Sunday, August 25, 2013

Suwung

Cerpen Yulizar Fadli


SUWUNG: kelurahan kecil di sudut Kota Karangan. Penduduknya tak lebih dari 365 orang. Rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Selebihnya pemulung dan (dalam jumlah yang sangat sedikit) pekerja kantoran. Alkisah, di sinilah sebuah drama sederhana bakal digelar.

Dimulai dari Bawon yang berteriak sambil membanting gelas kopinya yang masih penuh.
Pasalnya, lelaki jangkung berambut keriting dan bermata lebar yang baru empat bulan lalu didapuk menjadi lurah itu dituding warga tak cakap melambuk keamanan. Tak hanya itu, warga juga menuntut agar si lurah segera membereskan masalah di tempat pembuangan akhir, yang jika musim hujan tiba, bau gunungan sampahnya menguar ke mana-mana dan menyebabkan pencemaran udara.

“Ada apa toh, Pak? Pagi-pagi kok sudah uring-uringan! Bukannya bapak harus pergi ke kantor?” oceh Mariyam, istrinya yang berhidung mancung sembari memungut satu per satu pecahan gelas kemudian mengeringkan ceceran cairan hitam yang masih hangat di atas marmer putih dengan kain pel.

“Enggak ada apa-apa! Sudah, jangan banyak omong. Cepat kamu berkemas dan bawa anak kita pergi ke rumah orang tuamu!”

“Memangnya ada...”

“Haah! Cepat sana!” potong Bawon sembari menggebrak meja kemudian berdiri dan melotot ke arah Mariyam. “Minta antar sopir! Jangan pulang sebelum kujemput!”

Tanpa menjawab, dengan langkah cepat perempuan sintal itu pergi menuju dapur kemudian masuk kamar membereskan pakaian sekaligus mengajak Nila—anak gadisnya yang baru selesai mengenakan seragam putih-biru—pergi meninggalkan lelaki jangkung berambut keriting yang sudah kembali duduk di sofa dengan napas tersengal.

Beberapa menit setelah anak-istrinya pergi dan napasnya kembali normal, Bawon menelepon Udin, penasihatnya, untuk segera datang ke rumah.   

*

Sejak Pak Kayun meninggal, Kelurahan Suwung jadi tak aman: rumah-rumah warga dirampok dan kendaraan-kendaraan mereka dibegal di tengah jalan. Warga juga sempat bergunjing perihal kematiannya. Ada yang bilang ia diguna-guna saingannya. Tapi sebagian lagi berpendapat ia bunuh diri karena istri mudanya kabur dengan pemuda lain. 

“Saya rasa dia kena serangan jantung. Maklumlah, sudah tua. Tapi entahlah, tak satu pun dari kita tahu sebab pasti kematiannya.” Seorang warga menutup perbincangan sambil memegang pemukul kentongan pada suatu malam di gardu pos ronda.

Keadaan diperkeruh dengan perginya Kang Juman ke Bukit Sulahan, tak jauh dari Kota Karangan. Ia sengaja mengundurkan diri dari kepoldesannya secara terhormat karena tak sudi dipimpin orang lain selain Kayun. Orang-orang Suwung mahfum akan keputusan Juman, sebab mereka tahu sejak bujang Juman sudah tinggal di rumah Kayun dan diangkat sebagai anak kesayangan almarhum.

Lelaki bertubuh kekar—dari tubuhnya aroma misik hitam menguar—yang tak pernah alpa menyelipkan sepasang golok beracun di pinggang; golok yang konon mampu membelah kepala orang sekalipun ia kebal, tak mempan segala jenis senjata, dan ditakuti di seluruh penjuru Kota Karangan itu memang telah berjanji akan membunuh siapa saja yang menjadi lurah berikutnya.

*

Pagi itu, warga berkumpul di rumah Kang Kasan, lelaki yang ditakuti selain Kang Juman sekaligus yang hafal betul pukul berapa Lurah Bawon ada di kantornya. Rambutnya lurus panjang, rambut itulah yang konon menjadi sumber kekebalannya. Kumisnya tebal melebihi Pak Raden. Ia juga didapuk oleh warga, meski belum sah bin resmi, sebagai calon lurah berikutnya. Di rumah itulah mereka berembuk melakukan pembusukan, mencari kelemahan, kejelekan, dan cacat kerja Bawon.

Rapat berjalan seru karena sempat diwarnai adu tinju antara Kaci dan Kisju. Tapi untungnya Kang Kasan bisa segera mengendalikan keadaan. Rapat kembali berjalan damai dan diakhiri dengan satu kesepakatan: apa pun yang terjadi, Lurah Bawon harus segera mengundurkan diri.
Usai rapat, dibuntuti matahari jam sembilan pagi, warga berbondong-bondong berjalan kaki mendatangi kantor kelurahan. “Sejak dipimpin lurah Bawon, pencurian semakin merajalela,” kata seorang warga pada warga lainnya.

“Ya. Dulu, zamannya Pak Kayun, Kelurahan Suwung ayem tentrem karta raharja. Enggak pernah ada kasus pencurian.”

Yang lain ikut menyeletuk.

“Tempat pembuangan akhir juga enggak parah kayak sekarang.”

“Adanya juga kasus edan. Kasus pencurian hati yang dilakukan para gadis terhadap bujangnya.”
“Ladalah, itu mah sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam.”

Sebagian dari mereka cekikikan sambil saling tunjuk dan sesekali mendorong pundak. Hal itu mengundang Kang Kasan mengeluarkan bentakan.

“Sssttt! Hehh! Fokus pada masalah! Kita ini mau demo, bukan guyon!”

Semua orang diam karena teringat motor, kambing, dan unggas yang kadung digondol begal dan maling. Dengan mata mencelang, mereka kembali berjalan menuju kelurahan yang sudah mulai tampak bangunannya.

Di bawah tiang besi bendera yang sudah karatan, warga langsung melempari kantor dengan batu sambil terus meninju-ninju udara.

“Mundur sekarang juga!”

“Ya sekarang juga!”

Teriakan kasar dari mulut puluhan orang yang seperti dirasuki demit neraka itu makin menambah heboh keadaan. Salah satu dari mereka, Kaci, sudah menyiapkan bensin dan kain yang dibebani batu untuk disulut api kemudian dilemparkan ke bangunan berukuran 20 x 16 meter itu. Dua kali Kaci melemparnya. Para pegawai yang mayoritas ibu-ibu berteriak-teriak dan menghambur keluar lewat pintu belakang. Ada pula yang nekat lewat pintu depan karena ingin menyelematkan sepeda motornya. Tapi tak jadi. Karena kendaraan roda duanya sudah lebih dulu dilahap api.

Sementara di halaman belakang kantor, beberapa warga sudah berjaga. Mereka tak hendak melukai bapak-ibu itu. Hanya satu orang yang mereka inginkan: Bawon!

“Sulut lagi. Lempar!”

Kaci, sambil berdiri di atas dudukan besi tiang bendera, langsung menyulut dan melemparnya untuk ketiga kali ke arah jendela. Bunyi kaca pecah hampir tenggelam oleh suara kerumunan orang yang terlanjur mengamuk. Aduh, apa untungnya membakar kantor? Bukankah merugikan kelurahan sendiri?

“Goblok! Jangan dibakar habis. Memangnya bisa kantor kelurahan dibangun pake gigimu yang merongos itu!” pekik Kasan sambil menyontoloyo kepala Kaci.

“Maaf, Kang. Saya emosi.”  

“Halah, telek!”

Lima orang masuk ke kantor—sempat mengobrak—abrik dan menggasak uang dari laci keuangan—untuk mencari Lurah Bawon yang ternyata tak ada di ruangannya. Mereka mengumpat, meninju pintu, dan membanting foto Bawon bersama wali kota yang dipajang di atas meja kerja kemudian keluar melaporkan kejadiannya pada Kang Kasan. Mendengar itu, muka Kang Kasan merah padam dan sorot matanya berubah tajam. Ia berteriak sembari mengangkat tangan kanan, memberi tanda pada warga untuk segera menghentikan aksi mereka. Dalam hitungan detik, semua berhenti dan segera menghikmati titahnya.

*

“Pasti Kasan biang keladinya!”

“Terus aku harus bagaimana?”

“Lapor polisi.”

“Aku sudah melapor dan menceritakan semuanya.”

“Mundur sekarang juga atau kabur dari sini.”

“Itu tidak menyelesaikan masalah, Din. Sebentar lagi mereka pasti menuju ke mari dan mengacak-acak rumah ini. Ah, untunglah aku sudah menyuruh istri dan anakku pergi ke rumah orang tuanya di Bandaran.” Kemudian ia mengepalkan tinju, “Hah! Memang bangsat Si Kasan! Dia sengaja membuat namaku jelek di mata warga! Padahal dia sendiri otak semua pencurian dan perampokan di Suwung ini. Dia juga yang memaksa pekerja di tempat pembuangan akhir mangkir selama dua bulan.” Kali ini suaranya ditekan, “Dan dia juga tahu kalau aku saksi kunci atas pembunuhannya terhadap Pak Kayun. Kalaupun aku mundur, dia tetap akan membunuhku, Din!” katanya sembari duduk di sofa ruang tamu dan sebentar-sebentar menggeser pantat kemudian memanjangkan leher ke halaman depan. 

Salah satu dari mereka tiba-tiba melihat kelebat di depan pintu. “Siapa itu?” Bawon bangkit berdiri dan memeriksa keadaan luar.

“Siapa apanya. Aku enggak ngeliat apa-apa.”

“Aku lihat ada orang di balik pintu ini.”

“Jangan ngelantur, Won.”

“Aku lihat dia. Aku lihat dengan mata kepalaku, Din.”

“Ya. Tapi siapa? Buktinya enggak ada apa-apa kok!” Sambil memegang jidat lebar lawan bicaranya, “Apa kamu sakit?”

“Aku takut, Din.”

Ketika keduanya selesai mengunci pintu, menutup korden, membalikkan badan, dan berjalan menuju sofa, tiba-tiba mulut mereka menganga dan tubuh mereka seperti pohon ditebang.

“Mundur! Mundur! Mundur!” teriak puluhan orang yang sudah berada di depan pagar rumah Bawon.

“Keluar kamu, Won!”

“Sudah, robohkan atau panjat saja pagar sial ini!"

Satu persatu warga memanjat pagar tembok setinggi 2 meter itu dan langsung masuk ke rumah. Salah seorang dari mereka, yang sudah lebih dulu mendobrak pintu dan sampai di ruang tamu, berteriak lantang.

“Bawon dan Udin mati. Kepala mereka terbelah dua!”

Tak selang beberapa lama, Kasan bersama warga berkumpul berdesakan menyaksikan secara bergantian betapa kedua orang itu telah tergeletak tak bergerak. Darah mengalir dari belakang kepala dan menggenang di lantai marmer putih. Kasan merunduk dan akhirnya berjongkok di dekat kepala dua mayat itu. Warga sibuk bergunjing satu sama lain, menduga-duga siapa gerangan pembunuhnya. Sebagian lagi mendekat dan memberanikan diri bertanya pada Kang Kasan. Tapi yang ditanya tak menjawab. Ia malah mengernyitkan dahi kemudian mengangguk pelan sambil terpejam ketika dari lubang hidungnya tercium aroma minyak misik hitam menyengat. Pelan-pelan Kasan bangkit dari jongkoknya. Beberapa warga mundur satu-dua langkah untuk memberikan ruang agar berdiri pimpinan mereka leluasa.

“Siapa lagi!” desis Kasan pada diri sendiri sembari mengepalkan kedua tangan, menyunggingkan bibir, dan mengangguk berkali-kali. Tapi anggukannya segera terhenti. Matanya mendelik seperti keselek ratusan duri. Warga sempat melihat dan ingin meneriaki Kasan ketika kilatan golok mengarah ke kepalanya. Tapi teriakan mereka terlambat karena tubuh Kasan sudah keburu rubuh di samping mayat Bawon dan Udin. Mereka menjerit ketika melihat otak Kasan keluar dari batok kepalanya yang terbelah dua. Bau anyir dan misik menguar bergantian. Masing-masing warga, dengan gerak cepat, menoleh ke kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah, kemudian lari kocar-kacir meninggalkan ruangan itu.

Sementara di luar, di empat sisi rumah si mati, puluhan polisi sudah mengepung dengan senjata api.

Gunung Terang, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013

Sunday, August 18, 2013

Fitnah Kayla

Cerpen Benny Arnas


KECUALI Lubis Sulaiman, Kayla tak tahu banyak tentang keempat calon wali kota Lubuklinggau yang lain. Justru karena keterbatasan pengetahuannya pula, ia akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kalinya. Dan yang akan dicoblosnya bukan kertas suara bergambar laki-laki berkumis rimbun itu. Ya, ia sangat berharap suaranya dapat membantu calon lain untuk menjungkalkan Lubis Sulaiman!

*

Dua minggu ini, perbincangan di rumah, kedai, pasar, hingga masjid, hanya berputar pada topik pemilihan kepala daerah Lubuklinggau. Seperti biasa, masyarakat akan menjelma penilai yang paling lihai. Mereka sibuk membanggakan si ini dan si itu atas dasar kesamaan tempat kelahiran, hubungan darah, atau bantuan yang secara pribadi pernah mereka dapatkan.

Tak jarang obrolan mereka melipir menjadi perdebatan hingga pertikaian. Tak terkecuali para pelanggan pempek dan gorengan di kedai milik Kayla di simpang jalan utama Ulaksurung. Kayla kerap tersenyum sinis—bahkan perutnya bisa tiba-tiba mual—menyaksikan fanatisme buta itu.

“Laki-laki yang bisa memimpin itu salah satu cirinya berkumis. Makin tebal kumisnya, makin kelihatan wibawanya.”

“Betul sekali, Man! Walaupun selama ini tinggal di Lampung, tidak berarti si Lubis tu melupakan tanah kelahirannya. Lihatlah, jalan-jalan kecil yang sering kita lalui untuk menyadap karet, dua minggu lagi akan diaspalnya.”

“Aku juga sependapat, Pakcik! Untuk Agustusan tahun ini, si Lubis akan mendanai semua kegiatan. Bayangkan lomba gaple saja hadiah utamanya sepeda motor, lomba makan kerupuk hadiahnya Rp500 ribu! Nah, bisa kita bayangkan acara pesta rakyatnya nanti!”

Percakapan itu menahan Kayla di balik gorden yang memisahkan tempat pembeli dan bilik belakang. Ia bahkan menyuruh Sika, anak gadisnya yang tengah menggoreng pempek, untuk membawa gelas-gelas kopi ke hadapan mereka. Kebiasaannya membaur dengan para pelanggan menguap sudah.

“Biar Mak yang meniriskan gorenganmu,” ujarnya, seraya mengambil sendok penggorengan dari tangan Sika.

“Sepertinya orang sekampung ini mendukung Pak Lubis ya, Mak?” cerocos Sika, sekembalinya dari depan. Kontan, kalimat anak semata wayangnya itu menyalakan luka yang perlahan padam di dada Kayla.

“Tak baik menguping Sika. Kau belajarlah saja supaya lulus SMA!” seru Kayla, seraya memasukkan adonan pempek ke dalam belanga. Bunyi ribut minyak panas membuat kata-katanya tak terlalu jelas di telinga Sika.

“Sika kan cuma mengikuti perkembangan, Mak. Masa Sika tak tahu apa-apa kalau ditanya tentang pemilukada di sini, Mak,” jawab Sika polos. Ia membereskan beberapa gelas kotor ke dalam bokor plastik.

“Sudah, sudah!” Kayla mulai kesal. “Kau lekaslah ke depan. Siapa tahu Pakcik Rahman dan kawan-kawannya sudah mau pergi. Nanti saja kau cuci gelas-gelas itu! Hari Ahad ini kedai kita buka setengah hari saja.”

*

Awal Agustus itu, Sika kembali membuat ibunya muntah. Kayla membaca tulisannya tentang Lubis Sulaiman pada selembar kertas di atas meja belajarnya.

“Kenapa pula Mak ni, setiap bicara pemilukada selalu naik pitam?” tanya anaknya tak mengerti. ”Bukannya Mak sendiri bilang, kalau tahun ini Mak tidak akan golput?”

“Ya, tapi suara Mak bukan untuk si Lubis itu!” sahut Kayla, ketus.

“Terus apa masalahnya sama Sika, Mak?” protes Sika.

“Ini!” Kayla mengangkat selembar kertas seperti menunjukkan barang haram yang disembunyikan anaknya. “Buat apa kau sanjung-sanjung si Lubis?”

“Itu kan naskah Lomba Menulis Surat untuk Pemimpin Lubuklinggau dalam rangka peringatan 17 Agustus ini, Mak,” jawab Kayla polos.

“Kenapa pula harus si Lubis yang kau puji?”

“Mak seperti tak tahu saja,” ujar Kayla, dengan senyum kecil seolah menyindir ibunya, “Yang mengadakan lomba itu kan tim suksesnya Pak Lubis, Mak. Jadi, kalau Sika mau menang, ya harus kupuji-pujilah dia, Mak. Lagi pula …”

”Lagi pula apa?” potong Kayla cepat.

“Menurut Sika, dari lima calon yang ada, Pak Lubis paling keren, Mak!”

“Jaga mulutmu, Sika!” suara Kayla seperti gemuruh lahar yang hendak muncrat. “Tahu apa kau tentang dia?!” Dadanya megap-megap.

Sika terperanjat. Dia benar-benar tak menyangka kalau ibunya dapat berubah beringas hanya karena hal sepele.

“Jawab?!” Kayla melotot. Jarak wajahnya dan wajah Sika tak lebih lima jari.

Sika berjalan agak mundur. Ia benar-benar gentar dengan kemarahan ibunya.

“Jawab, atau ….” Kayla menghentikan gerakan tangan kanannya yang hendak menampar Sika.

Sika terduduk di lantai setelah menyandarkan tubuhnya cukup lama di dinding. Ia terus berpikir mengapa ibunya begitu membenci Pak Lubis.

*

Kayla tahu ia tak seharusnya bersikap kasar pada Sika.

Putrinya itu tak tahu apa-apa tentang perasaannya, musabab kemarahannya, dan hal-hal yang menyakitkan lainnya. Tapi, ia sungguh-sungguh tak bisa menerima apa-apa yang terbaca dari tulisan Sika beberapa waktu yang lalu.

Anak gadisnya itu tidak hanya memuji visi-misi laki-laki yang belum genap berusia lima puluh tahun itu sebagai calon wali kota, tapi juga kontribusinya pada Kelurahan Ulaksurung, kepeduliannya pada acara tujuh belasan, dan ketampanannya. Ia yakin tulisan putrinya itu tak sepenuhnya mengada-ada demi hadiah, tapi lebih banyak didasarkan pada pendapat pribadinya.

“Mak.”

Panggilan Sika membuyarkan lamunannya malam itu.

“Ceritakanlah yang sebenarnya, Mak.”

“Tentang apa, Nak?” Suara Kayla agak bergetar. Perasaannya tak enak.

“Semua yang Mak tahu tentang Pak Lubis.”

Deg! “Mengapa tiba-tiba kau menanyakan itu?” refleks Kayla meneguk liur.

“Mengapa pula Mak selalu benci pada orang-orang di kedai yang membincangkan Pak Lubis? Mengapa Mak tak memperbolehkan Sika mengikuti lomba menulis yang diadakan tim suksesnya? Mengapa Mak bersikap aneh sejak Pak Lubis jadi calon wali kota?” berondong Sika penuh penasaran.

“Sika, kau, kau, kau... Apa maksudmu?” Kayla tak mampu menyembunyikan kegugupannya. “Jangan terlalu jauh berprasangka,” ujarnya, dengan suara ditahan. Tubuhnya mendadak menjadi dingin dengan keringat yang berebutan tumbuh di pori-pori.

“Jangan-jangan Pak Lubislah laki-laki yang menyebabkan Sika menjadi yatim seperti ini, Mak?” suara Sika terdengar lantang dan menghujam hulu hati Kayla. “Mengapa Mak diam saja?” desak Sika. Kali ini ia menyentuh bahu Kayla. “Apakah Mak akan membiarkan Sika pura-pura tak tahu semuanya sebagaimana Sika yang tak pernah mengenal wajah Bapak.”

Kayla terdiam. Ia benar-benar tak menyangka kalau bumerang yang ia lempar dulu, baru menyerangnya hari ini. Sungguh, ia tak ingin semuanya terbongkar.

“Kenapa tak kita laporkan saja Pak Lubis, Mak?”

Sigap Kayla memeluk Sika yang sudah larut dalam tangis. Ia mengusap-usap rambut putrinya yang perlahan merenggangkan pelukan.

“Jadi, benar Pak Lubis yang membunuh bapak, kan, Mak?” mata merah Sika menatapnya, dalam dan tajam.

Kayla bergeming. Hanya air mata yang bergerak menyentuh ujung bibirnya. Ingatannya melayang pada cerita yang ia karang saban Sika menanyakan ayahnya dulu.

“Bapakmu dibunuh orang tak dikenal pada pertengahan Agustus 1997. Mungkin dia punya masalah dengan bapakmu. Karena tak tahan menanggung rindu pada bapakmu, Mak membakar semua foto-foto pernikahan kami. Itu pula yang menyebabkan Mak memboyongmu pindah dari Lampung ke kota yang jauh ini. Jangan tanyakan lagi tentang bapakmu, Nak. Kita mulai hidup baru di Lubuklinggau ini.”

Sika, pada akhirnya percaya pada cerita karangan itu. Dan Kayla tak pernah menyangka kalau beberapa hari yang lalu Sika akan bertindak jauh melampaui perkiraannya. Ia lupa, usia Sika sudah hampir tujuh belas. Ia bukan lagi anak-anak. Sika mengikutsertakan tulisannya dalam lomba menulis surat itu. Ia membeberkan kebejatan Lubis Sulaiman. Benar saja, satu minggu kemudian, ketika kedai sepi pembeli, Kayla didatangi orang-orang yang mengaku anggota tim sukses Lubis Sulaiman.

“Bapak sangat terkejut membaca tulisan putri Ibu,” ujar salah seorang dari mereka. “Bapak sangat ingin bertemu dengan Sika dan ibunya. Bapak ingin bertanya beberapa hal. Yakinlah, Bapak orangnya baik, Bu,” tutur pesuruh Lubis Sulaiman itu sangat sopan dan meyakinkan.

“Sika belum pulang sekolah, Pak,” jawab Kayla dengan degup jantung yang susah ia kendalikan. Ia menyesal telah melibatkan Sika sejauh ini.

Dialah muara fitnah ini. “Tapi apa-apa yang Sika tulis dalam suratnya sepenuhnya atas sepengetahuan saya. Jadi, lebih baik bapak-bapak membawa saya saja.”

Anggota tim sukses itu berpandangan sebelum salah satu dari mereka mengangguk. Kayla menutup kedai dengan gerakan terbata-bata. Andaikan saja fitnah itu tak pernah ditanamkan ke kepala Sika, ia takkan secemas ini menghadapi Lubis Sulaiman, laki-laki yang pernah berjanji menikahinya setelah hubungan terlarang mereka di perkebunan damar di Kalianda pada Agustus enam belas tahun yang lalu.

Ah, tak guna aku gentar, batin Kayla, kini giliran kami yang menang, wahai Sulaiman. Ya, bagaimana kau akan menunaikan janjimu pada rakyat, bila pada kekasih dan darah dagingmu sendiri saja kau tak pernah peduli?

Kayla menghela napas kuat-kuat. Ia masuk ke mobil mewah tim sukses Lubis Sulaiman dengan hati yang dikuat-kuatkan. n
 
Rabu, 10 Juli 2013


Lampung Post, Minggu, 18 Agustus 2013