Sunday, April 25, 2010

Sepercik Cahaya Tuhan

Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim



TIBA-TIBA saja Nunung terjangkit penyakit diam. Rekan-rekan indekosnya sempat dibikin celingukan. Selama ini ia dikenal sebagai gadis yang lincah, periang, dan teramat mudah untuk beradaptasi. Di mana ada Nunung, disitulah terjadi suasana gelak tawa meledak-ledak. Namun, sampai sore ini ia masih diam seribu bahasa. Bahkan berbagai permintaan pengisian acara juga ditolaknya tanpa berkomentar apa-apa.

Nunung memang tergolong gadis serbabisa. Ia pernah menjuarai lomba karaoke, aktris teater, dan deklamator terbaik tingkat daerah, maupun lomba-lomba pada tingkat nasional. Belum lagi grup musiknya yang sudah demikian kondang. Dari seringnya ia mengisi acara dan show kemana-mana itulah, rekan-rekannya menjulukinya gadis balcony.

Tentu saja Nunung tidak memperoleh semuanya itu dengan begitu saja. Segalanya telah diperjuangkannya sejak kecil dengan pengorbanan yang tidaklah sedikit; pengorbanan waktu, tenaga, dan tentu saja pengorbanan biaya. Demikian kehendak orang tuanya, agar kelak ia menjadi seorang gadis yang dapat menaklukkan balcony. Dan ia sama sekali tidak menolaknya, sebab Nunung memang mempunyai kehendak yang sama. Sehingga hampir tiada waktu yang tersisa di masa-masa kecilnya.

Dan kini semuanya telah teraih. Hampir tiap malam ia tak pernah ada di rumah indekosnya. Mulai dari permintaan baca puisi di pertemuan-pertemuan resmi kampus, sampai dunia tarik suara. Maklum ia menguasai hampir seluruh lagu-lagu dari jenis pop, keroncong, sampai pada irama musik dangdut yang sekarang lagi tren. Padahal hampir setiap pagi ia harus pergi ke kampus studinya.

Tapi apa makna dari semua ini bagi Nunung? Ia sudah demikian jauh dengan gebyar sorak-sorai warna tepukan. Toh perjalanan pentas tak pernah menemui ujungnya. Bagai meneguk air lautan; semakin direguk makin bertambah haus saja. Lalu sampai di manakah bakal menemukan batas balcony itu.

Tak terasa air matanya meleleh mengaliri pucat pipinya dengan seribu kegalauan. Air mata ketakpastian. Sebab, dari dunia balcony inilah Nunung membiayai seluruh bekal yang diperlukan dalam menyangga hidupnya. Rasanya ia tak bisa meninggalkan begitu saja dunianya. Namun, rasanya ia juga tak bisa terus menerus mengikuti begitu saja dunia yang kini mengalirinya.

�Tidak usah menangis Nunung��.,� sergah Ipah, teman kampus sefakultasnya yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya. �Sebab, tangisan itu hanyalah sebuah kesia-siaan yang tertunda.�

�Aku lagi kalut, Pah���..�

�Dari kesempitanlah manusia bisa menciptakan kesempatan.�

�Aku serius, Pah. Aku butuh bantuan untuk mencari jawaban.�

�Lebih baik terlebih dahulu memahami pertanyaan dari pada mencari jawaban��..�

�Ah, Ipah. Aku tidak main-main. Besok di kampus saja kuladeni kamu untuk berilusi-ria memperdebatkan soal-soal filsafat!�

�Hi�hi�hi��Nunung�Nunung. Rupanya gadis semacam kamu masih juga memiliki waktu untuk bersedih.�

�Ipah, kiranya aku segera meninggalkan dunia balcony-ku.�

�Jangan tergesa-gesa kamu memutuskan seperti itu, Nung.�

�Apalagi yang harus kucari? Nama besar? Ketenaran? Pujian? Huh! Semuanya hanya penipuan yang terselubung. Pada kesenian sulit kutemukan kebersahajaan diri, ketulusan hidup, dan kejujuran. Ternyata seni cuma mengajariku untuk mengerti apa itu waktu. Tetapi tak pernah mengajariku untuk memahami apa itu ruang.�

�Kemudian apa yang kau perbuat?�

�Diam, barangkali.�

�Diam itu kematian, Nung!�

�Apa beda jalan diam dan jalan gerak?! Diam itu sebuah titik, Pah. Dan gerak adalah merupakan gabungan dari titik-titik itu. Lalu salahkah jika aku hendak menjadi hanya sebagian dari titik-titik itu?!�

�Kenapa tidak kita gunakan kesempatan saat orang masih mau mengasih kita peluang?�

�Diriku cuma tahu siapakah aku. Tapi aku yakin, kau tidak mengerti siapakah sebenarnya diriku ini��..!�

Keduanya diam. Tak seperti biasanya. Biasanya, gadis dwi tunggal ini selalu mengakhiri perdebatan dengan tawa ria. Atau jika permasalahannya belum selesai, keduanya berpesan untuk kapan bertemu kembali dengan saling mengerutkan wajah. Dan kali ini cuma kesedihan yang letih. Keduanya seakan baru tersadar.

Nunung seolah memahami kalau soal yang tengah dipermasalahkan adalah kenyataan hidup yang riil, bukan persoalan-persoalan realita academica yang bisa dijadikan bahan perdebatan dengan gadis calon filusuf ini. Demikian juga dengan Ipah, ia seakan baru memahami tantangan kejadian yang tengah menimpah sahabat karibnya. Dan kini keduanya mencoba sama-sama mengerti dalam diam.

Nunung sebenarnya tengah mendendam luka lama. Enam tahun silam, saat pertama kali ia menginjak kakinya ke Jakarta, adalah merupakan puncak-puncak kesedihan hidupnya. Beban kematian kedua orang tuanya yang cuma selisih beberapa bulan belum terobati, malah muncul luka hati yang sama sekali di luar perkiraannya; om dan tante yang turut membesarkannya malah akan menikahkan dirinya dengan salah seorang direktur muda dari sebuah perusahaan di Jakarta.

Padahal pada waktu itu ia baru duduk di kelas satu SMA. Maka dengan bekal pertengkaran yang berkepanjangan itulah, Nunung memutuskan dirinya untuk meninggalkan rumah om dan tantenya. Barangkali Jakarta lebih ramah dari Bandung yang kukuh dan angkuh. Dan nyatanya, Jakarta memang sedikit ramah ketimbang Bandung. Bahkan seluruh teman-teman dekatnya tak satu pun yang membenci kehadirannya. Sehingga hidupnya yang sebatangkara terasa lebih ramai dan penuh suasana keakraban. Bahkan Nunung telah menjadi pusat persahabatan.

Lalu untuk siapakah semua ini ia perjuangkan? Apakah perjalanan-perjalanan panjang kehidupannya ia pergunakan untuk meraih kemegahan hidup? Ataukah demi menciptakan sebuah gelas kaca yang akan dapat menampung segala kejanggalan luka dan dendam amarahnya?

Yang jelas, kini Nunung hendak menempuh jalan kedamaian. Ia sudah meraih kemegahan hidup bersama orang tuanya dulu dengan berlimpah harta dan benda. Sedang dengan luka yang lama, biarlah itu menjadi gugusan kenangan yang akan sirna tenggelam bersama kedamaian. Maka diputuskan untuk menjadikan hidup dengan cara yang diputuskannya sendiri.

Waktupun kian berlalu. Satu tahun sudah Nunung menjalani hidup dengan diam. Kini ia jarang sekali keluar kemana-mana. Nunung benar-benar sendiri bersama gemebyar kenangan masa lalunya dan barangkali dengan seonggok mimpi tentang esok dan lusa. Di kamarnya yang sunyi, ia hidup dengan hamparan luka hati dan jajaran ilusi.

Betapa tidak? Kesendirian Nunung ternyata tidak membuahkan kedamaian diri, melainkan sebuah keputusan yang terpendam barangkali. Ia hanyalah bak melempar sebuah kerikil ke dasar sungai yang berombak tenang dipermukaan. Terlempar jatuh ke dalam, untuk kemudian hilang tanpa masa depan. Buktinya Nunung makin hari bertambah kurus dengan wajah cekung ketua-tuaan.

�Apa sebenarnya yang kau cari, Nunung?� Teriak hatinya bimbang. Ternyata pada diamnya pun kau juga tak lebih paham. Kini kau bisa merasakannya sendiri bahwa sepi tak selamanya punya hati. Sepi ternyata tak menjanjikan ketenangan-ketenangan yang selama ini kau impikan. Kini kau mengerti kalau dalam kesunyian tak selalu menawarkan benih kedamaian. Bahkan sunyi kini telah membelenggumu dalam jarring-jaring kenyataan yang tak pernah kau fahami; Sebuah kenyataan semu di mana dirimu hanya hidup sebagai benda pasif yang tak tahu mana yang harus kau tentukan. Bagai memandang garis maya. Sebuah peta tentang jalan yang tanpa arah.

Kemudian apa makna kesendirianmu sampai kini? Bukankah ini arah surut yang buntu? Sebuah kematian di atas kematian jiwa raga? Sedang untuk meniti kembali setapak jalan lalumu, jelas merupakan sesuatu yang tak mungkin terwujud. Sebab kau sendiri telanjur membelanya dengan rasa benci.

�Apa yang tengah kau tangisi, Nung?!� tanya Ipah sambil mengangkat bahu Nunung secara lembut perlahan.

�Aku bingung, Pah. Ternyata hidup ini hanyalah jalanan ilusi yang berkepanjangan. Aku tak pernah menemukan kebahagiaan batinku sendiri. Dalam canda tawa ria���, dalam keramaian masa laluku, yang aku rasakan sebenarnya sebuah tangisan yang pahit di lubuk hatiku yang teramat dalam. Dan pada sunyi kesendiran pun ternyata masih tak kutemukan pula jiwa ketenteraman.�

�Nunung, keramaian, kesunyian, hanyalah permainan raga. Kita sering kali tak bisa menipu batin sendiri. Dalam keramaian tak jarang kita merasakan napas kesepian. Begitu pun dalam kesunyian, terkadang kita malah bergolak dengan deru batin kita sendiri.�

�Lalu kapan aku harus mendapatkannya��..?�

�Mintalah jawaban dari batinmu sendiri. Sebab dialah yang lebih mengerti. Bertanyalah kepadanya, benarkah dalam perjalanan kesendirianmu yang telah lalu adalah untuk mengejar kedamaian hidup? Ataukah sekadar untuk mengubur kelelapan masa lalumu?�

�Jika jawaban yang kedua, salahkah yang aku lakukan?! Aku sungguh-sungguh tak ingin kembali menjamah dunia balcony-ku yang sering kali menginjak-nginjak rasa kemanusiaanku sendiri. Aku ingin menjadi manusia apa adanya. Bukan dengan balcony yang kamuflase itu! Dan karena gejolak hatiku masih menjadi-jadi untuk meloncat-loncat pada dunia balcony-ku, terpaksa aku menyelesaikannya dengan rasa diam hingga semua rasa gejolak itu hilang.�

�Kau tak sedang menyelesaikannya, Nung. Tapi kau sedang mengakhirinya. Ingatlah Nung, sesuatu yang berusaha kita lupakan sebenarnya ia merupakan sesuatu yang paling sering kita ingat. Dan penyelesaian tidak harus dengan jalan meninggalkan segala-galanya. Kalau sesuatu itu bisa kita manfaatkan sebagai media kebenaran untuk bekal batin kita, mengapa harus kita tinggalkan?�

�Lalu apa yang harus aku lakukan, Pah?�

"Saya kira kamu lebih tahu daripada saya, Nung.�

Mendengar jawaban itu Nunung jadi diam kembali. Pikirnya, kalau dirinya tahu dengan apa yang dia perbuat, tentu tak bakalan dia menanyakan hal itu padanya. Dia sendiri tak tahu, kenapa Ipah tak mau menjawabnya dengan terus terang. Bahkan cenderung menmbelit-belit kata.

Kini ia tak mengeluarkan sepatah kata pun, hingga Ipah pamitan keluar. Dan Nunung pun hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar yang penuh dengan berbagai problematika yang tak kunjung menemukan jalan keluarnya.

Lama sekali Nunung berada dalam kesendirian semacam itu. Untung saja, di ujung kebimbangannya ibu indekosnya datang membawa segelas air rohani. Di elusnya rambut Nunung dengan penuh kasih sayang. Dan Nunung pun segera menyandarkan tubuhnya pada ibu indekos dengan manja, bagai seorang anak yang rindu kasih sayang ibunya.

�Apa yang sebenarnya terjadi, Nung?� tanya ibu indekosnya dengan suara khasnya yang menyejukkan.

�Entahlah, Bu. Saya benar-benar kalut. Dan saya kira Ibu sudah mengerti apa yang tengah saya alami.�

�Aku cuma mendengar sedikit dari Ipah. Tapi aku tak percaya jika orang seperiang kamu bisa mengalami hal semacam itu.�

�Apa yang dikatakan Ipah benar, Bu. Begitulah yang saya alami sekarang. Saya benar-benar dalam keadaan bingung, Bu���..�

�Mintalah jalan kepada Tuhan, Nung. Sebab Dialah yang tahu persis jalan yang akan mengantarmu ke dalam kedamaian. Dan senantiasalah ingat pada-Nya, niscaya kedamaian dan ketenteraman akan segera meliputi kehidupanmu.�

Nasihat yang bersahaja itu, di kalbu Nunung terasa bagai air penyejuk. Kata-kata itu mengalir ke seluruh celah-celah jiwanya. Sehingga ketulusan batin Nunung terpadu jadi satu dengan semilir angin kebersahajaan menyusuri hamparan ruang dirinya dengan sepercik harapan baru; sebuah semangat untuk menyongsong masa depan matahari yang bercahaya benderang dengan seperangkat senyum kejujuran.

Kini garis-garis peristiwa yang berkepanjangan itu telah usai dilaluinya. Semoga esok hari cahaya itu berwujud sesuai dengan yang berada di tabung kepalanya. Dan tak lagi jadi bayang-bayang yang justru menguburnya kediriannya.

Jakarta, 29 Maret 2010


Lampung Post
, Minggu, 25 April 2010

No comments:

Post a Comment