Sunday, October 30, 2011

White Horse, Oktober 2211

Cerpen Tandi Skober


Libya, Oktober 2011

"Tarian tirani itu terhenti Sirte,” tulis saya di sebuah mal berdebu. Pesawat NATO di atas Libya bagaikan laba-laba berserabut ribuan pelor, di darat para pejuang Dewan Transisi Nasional (NTC) merangsek masuk terbakar mesiu, dan Mu’ammar al-Qadhdhafi terpuruk merenda hari terakhir di dalam gorong-gorong pembuangan air. Ia melukis sisa kekuasaan di ruang sempit bercahaya matahari mesiu yang sunyi. Saya dekati Khadafi. Saya bacakan sajak Kwatrin-Kwatrin Musim Gugur Goenawan Mohamad, “Di udara ungu proses pun mulai. Senja membereskan daun-daun. Menyiapkan ranjang mati."

***

White Horse, Oktober 2211

Saya berdiri di atas mimbar cahaya tertelikung jaringan situs CghK. Ini membuat mataku berkerjap-kerjap. Seraya membetulkan letak jasku, saya coba menenangkan diri. Cahaya aneh kemilau itu sangat menyiksa. Tapi ini kudu kulalui dengan tabah. Ini adalah temu pers perdanaku seusai lima jam yang lalu saya dilantik menjadi presiden Amerika.

Sesaat saya tersenyum. "Republik ini," ucapku usai menarik napas panjang, "bukan lagi batu nisan raksasa yang merekayasa demokrasi melalui fatwa-fatwa kultural dari peradaban kuno yang aneh. Bukan itu. Juga bukan nyanyian sunyi sebuah negeri yang meletakan hak-hak rakyat pada perbincangan involusi. Juga republik ini bukan lautan air mata yang menaruh matahari raksasa di setiap bilik-bilik ketakutan."

Sesaat kuhela napas. Lantas kembali kuluncurkan tutur kataku, "Republik ini kudu meletakkan peradaban dalam lanskap keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang penuh dan menyejarah. Sebagai presiden Amerika, saya akan meletakan humanisme kinasih sebagai wajah baru madani Amerika"

"Tuan Presiden," tiba-tiba seseorang nyeletuk, "Anda itu sosok Indonesianis yang nyaris tidak memiliki apa-apa, kecuali mimpi-mimpi tirani yang masih tersisa dari abad paling busuk. Anda diragukan memiliki partikel terkendali berkualitas Amerika. Saya tidak yakin Anda bisa membawa Amerika lebih baik dari periode Hampu."

"Seorang Indonesia menjadi presiden Amerika? Mengapa tidak? Indonesia adalah republik 'Pancur Kaapit Sendang' diapit dua samudera, juga 'Sendang Kaapit Pancur' diapit dua benua. Indonesia diapit cincin api (ring of fire) dan sabuk Alpide. Ini tentu pertanda alam bahwa Indonesia tercipta untuk menjadi negara padang obore di mana dalam banyak hal patut diteladani. Sejak abad 20 hingga 21, dunia melihat Indonesia seperti melihat malaikat penyelamat peradaban. Dan wajar bila Prof Dr. Chuky di akhir abad lalu memosisikan Indonesia sebagai pusat peradaban politika global paling santun."

"Anda ngaco, Tuan Presiden," sanggah wartawan lagi, "Chuky itu spesialis demokrasi gaya Asia."

Saya tersenyum, "Demokrasi itu bermula dari impian muram Eropa ketika peradaban memasuki areal petengt dedet. Dari album sejarah sekitar akhir abad ke-20 orang menempatkan Indonesia masih terjebak perumitan demokratisasi. Tapi Anda bisa catat, kini Amerika, Afrika, Australia, hingga ke ujung lancip Eropa melihat Indonesia pada ruang yang lebih benderang. Anda tahu, Raja Inggris dan rakyatnya baru saja melamar Ki Mardiah, Indonesianis dari Cerbon agar berkenan menjadi perdana menteri lima tahun mendatang. Lantas Australia..."

"Ini Amerika, Tuan Presiden. Anda memang berhasil menjadi presiden lima hingga tujuh periode di sebuah negara kecil di sudut barat Afrika. Lantas Anda dimutasikan menjadi pemimpin Amerika Tengah hingga tahun 2187. Dan untuk pertama kali seorang Indonesianis memimpin Amerika."

"Lintas mutasi presiden antarnegara adalah sah! Konvensi Dermayu tahun 2162 mengatakan begitu. Perlu lintas mutasi presiden antarnegara. Ini seharusnya Anda catat sebagai pencerahan pola politika global. Ketika tahun 2160 hingga 2200 hampir selama 40 tahun saya menjadi presiden Uganda atau sebelumnya hingga dua dasawarsa memimpin Jepang, maka yang ada adalah pembenaran-pembenaran Konvensi Dermayu 2162 itu. Hasilnya? Anda catat sepanjang 40 tahun Negeri Matahari itu mampu memetakan proyeksi ekonomi hingga ke gugusan manjuah-juah di sebelah selatan Mars."

"Amerika bukan Asia, Tuan Presiden?"

"Amerika kudu belajar demokrasi Asia." potong saya.

***

XCimona, Mars 2212

Saya baru saja menikmati jakjazz klasik Ramsey Lewis dan Dave Koz (1977) abad ke-21 Tumba Goreng, ketika jaringan SMM di layar XHj78R tampilkan Chan Go Koch dari Tianmensturasi, China. Ia lemparkan senyum khas yang paling saya sukai. "Ada pesan Tianmensturasi, Tuan Presiden. Hmm, maksud saya, China berharap Tuan Presiden berkenan menjadi presiden kami untuk periode 2216 hingga 2223."

Saya diam. Dan diam-diam saya merasa amat kesunyian. Terus-menerus menjadi presiden dari satu negara ke negara lain memang menyenangkan. Tapi, di puncak kekuasaan yang selalu kudapatkan adalah kolam kelam kesunyian. Selalu saja pada saat-saat tertentu hadir kerinduan untuk menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Selalu saja hadir kerinduan menimang cucu seraya menikmati lintasan jagad raya Bimasakti melalui kapsul yang terlontar dari pusat terminal angkasa luar GHK98M.

Saya menghela napas. Jaringan SMM of. Kini kusandarkan tubuhku agak dalam. Board elektronik memberi sinyal ada kabar dari Papua. Saya tak perduli. Berdiri. Melangkah ke jendela menatap hamparan Amerika yang temaram. Kulayangkan pandang pada perspektif langit yang melengkung. Beberapa kapsul FX15 melintas-lintas. Saya menunduk. Ah, kapsul FX15 itu mengingatkan saya pada cucuku, Ana Kiara Citra. Di kapsul FK202 yang melayang-layang di belahan Asia Tenggara, cucuku itu memijiti bahuku.

"Langit itu luas, Mbah?"

"Ya mahaluas. Seluas memorial nalar yang tak terbatas."

"Dan Tuhan ada di antara kemahaluasan itu kan, Mbah?"

Saat itu saya terkejut. Ah, cucuku ternyata lebih arif.

"Mbah mau bersaing dengan Tuhan kan? Menjadi penguasa bumi terus-menerus?"

Suara risau cucuku ini mengingatkan file saya 20.12.2011:

Kursi kerap melahirkan tirani. Dan ini ada pada diri Qadhdhafi. Simak, selama 42 tahun, ia telah memosisikan diri menjadi penguasa terlama sebagai pemimpin nonkerajaan keempat sejak tahun 1900. Tarian tirani Qadhdhafi paling tidak kabarkan bahwa selalu saja dari sebuah ruang gelap akan lahir penguasa despostis sekaligus sosok sindrom superstar yang malang. Padahal, kekuasaan pada titik terjauh selalu membunuh dirinya sendiri. Keinginan bertahan untuk berkuasa hanyalah goresan sementara pada permukaan alam yang tak terbatas. Alam membiarkan hal itu bertahan sementara, kemudian menghapuskannya untuk memberi tempat kepada orang lain. "Lalu waktu, bukan giliranku," tutur penyair Amir Hamzah.

"Lalu waktu, bukan giliranmu, wahai Mu’ammar al-Qadhdhafi," bisik saya saat itu.

"Seharusnya Mbah tak menerima tawaran Amerika itu," potong cucuku. Ia matikan panel eksplorer. Kapsul FK202 shut down, "Menjadi diri sendiri, dan sujud di hamparan rumput mahaluas, di bawah lanskap langit Mars merah jingga...."

Bandung, 23 Oktober 2012


Lampung Post
, Minggu, 30 Oktober 2011

Sunday, October 23, 2011

Cerita dari Segelas Kopi

Cerpen Guntur Alam


SEJAK kedatangannya di kampung ini, lelaki itu selalu duduk di teras limasnya. Teras yang menghadap ke jalan raya dan tengah kampung. Bila ditanya oleh orang-orang yang lalu lalang ke rimba karet sedang apa dirinya? Lelaki itu selalu menjawab: "Aku sedang mendengarkan cerita dari segelas kopi."

Ahai, tentu saja jawaban lelaki itu membuat orang-orang dusun mengeryitkan kening pertanda pening. Apakah ada segelas kopi yang pandai bercerita? Mungkinkah serupa kajut-kajut, orang tua dari Emak-ebak mereka, yang bercerita setiap malam menjelang punai saat mereka akan terlelap di masa bocah? Tapi, semua itu tak dapat mereka masukan dalam akal.

Kabar tentang lelaki yang punya segelas kopi pandai bercerita itu merebak ke penjuru dusun. Mula-mula cerita itu berloncatan dari mulut-mulut perempuan kampung, kemudian jadi bumbu dapur, dimasak dalam gulai pindang, dihaluskan dalam ulekan sambal pedas, lalu dihidangkan di meja makan malam. Setelah itu, laki dan bujang-gadisnya akan memasang telinga sembari mendecak-decakkan lidah atas hidangan yang dikunyah lekas-lekas.

Dari sanalah kisah lelaki yang memiliki segelas kopi bercerita itu mengalir. Ada yang sangsi, ada pula yang menganggapnya benar-benar terjadi. Dan beberapa orang yang terpancing penasaran di hati, berganti-ganti, menjadi tamu lelaki itu di pagi hari.

Seperti pagi ini, ketika kabut masih menyungkup wuwungan limas, embun baru saja menyeruak seperti biji keringat di jidat, lelaki itu telah menerima dua tamunya.

Lelaki itu membawa tamunya menikmati pagi yang menggigil di teras limas. Tiga gelas kopi telah terserak di atas meja. Asap putih tipis masih mengepul-ngepul di atasnya. Dua pasang mata tamu lelaki itu tak lepas menatap gelas-gelas kopi yang ada.

Seolah tak melihat, mungkin saja ia berpura-pura, lelaki itu membiarkan saja kedua tamunya itu memandang lekat-lekat gelas kopi yang ada di depan mereka. Lamat, lelaki itu menjangkau gelas kopinya, menyeruput sedikit isinya. Terdengar decakan lidahnya yang beradu air kopi panas.

"Silakan, diminum," ujar lelaki itu begitu melihat kedua tamunya masih saja menatap ke arah gelas kopi masing-masing.

"Katanya, gelas kopimu pandai bercerita. Apa benar?" salah seorang tamu lelaki itu tak kuasa lagi menahan gumulan tanya yang tindih-menindih dalam batok kepalanya. Lelaki itu tercengir, ia meletakkan gelas kopinya kembali ke atas meja. Melihat cengiran lelaki di depan mereka, kedua tamu itu bertukar pandang. Apakah ada yang aneh? Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.

"Kami mendengar desas-desusnya merebak di kampung. Dan kami ingin membuktikan sendiri kebenaran cerita yang beredar itu," sahut yang seorang lagi, "Tapi sejak tadi, kami tak mendengar kopi di depan kita ini berkisah," tambahnya. Seolah tak perduli dengan cengiran tuan rumah di depannya.

"Gelas kopiku ini memang pandai berkisah," sahut lelaki itu begitu tamunya usai berkata, serentak kedua tamu itu saling lempar pandang. Kemudian, melongok dengan muka penuh gurat bingung. Keduanya memasang mata yang begitu lekat pada gelas kopi di atas meja dan berganti ke raut muka tuan rumah.

"Aku tak mendengar apa-apa," desau tamu itu kepada kawannya yang duduk di sebelahnya. Lagi, kedua retina keduanya bertaut.

"Aku pun tidak," sahut kawannya, "Atau kita yang tak bisa mendengarnya?" seolah bertanya pada dirinya sendiri, kedua lelaki itu kembali melarikan mata pada gelas kopi sang tuan rumah.

"Apa kalian tak mendengar kisahnya sejak tadi?" si empu rumah melontarkan tanya itu. Serentak, kedua tamunya mengangguk. Dan gurat takjub dikelindapi bingung merekah seperti kuntum-kuntum bunga di kedua mukanya.

"Wah, sayang sekali kalau begitu. Padahal, gelas kopiku ini berkisah hal yang sangat menarik pagi ini," ujar lelaki si empu rumah sembari jemari tangannya memegang gagang gelas.

Kedua tamu itu benar-benar takjub dibuatnya. Apakah ini sebuah kebenaran? Mata mereka kian melotot melihatnya. Melihat gelas keramik dari tanah itu. Sejatinya, gelas serupa itu sering mereka jumpai dijual di hari pekan. Dibawa toke guci dari Palembang atau Prabumulih sana. Warnanya kuning gading, mengilat, dengan lukisan seperti ruas-ruas bambu pada dinding luar. Tingginya hanya sekilan tangan. Tak ada yang istimewa. Tapi, menjadi luar biasa ketika si empu mengatakan kalau gelas itu pandai berkisah. Tidakkah hal ini luar biasa didengar telinga?

"Apa yang gelas itu kisahkan?" seorang dari tamu itu melempar tanya. Kawannya mengangguk cepat sebagai tanda setuju dengan tanyanya. Si empu rumah kembali tercengir. Lalu, ia mengangkat gelas kopi itu, menyeruput sedikit isinya. Aroma kopi hangat yang menyeruak di kedua lubang hidungnya, memberi sensasi luar biasa.

"Apa kalian hendak mendengarnya?" lelaki itu malah balik bertanya. Gegas, kedua tamu itu mengiyakan dengan anggukan, "Baiklah, akan aku ceritakan," lelaki itu membetulkan letak duduknya yang tak salah. Pun dengan kedua tamunya yang ikut-ikutan lata, membetulkan letak duduk yang tak salah.

"Inilah kisah yang diutarakan gelas kopi ini padaku," buka lelaki itu pada kisahnya. Kedua tamunya duduk menyimak dengan penuh khidmat.

***

ADA seorang lelaki yang baru membeli sebuah limas di suatu kampung. Lelaki itu memutuskan untuk menetap di kampung yang asri dan hijau itu. Ia sudah lelah dengan hiruk pikuk kota. Ia hendak meninggalkan semua urusannya di sana. Semua hal telah ia serahkan pada anak dan menantunya. Ia ingin menghabiskan masa tuanya di kampung yang hijau, mengenang masa-masa muda bersama almarhumah istrinya, dan tentu saja ia ingin memiliki kisah lain pada hidupnya, selain yang telah ia miliki sebelumnya.

Semua yang lelaki itu impikan nyaris terwujud. Kampung yang asri, penduduk yang ramah, dan keheningan yang begitu senyap. Sayangnya, kesendirian kerap membuat lelaki itu merasa bosan. Setelah hiruk-pikuk kota yang menjejali hidupnya selama ini, tiba-tiba saja ia dikungkung sepi yang demikian mencekam. Tak ada kawan baginya melewati hari. Penduduk kebanyakan sibuk menghabiskan hari di kebun-kebun karet, barulah ketika petang menjelma mereka pulang. Dan ketika malam masih ingusan, kampung telah lelap oleh dengkuran lelah.

Di limas yang ia beli? Tak ada siapa-siapa, hanya seorang pembantu yang disertakan anaknya. Pembantu itu terlalu sibuk membenahi rumah, memasak, mencuci, dan tentu saja bergosip dengan gadis-gadis belia di sungai. Pastilah, mereka tengah membicarakan bujang anu atau anu yang berbadan bagus, bersenyum manis, bermata elang, bertangan besar, bahkan mungkin saja tentang isi celana.

Sampai suatu hari, lelaki itu menemukan gelas kopi antik, warisan si empu rumah terdahulu, yang juga seorang tua yang tinggal sendiri dan mati dalam kesendiriannya. Mulanya, lelaki tua yang baru menghuni rumah itu tak tahu kalau gelas itu pandai berkisah. Sampai di suatu pagi, saat ia duduk menghadap ke jalan raya di teras limasnya, gelas kopi itu memulai kisahnya yang pertama.

Inilah kisah gelas kopi itu.

Gelas kopi itu berkisah pada tuan barunya. Kalau (dulu) sebelum tuan barunya itu datang, penghuni limas itu adalah seorang lelaki renta yang tinggal sendiri. Padahal, anak lelaki itu sangatlah banyak. Namun, tak seorang pun yang tinggal bersamanya.

"Mengapa?" sang tuan baru bertanya pada gelas kopinya.

"Karena semua anak lelaki renta itu adalah perempuan, Tuan," gelas kopi menjawab demikian cepat. Berkeryitlah kening sang tuan baru. Ia tak paham akan maksud gelas kopi. Seperti mengerti, gelas kopi itu menjelaskan.

Dalam adat-budaya kampung ini, Tuan. Anak bujang adalah pewaris harta dan orang tua. Jadi, bilalah sang orang tua telah lanjut usia, tanggung-jawab merawat dan menghidupinya ada di pundak anak bujangnya. Semua warisan, pun dengan rumah limas, juga tanggung-jawab anak bujang. Anak-anak gadis akan menikah, lalu mengikuti langkah suaminya, menjaga harta dan warisan mertua. Tak bisa menjaga harta dan warisan orang tua.

Inilah nasib nahas orang tua renta itu, Tuan. Sepeninggal istrinya yang wafat setahun silam, lelaki renta itu tinggal sendiri di limasnya yang besar. Bukan tak berbelas anak-anak perempuannya. Tetapi, semua tak berkutik. Walapun mereka mendapat jatah sama dengan saudara-saudara mengenai harta warisan orang tua, tapi tetap tak ada yang bisa untuk tinggal bersama lelaki renta itu di limasnya. Sebab, apa kata orang sedusun raya bila mengetahui ihwal memalukan ini: Seorang lelaki, mengikuti istrinya melangkah. Alahai, itu mengerikan!

Sampai, pada suatu ketika lelaki renta itu menemukan gelas kopi yang pandai berkisah, Tuan. Dari gelas kopi itulah, si lelaki renta beroleh kawan dalam kesendirian. Mereka bertukar cerita tentang banyak hal, tentang kenangan, rindu, dan masa yang pernah mereka lewati masing-masing. Bahkan tentang pemilik gelas kopi itu sebelum ditemukan lelaki renta.

"Siapa pemilikmu sebelum aku, wahai gelas kopi?" tanya lelaki renta itu. Sang gelas kopi menceritakan pemiliknya sebelum lelaki renta itu. Inilah kisah gelas kopi itu pada si lelaki renta.

Dulu, di masa Sriwijaya, gelas kopi itu dibawa oleh seorang saudagar China. Setelah mengarungi lautan yang luas dan bermil daratan yang terbentang. Gelas kopi itu akhirnya menyudahi perjalanannya pada sebuah pasar di pelabuhan Sriwijaya. Seorang gadis cantik telah menukarnya dengan beberapa koin uang pada sang saudagar China.

"Aku hendak membelikan gelas ini untuk kopi ayahandaku," itulah ucapan gadis itu ketika seorang kawannya bertanya. Gadis itu tahu, ayahandanya seseorang yang menyukai kopi. Dan sebelum ia meninggalkan ayahandanya sendiri karena akan menikah dengan pujaan hatinya, ia ingin memberi ayahandanya itu pengganti dirinya. Dan ia memilih, gelas kopi itu adalah pengganti yang tepat untuk ayahnya. Dalam benaknya, ayahnya akan bercengkrama tiap pagi bersama gelas itu, seperti kepadanya.

Singkat cerita, gadis itu telah menikah dan diboyong suaminya. Tinggallah ayah si gadis yang dirundung sepi. Sesekali, anak, menantu, dan cucu-cucunya datang bertandang. Tapi, kedatangan mereka bukanlah obat pelipur laranya, melainkan malah membuatnya kian merasa kesepian. Tersebab, setiap mereka pulang, lelaki itu akan disungkup sepi yang demikian merajam.

Setelah ia berpikir dengan cermat, lelaki itu memutuskan untuk membeli sebuah rumah di daerah perkampungan. Ia ingin meninggalkan bandar dagang Sriwijaya. Ia sadar, ia telah tua dan tak mungkin lagi berniaga. Harta dan semua yang ia punya, telah ia bagikan kepada putri-putrinya. Ia ingin menikmati kesendiriannya di kampung tenang, bersama penduduk yang ramah, dan tentu saja dengan segelas kopi yang pandai berkisah.

***

"ITULAH, kisah yang diceritakan gelas kopi ini," tutup si lelaki empu rumah pada dua tamunya yang menatap dengan takjub. Keduanya saling pandang. Benar-benar kisah yang menarik di hati mereka. Ketika matahari mulai merayap, kedua tamu itu pamit pulang dan berkata: "Kami akan mengisahkannya pada penduduk kampung lainnya."

Lelaki si empu rumah hanya tersenyum saja. Ia menjangkau gelas kopinya. Lalu, menyeruput isinya pelan. Gelas kopi berbisik pelan, "Apakah itu cerita tentang Tuan?"

Tanah Abang - C59, 06-09 September 2011


Lampung Post, Minggu, 23 Oktober 2011

Sunday, October 16, 2011

Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak

Cerpen M. Harya Ramdhoni


LANGIT di atas sana mulai semburatkan cahaya tipis kemerahan. Pagi telah tiba. Hujan lebat yang mengguyur Kemelak sejak semalam nyaris tak bersisa kecuali udara dingin yang kekal menyusup hingga ke sumsum. Jejak-jejak hujan nyaris tak terbaca. Dihapuskan banjir darah para pejuang republik pada pertempuran semalam. Tubuh-tubuh muda itu bergelimpangan bagai sekumpulan bangkai hewan di hari raya kurban. Dingin jasad-jasad membisu meninggalkan luka. Juga dendam sebuah republik berusia muda. Di segenap penjuru kota suara tembakan masih terdengar berkali-kali. Sisa-sisa tentara republik tak serta merta menyerah begitu saja pada keangkuhan moncong-moncong meriam tentara NICA 1) yang mendongak congkak.



Front Pertempuran Kemelak-Sepancar, Baturaja, 17 Agustus 1947

"Cepat atau lambat kita akan dibinasakan. Mereka terlalu kuat. Kita bukan lawan yang setanding buat mereka. Peperangan modern tak sekadar mengandalkan otot dan otak tetapi juga persenjataan canggih," suara perempuan terdengar pelan tapi dengan nada menggugat. Pemiliknya adalah gadis cantik berdarah indo. Tubuhnya yang tinggi ramping dengan kulit putih bersih dibalut seragam tentara republik berwarna cokelat muda. Dialah satu-satunya yang berbeda di antara lima ratus prajurit republik. Satu-satunya yang berdarah separuh Eropa. Perempuan pula.

"Hei Moeis, aku bicara padamu. Kita sedang menunggu dibinasakan, bukan?"

Lelaki muda bertubuh tinggi kurus dengan rambut sebahu tak langsung menyahuti tanya si gadis indo. Ia malah asyik menghembus-hembuskan asap rokoknya dengan tenang seolah tak ada sesuatu pun telah terjadi pada semalam.

"Entahlah, tapi yang pasti aku tak takut mati. Mengenai canggih atau kunonya peralatan tempur kita bukan urusanku. Bagiku menceburkan diri dalam kancah pertempuran ini, di sini, dengan berbagai ancaman tak terduga adalah risiko seorang patriot. Tugas suci anak kandung Revolusi Agustus!"

"Aku hanya tiba-tiba didera rindu pada Akan2) dan Ibuku di Batubrak. Takut tak sampai umurku bertemu beliau berdua," berkata Moeis dengan nada suara dipelankan, "Kau masih punya orang tua kan?"

Gadis indo berhidung mancung mengangguk dan tersenyum manis. Semanis tebu yang biasa dimamah Moeis dan Pun3)-nya, Maulana Balyan, ketika kecil dulu.

"Aku kagum padamu, Pauline. Kau khianati darah Belanda dalam tubuhmu demi membela utuhnya revolusi Agustus. Sejujurnya aku dan kawan-kawan kagum dan malu pada keberanianmu. Tabik untukmu sahabatku Pauline Gobee!"

Pauline Gobee teruja hebat dipuji seperti itu. Pipinya merah merona. Bola matanya yang berwarna biru bersinar cemerlang.

"Pauline...," sebuah suara terdengar dari arah barisan tenda darurat di belakang Front Kemelak.

"Ada apa, Jabur?" sahut Pauline.

"Komandan memanggilmu. Penting!"

"Baiklah. Aku segera ke sana, dan kau temani Moeis. Dia tengah kesepian merindu Akan dan ibunya yang jauh di Batubrak," canda Pauline sambil meninggalkan Moeis dengan tawa terkekeh-kekeh.

"Kenapa denganmu Moeis?" tanya Jabur.

"Seperti kau tak punya orang tua dan lahir dari batu!" jawab Moeis ketus.



***

"KITA dalam kesulitan, Pauline. Tidak hanya terdesak oleh balatentara NICA yang terus merangsek maju ke pedalaman Sumatera Selatan, tetapi juga munculnya penembak misterius yang beberapa hari belakangan ini menembak mati beberapa mata-mata kita dari kalangan masyarakat sipil. Kita terkepung dari berbagai arah."

Kolonel Ahmad Wahab menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam. Berkali-kali ia melakukannya. Seolah ingin ia tumpahkan segala beban yang menyesakkan dadanya. Di luar gerimis mulai bertandang lagi perlahan. Membasahi kembali tanah Kemelak. Mengguyur hingga bersih jejak amis darah sisa pertempuran semalam.

"Kau satu-satunya penembak jitu yang kita punya. Pergilah bersama Moeis dalam penyamaran. Tembak mati penembak gelap itu. Ditembak mati atau menembak mati!"

"Siap, Pak!"

Begitu jelas perintah Kolonel Ahmad Wahab baginya dan Pauline merasa tak ada gunanya bertanya apalagi berbantahan.



***

"DARI mana kita mulai perburuan terhadap penembak laknat itu?", tanya Moeis dengan nada suara tak sabar.

"Entahlah, aku juga bingung. Terlampau sedikit informasi yang kuterima dari Kolonel Wahab. Buruan kita ini berpindah-pindah dari ujung Kemelak hingga perbatasan menuju Sepancar."

"Sepertinya ia menguasai keadaan tempat ini..."

"Tampaknya begitu," Pauline menguatkan.

"Doorrrr, ratatatatatatatatatat..."

"Berlindung, Pauline!" teriak Moeis kala menyadari suara tembakan senapan mesin tak putus-putus menyambut mereka. Tembakan itu berasal dari sebuah gudang milik pedagang China yang tak terpakai.

"Di situ rupanya kau bersembunyi bedebah!" umpat Pauline sambil berguling-guling.

"Kita harus cari tempat persembunyian yang aman. Kau tak apa-apa Moeis?"

"Alhamdulilah, masih hidup," jawab Moeis dengan nafas terengah-engah.

Kemudian keduanya secara sembunyi-sembunyi dan memanfaatkan hari yang mulai gelap bergegas menuju bekas kantor Jawatan Kereta Api tak jauh dari situ.

"Dari sini kita bisa leluasa mengintai keberadaannya. Menunggu bedebah itu lengah sampai esok pagi pun aku siap."

"Tak sabar aku berlama-lama menanti buruan. Peluru-peluruku sudah tak tahan hendak menjebol kepala si bajingan tengik itu."

"Bersabarlah Pauline, masih ada hari esok. Dia pasti mati di tanganmu."

"Menurutmu Moeis, siapakah manusia celaka yang tadi mengarahkan moncong senapan mesinnya kepada kita?"

"Siapa lagi kalau bukan anjing-anjing NICA, baik anjing pribumi atau pun anjing totok!"

Pauline menangguk-angguk membenarkan ucapan Moeis. Percakapan mereka terputus. Sebuah kendaraan lapis baja milik musuh melintas di depan tempat persembunyian mereka. Tank itu pun berhenti. Jantung Pauline dan Moeis tak urung serasa berhenti berdetak pula. Dari dalam tank

muncul kepala seorang prajurit kavaleri. Ia julurkan lehernya, kemudian menengok ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari sesuatu. Tak lama kemudian seorang lelaki muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri tank itu. Lelaki itu bicara dengan si prajurit kavaleri. Ia menunjuk-nunjuk tempat persembunyian Pauline dan Moeis. Prajurit kavaleri pun menolehkan pandangannya ke arah bekas Kantor Jawatan Kereta Api.

"Keparat itu rupanya!" umpat Pauline sambil mengokang senapannya.

"Jangan! Tahan tembakanmu, Pauline. Bukan dia sasaran kita. Dia cuma mata-mata kelas teri."

"Walaupun begitu sudah sepantasnya dua kunyuk itu mesti mati!"

Hanya dalam jarak waktu enam detik dua tembakan telah dilayangkan Pauline. Tepat sasaran. Pertama-tama prajurit kavaleri langsung roboh dengan leher bolong tertembus peluru. Sesaat kemudian si mata-mata kelas teri menyusul terjerembab dengan pekik mengerikan. Ia menggelepar sesaat lalu diam menuju baka. Dahinya jebol ditembus peluru Pauline.

"Dahsyat! Jitu!" Moeis berseru-seru.

"Begitu seharusnya!" Pauline tak mau kalah.

"Ratataatatatatatatatatatattttt...."

Suara senapan mesin membahana dari seberang.

"Aaaaaarghhhhh...," Moeis terpekik. Senapannya terlempar ke luar gedung. Peluru penembak misterius mengenainya.

"Moeis!" Pauline berteriak panik.

Lelaki muda di sampingnya malah tersenyum aneh.

"Kau terluka Moeis?"

"Tak apa-apa. Hanya kaget. Kukira tanganku yang terluka. Ternyata senapan itu yang terkena tembakan."

"Ah, kukira..."

"Dia masih di sana. Bertahan menanti kita. Haruskah kita menunggu sampai malam ini berlalu?" keluh Pauline.

Ia rasakan penat mulai menjalari tubuhnya. Tiba-tiba ia perlu rehat. Merebahkan badan dan tertidur dengan lelap adalah sesuatu yang teramat mahal sejak beberapa bulan terakhir ini. Sejak agresi militer kolonial Belanda 4) menyerbu Indonesia dari delapan mata penjuru angin, segala hal yang berbau ketenangan dan kedamaian adalah kemewahan semata.

"Sepertinya kau bisa tidur lelap malam ini. Lihat itu!" berkata Moeis sambil menunjuk asap rokok berwarna putih meliuk-liuk dari bekas gudang di depan mereka. Asap itu terlihat jelas diterangi cahaya bulan terang benderang.

"Betapa malang dirimu, kawan," ucapan Pauline diikuti rentetan tembakan susul menyusul. Puluhan peluru dihamburkan Pauline selama beberapa menit. Sempat terdengar suara denting puluhan selongsong peluru berjatuhan. Lalu senyap membumbung di udara. Kemudian hujan turun gerimis lagi. Bagai tabik bagi keperwiraan Pauline.

"Hebat! Kau layak menyandang predikat penembak jitu yang dimiliki republik, bintang terang benderang di atas langit Kemelak dan Sepancar," Moeis bertepuk-tangan sebagai tanda kekaguman, "Kini giliranku yang merokok."

Pauline tertawa renyah menanggapi pujian sahabatnya itu.

"Ayo pulang. Tak sabar aku ingin laporkan kematian lelaki malang itu kepada Kolonel Wahab."

"Aku pun lapar, ingin makan sekenyangnya dan tidur pulas," Moeis menyahuti.

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Pertanda gembira yang tak terpermanai.

Lalu keduanya pulang menuju markas sambil melewati bekas gudang milik pedagang China. Sinar rembulan yang bersaingan dengan rerintik hujan lamat-lamat menyinari sesosok tubuh telungkup berpakaian tentara NICA. Penembak misterius yang dihujani tembakan Pauline.

"Aku ingin melihatnya...," Tiba-tiba Pauline dihinggapi rasa ingin tahu. Ia berbalik arah menerobos hujan gerimis menuju bekas gudang itu. Ia lalui mayat prajurit kavaleri musuh yang masih tergeletak di tempatnya. Juga mayat lelaki muda mata-mata NICA tak bergeser sedikit pun. Keduanya terbiar begitu saja menunggu disantap sekawanan anjing liar yang biasa mendatangi tempat itu sembari membaung menjelang tengah malam.

"Untuk apa bersusah payah menjenguk bangkai anjing kompeni?" cegah Moeis. Tetapi langkah Pauline tak terbantahkan. Ia sungguh penasaran.

"Siapakah dia yang begitu cekatan dan tepat dalam menembak sasaran? Pasti dia penembak unggulan yang dimiliki NICA," batin Pauline pada diri sendiri. Moeis pun tergopoh-gopoh dengan sabar menyertai langkah sahabatnya itu.

Tak sabar Pauline ingin melihat bagaimana bentuk rupa dari jasad telungkup berpakaian tentara NICA itu. Pribumikah? Belanda totok-kah? Atau Indo-Belanda seperti

dirinya? Ah! Ia tepikan andai-andai itu dan terus bergegas setengah berlari menuju tempat di mana mayat penembak misterius berada.

"Betapa hebat dirimu! Nyaris celakakan Moeis di tengah suramnya malam. Tanpa penerangan apa pun kecuali cahaya bulan yang kadangkala benderang, kadangkala remang-remang," puji Pauline tak putus-putus terhadap musuh yang telah dibunuhnya itu.

Didapatinya mayat itu berada dalam posisi telungkup memeluk erat senapan mesinnya. Genangan darah bagai banjir yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Kala ditelentangkannya tubuh itu ia dapati wajah lelaki tampan berhidung dan berbola mata bagus seperti dirinya. Lelaki Indo berkulit putih yang sejenis dengannya. Manusia remaja yang memiliki darah separuh Eropa dan separuh Indonesia sebagaimana dirinya. Demi melihat itu semua tubuhnya berguncang hebat. Dadanya sesak dan sebak. Seketika jerit tangisnya membahana membelah sunyinya langit malam garis depan Front Pertempuran Kemelak-Sepancar. Lolongannya terdengar menghiba dan menyayat hati. Sementara Moeis yang berada di sampingnya kebingungan tak tahu penyebab segala histeria perempuan itu.

Lelaki indo yang dibunuh Pauline Gobee adalah kekasihnya sendiri.

Hentian Kajang-Malaysia, 10 Agustus 2011

Pukul 03.15 waktu Malaysia



Mengenang kakek Mendiang Tamong Dalom Hi. Abdoel Moeis gelar Suttan Pangeran Sekala Brak (1930-2003)



-----------

1) Netherland Indies Civil Administration (pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. NICA tiba di Indonesia dengan membonceng tentara sekutu untuk kembali memulai proyek kolonisasi terhadap bekas wilayah Hindia Belanda dan menolak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan Soekarno-Hatta di Jakarta.

2) Sebutan untuk Ayah dalam masyarakat Lampung Sai Batin Sekala Brak.

3) Kakak laki-laki tertua dalam adat Lampung Sai Batin Sekala Brak.

4) Agresi Militer Belanda I adalah Operasi Militer Belanda di Sumatera dan Jawa yang dilakukan dari tanggal 21 Juli sampai dengan tanggal 5 Agustus 1947.


Lampung Post, 16 Oktober 2011

Sunday, October 9, 2011

Cerita Lama dari Kami

Cerpen Budi Saputra


LENGANG, dan tak banyak yang dapat kami perbuat di sini. Sebuah rumah tua dengan arsitektur dan ornamen lama. Lukisan hitam putih para petani, dan patung harimau Sumatera yang setia menemani lenguh birahi kami di kamar pengap miskin cahaya. Di luar itu, hanyalah hamparan kesepian dan barisan makhluk hijau yang menatap kami setiap harinya. Bahwa selalu ada yang kami rasa datang menyusup di kala malam merayap. Dari kedalaman hutan rumbia yang lebat, selain kabar seorang gadis belia yang pernah diperkosa dan dibakar, juga bunyi-bunyi aneh yang kerap kami dengar dan merangkak menuju rumah kami di tengah malamnya.

Ya, selama bertahun-tahun memang seperti itulah. Sebuah masa yang berlari dari nyala lilin, dari sinar petromaks yang hanya menyala di kala malam. Usia yang terkungkung, terisolasi dari lalu lalang kemanusiaan. Anjing betina dan jantan yang kerap kami saksikan kawin pun, hanyalah percakapan konyol kami pada benda-benda yang tak bisa memberikan sesuatu yang menguntungkan selain untuk berjaga-jaga. Kalau pun ada tetangga yang bertandang ke rumah kami di malam harinya, itu pun hanya sesekali. Bercakap tentang rencana nonton organ tunggal atau doa selamatan di rumah tetangga lain yang jaraknya lumayan jauh dari sini.

Dan mengenai keadaan ekonomi kami. Apalah yang bisa kami perbuat saat itu. Hanya ladang ubi dan jagung yang bisa kami gantungkan untuk menyambung hidup. Pasar kecamatan yang juga jauh kami tempuh untuk menjual hasil ladang saat musim panen tiba.

***

Mana lagi cerita orang lama yang belum kami dengar. Tak ada. Semuanya akan kami ceritakan bila ada yang minta diceritakan. Tentang bigau, hantu suluh, hantu karung, palasik tudung, orang bunian, hingga tentang dewa yang kawin dan hidup dengan tukang bendi selagi ada paku menancap di kepalanya. Di zaman Belanda dulu, konon ada seorang tukang bendi yang menaikkan seorang perempuan di tengah malam. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah dewa yang menjelma. Maka, ditanamkanlah paku di kepalanya. Mereka kawin dan akhirnya punya anak.

Di suatu hari, ketika si anak mencari kutu di kepala ibunya, maka terkejutlah si anak.

"Apa ini, Bu?" Si anak bertanya pada ibunya saat meraba kepala paku di ujung telunjuknya.

Namun, belum sempat ibunya menjawab, secara tiba-tiba si anak mencabut paku itu di kepala ibunya. Sungguh aneh, dalam detik itu jua si ibu menghilang. Menghilang dan kembali ke alamnya yang entah berantah. Sebuah peristiwa yang membuat si tukang bendi hanya bisa menyesali kehilangan perempuan cantik yang semerbak harum itu.

Hahaha.... zaman ketumbarlah namanya (bahasa lain dari istilah jadul). Saat itu memang masih lengang. Belum seperti yang sekarang, rumah-rumah penduduk yang kian bertumbuhan dan segalanya telah digerakkan dengan listrik. Lihatlah pohon kapuk ini, berapakah usianya? Cukup tua sekali. Tak jarang, dulu anak-anak didikan subuh selalu lewat bergerombol jika melawati pohon ini. Mereka tak berani sendirian. Jika pun ada yang berani, maka larilah pontang-panting sambil mengucap doa-doa pengusir setan.

Memang, soal perkara cerita lama, kami sudah kenyang dibuatnya. Siapa pula yang tak kenal dengan Sibuih pemaling besar saat itu. Pemaling yang sering menyantroni rumah dan menguras harta penduduk. Ia kebal peluru, walaupun ditembak dari dekat oleh polisi. Konon, kabarnya ia punya ilmu hitam. Ada sesuatu benda keramat yang ditanam di betisnya dan dihuni hantu balau.

***

Begitulah hidup kami, melalui perubahan demi perubahan. Dari memelihara anjing, kemudian berkembang memelihara ayam dan kambing. Dari zaman lampu petromaks, kemudian kami mendapat suntikan listrik untuk menerangi kamar buram kami. Ya, semuanya perlahan berubah. Satu demi satu orang telah mulai membangun rumah dan bersawah. Jalan menuju pasar kecamatan pun telah bisa memanjakan roda kendaraan dengan aspalnya yang hitam legam dan mulus. Sungguh, kemajuan zaman yang membuat segala aktivitas menjadi mudah. Mana ada dulu mobil mewah seperti saat ini? Mana ada mesin bajak yang menggantikan peran si kerbau kubang? Hingga akhirnya, hanyalah perubahan itu yang kami cecap dan kami saksikan saat ini.

***

Anjing. Ya, anjing. Hewan peliharaan yang satu ini memang setia menemani kami selama bertahun-tahun. Kami beranak pinak, mereka juga beranak pinak hingga kami pun lupa jumlah generasinya. Anjing yang semenjak perbaikan jalan atau semenjak daerah ini mulai membangun, tingkahnya, dan salaknya yang bergetar hanya membuat kami terkadang malu oleh orang yang melintas di depan rumah kami. Kadang kami sempatkan jua minta maaf jika kebetulan tengah berada di halaman.

Walaupun di sini rumah tidak rapat-rapat, tetap saja anjing kami seolah paling berkuasa menguasai daerah ini. Pernah kejadian yang membuat kami geram saat itu. Anjing kami mati. Mati karena dikasih tuba oleh orang yang tentunya tak senang dengan keberadaan anjing kami. Hmmm.. Kasus pertama. Kasus yang membuat kami mulai sensitif terhadap orang-orang baru. Hanya karena sering disalak dan digertak saat melintas di depan rumah kami, mereka dengan entengnya membunuh anjing kesayangan kami.

Jelas, jelas kami merasa sedikit dikucilkan. Semakin banyak pertumbuhan rumah di sini, semakin membuat kami berpikir-pikir untuk berhenti memelihara anjing. Pernah kami dengar dari Haji Kapeh, jika memelihara anjing, malaikat tak akan masuk ke rumah. Rahmat jauh dan rezki dari Tuhan pun jauh.

Maka dari nasihat Haji Kapeh dan atas desakan anak tertua kami-lah, akhirnya semenjak tiga tahun yang lalu kami telah berhenti memelihara anjing. Hanya janin-janin manusia yang terus berlahiran di sini. Lalu lalang anak-anak sekolah di pagi dan petangnya dari petak-petak mewah yang mengilap sekitar empat ratus meter menuju rumah kami.

***

Semenjak bekas ladang tebu itu kian subur ditumbuhi perumahan warga, maka semenjak itulah keganjilan-keganjilan sering menghampiri kami. Apakah ini bentuk kesumat atau barangkali disebabkan rumah kami agak terpencil letaknya (tetangga terdekat berjarak sekitar 30 meter dari rumah kami). Dengan kondisi di sini temaram pada malam harinya, dikelilingi sawah warga, pun pohon kapuk yang bertubuh besar ini, rasanya tak akan cocok untuk tempat keberlangsungan anak kucing, maupun anak anjing. Bukan. Bukan kami menghendaki kehadiran anjing yang banyak berkeliaran di sekitaran rumah kami, anak dan induk kucing, atau bahkan janin aborsi yang pernah kami temukan di suatu pagi. Tapi begitulah yang kami alami di sini. Halaman rumah kami jadi sasaran tempat pembuangan. Membuang yang dianggap aib, yang dianggap merusak pandangan mata.

Kami memang sering kecolongan. Kami tak tahu siapa yang membuang makhluk-makhluk itu (kebanyakan anak kucing dan anak anjing). Mungkin pelakunya beraksi di tengah malam saat kami tengah terlelap tidur. Yang jelas, kami begitu kesal. Kesal dengan si pembuang dan hewan buangan yang kerap masuk ke dalam rumah kami.

Tapi pernah suatu malam kami menyaksikan dua orang lelaki tengah membuang anak kucing dari dalam karung. Di halaman rumah kami ini, mereka mengendap-ngendap di bawah pohon kapuk. Merasa tak ada orang yang tengah memperhatikan mereka.

Sengaja. Ya, sengaja kami tak menghardiknya. Kami biarkan mereka berlalu dengan motor menuju perumahan mewah. Sialan! Barangkali dari sanalah para pembuang beraksi di malam hari.

"Mungkin karena di sini lengang, jadi mereka tak takut kelihatan oleh orang," begitulah keluhan kami pada tetangga terdekat tukang sate, Opeang.

Jika mereka bisa membuang, maka kami pun bisa membuang. Buang apa saja yang buruk-buruk pada mereka. Seperti dalam sebuah gurauan kami dengan Opeang.

"Untuk membalas mereka, bagaimana kalau kita sate saja daging anjing dan kucing yang mereka buang itu. Kemudian kita jual pada mereka. Biar mereka rasain enaknya!"

Dan sejurus kemudian, kami pun tertawa terbahak-bahak bersama.


Lampung Post, Minggu, 9 Oktober 2011

Sunday, October 2, 2011

Cermin

Cerpen Dahlia Rasyad


TERTEGUN di depan krematorium anjing dan membaca selebaran lotre yang melekat di samping etalase, seorang gadis mencoba mengingat urutan digit angka di selebaran itu sambil merogoh saku. Secarik kupon undian bertuliskan "One way ticket to the Nova" terselip lusuh. Ia mendapati sederet angka yang persis dengan angka di selebaran itu. Ia mulai meraba namanya, mencoba memperpendek jarak dan mempersempit waktu, menemukan seorang artis yang selama ini ia cari-cari. Seorang artis yang menjadi idolanya selama ini, yang tak lain tak bukan adalah musuh terbesarnya sendiri.

Ia sendiri belum mengenal sang artis yang terasa cukup tematik untuk sebuah karnaval megah di bumi yang serbacanggih dan meriah ini. Ia tidak mengerti apa yang diharapkannya dari kontestasi periodik yang banyak dipandang orang-orang sebuah masa agung yang tak ternilai. Baginya, itu hanyalah kesedihan yang tak pernah terbebaskan sekaligus tak terhindarkan. Tapi ia tidak ingin menyia-nyiakan tiketnya, bukan untuk menjadi, tapi merasa jadi. Ingin semuanya selesai, secepatnya.

Ia masuki krematorium itu dan menemui seorang karyawan yang bertugas memandikan anjing, menanyakan perihal kupon itu, meminta untuk dicek dan diproses sebagaimana mestinya. Lalu lelaki itu memberinya stempel cap dan segaris paraf. Ia lalu menerima sebuah kartu ucapan selamat setelah lebih dulu ucapan terima kasih. Pengenalan dari tematik yang terkontestasi itu adalah kesempatannya bertemu sang idola dalam tajuk Chitchat & Dinner with The Nova. Sejenak lelaki itu menatapnya sebagai torso orang-orang tak terduga. Durasi tatapan yang sangat berarti dari seorang manusia di peradaban ini.

***

GADIS itu pun berkemas. Dengan beberapa aksesori terbuat dari flat emas dan sebuah tas clutch dari kombinasi soft leather dan brown suede berbentuk saku kemeja di tangan kiri, ia tiba tepat di depan pintu sang artis. Entah mengapa tiba-tiba saja ia cemas luar biasa, membuat dirinya semakin tak teridentifikasi. Sebenarnya ia ingin segera mengakhiri, tapi sang artis sudah telanjur berada di hadapannya, mencekalnya untuk beberapa saat.

Tak terbayangkan olehnya. Sehari sebelumnya ia berada di depan rumah krematorium hewan dan sekarang seperti ada dalam akuarium non-CFC yang tersublimasi di bawah titik beku, menciptakan hexagonal-hexagonal es. Ruangan itu tiba-tiba seperti kerangga kulkas yang membekukan bola-bola air menjadi bongkah-bongkah salju sebelum sempat pecah ke lantai dan menjalar dingin ke seluruh ruangan. Jauh dari balik jendela yang bening, guntur menggaduh, membuat retak-retak awan kumulonimbus nyaris seperti cerabut akar yang membelah umbi. Menembus bumi.

"Masuklah. Tak perlu sungkan," katanya sambil menggurat alis dan bulu mata di sepetak kaca antik. Sekelebat cahaya resolusi spektra cecar ke ruangan dan menjadikan gempa. Nova tersenyum. Gadis itu tertegun.

Senyum itu, yang untuk pertama kalinya hanya dipantulkan secara spekular dari sebuah ornamen bening dua dimensi dengan daya serap tinggi. Wajah yang untuk pertama kalinya tercitra dari bayang-bayang polaroid semu namun tanpa rintangan.

Selain cermin dan jarum dalam jam analog polyalloy di pergelangan tangan Nova, tidak ada yang bisa dimaknainya dengan keabadian.

"Tidak usah bersusah payah menerka semua yang ada di sini, Sayang. Kaulah yang harus dideskripsikan," katanya masih membelakangi si tamu dari muka cermin.

"Aku?"

"Iya kamu, karena akulah yang menemukanmu melalui tiket itu. Bukan kau."

Wajah sang artis berkilauan seperti pancaran kristal yang terpantul kilat elektrik, menciptakan magnetik memukau. Tidak ada citra yang berhasil melukiskan dirinya. Ia lalu beranjak dan berpaling dari cerminnya 360 derajat. Mereka pun saling berhadap. Gadis itu semakin tertegun melihat paras Nova, aksesorinya, gerak, cara bicara, dan mimik muka, semuanya sama. Hanya ada satu yang lain, yang membuat mereka berbeda satu sama lain. Wajah sang artis itu tampak tirus dan pucat. Lingkar matanya hitam, dalam seperti lubang sumur yang mati. Tak ada binar-binar kehidupan sama sekali. Nova menyentuh tangan fans-nya. "Ada apa?"

Gadis itu terkejut. Semburat dingin dari jemari mungil sang artis seketika membuatnya merinding. Tak kalah dingin dari ruangan itu.

"Aku sudah terbiasa. Bahkan aku tahu betul apa yang membuat ruangan ini begitu dingin," katanya.

Hangat tubuh gadis yang menjadi fansnya itu sama sekali tak mampu melunturkan hawa dingin di ruangan itu.

"Kau belum sedingin aku. Karena itulah kita bertemu."

Gadis itu bingung mengapa ia selalu saja ingin bertemu dengan sang artis, mencari-cari keberadaannya, mengidolakannya seolah Nova tak mau lekang dari ingatan dan jiwanya. Seolah menyatu, menjadi diri yang terbelah, yang tersembunyi jauh. Idola yang tak pernah ia duga bakal ia kagumi. Wajah sang artis Nova terasa begitu akrab di matanya tapi diri Nova sendiri seakan asing baginya. Tak ada hasrat untuk mencintai artis itu tapi pula tak bisa ia lepaskan begitu saja kedekatan dirinya. Dari mana artis ini, siapa dia, apa maunya, dan mengapa ia selalu membuat gadis itu kagum? Selalu membuat gadis itu mencari-cari di mana keberadaannya selama ini, selalu menempatkannya dalam pencarian yang tak kunjung usai. Sebuah pertemuan seperti yang diinginkan keduanya, sebuah pertemuan yang akan mengakhiri segalanya.

"Aku tak pernah mati, Sayang. Tak bisa mati," kata Nova dengan gelengan kepala yang lamban tapi mengancam.

"Setelah sekian lama aku mendekam dalam dirimu dan merapat pada kehidupanmu, akhirnya kita bisa bertemu. Akulah Nova yang sebenarnya dan kau cuma fans," lanjutnya.

"Di mana kau selama ini?"

"Masih di sekelilingmu. Tersembunyi di suatu tempat yang sangat dalam dan gelap," jawabnya dengan sungging senyum.

"Apa yang akan kau lakukan padaku setelah semua ini? Kau telah merampas hidup dan tawa ceriaku."

"Aku menawarkan Kebenaran yang akan membuatmu hidup berabad-abad, tahu!" mata dinginnya mencorong tajam.

"Dan kau pikir itu cahaya?"

Nova mendelik. Diam sejenak.

"Kau tahu, kau adalah jiwa yang digariskan untuk setan. Kau diri yang sesat. Kau menawarkanku Kebenaran yang hanya sesaat, yang kau anggap sebagai yang terkuat," lanjut gadis itu lugas.

"Justru aku yang telah memberimu kebahagiaan, memberitahumu bahwa dunia itu adalah kesedihan. Orang-orang yang tertawa dan menjalani hari-harinya dengan ceria cuma satir yang menggelikan! Tapi kau tidak, Sayang. Kau kokoh dan abadi. Kau kesayanganku."

Gadis itu tertegun, mencoba mengerti perkataan sang artis. Seketika ia tahu.

"Kau mengagungkan akal dengan menyingkirkan perasaan. Kau cuma artis redup yang kalah," katanya lemah dalam sisa-sisa keberanian yang tinggal sejengkal.

"Aku tidak kalah!"

"Kau kalah artisku. Kau telah kecewa pada dunia di mana berhembus angin dan kau cuma debu, di mana ada waktu dan kau akan musnah. Kau benci ketidakabadian. Dan itulah kekalahan sesungguhnya."

"Jangan menceramahiku! Kalau kau lebih kuat dariku kenapa kau hanya bisa terbaring lemah di kasur rumah sakit itu berbulan-bulan dengan infus melilit dan otak yang semakin hari semakin membusuk?! Andai saja kau bisa mendengar lirih tangis sanak keluargamu dan melihat teman-teman membawakan karangan bunga untukmu. Heh, bukankah kehilangan semangat tapi tidak kritis juga suatu kelemahan? Kelemahan yang sangat bobrok dan tolol."

Gadis itu terdiam, semakin lama semakin lemah. Musti dengan apa lagi ia mengalahkan perempuan getir dan keras hati di hadapannya itu. Apakah dengan membayangkan perhiasan mahal, rumah megah, mobil mewah, laki-laki tampan yang penuh cinta, anak-anak yang cerdas dan bersahaja? Apakah dengan membayangkan punya perusahaan di seluruh dunia dan membeli sebuah pulau peristirahatan yang maha indah? Apakah dengan membayangkan betapa nikmatnya menyantap masakan laut setiap hari? Apakah dengan membayangkan bagaimana terbang tanpa parasut dan mengitari belahan dunia kapan saja? Andaikan semua itu sudah terwujud lalu apa setelahnya, apa lagi, bagaimana lagi.

Tapi kemengertiannya tentang orang-orang dan dunia lebih dalam dari hanya sebuah berandai-andai. Lebih mudah paham daripada menunggu suatu khayalan cepat sampai. Pengertian yang sama sekali tak bisa ia tepis mengapa semakin merajai dirinya. Dan dunia ini sendiri seakan mengesahkan kebenarannya hingga akhirnya ia terkulai lemas tak berdaya. Ia tak mau makan jika hanya untuk kembali lapar, tak mau dilahirkan jika hanya untuk menunggu kematian. Tak mau melakukan apa-apa jika hasilnya bukan apa-apa, tak mau bernapas jika hanya membuat semuanya semakin panjang dan tak selesai.

"Aku hanya perlu menerima apa yang sudah digariskan dan menikmatinya. Baik aku maupun kau sama-sama kalah dan tak bisa apa-apa. Tapi bedanya, kau tidak mampu menjadikan kekalahan itu sesuatu yang nikmat dan berharga."

"Heh, apa karena telingamu sudah bisa mendengar tangisan ibumu sampai kau bisa berkata seperti itu? Kau plin-plan dan labil. Kau tidak sejati sepertiku."

"Biarkan aku kembali bersama keluargaku. Dan tenang saja, aku tidak akan menyingkirkanmu terlalu jauh dari diriku. Kau akan berguna pada saat-saat tertentu."

"Apa maksudmu? Itu tetap saja membuatku mati. Aku tidak mau!" dengus sang artis memalingkan muka. Merasa diperalat.

Gadis itu menghela napas berat. Ia bingung harus melakukan apa selain membicarakan keindahan. Keindahan satu-satunya cara untuk kembali pada sanak keluarga dan orang-orang yang dikasihi. Hanya keindahan yang mungkin bisa menyelamatkannya dari ketidakbergairahan hidup dan ketiadaan harapan. Cuma dengan membicarakan keindahan dan menikmati jerat godanya sajalah ia bisa terlepas dari segala kemurungan. Keindahan yang meski mungkin adalah kutukan, tetapi juga adalah berkah. Dan hanya kutukan yang busuk itulah yang bisa menyelamatkan dirinya dari angkara murka sang artis.

Apa boleh buat, ia mulai membayangkan bagaimana manisnya memberi kasih sayang dan perhatian pada orang-orang yang sakit dan miskin di dunia ini. Ia mulai membayangkan bagaimana pilunya hati seorang ibu yang berjuang mati-matian melahirkan anaknya ke dunia. Ia membayangkan seorang kekasih yang mengharapkan cintanya. Ia jadi ingin punya cinta dan berkasih mesra dengan penuh ketulusan dengan orang-orang. Ingin melihat tawa anak-anak polos dan manja yang melukiskan pensyukuran atas keberadaan diri yang sia-sia di penjara kelam ini, di kehidupan kosong tak berujung ini. Tawa anak-anak yang meski terasa pilu tapi begitu haru. Tawa yang merupakan pertanda jiwa besar dari seorang yang lemah dan kalah seorang makhluk ciptaan. Dan untuk memuaskan keinginan itu hanyalah dengan hidup dan berjuang.

"Cuih! Kau pikir dengan membayangkan kenikmatan dunia, aku akan musnah? Kau salah! Justru karena itu aku bersemangat untuk hidup dan berjuang mengalahkan semangatmu yang tolol itu," dengus Nova.

"Kiamat itu terjadi setiap hari. Maka hidup atau pun mati sama saja, tak ada awal dan tak ada akhirnya. Tapi hati nurani tak pernah ada kiamatnya. Ia kekal. Dan sejauh ini aku baru mengerti bahwa mengidolakanmu sama saja dengan membunuh hati nuraniku."

Sang artis sontak terkejut, menyorot tajam fans lemah di hadapannya.

"Aku adalah maut bagi gadis yang tak punya rasa kasih sayang sepertimu! Maut bagi gadis yang amarahnya mudah meletup-letup. Bukankah kau masih sulit memaafkan orang lain?" ketusnya dengan pandangan tajam.

Tak lama, Nova artis itu mulai komat-kamit membaca mantra seakan mencoba menyihir dan menghipnosis sang fans sampai daya pikirnya tadi hilang dalam sekejap, berganti pikiran-pikiran dingin yang sarat dan begitu dalam. Pikiran yang akan sangat sulit untuk ditolak dan disingkirkan.

Gadis itu perlahan mundur. Rasa takut membuat mentalnya ciut. Ia terlalu lemah untuk mengusir artis itu jauh-jauh. Terlalu lemah untuk membuat dirinya keluar dari ruangan itu hidup-hidup. Mantra yang diucapkan Nova menjeratnya penuh dalam ketidakberdayaan pikiran. Pikiran sebagaimana mantra yang diucapkan Nova, pelan-pelan membuat gadis itu menjadi dingin dan mengerikan.

Gadis itu pun tak kuasa lagi. Ia tak bisa lagi mempertahankan pikirannya. Ia tak sanggup lagi berdiri tegap melawan sang artis. Ia pun keluar dari ruangan itu tanpa daya. Ia keluar menuju sebuah kamar di mana tubuhnya terbaring lemah dengan botol-botol infus dan mesin pengatur kestabilan jantung yang mewah. Sejenak terdengar sayup-sayup orang memanggil-manggil namanya, tak henti menghibanya untuk kembali. Samar-samar ia lihat wajah sang ibu yang mendekapnya erat, meletakan wajah di dadanya dengan leleran air mata. Sesaat kemudian terdengar mesin pendeteksi denyut nadi berbunyi datar. Tangis pun pecah di sela jerit pilu ibu yang memanggil anaknya. "Nova!!!"

Yogyakarta, 2011


Lampung Post, Minggu, 2 Oktober 2011