keluarga, tetapi tetap tak dihargai. Terlebih ketika bapakku diam-diam menikah lagi dan menghabiskan harta warisan dengan perempuan sundal itu.

Aku benci laki-laki. Bahkan sampai tak percaya pada kata cinta dari laki-laki mana pun. Dendamku pada bapakku tak membuat ibuku bahagia karena dibela. Ia malah menegurku dengan kalimatnya yang halus tetapi menohok.

?Kita tidak boleh memendam dendam, apalagi pada orang tua. Seburuk apa pun ia tetap bapakmu,? ujar ibu saat dengan tegas kuperlihatkan kebencian pada bapakku yang sakit keras. Ibuku, bak peri tetap senyum saat merawat bapakku yang sudah tak berguna dan bikin repot semua orang.

Aku tercenung melihat bagaimana tangan rapuh ibu mengompres kening bapak yang sedang demam tinggi. Di mana ibu belajar untuk semua yang aku tak bisa. Bagaimana ibu bisa mencintai bapak dengan tulus di atas semua derita yang ia rasakan sepanjang perkawinan mereka. Jika bukan karena kami anak-anaknya, lalu untuk siapa?

Lalu ketika bapakku meninggal aku melihat ibuku menangis. Aku tak berani menduga-duga, air mata kepedihan karena berpisah dengan lelaki yang dicintainya? Atau menangis karena telah selesai pendieritaannya.

Ah, aku tak mau menjadi durhaka karena dugaan gila yang tak seharusnya ada di kepalaku.

TANAH itu masih basah. Luapan tangis masih tersisa raungnya. Langit mendadak menghitam di ujung senja yang menyaksikan bisuku dalam gugu. Aku tahu, tangis darah pun tak akan bisa mengubah keputusan Allah untuk memanggilnya. Tak ada cerita sakit di tubuhnya kecuali sakit derita sepanjang perkawinannya. Luka ibu adalah luka yang membekas di dadaku. Luka karena cinta yang tak pernah kutemukan obatnya.

Aku tahu ibu, kau tak akan suka bila aku terus menutup diri untuk semua urusan cinta. Maaf, ibu? belum ada satu pun lelaki yang bisa meyakinkanku bahwa cinta itu indah. Bahwa cinta mereka sehangat cintamu padaku, Ibu. Maafkan ibu, aku butuh dekap pelukmu untuk meyakinkan bahwa dalam derita cinta tetap indah.

Oh, ibu, andai aku bisa sepertimu.


Lampung Post, Minggu, 16 Desember 2012

Sunday, December 9, 2012

Geraham yang Bertaut

Cerpen Budi Saputra

BARANGKALI yang ia tahankan itu kembali rasa geram. Di tengah gerimis, saat menjelang tengah malam, orang-orang ternyata masih bisa menyempatkan diri untuk datang. Tua muda tampak mulai mengerumuni rumahnya, membawa wajah sedih bercampur kaget. Dan dari sudut rumah, wajah-wajah itu diperhatikannya baik-baik. Ada sedikit rasa lega yang ia rasakan. Setidaknya, dari banyaknya orang yang datang, maka ia bisa mengambil kesimpulan, bahwa rasa ketidakpedulian itu tak ada sangkut pautnya dengan kematian. Setiap ada yang tertimpa musibah kematian, tentu orang-orang akan peka. Melayat, hingga berbondong-bondong menyalatkan dan menuju pekuburan.

Ia tentu bersedih atas kematian sang nenek. Tubuh ringkih dan kurus itu, masih segar dalam ingatannya, suara-suara batuk, dan perintah sang ibu untuk membuang air seni dan kotoran di dalam ember beberapa jam sebelumnya. Betapa tak disangka-sangka, tubuh yang dibiarkan sendirian berbaring di atas dipan itu, tak kunjung terbangun saat sang ibu membangunkan. Kesedihan pun pecah, kaum perempuan tak kuasa menghindar dari ratap berlebihan. Dan ia pun, harus terburu-buru membangunkan garin masjid untuk mengumumkan berita kematian ke seantero kelurahan.

Memang, ia tampak begitu sibuk di malam itu. Mengeluarkan kursi-kursi yang dibantu rekan seumurannya ke halaman rumah, agar para pelayat leluasa untuk bergerak melihat jenazah Nek Rimah yang terbaring kaku di sudut ruang tamu. Setelah mengangkat kursi, ia juga harus ke salah satu rumah warga untuk menjemput kursi dan tenda yang memang disediakan khusus untuk hari kematian.

?Ayo jemput tenda dan kursi sekarang!?

?Bendera, dan drum jangan lupa.?

Suara-suara itu, atau diucapkan dengan bahasa lain memang kerap terdengar saat ada hari kematian. Orang-orang akan paham dengan sendirinya. Membantu keluarga yang ditinggalkan sesegera mungkin begitu kumandang toa di masjid memperdengarkan berita kematian.

Maka, karena bantuan dari orang-orang sekitar rumahnya itulah, memang, ia tampak begitu puas di malam itu. Tak peduli rasa letih setelah mengangkat kursi dan memasang tenda di halaman depan rumahnya. Sebab, menurutnya, sebagai anak laki-laki memang harus menjadi andalan. Pandai bergaul dan memudahkan urusan keluarga.

Tetapi begitulah, barangkali yang ia tahankan itu kembali rasa geram. Selain sedikitnya pemuda yang datang membantu, tentu perangai abangnya, Bustam yang kerap membuatnya menautkan geraham.

***

TENTANG Bustam, ia memang harus menerima kenyataan. Seorang yang lebih tua empat tahun darinya itu, yang kerap berpakaian rapi sebagai orang kantoran, sungguh, itu tak membuatnya menaruh rasa hormat yang begitu tinggi pada abangnya itu. Setiap kali ia memperhatikan Bustam, terkadang ada rasa gamang yang ia rasakan. Bagai sebuah kapal yang berlayar di lautan, siapa yang menjamin kapal itu akan aman-aman saja melewati gelombang yang maha besar? Entahlah, menurutnya, barangkali itu telah menjadi sebuah takdir. Atau, barangkali itu sebuah penyakit akut yang sulit disembuhkan. Sebab, dari tahun ke tahun, sungguh tak ada perubahan yang ia lihat pada diri Bustam. Pikirnya, sejak masa kanak-kanak hingga masa dewasa, Bustam tak ubahnya seperti seorang perempuan yang betah menghuni rumah.

?Tak ada gunanya kau mendapat gelar sarjana dan bekerja sebagai orang kantoran. Dasar perempuan! Kau tak punya rasa malu terhadap orang-orang sekitar!?

Suatu ketika, ia tak kuasa menahan amarahnya terhadap Bustam. Ia lemparkan sebuah asbak rokok ke arah Bustam yang sedang asyik menonton televisi. Kata-kata caci maki pun ia muntahkan. Tak peduli orang-orang sekitar yang barangkali memasang telinga mendengar perang mulut yang memang kerap terjadi itu.

Ya, ia merasa begitu perlu mengingatkan meski tak dihiraukan sampai mulut berbuih-buih. Keluar untuk berbaur dengan masyarakat sebagai pemuda, baginya, memang sangat penting sekali.

?Ibu apa membiarkan saja ia tetap begitu? Menghadiri pengajian, melayat hingga menguburkan jenazah, menghadiri takziah, menghadiri undangan perhelatan, adalah bagian dari sisi sosial yang meski ada kita di dalamnya.?

Begitulah, ia juga kerap mengingatkan sang ibu tentang Bustam. Dan sang ibu, memang juga tak bisa berbuat banyak. Setiap ada warga sekitar yang tertimpa hari buruk kematian ataupun melaksanakan hari bahagia pernikahan, wajah Bustam memang sulit sekali ditemukan di antara kerumunan orang banyak.

Tak seperti dua adik perempuannya yang pandai bergaul, Bustam lebih memilih berdiam di rumah, atau sibuk dengan rekan kerjanya di luar rumah. Sehingga, dengan perangai Bustam yang seperti itu-itu saja sejak dulu, yang jarang berbaur, membuatnya begitu kesal.

?Apa kau tak malu ha? Nanti jika kau menikah atau mati, jangan harap orang-orang akan berbondong-bondong datang ke rumah menghadiri undanganmu atau melihat mayatmu!?

***

BARANGKALI di malam itu, ia telah mengambil sebuah kesimpulan dari hati yang teriba. Rasa saling menjaga dan bertetangga baru saja ia tunaikan. Ibu dari rekan sejawatnya baru saja berpulang. Kumandang toa berita kematian di masjid memang membuatnya sedih. Ia pun bergegas pergi melayat saat matanya ingin sekali dipicingkan di sudut kamarnya. Kembali diangkatnya kursi-kursi dan tenda seminggu yang lalu saat kematian Nek Rimah bersama para pelayat lainnya. Sementara ibu dan dua orang adiknya, tampak juga menyempatkan diri pergi melayat ke rumah Buk Siar meski memakai sarung untuk tidur. Lagi-lagi, batang hidung Bustam sungguh sangat sulit diharapkan hadir dalam kerumunan itu.

Ya, hatinya sangat teriba. Bukan karena pertanyaan dari seorang rekannya yang menanyakan keberadaan Bustam kepadanya. Pikirnya, wajah Bustam itu memang telah sepatutnya ia simbolkan sebagai sebuah kepalan tinju. Darah muda pergaulannya sama sekali tak menyukai perangai Bustam. Biar Bustam sadar, karena menurutnya, Tuhan pun tak menyukai orang yang tak memedulikan kehidupan bermasyarakat. Saling menjaga dan memberi yang bukan berarti selalu disimbolkan dengan memberi suatu kebendaaan yang berharga.

?Mati sajalah dia itu. Aku sudah bosan mengingatkannya.?

Memang, berbau bercanda ia katakan dengan nada sedikit tinggi. Tentang Bustam, sudah berulang kali ia muntahkan pada rekan sepermainannya sejak masa kecil itu. Seperti ingin menegaskan, bahwa karena pribadi Bustam yang tak membuka diri, pada akhirnya, imbasnya mulai ia tuai secara perlahan. Dugaan diskriminasi. Ya, diskriminasi. Juga sebuah perkiraan yang tak luput dipikirkannya.

Maka, ia banding-bandingkanlah antara sang ayah, Nek Rimah, dan Buk Siar. Sungguh, itu sangat sulit ia menentukan segalanya. Yang ia tahu, semuanya itu mati dalam keadaan baik-baik, bukan dengan cara yang buruk. Atau, apakah karena Buk Siar itu orang berpunya dan agak disegani? Ia pun tak habis pikir. Cuma dari kerumunan itu, setelah ia memasang tenda dan menyusun kursi, serta mengisap sebatang rokok basa-basi dari seorang pelayat, ia pun memuntahkan semuanya pada Dikar, di sebuah batang kelapa tak jauh dari rumah duka.

Betapa Dikar hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajahnya dan kerumunan para pelayat di tengah malam itu. Kadang dengan nada tinggi, kadang dengan nada seperti mengiba ia tuturkan perkara kematian sang ayah dan Nek Rimah. Memang, ayahnya bukanlah orang yang tak terlalu banyak bergaul dengan masyarakat setempat. Pergi kerja pagi, dan kembali pulang pada malam harinya. Tapi, sungguh memang keadaanlah yang saat itu mau tak mau harus diterima. Para pemuda yang biasanya berkumpul di lepau-lepau, dan tak jarang akan senang hati membantu apabila ada warga yang tertimpa musibah kematian, memang saat itu hampir semuanya ikut mendaki gunung sebagai para pecinta alam. Waktu ayahnya berpulang, juga tak jauh beda dengan waktu berpulangnya Nek Rimah, menjelang tengah malam. Dan ia, memang sangat terkuras saat itu. Hingga untuk menggali kuburan di permakaman kaum pun, ia ikut berkorban yang dibantu beberapa orang penggali kubur lainnya. Dan tentu ia harus terburu-buru membersihkan diri untuk menyalatkan jenazah ayahnya itu menjelang waktu zuhur.

?Aku tak menghitung-hitung jerih, Dikar. Kau bisa lihat sendiri, saat nenekku berpulang, para pemuda itu lebih banyak asyik duduk-duduk di lepau. Tak berapa orang yang ikut membantu, bahkan menampakkan batang hidungnya ke rumah. Tapi, kau lihatlah sekarang. Semuanya tampak semangat membantu mengangkat kursi dan mengangkat tenda.?

Mendengar semua itu, Dikar hanya diam mencoba memahami perasaannya. Sebuah pertanyaan hidup yang memasuki kepala, lalu dicerna, bagai melihat sebuah dunia yang penuh keniscayaan. Dikar lantas tak menyalahkan siapapun. Yang terpikir olehnya, hanyalah bagaimana cara untuk mati itu sendiri. Tak peduli siapa yang mengurus jenazah, berapa banyak pelayat yang datang, hingga datang kembali untuk menunaikan takziah. Dikar hanya berucap pendek, ?Tak usahlah terlalu dipikirkan. Ambil saja hikmahnya.? Betapa ia pun seperti telah bisa menerima segalanya, walau dalam hati kecilnya, ada sesuatu hal yang mengganjal perasaannya. Wajah Bustam terbayang. Darah muda yang berbau ugal-ugalan, memang kadang menyimpan perasaan ketidakakuran yang meletup tiba-tiba.

***

PADA akhirnya, tibalah saat ia sejenak melupakan segenap perang mulut atau pertengkarannya dengan Bustam. Atau, barangkali semua itu luput baginya untuk memikirkan. Di kamar rumah sakit, sang ibu tampak terbaring lemah. Jantungan ibunya kembali kambuh. Sungguh, itu terasa berat baginya, begitu pula dengan Bustam. Bustam begitu rajin bolak-balik dari kantor ke rumah sakit, atau dari rumah ke rumah sakit. Beberapa teman kerja Bustam tampak hadir untuk membesuk, juga ibu-ibu tetangga di sekitar rumahnya. Sementara beberapa pemuda yang termasuk Dikar, juga datang membezuk.

Tapi apa yang dialami Bustam sungguh lebih memiriskan hatinya. Hari buruk itu, entah dalam bentuk apa dan bagaimana ia terjemahkan. Sebuah pisau hidup yang menusuk tiba-tiba membuatnya terperanjat. O, sungguh terperanjat. Ia berlari di sepanjang ruang rumah sakit. Menuruni tangga demi tangga. Barangkali sebelum ia tiba di sebuah perempatan itu, arwah Bustam telah lebih duluan terpisah dari badan dan terbang ke langit. Bau parfum Bustam yang tersisa di kamar rumah sakit, seolah mengisyaratkan bau kematian.

Ya, ia memang menyaksikan kematian itu. Tubuhnya menggigil melihat darah segar mengucur deras dari hidung Bustam. Rumahnya akan kembali dipasangi tenda, disusun kursi-kursi serta sebuah bendera hitam yang dipasang di halaman depan. Pun kumandang toa dari seorang garin yang memberitakan kematian di masjid ke seantaro kelurahan. Dan dalam seketika itu pula, ada perasaan lain yang membuncah dalam dadanya. Kata-katanya itu, kata-kata yang pernah diucapkannya kepada Bustam, sungguh ia tak ingin itu terjadi. Ia juga teringat kata-kata Dikar di sebuah malam yang bergerimis itu.

Padang, 2012


Lampung Post, Minggu, 9 Desember 2012   
  

Sunday, December 2, 2012

Ode Kota

Cerpen F. Moses


KEPADAMU yang baik, suatu ketika teman lamaku pernah bilang sesuatu. Malas bagiku mendengar, tapi sehubung dengan sungguh, tak berasa larut juga di tanah pijak ceritanya. Beginilah kisah itu.

Tiba di stasiun sore ini, sontak paman langsung menyalam dan memelukku erat.

"Selamat datang De, selain bekerja katanya juga sekaligus cari jodoh ya? Jangan berharap banyak di kota ini."

Aku tersentak.

Stasiun riuh dari biasa, tugu tampak kesepian di belantara pencakar langit itu, sungguh tampak tak megah lagi seperti sebelum merantau ke Yogyakarta dulu. Tugu itu, tak bertenaga lagi untuk menampakkan keseksiannya.

"Ayo, lekas kita naik, sudah jam macet, nih," ujar Paman.

Dengan dua tas ransel agak kembung kududuk bersama istri baru paman yang baru saja diperkenalkan. Tak sangka, cakap betul paman memilih. Usianya jauh lebih muda, ramah, molek, dan bersih pula.

Sejak kepergian bunga hati paman beberapa tahun silam, tak lama berselang paman memang langsung ke kota. Alasan ada proyek yang mesti dikerjakan. Saat itulah, aku bersama kedua anaknya, disuruh agar menjaga rumah kos di bilangan jalan Kaliurang. Anaknya sebaya denganku, kini mereka lebih memilih menetap di sana.

Selama perjalanan, tak banyak pembicaraan terjadi, kecuali melongok meratap arah jendela. Sekadar bernostalgia dengan ingatan. Semakin bikin pangling saja kota ini, lirihku. Tak banyak obrol, kecuali kicau mereka, selebihnya macet.

Pengendara motor bak kumpulan tawon selap-selip terabas celah-celah kemacetan di antara kepulan hitam dari bus-bus yang masih tak berubah. Deruman dan dentuman sahut-menyahut klakson seolah-olah memaksa tiap pengendara agar tak saling halang. Semua berlalu dengan kenafsuan. Lampu merah tak lagi diartikan sebagaimana mesti.

"Di kota ini, merah tak mesti berhenti. Semangat cepat sampai tujuan sudah awur," kata sopir paman berceloteh.

Kemacetan dari ruas ke ruas jalan nama menggiring kami kian malam, pendaran lampu-lampu kota dan gedung-gedung bertingkat adalah pelita dalam penggapaian sebuah kepastian mengupak cinta di kota ini. Semoga. Maklum, malu juga sudah berusia 36 tapi belum menikah. Kadang terpikir berat buatku menikah, bagaimana mungkin, pacaran saja belum. Ah, pandanganku langsung tertuju kepada paman dan istri barunya itu.

***

SUDAH pukul delapan malam, makin kurasa gerak dari laju percepatan kota ini. Belok ke kiri, sesaat melintasi The Plaza. Masuk jalan Gatot Subroto, bagian dari antrean merayap acak entah kelak sampai titik mana.

"Ini mal baru, paling bagus di kawasan pusat. Tapi payah, terlalu Indoglish!" kata paman menoleh ke arahku, "Itu baru satu, tentunya masih banyak lagi," katanya menambahkan.

"Iya ya, Paman, jadi ingat dulu Paman bilang, orang-orang Prancis malah justru bangga dengan bahasanya sendiri," kataku.

Di sela obrolan kami berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam serentak, kembali pecah suasana tentang obrolan baru, tapi hanya paman kepada istrinya. Pak Muis, sopirnya, bergeming saja.

Arus merayap padat, tampak jejeran lampu kota dengan pendarannya sibuk masing-masing; tiang-tiang lampu sepanjang pelipiran jalan, taman-taman penghias jalan serta pendaran lampu-lampu gedung pencakar langit seperti menerpa debu maupun asap dari laju perlahan tiap kendaraan yang tiap detik per detik kencang deru bising. Kota ini serupa perputaran derap roda paling asing, gumamku. Kilatan pelita seolah bersaksi bagi genderang hati dan benderang mata semangat kedatangan ini.

"Hei Gus, jangan melamun," tiba saja paman mengagetkan.

"Pusing ya melihat kota?" tambah istri paman lembut.

Aku menggeleng, mengusap-usap muka, sembari sesekali membenarkan rambut, tersenyum. Paman melanjutkan percakapan.

***

SESAAT lantaran sesat dalam sesap bayangan, perlahan mobil melintas tepat bersemuka dengan tiang tinggi melengkung di mana terdapat patung menunjuk seperti hendak menyerbu ke arah utara. Jalan Pancoran makin melelapkan kemacetan ini.

Tepat di daerah itu, samar-samar kulihat tukang tambal ban tengah dipukulin oleh dua orang pengendara motor. Dari siraman pendar lampu kota, tertampak bibirnya pecah dan masih menempel bekas lelehan darahnya. Rambutnya tampak dijambak sementara kakinya terus saja ditendangi. Sekejap cepat pula massa mengerumuni pertikaian mereka. Kemacetan bertambah seksi. Kuturunkan jendela setengah. ?Bangsat lo, nyari makan tinggal nyari makan, tapi jangan lantas tebar paku di pinggir jalan, mentang-mentang...?

Oh.., kunaikkan jendela, tak kuasa letusan rintihan ampun si tukang tambal itu. Entah sebenarnya motif tujuannya apa, tak jelas. Padahal tak hanya tukang tambal itu yang berpangkal, kulihat beberapa meter juga tampak lapak tambal ban yang lain, gumamku.

Paman masih dan semakin larut dalam percakapan.

Terlepas dari jalan itu, tak terasa perlahan arus perlahan kembali lancar meski tampak sedikit merayap. Tak terasa di perempatan Cawang, selanjutnya menuju tempat paling timur untuk tiba di rumah paman.

Tapi tiba saja mobil berbelok masuk apartemen. Sebelum turun di muka lobi, istri paman langsung saja menyalamiku, lantas mereka berbicara beberapa menit sebelum diantar masuk menuju lift. Setelah itu paman bergegas kembali menuju mobil. Aku berlagak menyandarkan kepala sambil berpura pejamkan mata. Seolah tak memedulikan mereka.

***

TAK terasa, entah sudah keberapa kali paman membangunkan saat mobil sudah terparkir rapi di garasi, baju paman pun sudah berganti. Dua tasku juga sudah dibawanya masuk.

Rumahnya masih seperti dulu, bedanya pada tampak jauh lebih berantakan. Kecuali beberapa rak tempat koleksi buku, lukisan-lukisan, aneka pose mesra dalam bingkai bersama almarhumah istrinya, dan foto keluarga berpigura besar. Tampak tak terawat.

Malam memuncak, setelah bersantap dan berbincang cukup lama, paman pamit beristirahat. Tubuhnya yang menua, namun semangatnya dari percakapan tadi memperlihatkan jiwa muda.

Percakapan tadi begitu menggebu, lembut, dan penuh kasih ia menasihatiku. Tak jauh berbeda seperti anaknya saja. Kerap ia memperbincangkan atau menyoal segala sesuatunya. Ia memberi tantangan buatku agar mampu bertahan di kota ini. Karena paman kembali menegaskan kembali terhadap tujuan utamaku ke kota ini. Melekat sungguh dan menghantui pikiran.

Di antaranya paman tadi bilang lagi, yang aku pikir bercanda dan ternyata serius, bahwa jangan sekali-kali kau berpikir untuk mencari cinta di kota ini. Cinta sudah terlanjur sengat dan karat jika menyoal itu. Apalagi sebagai tujuan utamamu di kota ini. Sia-sia belaka. Lebih baik besok pagi kau kembali memesan tiket untuk kembali lagi ke kampung halaman perantauanmu. Ketimbang sakit hati tak kunjung sembuh kau dapatkan nanti.

***

DI sini, di kota besar ini, cinta sudah terlanjur menjadi daging. Daging yang fakir gizi. Aku sebenarnya tak paham maksud paman tatkala berbicara seperti itu. Karena takut dimarahi, aku hanya mengangguk saja. Seolah mampu menangkap maksudnya dengan cara lain.

Sepemahamanku, paman seperti bermaksud bilang begitu lantaran kota ini sudah terlalu penuh dengan cinta. Karena masih ingat benar kala paman bilang tentang seantero nusantara ini sudah sesak pada kubangan satu cinta, yaitu di kota ini. Jadi cinta, saking penuhnya, dan tak kunjung pula dilakukannya, cinta itu sendiri akhirnya menggumpal seperti pecahan beling yang hendak dipaksakan menjadi satu. berujung menimbulkan goresan luka di tangan. Katanya menambahkan.

***

TAK berasa sudah tiga bulan lebih beberapa hari aku tinggal di rumah paman, cinta dari seorang perempuan pun masih tak kunjung datang. Kecuali membantu keseharian paman.

Istri paman juga membantuku, maksudnya dengan memberi ruang waktu agar kumampu memanfaatkan tiap detik kehidupan ini agar tak kosong.

"Cuma orang bodoh yang tak mau dan mampu di kota besar ini," katanya. Matanya yang lentik menatap tajam ke arahku. "Terus terang saja, ya, para perempuan di kota ini paling malas berjalan dengan lelaki yang tak punya pekerjaan. Perkara apa pun yang dikerjakan. Halal atau tak halal, itu urusan nomor dua," katanya menambahkan.

***

TAK berasa kisaran tiga jam Ode berkisah.

Jadi apa yang kamu dapatkan di kota itu??

"Aku tak mendapatkan apa-apa," katanya menyudahi obrolan perjumpaan kami.

Aku masih tak paham apa yang diinginkan temanku itu, setahuku ia berharap banyak, di antaranya cinta. Cinta yang terlalu abstrak dan tak sedap untuk selalu dibahasakan kembali?dari saban pagi, siang, malam, hingga dini hari ia mengupak cinta yang hilang tapi belum tertambat juga. Tiada ia dapatkan di kota ini. Meski sebenarnya ia begitu iri dengan orang-orang di kota ini. Di antaranya paman dan bibi yang baru-baru ini ia tinggalkan.

"Apa yang mesti aku lakukan lagi terhadap cinta yang bernama kekasih, pekerjaan, tempat tinggal, dan kota. Semua yang kuanggap sebagai harapan seperti khatam. Paman sudah terlalu banyak bicara kepadaku!"

***

SEMUA yang kudengar dari temanku itu menjadi tak penting buatku. Tapi, setidaknya, aku berusaha menjadi pendengar yang baik saja. Andai saja temanku tahu siapa aku dan siapa kamu. Bahkan siapa kita.

Mungkin aku akan terlalu sok tahu lagi, kalau memang mesti kuyakinkan kepadanya, bahwa memang tak perlu berharap banyak untuk memberanikan diri tinggal di kota ini. Kalau pun mampu, itu bernama kemujuran. Kalaupun sebaliknya, itulah dusta dari buah kejujuran.

Siapa lagi yang masih berani mencari cinta di kota besar ini? Ah, aku sendiri juga masih tak tahu. Barangkali kau jauh lebih tah

Bali-Jakarta, 2012


Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012 

Sunday, November 25, 2012

Cincin Hujan

Cerpen Arman A.Z.


Kisah 1


AKSA dan Mayang terjebak di ruang tunggu bandara. Hujan pagi itu membuat penerbangan mereka delay. Duduk di bangku panjang, sepasang suami istri itu leluasa mengamati orang-orang hilir mudik. Aksa menangkupkan tangan kirinya ke tangan kiri Mayang yang mendekap tas jinjing di pangkuan. Mayang yang tersipu, sepintas melirik tahi lalat di bawah mata kiri Aksa. Ada benda bergesekan dalam genggaman mereka: sepasang cincin kawin berhias batu permata.

Percakapan Aksa dan Maya terputus oleh gerutu seorang ibu tambun berdandan menor yang berdiri gelisah tak jauh dari tempat mereka duduk. Ini bukan melatih kesabaran, ini tentang konsumen yang dirugikan, protes ibu itu pada petugas yang berdiri salah tingkah di pintu keberangkatan. Seorang pria tua menimpali, menuding pemerintah yang tak peduli pada penumpang yang terlantar karena pesawat telat berangkat.

"Mereka tak bisa bercanda dengan waktu..." desis Aksa. Mayang tersenyum sambil mencubit paha Aksa. "Menurutmu, apa yang menggerakkan mereka kemari?!" sambung Aksa.

"Ya, urusan mereka masing-masing." jawab Mayang. Aksa menggeleng, "Ada yang lebih dari itu..." sahutnya. Mayang menengok. Dahinya berkerut.

"Ini yang menggerakkan mereka," jelas Aksa sembari menggesek-gesekkan jempol dan telunjuk kanannya. Sepasang alis Mayang naik, seperti tak sepakat dengan kalimat suaminya.

"Jadi, kita pun ada di sini karena diatur uang?"

Aksa menjawab dengan senyum, lalu mengalihkan topik percakapan seraya menatap wajah istrinya, "Sudah lama kita tak pergi berdua seperti ini. Tiap rencana liburan sering gagal." Jauh hari mereka menyusun rencana pelesiran ke Bali, merayakan selusin tahun usia pernikahan.

"Kau kelewat sibuk dengan kerjaan. Pulang saat anak-anak sudah tidur. Bangun ketika mereka sudah pergi sekolah. Anak-anak lebih akrab dengan sopir dan pembantu. Kita mirip orang asing yang tinggal serumah," sindir Mayang. Barusan tadi, tanpa disuruh Aksa, Mayang menelepon ke rumah. Memastikan lewat ibunya bahwa ketiga anaknya berangkat sekolah.

"Kau juga sibuk bisnis dan arisan dengan teman-temanmu," dalih Aksa.

Diam. Waktu menitik seperti butir-butir air hujan yang gamang di telapak dedaunan sebelum luruh ke tanah.

Maya mendengus kesal. "Sudah setengah jam hujan reda. Tapi kenapa belum juga ada panggilan untuk berangkat?"

Aksa menghela napas. "Iya. Capek juga jadi manusia di ruang tunggu."


Kisah 2

SIANG mendung di kafe terbuka tepi pantai yang sepi pengunjung. Wara duduk di pojok ruangan, terhalang deretan pot gantung dengan bunga pelastik berjuntai-juntai. Ditemani sekaleng bir dingin dan sebungkus rokok di meja. Gelisah menunggu pria bertahi lalat di bawah mata kiri itu. Sesekali kepalanya mendongak ke langit, berharap rinai tak segera menjelma hujan lebat.

Berbinar matanya memergoki Aksa berjalan tergesa di pedestrian. Seraya menarik bangku di depan Wara dan mendudukinya, dia minta maaf karena terlambat datang. Dia sempat nyasar sebelum bertanya pada pemilik warung tentang lokasi kafe itu, tempat mereka janji bertemu. "Menunggumu tak pernah membosankan," kata Wara singkat, mengobati rasa bersalah Aksa.

Ketika Aksa menyampaikan rencana liburan ke Bali bersama istrinya, mereka sepakat bertemu di tempat yang sama. Demikianlah, Wara lebih dulu datang dan menyewa kamar hotel tak jauh dari cottage tempat Aksa dan istrinya menginap.

"Orang Romawi zaman dulu memakai cincin kawin di jari tengah tangan kiri. Konon, mereka percaya ada pembuluh darah yang mengalir lewat jari itu, langsung ke hati," kata Wara usai melirik cincin kawin di jari manis Aksa.

"Kau kelewat banyak baca buku," sindir Aksa.

"Buku itu jendela dunia."

"Resletingmu juga jendela dunia," gurau Aksa.

"Dasar cabul..."

Wara mengeluhkan istrinya yang cerewetnya akut. Sejak tiba di sini, sudah puluhan kali dia menelepon, memastikan semuanya baik-baik saja. Kesehatan, makan, pakaian, sampai oleh-oleh untuk anak-anak. Ingin rasanya Wara membuang ponsel yang dirasanya jadi semacam teror.

"Kita bakal sulit bertemu seperti ini. Beberapa teman kantorku tampaknya mengendus hubungan kita."

"Siapa? Hati-hatilah. Jangan sampai reputasiku hancur."

"Tenang saja. Jangan panik. Bukan cuma kamu, karierku pun akan habis."

"Bisa kamu selesaikan?"

"Mudah-mudahan."

"Harus dipastikan!"

"Yakinlah, semua akan beres. Makin terancam, kan makin menggairahkan," timpal Aksa dengan senyum penuh makna.

Ah, selain tempat dan waktu, cinta pun bisa melepas jangkar pada orang yang tak tepat. Begitulah Aksa dan Wara.

"Hujan sudah reda. Mau ke kamar hotelku?"

"Itu yang kutunggu. Semoga hujan lebat."

"Jika Mayang mencari?"

"Sudah kumatikan ponsel. Kalau dia curiga, cuaca bisa dijadikan kambing hitam."

"Benar katamu, tempat ini menyimpan gairah. Sudah lama aku menginginkan suasana seperti ini. Bercinta di hotel tepi pantai, dengan jendela terbuka, ditemani debur ombak dan rintih hujan..."

"Sstt, jangan kuat-kuat. Kita buktikan saja siapa yang lebih kuda dari kuda..."

"Dasar kamu, kuda liar..."


Kisah 3

DARI jendela yang separuh terbuka, Lala termangu menatap lantun gerimis. Gadis berhidung bangir itu suka suasana saat gerimis tiba. Romantis. Mistis. Iramanya menjelma nyanyian pilu di batin Lala. Tetesnya yang jatuh di genangan air mencipta lingkaran-lingkaran serupa cincin yang membesar menyebar lalu raib.

Dia teringat ibunya. Sebelum berangkat, beliau sempat berpetuah. Meski diucapkan secara tersirat, namun Lala paham maksudnya: Ibu meminta Lala segera menemukan pendamping hidup. Lala nyengir kuda menanggapinya. Bagi Lala, pernikahan hanya ihwal secarik kertas, juga status yang tak penting. Ada orang yang hidup normal, banyak juga yang berantakan. Lala hanya ingin bahagia dengan versinya sendiri.

Rokok putih terjepit di sela jemari kirinya. Dia abaikan abu yang jatuh ke lantai yang licin bersih. Lala menginap tak jauh dari tempat Mayang menginap. Pagi tadi sendirian dinikmatinya sarapan, lalu melewati waktu bercanda bersama anjing-anjing kecil di tepi pantai. Dia bayangkan ada anjing bersemayam dalam dirinya. Lambat laun dia paham, ada naluri anjing dalam tubuh semua orang.

"Apa yang ada di benakmu tentang Desember?" gamang tanya Lala. Perempuan yang duduk di tepi ranjang menatap televisi, mengalihkan pandangnya ke jendela.

"Ulang tahun pernikahanku. Itu yang membawaku kemari," jawab Mayang.

"Tak ada yang lebih indah dari itu?" kejar Lala. Mayang sudah menduga, pertanyaan itu akan disusul dengan pertanyaan berikutnya. Mayang memilih diam.

"Aku sudah terbiasa menikmati sakit ini sendirian," sambung Lala sejurus kemudian.

Mayang enggan berdebat lebih jauh dengan Lala. Ini tentang kesepian dan hasrat wanita. Baginya, bertemu dengan Lala sudah cukup membahagiakan.

"Kubayangkan kita menyusuri pedestrian sepanjang pantai ini. Menikmati malam bertabur bintang di sebuah cafe terbuka. Ditemani lagu-lagu romantis dan lilin kecil yang menari di tengah meja..." suara Lala mengambang.

Selain tempat dan waktu, cinta pun bisa jatuh pada orang yang salah. Mayang dan suaminya sepakat hari ini mereka bebas pergi sendirian. Saat kembali ke hotel, mereka akan saling cerita bagaimana mereka mengisi waktu sendirian sepanjang hari itu. Mayang tak risau. Dia selalu dapat nilai bagus waktu pelajaran mengarang dulu. Lala tersenyum mendengar cerita Mayang.

Cuaca dingin dari luar jendela memaksa Lala beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan ke tepi ranjang. Duduk di samping Mayang. "Kapan kita bertiga seranjang. Aku, kau, dan suamimu. Bercinta sampai pagi," usul Lala dengan tatapan nakal, disusul tawa langu.

"Gila!"

Mayang hendak pulang. Lala mencegah. Gerimis masih mengalun di luar. "Tak apa. Sudah lama aku tak berjalan di bawah gerimis." Dihampiri dan diciumnya tengkuk Lala, sambil berkata "Jaga dirimu, Sayang."

Tangan kiri Mayang telah menyentuh gagang pintu ketika Lala mengejutkan, "Selalu ada yang terlupakan..." Mayang menunda langkah. Menoleh ke belakang. Mata Lala mengantar Mayang ke atas ranjang. Mayang terkejut teringat sesuatu. Bergegas dia mencari benda mungil itu di balik selimut yang masih acak-acakan. Mengenakannya kembali di jari manis tangan kiri.

"Melepas cincin nikah sebelum bercinta, bukan berarti melupakannya, apalagi meninggalkannya."

Usai cincin itu telah terpasang di jari manis, ada yang berkelebat dalam benak Mayang. Benda mungil itu tak lagi berkilau. Dia selalu cuai menyepuhnya.

"Kabari aku jika kamu sudah pulang. Siapa tahu aku bisa menjemputmu, kemudian menemaniku ke toko emas..." kata Mayang sembari melanjutkan langkah ke pintu keluar. Mimik wajah Lala bertanya untuk apa.

"Menyepuh cincin ini, agar berkilau kembali..." sahut Mayang.


Kisah 4

"CUACA kok kayak kuda liar, susah diterka maunya...," celetuk Aksa. Di ruang tunggu bandara, dalam perjalanan pulang, ia kembali mengeluhkan penerbangan yang tertunda karena gerimis.

"Sabarlah..." imbau Mayang. Tatapannya tak sengaja membentur tahi lalat di bawah mata kiri suaminya. Menghilangkan jenuh, Aksa iseng menggumamkan siapa di antara orang yang lalu lalang di sekitar mereka yang akan duduk dekat pintu darurat pesawat.

"Lo, apa urusannya dengan pintu darurat?"

"Bisa menyelamatkan banyak orang."

"Ah, zaman sekarang, orang cari selamat masing-masing."

Giliran Mayang mengajak Aksa bertaruh. Siapa yang akan duduk di bangku pesawat bersama mereka. Aksa menerka lelaki. Mayang menebak perempuan. Mereka serempak tersenyum. Siapa pun yang melihat mereka di ruang tunggu bandara itu, tentu menduga mereka pasangan yang romantis dan bahagia. Sebuah rumah tangga yang utuh. Bukan sepasang suami istri yang sedang menipu diri sendiri.

Tangan kiri Aksa menggenggam tangan kiri Mayang. Menyentuh dan meraba cincin yang melingkar di jemari itu. Orang Romawi zaman dulu memakai cincin kawin di jari tengah tangan kiri, kata Aksa. Mereka percaya ada pembuluh darah yang mengalir lewat jari itu langsung ke hati. Mayang nyengir dan meledeknya sok tahu.

"Selusin tahun cincin ini melingkari jari manis kita. Seperti jimat, cincin ini membuatku kebal dari segala godaan," teduh mata Aksa menatap Mayang.

"Gombal," rajuk Mayang.

Dalam benak Aksa, dibayangkannya Wara pulang sendirian nanti sore. Sementara Mayang berpikir entah bagaimana ujung kisahnya dengan Lala.

"Gerimis begitu liris. Mungkin, di suatu tempat, ada yang sedang merangkai kalimat-kalimat romantis..."

"Atau... Meneguk bir dingin..."

Aksa dan Mayang bertatapan, tersenyum langu, lalu melengoskan pandang; menepis kelebat bayang seseorang benak masing-masing. Banyak yang terdengar dan terlihat seperti cinta, padahal omong kosong belaka. Aksa meremas jemari Mayang. Sepasang suami istri itu merasakan cincin kawin yang saling bergesekan. Rasa ngilunya menjangkau hati masing masing. Gerimis telah beranak pinak.

"Lucu ya, hujan menemani kita saat pergi dan pulang..."

Bandar Lampung, 2011


Lampung Post, Minggu, 25 November 2012

Sunday, November 18, 2012

Istri yang Terpilih

Cerpen Tarpin A. Nasri 


DALAM urusan memilih jodoh, Prawiro Satrio Karto Subagyo?Papaku, dan Endang Dyah Sulastri Rahayuningsih?Mamaku, benar-benar menempatkan bibit, bebet, dan bobot, menjadi acuan utama, sehingga ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Marina Zaraswati, Papa dan Mamaku yang masih berdarah biru itu langsung melakukan litsus dan hasilnya langsung disampaikan, ?Jika kamu berkeras untuk menikah dengannya, menikahlah dan itu artinya kamu tidak perlu lagi doa dan restu dari kedua orang tuamu,? kata Papa yang dijunjung tinggi oleh Mamaku.

Hal itu terjadi ketika aku bilang sejujurnya tentang Marina, ?Aku kenal Marina di sebuah klub malam secara tak sengaja, dan asal Marina dari keluarga kaya yang berantakan. Marina korban perceraian kedua orang tuanya sehingga Marina boleh dibilang produk wanita kota yang bebas bergaul atau salah urus, akan tetapi kini Marina telah kembali ke jalan yang lurus dan aku yakin Marina telah bertobat dengan sungguh-sungguh, maka aku ingin menikahinya lahir-batin.?

"Sudah berasal dari keluarga yang berantakan, calon istrimu itu rusak pula tampaknya," kata Mama dengan sangat kecut dan sinis sekali.

"Dia bekas bintang wanita malam, juara dugem, jago narkoba dan ratu seks bebas, Mam," tambah Dimas Ario Jayaningrat?adikku, mengompori Papa dan Mama.

"Apa di kolong jagat raya ini sudah tidak ada wanita lain yang pantas, layak dan terhormat untuk jadi menantuku, Joko?" tanya Papa dengan nada jauh sekali dari ramah. Apalagi wajahnya!

"Tak terbayang jika cicit-cicitku harus lahir dari wanita hina dan nista seperti itu," timbrung Ijjah Siti Kulsum, nenekku.

"Mau jadi apa nanti cicit-cicitku, Tarub?" tambah Amran Halim Karto Subagyo-kakekku. "Ini aib, noda dan najis untuk keluarga!" protes kakek.

Dalam "sidang paripurna" keluarga itu, semua tak ada yang setuju aku menyunting Marina. Akan tetapi semakin ditentang begitu, niatku semakin bulat menjadikan Marina sebagai Belahan Jiwaku. Aku yakin?bahkan haqul yaqin?Marina bisa menjadi istri yang salihah! ?Lihatlah buktinya nanti,? ujarku dalam hati.

***

KETIKA niat itu aku bicarakan dari hati ke hati dengan Marina, aku melihat ketabahan Marina yang luar biasa, dan aku juga melihat kehancuran Marina yang sangat dahsyat bila Marina tidak jadi kuselamatkan. Aku ingat pertanyaan Marina kala itu, "Apakah wanita bekas sampah dan kotor sepertiku tidak bisa atau haram menjadi perhiasan rumah tangga yang indah, Mas? Apakah terlarang bagiku untuk menjadi seorang wanita salihah, Mas?"

Aku menggeleng dengan mantap.

"Aku sudah memastikan keluarga besar Mas pasti akan menolak mantan wanita yang hina, penuh noda, nista, dan najis sepertiku," ujar Marina dengan tegar. "Dan ini jauh-jauh hari sudah kusampaikan kepada Mas, akan tetapi Mas selalu bilang 'Mas siap melawan gempuran badai', bahkan demi niat Mas untuk menyuntingku, Mas juga bilang 'Mas siap jika harus menebusnya dengan dibuang dari keluarga sekalipun'," lanjutnya dengan tenang.

Aku mengangguk dengan mantap sekali, lalu kuraih jemari tangan Marina, kuremas dengan lembut dan mesra, kemudian kubawa kedua tangan yang tergenggam itu ke hidungku, dan aku menciumnya dengan cinta selembut sutra, dengan kasih semanis madu dan dengan sayang yang tulus dan ikhlas seputih kapas.

"Mas tak akan mundur selangkah pun dari semua ini, Rin," tegasku setegar gunung batu.

"Apakah Mas siap sengsara dengan terbuang dari keluarga, lalu menikah dan hidup tanpa restu dari kedua orang tua Mas?" tanya Marina kembali.

"Aku tidak hanya siap, Rin," jawabku dengan mantap seliat kayu. "Akan tetapi aku juga tidak takut hidup denganmu. Tuhan bersama kita dan pasti Beliau menolong kita. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Rin," lanjutku.

Marina menjatuhkan kepalanya di dadaku. Setelah kuelus kepalanya, tangisnya pecah. Baju dan dadaku tersiram air matanya yang deras mengalir. "Bukan dikarenakan kecantikanmu yang selangit dan mengguncangkan hati, bukan disebabkan keseksianmu yang bisa merontokan kesetiaan laki-laki, serta bukan juga tergiur kekayaanmu yang membuatku bertekad untuk menyuntingmu sekuat apapun rentetan badai yang pasti menggulung dan menghempasku, akan tetapi niatmu untuk tobat nasuha dan menjadi wanita salihah yang membuatku tak rela jika engkau harus kembali jadi kembang utama wanita malam, kembali jadi anak emas narkoba dan kembali jadi primadona kesayangan belantara seks bebas," tegasku.

Marina jatuh terkulai di pangkuanku, dan itu kutangkap sebagai perlambang hidup dan matinya telah bulat diserahkan kepadaku.

***

AKHIRNYA aku menikahi marina dan kami langsung hidup mandiri. Aku tak lagi dapat bantuan keuangan dari keluargaku, dan aku pun tidak lagi kerja di perusahaan keluargaku. Aku kerja di perusahaan orang lain. Untuk menutupi kebutuhan hidup kami di awal pernikahan, Marina--dengan tabungannya yang segunung dan aliran dana dari Bapak dan Ibunya yang deras--berperan sekali dalam mengepulkan asap dapur dan menggelindingkan roda rumah tangga kami.

Untungnya posisiku di kantor juga dari waktu ke waktu bergerak sangat bagus. Akan tetapi, sungguh bukan hanya karena itu yang membuatku layak bahagia, bersyukur, dan berterima kasih kepada Tuhan. Tekad Marina yang istikamah untuk menjadikan dirinya sebagai wanita salihahlah yang memikatku untuk siap menangkis setiap badai yang datang mendera, utamanya badai yang datang dari tiga dunia yang pernah menjadikan Marina sebagai wanita yang memiliki kelas sangat istimewa. Di dunia malam: siapa yang tak kenal Marina? Di ranah narkotika: siapa yang tak tahu Marina? Di belantara seks bebas papan atas: siapa yang tak memuja Marina?

Di rumah Marina tidak bersedia mempekerjakan pembantu. ?Demi aku, Mas saja bersedia terbuang dari keluarga, masak aku dalam melayani semua kebutuhanmu harus dibantu pembantu,? katanya. ?Selagi aku masih bisa, biarlah semuanya kukerjakan sendiri, Mas. Melayani dan berbakti kepada suami buatku kini adalah suatu anugerah dan kehormatan, serta kewajiban dan ibadah!? lanjutnya dengan mantap.

"Apa tidak ingin bekerja dan tidak jenuh di rumah, Rin?" tanyaku sambil mencium keningnya dan membetulkan jilbab indahnya.

"Selain melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan sunah, kan masih banyak ibadah lainnya yang bisa aku kerjakan untuk membuang jenuh, Mas," jawabnya. "Aku total memilih jadi ibu rumah tangga agar aku bisa seratus persen mengabdikan diriku kepada suami," lanjutnya.

Aku mendengar baik-baik setiap untaian kata curahan hati Marina.

"Masa laluku yang hitam dan kelam di dunia malam dan narkotika, serta penambang dosa di lembah nista, kemudian dientaskan oleh Mas menjadi istri yang terhormat, rasanya tak cukup kubalas dengan pengabdianku 1 x 24 jam kepadamu, Mas?"

Kuraih bahu Marina lalu kurebahkan kepalanya di lekuk leherku. "Tidak segitunya kali," godaku kepadanya sambil kucium pipinya. "Tetaplah melangkah di jalan lurus untuk masa depan dan anak-anak kita kelak, Sayang," lanjutku.

"Apa pun yang Mas perintahkan asal itu tidak melanggar larangan agama, undang-undang, peraturan, etika, norma dan yang lainnya, dengan tulus dan ikhlas pasti kukerjakan meski harus bertaruh dengan nyawaku?" sambutnya.

"Hehehe. Maksudnya apa dan ke mana nih? Kok sampai harus bertaruh dengan nyawa segala, Kasih?" tanyaku.

Marina mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Aku tadi ke Dr. Mirna Astuti, Sp.O.G., katanya aku mulai hamil, Mas?" lanjutnya dengan lembut, mesra dan penuh syukur.

Karena aku tak kuat menahan bahagia dan syukur, refleks aku bopong Marina, dan aku melakukannya dengan menari dan berterima kasih tiada henti. "Terima kasih untuk anugerah yang terindah ini, ya Allah," ujarku. Habis itu kami berdua bersujud syukur untuk karunia dan anugerah yang tiada ternilai harganya ini.

***

DARI buah cinta kami lahirlah Laras Ayu Kembang Ati, yang pada suatu acara di sekolah anakku lima tahun kemudian menyedot perhatian seorang Bapak yang memberikan bantuan beasiswa untuk siswa teladan di sekolahnya. Orang tua itu jatuh hati pada darah dagingku dan Marina.

Penampilan Laras yang cantik, bersih, sopan, rendah hati, memikat dan cerdas mengantarkan pertemuan antara orang tua/wali murid dengan sang donatur, yang tidak lain dari Papaku. Kami berpelukan, bertangisan dan ketika seminggu kemudian Papa-Mama ke rumah, Laras dengan tiada keraguan sedikit pun diakui dan diterima sebagai cucunya. "Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah," ujar kami dalam sebuah sujud syukur.

"Mana istrimu, Joko?" tanya Papa dengan wajah dan mata yang memancarkan kebahagiaan.

"Iya mana menantu Mama, Nak?" sambung Mama tak kalah gembira dan syukur dengan Papa.

Ketika aku mencari-cari Marina ke segala arah, Marina muncul. "Saya di sini, Mas, Papa, Mama. Assalamualaikum?" jawabnya dengan sopan dan penuh hormat.

Kami sungguh terhipnosis melihat penampilan Marina yang sempurna sebagai wanita muslimah.

"Marina di awal hidupnya memang pekat melakukan amalan-amalan penduduk neraka, akan tetapi dan insya Allah setelah itu ia bisa dan biasa melakukan amalan-amalan penduduk surga," pujiku dengan tulus. "Dialah yang menjadikan rumah ini sebagai firdaus. Oleh karena dia, saya lebih betah di rumah dibandingkan berada di mana pun," lanjutku. "Karena di rumah ini ada Marina, istri saya yang terpilih, Papa, Mama," tegasku.

Kulihat Papa dan Mama membiarkan tangannya dicium Marina dan Laras, bahkan beberapa kali kulihat Marina dan Laras dipeluk dengan hangat dan mesra oleh Papa dan Mama.

"Kamu tidak salah pilih, Joko," aku Papa lembut sambil senyum tulus.

"Iya, Nak," timpal Mama. "Kami yang selama ini salah lihat, dan terlalu cepat memutuskan," lanjutnya. "Sekarang tidak ada lagi dinding pemisah di antara kita," lanjut Mama lagi.

"Semua ini karena Mas Joko Tarub Umbaran yang sukses melintasi rentetan dan menangkis gempuran badai, sampai Laras lahir, besar, serta ketemu dengan kakek dan neneknya," ujar Marina dengan sinar mata lembut dan penuh cinta yang diarahkan kepadaku.

Sejak itu setiap akhir pekan jika tidak Papa dan Mamaku yang melewatkannya di rumah kami, kamilah yang menghabiskan akhir minggu di rumah Papa dan Mamaku, dan Marina?juga Laras?selalu jadi bintang karena kesalihanan dan keagungan budinya.

Marina yang telah berhasil menjadi sebaik-baiknya perhiasan rumah tangga, juga membuat kakek dan nenekku selalu minta dilayani dan diurusi olehnya, dan Marina menyambutnya dengan tulus dan ikhlas untuk ibadah sehingga Marina melakukannya dengan cinta sebening embun, mengerjakannya dengan kasih seanggun gunung dan menunaikannya dengan sayang seputih salju.

Braja Mulia-Braja Selebah-Lamtim, Agustus 2012


Lampung Post, Minggu, 18 November 2012          

Sunday, November 11, 2012

Bau Busuk dalam Sumur

Cerpen Fandrik Ahmad


DI korneanya, makanan yang tersaji di atas lincak kosong tanpa rasa. Nyeri pada bagian paha kiri telah meraibkan selera makannya. Sedikit-sedikit meringis, menggeliat, dan beringsut membetulkan posisi duduk agar terhindar dari rasa sakit, kram dan kesemutan. Betapa setiap gerakan itu tercermin sebuah alamat seseorang yang bosan menjalani hidup.

“Dimakan, Pak, mumpung masih hangat. Kapan mau sembuh kalau terus-terusan begitu,” tegur Misnatun, duduk di sampingnya. Sambal terasi sisa kemarin pagi yang sudah digoreng kembali disodorkannya.

“Taruh saja di situ. Belum lapar,” tukasnya. Salim tak berminat kendati di atas lincak tergeletak terong rebus—yang paling disukai—menggoda. Ikan asin pun gagal memancing lidahnya.

Salim berdiri. Langkahnya lambat. Tertatih-tatih ke beranda. Istrinya lesu di atas lincak. Seakan ada semacam tumpukan ulat yang sedang berpesta di dalam luka yang terus membengkak itu. Ketika pintu dibuka, secarik cahaya melabrak pahanya. Hangat. Hangat sekali. Barulah Salim sadar kalaulah matahari sudah cukup tinggi untuk dikatakan pagi.

Tangannya mengepal bersandar pada pilar bambu. Kedua alisnya mengerut, membentuk semacam kepak sayap burung elang yang tengah menemukan mangsa. Angin bertiup cukup kencang. Kepulan debu memanjang. Bergoyang-goyang. Menutup sebagian pandangannya. Daun-daun terlihat meranggas. Bertahan agar tak lepas dari tangkainya. Cericit burung hanya terdengar sekejap pada saat matahari belum tiba. 
Sudah menjadi keputusannya kalau Parjo akan dicoret dari daftar teman kerjanya. Toh, kehilangan Parjo bukan perkara memusingkan. Masih ada Dulla, Comper, Sadden, atau yang lain yang pasti mau bila diajaknya bekerja. Intinya bukan dengan Parjo…!

Salim menyelonjorkan kaki. Pahanya dipanggangkan pada terik yang berhasil menembusi beranda. Umpatan kerap tumpah ketika ember usang berisi parang tumpul yang digunakan untuk merapikan tepian sumur menusuk lamunannya. Ya, musibah itu tak mungkin, tak akan, dan tak pasti terjadi bila tangan lelaki hitam dan dekil itu cekatan meraih ember selepas menyudahi menggali sumur suatu hari, milik nyai Tomang. Akibat kelalaiannya, jadilah ember itu nyemplung kembali pada kedalaman sumur yang sudah hampir mencapai enam meter itu. Sialnya, ujung parang menancap dan menimbulkan histeris sesaat sebelum raib karena tak sadarkan diri.

Warga kampung dan yang setetanggaan dengannya sangat menyayangkan peristiwa itu. Pasalnya, mereka kini diselimuti perasaan cemas. Takut Salim tak mau lagi menggali sumur. Beberapa kali Salim melontarkan pernyataan tak ingin lagi menggali sumur kepada setiap warga yang datang membesuknya. Siapa nanti yang akan memberikan pasokan kebutuhan air bila Salim menjadi trauma dan tak mau lagi menggali sumur. Tak terbayang susahnya mencari air. Bila kemarau, ketergantungan kepada sumur sangatlah besar. Hanya sumur yang tak pernah susut kendati harus membuat lagi, lagi, dan lagi, bila sudah tandas.

Betapa pekerjaan yang semula dipandang sebelah mata kini bisa mengundang ketakutan. Ketergantungan pada Salim sangatlah besar. Tak terhitung seberapa banyak jasanya. Lebih banyak ketimbang lembaran kertas yang didapat dari hasil nyata atas jasanya. Satu sumur yang biasa dikerjakan dalam tempo seminggu cuma bisa dihargai antara 150 sampai 200 ribu rupiah. Itu pun seperempatnya masih dibagikan kepada tukang arit tanah galian. Tak ada yang mau mengambil alih pekerjaan itu tersebab upah tak sebanding dengan pekerjaan. Bila ada, mereka cuma bersedia menjadi tukang arit tanah galian. Tak ada yang berani turun dan mengeruk tanah sedalam mungkin sampai memuncratkan air. Lebih baik bekerja ke luar negeri ketimbang menggali sumur, begitulah kata sebagian besar warga.

Berkat dirinya, warga di kampung itu teringankan dari derita kemarau berkepanjangan. Tangannya seperti sebuah sumber yang memancarkan air. Yang menyelamatkan kampung dari kekeringan. Apabila salah satu dari mereka ada yang kebetulan tengah lewat di dekat sumur Nyai Tomang, tak lupa mereka meninggalkan umpatan kepada Parjo. Mengumpat apa saja yang bisa diumpat: memperkarakannya kepada yang berwajib, mendapat balasan yang serupa, mengasingkan atau mengusirnya dari kampung, sampai ada yang berani mengancam akan membunuhnya apabila Salim betul-betul tak mau lagi menggali Sumur.

“Parjo harus bertanggungjawab,” kata salah seorang warga.

“Mau bertanggungjawab bagaimana? Ya, namanya sudah apes,” yang satunya bersikap pasrah.  

“Kamu mau menggantikan kang Salim? Jadi tukang gali sumur?”

“Lha. Kok, jadi saya.”

“Makanya, pikirkan bila kang Salim tak mau menggali sumur. Siapa yang akan menggantikannya. Tak ada sumur. Tak ada air. Kampung ini akan mati!”

Kalajengking seperti baru saja menyengat bokongnya. Air mukanya menjadi keruh. Lamunannya membuat sketsa sejarah kampung yang dilanda kekeringan dan kelaparan hanya karena tukang gali sumur. Sebuah kampung yang melantunkan orkestra memilukan: kemerisik angin, desis kelaparan, dan lenguhan ternak yang memanjang. Terbayang kerabat dan tetangga menekankan kedua tangan di atas perut. Seperti sakratul maut, mereka merintih sampai ada yang menjerit sebelum berdamai dalam sebuah tidur panjang.

“Kamu benar. Parjo harus bertanggungjawab. Paksa dia menjadi pengganti kang Salim.” Lelaki itu pun terhasut.

Kebencian terhadap Parjo bertumpuk di dalam sumur itu. Menggantikan air yang gagal menggenang. Seperti sebuah gaung, darimanapun berteriak, gemanya akan sampai ke gendang telinga Parjo. Parjo tak tinggal diam. Ia mesti mencari perlindungan. Siapa tahu gaung itu akan bersambut menerkam dirinya.

Parjo mencari kuasa hukum yang bisa melindungi dan memberikan keadilan untuk dirinya. Toh, peristiwa itu terjadi bukan karena kehendaknya. Parjo mencoba bertamu ke rumah Ke Ramuk. Baginya, Ke Ramuk memiliki payung hukum negara. Bukankah kepala kampung juga pejabat pemerintah kendati cuma sekelas kampung, pikirnya. Ke Ramuk menyambut Parjo dengan muka Berat. Bibirnya ditarik separuh. Sepertinya lelaki tambun itu sudah mengetahui maksud kedatangannya. Parjo dipersilakan duduk.

“Tolong saya, Pak. Ancaman kepada saya semakin banyak,” jelas Parjo.

“Ancaman yang bagaimana?” Tenang Ke Ramuk bertanya. Wajahnya disetel supaya terlihat berwibawa.

“Pokoknya banyak. Ada yang ingin mengusir saya. Ada yang ingin membakar rumah saya. Ada juga yang mengatakan ingin membuat paha saya bengkak seperti kang Salim. Bahkan ada yang ingin membunuh saya,” jelasnya dengan nada yang sangat yakin dan melas.

“Begitukah? Hem…” Muka sinis tak bisa disembunyikan oleh Ke Ramuk.

“Ya, Pak,” tegasnya.

Sejenak keduanya terjebak diam. Parjo tak sabar menunggu ucapan Ke Ramuk yang selanjutnya.

“Kenapa kamu ke sini?”

“Saya mau meminta keadilan, Pak.”

“Lha, Kok ke saya? Memangnya saya polisi? Satpam? Atau tentara?”

“Selain pada bapak, saya harus meminta kepada siapa lagi. Bapak kan kepala kampung,” tegasnya.

“Tunggu dulu. Kalau urusan kampung, baru ke saya. Ini urusanmu,” pungkasnya tenang.

“Semua orang mengancam saya. Bukankah ini sudah menjadi urusan kampung? Ya, bapak wajib menolong saya.” Parjo mulai jengkel. Ia merasa dipermainkan.

“Ya, kamu pindah saja dari kampung ini. Selesai.”

“Bapak mengusir saya?”

“Tidak”

“Terus?”

“Apanya yang terus?”

“Siapa yang akan mencarikan emak uang?”

“Suruh saja melepas jandanya. Atau, saja sekalian bawa pergi.”

“Bapak ngawur!” Parjo mendorong cepat kursi duduknya ke belakang. Ia berlalu dengan langkah cepat namun berat.

“Ketimbang digebuki banyak orang!” teriak kepala kampung. Jelas suara itu ditangkap. Parjo tak mempedulikan. Sebagai orang kecil, betapa ia merasa kesulitan mencari keadilan di kampungnya sendiri.

Parjo tak tahu lagi harus berbuat apa. Ditatapnya perempuan tua yang tengah berdiri di depan pintu menunggu kedatangannya. Jelas sekali kerutan wajahnya di bawah lampu dop 5 watt di atas pintu itu. Melihat wajah anaknya yang redup, tak banyak yang dikatakan oleh perempuan itu kecuali memeluknya. Erat. Hangat.

Malam semakin larut tanpa dekapan sepotong bulan. Lampu dop tetap menyala membagi sinarnya ke beranda dan ruang dalam. Warga menyemut ke rumah Parjo. Mereka membawa parang, golok, celurit, pentungan, pikulan, gentong dan benda apa saja yang bisa menggebuk si empu rumah itu. Sementara di tangan kiri mereka memegang satu benda yang sama, obor.

“Penduduk kampung mendatangi rumah Parjo, Pak. Mereka membakar rumahnya,” lapor istrinya panik.

Sontak Salim bergegas ke beranda, mendongakkan kepala. Dari arah barat, kobaran api membubung tinggi. Salim merasa kalau kemarahan warga tersebab dirinya yang tak mau lagi menggali sumur. Satu sisi ia merasakan sebuah kebanggaan akan keberhargaan dirinya. Namun, itu hanya secuil ketimbang rasa ibanya. Bagaimanapun Parjo adalah orang yang kerap meyepuh peluh bersamanya. Menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok bersama. Makan ketela pohon yang dipanggang yang menghadirkan tawa ketika mendapati arang kulit ketela menempel di gigi. Dan, kenangan itu berjejak pada setiap langkah menuju kobaran itu.

“Terlambat, Pak,” teriak istrinya. Salim tak peduli. Ia terus melangkah. Akhirnya, Misnatun menjinjing sampirnya setinggi lutut dan bergegas membuntuti suaminya.

Kini Salim menatap sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Api yang sangat besar begitu nyata di matanya. Umpatan warga yang menyaksikan turut melumat rumah yang sebagian besar dibangun menggunakan bambu itu. Letupan mengerikan. Salim menggigit bibir sebelum menggeram. Matanya berubah basah. Di depannya, seorang perempuan tua menjerit-jerit seperti seorang yang kesurupan.

“Rasakan! Dasar pembawa sial!”  

“Mampus!”

Salim berusaha sekuat mungkin memegang emak Parjo yang berusaha keras ingin masuk ke dalam rumahnya. Di tengah ketidakpercayaan kenapa warga melakukan perbuatan senekat itu, yang ingin dilihatnya adalah Parjo. Ke mana anak itu? Kenapa hanya emaknya? Tak selamatkah dirinya? Oh, tidak. Semoga terjadi sesuatu apa pun dengannya, harap Salim. Matanya tak lebih panas dari api di depannya.

Kabar tentang Parjo baru tercium keesokan hari setelah pihak yang berwajib memastikan tidak ada korban jiwa dalam aksi pembakaran itu. Amarah warga belum reda tersebab sasaran utama raib entah ke mana. Namun, mereka lebih fokus membujuk Salim agar bersedia menggali sumur kembali. Apa jadinya jika tak ada yang mau menjadi tukang gali sumur. Ironis bila kampung dikenang sejarah hanya gara-gara tukang gali sumur. Sudah berulang kali Salim kedatangan tamu. Dan jawaban yang keluar tetap sama. Tidak!

Melalui kesepakatan bersama, kepala kampung membentuk kelompok penggali sumur. Suka tidak suka, bila sudah ditunjuk, maka harus bersedia. Warga bersepakat akan meneruskan sumur milik Nyai Tomang yang belum selesai. Setidaknya ada lima orang setiap hari yang harus bersedia menggali sumur. Yang bertugas di hari itu segera menjalankan tugasnya. Sampai di dekat sumur, mereka mencium bau yang janggal. Busuk. Ternyata, di dalam sumur itu, seonggok mayat tergeletak. Diangkatnya mayat itu beramai-ramai. Sebagian sisi kiri tubuhnya, dari kaki sampai kepala sudah melepuh dimakan ulat. Mereka berkesimpulan kalau posisi mayat ketika ditemukan menelungkup ke samping. Dan, mereka mengenalinya: Parjo.

Kematian Parjo seperti menjadi sebuah kutukan. Setiap kali menggali sumur, mereka hanya mentok pada kedalaman yang tak lebih dari sembilan meter. Macam-macam yang dirasakan si penggali sumur: gelap, pengap, menggigil, serta mencium bau bangkai.

Satu persatu sumur yang tersisa tandas. Kering. Namun, tak ada lagi yang berani menggali sumur. Kepala kampung kembali mengumpulkan para warga. Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua harus berkumpul. Lelaki tambun itu akan mengajak mereka, bersama-sama mendatangi rumah Salim untuk bersedia menggali sumur. Dengan cara apa pun. n

Jember, 22 September 2012


Lampung Post, Minggu, 11 November 2012

Sunday, November 4, 2012

Selawat Kelahiran

Cerpen S.W. Teofani


KAU makna tak terkata yang hadir pada musim umbi bertunas. Menguncupkan harapan penghuni bentala yang mulai lelah pada kemarau. Hadirmu berbarengan dengan rintik hujan pertama yang menghidupkan kembali bumi yang mati. Semoga begitu pulalah artimu bagi kehidupan, sebagai yang dinanti, yang diharap.

Sebelum kututupkan sehelai benang pun pada tubuhmu, ingin aku bersyahadah pada pesan Ilahiyat yang menyertaimu. Begitu polosnya kau bermula, penuh dengan magis ketuhanan, kuharap begitulah kembalimu. Ada percik cemburu karena waktu telah menggulungku dan melolosi kefitrahan yang dititipkan Yang Satu. Adalah titik demi titik suci itu terpercik nokhtah, hingga putihnya tak menjadi pendar lagi.

Kini warna itu semakin kusam. Setiap kucoba menyucikannya, terciprat lembar-lembar hidupku oleh percikan air suci yang beradu debu. Akankah kukembali seperti saat kubermula? Semoga kau jalan lurus yang menuntunku kembali pada awal yang bening. Hingga kutemui jalan kembali pada Mahahening pada suatu masa yang pasti.

Sebelum kusematkan sebentuk penanda pada seluruhmu. Aku tak ingin menghapus tanda abadi yang dianugerahkan Penguasa Tanda. Dia yang telah memberimu seluruh kasih dengan tanda cinta yang diabadikan pada binar matamu pun senyum yang akan kau tebarkan pada setiap makhluk. Sebagai penyampai dari rekah hatimu yang lebih lapang dari sahara. Lalu kau akan piawai membaca setiap tanda yang ada pada dirimu pun semesta. Dan tak perlu lagi kutambahkan tanda selain sebentuk nama.

Kelak kau yang akan menjadikan tanda itu mewangi atau tak lebih sebuah panggilan. Pada lakumu, penanda itu akan menjadi abadi atau sekejab melintas bumi. Adalah nama-nama yang dipanggil begitu lama, bahkan hingga jasadnya tak lagi ada. Tapi tak sedikit pula nama yang hanya berkelebat seumur hanyat, lalu padam bersama jasad.

Hari ini kau adalah keajaiban mungil dengan makna tak tepermanai. Hadirmu menyesap seluruh keluh yang tercipta mengiringi kau mengada. Kau penebus segala letih dan perih-yang tak untuk diratapi. Sakit itu, keluh itu, serupa biru muda merah jambu yang mengharu-birukan penyambutan untukmu. Sebab, memeluk alam rahim menjadi kebahagiaan yang disangsangkan Pencipta pada tiap-tiap ibu. Sebentuk amanah yang tak dipercayakan pada keperkasaan pun kegagahan, tapi kesabaran dan ketabahan yang panjang.

Aku tak menghamparkan permadani pun singgasana untukmu, hanyalah sehelai kain cinta yang tak pernah habis meski segala benang di bumi tak dipintal lagi. Aku tak menyiapkan upacara agung pada hadirmu, yang disaksikan para resi pun para ratu, hanya senarai doa yang tak bisa digantikan meski kau wasilahkan pada para wali.

Kau tak lahir dari perempuan nariswari yang membuatmu beruntung menjadi raja di setiap bumi yang kau huni. Kau juga tak ditakdirkan hadir dari trah kekuasaan yang membuat jarimu berharga sebelum mengerti arti harga. Dengan itu, semoga kau tahu makna menjadi, kau paham arti bersungguh, pun kesabaran yang hanya disangsangkan pada ketekunan panjang. Aku perempuan biasa yang menempa setiap yang mungkin dengan godam juang, maka kau yang akan menjadikanku nariswari atau kesahajaan abadi. Tapi Cintaku, tak ada yang kupinta darimu, hadirmu adalah segala yang disebut pinta. Kau melampaui ingin pun puja yang kutitipkan pada desau kemarau.

Muhyal Qulubku?, sesahaja apa pun perempuan yang melahirkamu, adalah keinginnan untuk menghantarkanmu pada tempat terbaik. Hari ini masih bisa kuhangatkan tubuhmu dengan peluk yang lebih hangat dari sinar mentari pagi. Tapi esok, kau adalah busur dengan lesap tak tertangkap pandangku. Maka kan kujaga gandewa waktu yang akan menghantarkamu pada zaman yang tak sama. Suatu hari akan kuhantarkan dirimu pada tangan yang lebih suci. Tangan-tangan teguh yang mampu menempa busur-busur zaman pada tumpu yang seharusnya. Hingga kau tak menjadi anak panah yang terpelanting pada tempat yang tak dikehendaki.

Suatu ketika, kan kupertemukan dirimu pada para penjaga. Manusia yang dipilih Sang Maha untuk merawikan kalam-Nya. Mereka para pemelihara yang dijaga lembar-lembar suci. Aku akan menyerahkan dengan rela pada saat bulan sabit belum menjadi purnama. Bukan karena kulelah menjagamu. Jika karena itu, tak lagi pantas manusia menyebutku ibu.

Semesta ini begitu luas, Sayang. Aku tak sanggup menuntunmu dari satu benua ke samudera lainnya. Adalah manusia lain yang jauh lebih tahu dariku. Kepadanyalah harus kau cecap pengetahuan itu. Sedang gugusan ilmu melampai luas buana, pengetahuanku tak sejumput pun dari adanya. Maka kutitipkan dirimu pada mutiara yang lebih nyala, pada padi yang lebih bernas. Dan kepada para penjaga kalam-Nya, kan kau temui nyala cahaya abadi yang lebih pendar dari purnama.

Suatu ketika kau akan kembali, merindui sosok yang tak muda lagi. Tapi kasihku selalu muda, cintaku selalu baru. Aku akan menanyaimu, adakah kau rasa cukup dengan ilmu yang dapat? Dan kuharap kau gelengkan kepala, karena ilmu begitu luas, dan waktu manusia hanya sejumput kesempatan yang tak cukup untuk mewadahinya.

Qulubku?sebelum kau mendaki gunung, adalah tapak yang satu. Sebelum tapak itu, adalah kau terjatuh, adalah rangkak juga tangismu sebagai penanda sebelum kau mengenal kata pun sanggup mengucapkannya. Dan tangis itu akan menyertai setiap hidup manusia. Dia adalah penyampai pesan Ilahiah yang hanya pecah pada kekalahan pun ketakberdayaan. Maka menangislah, dia adalah suara kejujuran yang memanggil hati semesta pada massa kau ditimang. Tapi tinggalkan tangis itu, saat Tuhan memberimu kemampuan lain padamu.

Kita bukan manusia-manusia yang termaktub dalam Kalam. Hanya sisa-sisa zaman yang coba mengais rida Tuhan. Maka jalan bukanlah jalur lempang tanpa tikungan. Kita akan melampauinya, dengan jerih yang masih tersisa. Maka masih ada asa untuk belajar pada ketabahan Siti Hajar saat seorang saja di padang pasir mengharap mata air. Karena kita dipercaya mengada sebagai penanda ada harapan di sana, untuk kembali dengan muka yang berseri. Maka teruslah kau baca Kalam itu, yang akan menunjungmu apa-apa yang tak kau tahu.

Hari ini, sebelum kukeringkan darah pada tubuhku pun tubuhmu, dengarkan panggilan yang lebih merdu dari requiem di kastil-kastil purba. Bersaksilah sebelum kau saksikan kesaksian yang lain. Adalah yang Mahabesar yang akan menaungi seluruh waktu kita. Dia yang menguasai hidup dan mati manusia. Dari-Nya kita bermula, dan kepada-Nya kita akan menyerahkan kembali seluruh yang diberikannya-Nya. Tiadalah selain Dia yang mengatur hidup kita, yang menguasai alam raya, juga tiap-tiap hewan melata yang ada di ceruk maya pada. Sempurnakan kesaksianmu duhai, Cintaku. Jaga kesaksian itu hingga tak lagi ada denyut di nadimu.

Tak akan kuangkat kau dari tempat tibamu. Dengarkanlah suara itu, yang mengajakmu bersyahadah pada manusia agung yang menjadi pilihan Rabb-mu. Dia manusia yang termaktub pada lembar suci, yang akan memberi pertolongan pada pengikutnya di hari saat manusia tak bisa saling menolong. Maka ikutilah dia, yang membawamu pada keselamatan.

Duhai makhluk suci? Ikutilah ajakan untuk menyembah Tuhanmu. Ajakan yang akan bergaung pada seluruh waktu yang dipinjamkan padamu. Maka kan kau tuai kemenangan dalam hidupmu. Anakku, itulah suara kesaksian pertama yang kau dengar dari laki-laki muasalmu. Jadikan pewarna darah yang mengalir di tubuhmu, hadirkan pada setiap tarikan nafasmu.

Kini kusimak tangismu, penanda kehidupan, pecah menembus hening malam. Aku tahu, kau belum mengenal irama, tapi rima yang kau perdengarkan melampaui pesona canang. Aku tak akan memeluk untuk mendiamkanmu, hingga kau redakan suara magismu. Kan kusimak baik-baik rautmu yang penuh keajaiban, dengan pesona Ilahiyat tak terbantah. Perlahan tangis itu reda, hingga kau diam gematar. Tangan mungilmu membuka genggam dengan sangat pelan. Matamu mencari cahaya. Bibirmu memanggil sumber kehidupan. Adalah aku tak sabar merengkuhmu, mendekapmu pada detak jantung yang akan selalu mengeja namamu. n


Lampung Post, Minggu, 4 November 2012