Sunday, January 27, 2013

Sukma Hilang dalam Kabut

Cerpen Isbedy Stiawan ZS

AKU hendak bercerita padamu tentang perempuan berusia belia, tiba-tiba hilang di kaki gunung itu. Niatnya menaiki puncak untuk memburu kekasihnya yang frustasi lantaran cintanya ditolak oleh orang tua perempuan itu. Lalu berniat bunuh diri di puncak sana.

Perempuan itu merasa bersalah. Dia tidak punya keberanian menentang kedua orang tuanya. Terutama sang ayah, setiap ucapannya adalah sabda: tidak bisa dibantah. Kata-kata sang ayah merupakan titah yang harus diikuti, walaupun pahit dirasa.

Itulah kenapa, perempuan itu tidak mampu sepatah pun untuk mendukung kekasihnya kala menyampaikan keinginan memperisterinya. Belum lagi bibirnya bergerak, sang ayah sudah melontarkan beribu-ribu kata layaknya peluru yang muntah dari moncong senapan.

Dia ingin mengikuti sang kekasih, tiba-tiba kedua kakinya ditahan oleh sang ayah. Perempuan itu digiring ke kamar, lalu dikunci dari luar pintunya. Menjelang malam, perempuan itu diam-diam membuka jendela kamar. Melompat. Lari ke perkebunan di belakang rumah. Menuju hutan dekat sebuah gunung tak bernama.
Malam turun. Udara berembun. Angin sepoi. Dingin sekali.

Perempuan itu terus melangkah. Pakaian yang melilit tubuhnya sekamin diketatkan. Untung dia membawa dua pakaian yang langsung dikenakannya. Itulah pakaian yang merangkap selimut untuk mengusir gigil.
Suara-suara binatang malam bersahutan. Jalan menuju lereng gunung sangat gelap. Ia nekat, sebab tak ada lagi pilihan. Keberanian selalu muncul saat-saat terdesak.

Padahal, perempuan itu belum pernah melalui jalan itu di waktu malam. Mana mungkin berani ia ke sana. Sampai perkebunan di belakang rumah saja, ia tak pernah lakukan.

Tetapi kali ini?

“Lebih baik mati diterkam malam, daripada menanggung rindu dan menjadi perempuan pingitan tanpa menikah dengan orang yang dicintai…” ia bergumam.

Ia tidak percaya kalau orang tuanya punya pikiran picik. Memaksakan kehendaknya, bahkan untuk sebuah perjodohan. Para orang tua seperti meyakini, jodoh anak ditentukan oleh tangannya. Kebahagian rumah tangga anak-anak, tergantung dari perjodohan yang dibuatnya.

Ibu memang tak bisa menolak, saat seorang lelaki datang karena sudah mendapat restu dari orang tuanya. Walaupun ibu harus mendepak lelaki lain yang telah jatuh cinta padanya, dan ibu juga mencintainya.
Kalau ibu kemudian merasa bahagia, bisa mencintai ayah, dan ayah tak pernah mengecewakan ibu, bukan sebab perjodohan orang tua. Sebab takdir sudah menulisnya sejak mereka lahir ke dunia ini.

Tetapi ayah lupa. Ibu pernah bercerita pada perempuan itu, tahun pertama rumah tangga mereka, ibu benar-benar tersiksa. Ayah sangat keras, kata-katanya tak bisa disela, setiap pernyataannya adalah keputusan!

“Lama-lama ya ibu bisa mengikuti irama ayahmu. Toh kemudian rumah tangga ibu jalan lancar, sampai kamu menjadi dewasa sekarang…” ujar ibu suatu malam saat duduk di teras dan di langit sedang purnama.
Rumah panggung. Inilah rumah tradional masyarakat di sini. Di bawah rumah itu hanya ruangan kosong. Dari tempat itulah, para jejaka memberi isyarat kepada gadisnya kalau datang.

Dengan korek api kayu, para gadis tahu di bawah sudah datang sang pangeran. Lalu mengobrol dengan suara yang sangat pelan. Terkadang menggunakan seutas benang dan di masing-masing pucuknya diberi kotak. Para bujang gadis itu mengobrol layaknya menggunakan telepon. Itu sebelum ada handphone seperti sekarang.

Untunglah perempuan ini lahir di zaman telepon selular. Jadi bisa mengirim pesan pendek, walau pun jaraknya hanya berdekatan. Juga bisa mengirim gambar.

Pada suatu malam ayah memergoki kekasihnya, saat mengendap di bawah rumah panggung mereka. Tentu saja ayah berang, sebab jejaka yang datang bukan lelaki pilihannya. Lelaki itu digebah. Dia sambit dengan potongan kayu.

Lelaki itu bergeming. Tapi sebenarnya tidak menantang. Ayah menarik lelaki itu naik ke rumah. Ia menyidang jejaka itu. Setelah itu, diusir.

“Hanya cukup sampai malam ini saja kamu mengendap di bawah rumah kami, dan jangan dekati anak gadis saya!” usir ayah.

Lelaki itu menatap mata ayah. Lama sekali. Kemudian mengalihkan pandang ke gadis pujaannya. Dia ingin mendapatkan bantuan dari kekasihnya itu. Sayangnya, sang kekasih tak merespon.

“Kau lihat, anak gadis saya tak menolongmu…”

Bukan tidak menolong ayah! Perempuan itu membatin.

“Aku takut ayah akan semakin berang, dan kekasihku akan dirajam sebilah parang!” batinnya lagi berkata.
Lihat mata ayah yang sudah berwarna merah. Lihat pula kedua tangan ayah yang tiba-tiba bagaikan besi. Jari-jari ayah sudah berubah seperti pisau-pisau tajam. Perempuan itu tak mungkin tega menyaksikan kekasihnya dicabik-cabik tangan ayahnya, kemudian dihunjam parang tubuhnya.

Lelaki itu berlalu dari hadapan ayah perempuan itu. Menuruni tangga rumah. Pelan. Seperti hati-hati terjatuh. Menghitung satu persatu anak tangga rumah panggung kekasihnya itu.

***

AKU ingin memberi tahu padamu ihwal keluarga perempuan ini. Mereka adalah keluarga terpandang di kampung itu. Ayahnya bergelar rajo dan ibunya permaisuri. Hanya keluarga berduit bisa memeroleh gelar di sana.

Untuk mendapatkan gelar dari adat, seseorang harus menyembelih beberapa ekor kerbau. Juga menggelar begawi beberapa malam berturu-turut. Gelar adat ini dinamai cakak pepadun[1] . Dan mesti ada canggot[2)  yang mengundang masyarakat berbagai tiyuh[3]  yang dekat.

Pesta dimulai. Petatah-petitih disampaikan. Tari-tarian dilantaikan. Para gadis dijemput dengan tetabuhan dan penerang [4]  dari depan rumah. Lalu diarak hingga masuk sessat agung[5]  untuk segala begawi (acara) dilaksanakan.

Konon, sekali begawi adat setara dengan dua kali menunaikan ibadah haji. Barangkali bisa lebih. Kesibukan yang membuat tuan ramah sangat letih, melebihi perjalanan ke Tanah Suci. Tetapi, bagi orang-orang kampung yang sangat menjunjung adat dan tradisi, begawi  sebagai bentuk menunjukkan adat mesti dijunjung: kekerabatan disatukan dalam sessat.

Selain itu, setiap orang yang sudah cakak pepadun atau mendapat gelar dari adat, strata sosialnya menjadi terangkat. Inilah yang membuat orang di kampung itu, seperti berlomba memeroleh gelar adat. Para penguasa juga, dengan politisnya, minta diberi gelar adat.

Dan orang tua gadis ini, karena gelar adatnya itu, menjadi benar-benar terpandang di kampung. Ia dihormati melebihi mereka yang bergelar suttan, soalnya gelar suttan cukup banyak. Misalnya Suttan Macak Padun, Suttan Sembahan Rajo, Suttan Ulangan, dan masih banyak lagi.

Sedangkan jejaka yang ingin menikahi perempuan itu, dari keluarga biasa. Tiada satu pun keluarganya telah melakukan begawi. Karena cinta, keduanya bertemu. Tersebab niat suci, kedua pasangan itu berencana membangun mahligai rumah tangga.

Hanya, rencana milik manusia. Bagaikan bangunan paling kokoh yang dijungkirbalikkan gempa, runtuhlah cinta mereka berkeping-keping. Lalu hujan menghanyutkan hingga tak bertanda.

Ow! Alangkah perkasa kehendak manusia. Mengukur sesuatu secara materi. Menimbang bobot dengan adat tak berimbang.

Sebenarnya jejaka malang itu bisa melakukan, yang juga ada dalam adat. Dia bisa melarikan perempuan itu[6]  untuk kemudian dinikahi, namun ia tak hendak bersikap seperti itu. Jejaka itu ingin baik-baik meminta dan melamar kepada orang tua kekasihnya.

Sayangnya, belum lagi mengutarakan keinginannya, ia sudah disambit jauh. Lelaki itu pun menaiki gunung di belakang rumah sang gadis. Gunung yang diyakini kerap menerima para bujang yang kalah di medan jodoh. Hidup di lereng, di leher, ataupun di pucuk gunung: membangun huma dan memanfaatkan kebaikan alam bagi hidupnya.

Di antara para lelaki frustrasi karena ditolak cintanya, ada yang kembali turun beberapa tahun kemudian untuk hidup selayaknya masyarakat lainnya. Mereka mendapatkan jodoh, lalu hidup bahagia dalam rumah tangganya. Sedangkan lainnya, justru memilih hidup di gunung itu. Jadi peladang.

Boleh jadi, itu pula pilihan jejaka yang dicintai perempuan itu. Maka itu ia tak ikhlas kalau kekasihnya menjadi makhluk gunung, hidup tak berpayung[7]  tanpa ladang untuk menanam.

Ah! Itulah yang menguatkan hatinya menyusul sang kekasih. Lari dari rumah. Meninggalkan orang tuanya yang kaku pada adat dan tradisi, seakan menolak ketentuan jodoh dari Tuhan.

Dia siap hidup hanya menunggu mukjizat alam pegunungan, daripada tinggal di rumah yang serba kecukupan. Lebih baik hidup berlaki di gunung karena ia mencintainya, ketimbang bersama orang tua di rumah mewah namun bagai dalam sangkar.

Perempuan itu mulai kehausan. Tenggorokannya kering. Lidahnya pahit. Tiada air setetes pun untuk membasuh mulutnya. Dia pun diserang lapar.

Perjalanan mencapai kaki gunung masih jauh. Diperkirakan masuk fajar baru sampai. Kini sudah pukul 03.00, jika pertanda suara burung yang baru di dengarnya. Keinginan sangat untuk bertemu kekasihnya, perempuan itu masih kuat berjalan.

***

FAJAR menguak perempuan itu sampai di puncak. Hening. Udara bening. Kabut menyelimuti pepohonan. Laiknya salju luruh di pucuk daun. Pandangnya tak tembus jauh. Hanya berjarak beberapa langkah.
Kunang-kunang tumbuh di kepalanya. Pagi belum lagi terang. Perempuan itu kehabisan daya. Sedang jejaka yang dicari belum dijumpa. Tak ada orang. Dia pun hilang…

****

PEREMPUAN itu, yang sedang memburu kekasihnya naik ke puncak gunung, bernama Sukma. Lahir dari keluarga terpandang sebab telah melangsungkan gawi untuk sebuah gelar di depan namanya.

Saat remaja hingga menjelang dinikahi, ia memiliki jejaka yang dicintai dan mencintainya. Namun terganjal karena tak direstui orang tuanya. Jodoh pun menjadi ajang guna menjunjung martabat.

Bagi keluarga yang memiliki anak perempuan harus dilamar mahal. Kalau tak bisa, lebih baik pernikahan dibatalkan. Anak perempuan yang dilarikan lelaki dianggap aib. Dinilai tak bisa menjaga anak. Apatah lagi kalau diramut[8] , pantang pulang!

Sukma memilih caranya sendiri. Bukan sebambang atau minta diramut oleh kekasihnya, namun ia menyusul ke puncak gunung[9]  itu. Kendati ia hilang ditelan kabut.

Lampung, 30 Agustus 2012—(perbaikan) 29 November 2012


[1] Naik pepadun: mengambil gelar
[2]  Berarti pesta. Canggot ini ada beberapa ragam, canggot ngebanton, canggot mepadun, canggot pilangan, canggot bakha. Canggot Bakha dilaksanakan pada malam purnama, dan dihadiri/dilaksanakan oleh bujang gadis
[3] Tiyuh berarti kampung/dusun/desa.
[4] Zaman dulu mungkin menggunakan lampu minyak/obor, tetapi saat ini sudah memakai petromaks atau lampu emergency dari depan rumah. Para gadis mengenakan pakaian adat lengkap seperti siger.
[5]  Tempat begawi adat dilangsungkan.
[6]  Adat melarikan perempuan untuk dinikahi dengan sebutan sebambangan. Ada satu lagi perkawinan, namun kurang dibenarkan oleh adat, yakni ngeramut yaitu merampas/merampok anak gadis. Dalam sebambangan, setelah gadis dilarikan ke rumah saudara lelaki maka utusan sang jejaka dating ke rumah gadis membawa keris, uang, dan bawaan lainnya untuk menjelaskan kalau anak gadis yang dilarikan aman. Lalu dilaksanakan musyawarah untuk menentukan hari pernikahan, mahar, dan seterusnya.
[7] Maksudnya rumah/gubuk, agar terhindar dari panas, hujan, dingin malam, serta untuk istirahat jika lelah dan tidur bila mengantuk.
[8] Ramut atau merampas anak gadis untuk dinikahi masih terjadi di Kotabumi, Lampung Utara. Seseorang bujang yang ingin menikahi perempuan pilihannya namun si gadis tak memberi tanda bahwa suka, maka melalui keluarga bujang dilakukan cara “menjebak” sang gadis lalu dibawa ke rumah keluarga. Setelah itu dating utusan dari keluarga lelaki, seperti juga sebambangan, membawa uang dan keris. Biasanya kemudian bermusyawarah dua keluarga. Namun dalam musyawarah itu suasana tegang karena emosi kerap ditunjukkan, utamanya dari keluarga si gadis.
[9]  Gunung dalam cerpen ini, sampai kini dikenal bernama Gunung Sukma Hilang. Keberadaan gunung ini di Kabupaten Pesawaran. Setiap pagi gunung itu diliputi kabut, sore menjelang malam bagaikan luruh hujan. Sedangkan kisah dalam cerita ini, tak ada sangkut paut dengan nama, adat, dan asal-usul nama gunung tersebut.





Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013



Sunday, January 20, 2013

Secarik Kertas dalam Perkabungan

Cerpen Iqbal Khoirurroziqin

YANG bisa dilakukan Ros hanya diam. Ayahnya mulai dikubur dalam sebuah galian tanah, yang memanjang. Ia hanya berdiri, memandang. Beberapa orang dan sanak saudaranya mulai memindahkan jasad ayahnya, dari keranda dengan cat hijau tua yang mulai pudar. Ros tetap berdiri. Tak masuk ke liang tanah yang digali. Sementara disebelah kanannya, ibunya dan Ann, kakak Ros, menangis di balik kacamata berwarna hitam legam. Ia amati dengan seksama, orang-orang mengatur jasad ayahnya dengan balutan kafan putih, bersih.

“Maafkan aku,” katanya dalam batin. Hanya itu yang mampu dia katakan.
Jasad ayahnya telah terbaring. Kaku dan dingin. Beberapa orang lalu kembali keluar dari lubang. Satu orang menutupi jasad, dengan balok-balok kayu. Sementara dua penggali tanah, telah siap dengan pacul yang menacap pada tanah. Dua nisan pun di pampatkan dalam-dalam. Beberapa menit berselang, sedikit demi sedikit, tanah mulai terayun, tertutup, memadat. Sebuah baki berisi bunga-bunga disodorkan pada Ros, juga Ann, ibunya, dan sanak keluarga yang lain. Tangan-tangan keluarga itu mulai menggamit bunga dan di taburkan pada tanah yang menimbun.  Seorang pemuka agama dengan alunan lantang, mulai menabur wacana-wacana doa. Semua yang datang di pemakaman itu, mulai menengadahkan tangan.

“Amin…Amin,” terdengar beberapa suara dari peziarah. Tapi Ros, hanya berucap beberapa kata.

“Maafkan aku,” ujar Ros kembali.

Seluruh ritus sudah dijalankan dengan baik adanya. Satu persatu peziarah, dari relasi ayah, ibu, kakaknya, dan juga Ros sendiri, mulai meninggalkan pemakaman dengan menyalami Ros, Ann, dan ibunya. Ben, kakak keponakan Ros dari pihak ayahnya, mengajak untuk kembali pulang. Tapi menolak. Ia ingin sendiri di pemakaman itu. Ros ingin meluangkan waktu yang lebih lama. Melihat sisa-sisa tanah yang telah mengering, terpanggang sengatan panas matahari.

Paman-paman Ros, baik dari keluarga ayah maupun ibunya, mulai mencoba untuk memberi pengertian kepadanya. Namun semua itu diacuhkannya. “Aku ingin sendiri!,” teriaknya dengan mata yang tak mengeluarkan sebulir air pun. Sontak keluarga besarnya terkejut dengan sikapnya. “Biarkan Ros sendiri,” kata ibunya dengan suara yang lemah, dengan paras pucat pasi. Mendengar perkataan ibunya, keluarga besar itu pun mulai meninggalkan Ros untuk tenggelam pada kesendirian.

***

Lima belas menit sudah, semenjak keluarga besarnya meninggalkan pemakaman. Ros masih tetap berdiri. Mungkin dalam bayang-bayang seluruh keluarga Ros, akan mengatakan bahwa, anak itu masih belum mampu menerima kenyataan, sebab sang ayah telah tiada akibat serangan jantung. Tapi seorang anak yang memandang makam ayahnya tak seperti itu. Ros tak pernah menyesali siapapun dan apapun. Menurutnya, yang terjadi, pasti akan terjadi. Dan jika ada sesuatu hal yang tak mungkin terjadi, maka tak terjadi. Begitulah Ros memaknai perihal tentang nasib dan mati.

Sudah lama Ros, berdamai dengan kematian dan begitu mencintai nasib. Baginya, nasib tak harus punya hal prevalen tentang baik atau buruk. Begitu juga halnya kematian, bagi Ros, adalah konsesif yang dilakukan para manusia. Ia percaya tak ada yang bernama kematian.

“Mengapa aku harus menangis? ketika seseorang yang dekat denganku pergi tak kembali? Apakah ini semua akibat sebuah kenangan?” beranjak pada kejadian saat Lev, kawan dekat Ros, yang memperkenalkannya pada karya – karya Tolstoy, mati, akibat penyakit anorexia yang akut, berkali-kali Ros memikirkan hal-hal tersebut.

Aneh memang, tetapi itulah Ros. Pemikirannya sudah banyak di tumbuhi sebuah nama, Tolstoy, di mana ia selalu ingat apa yang pernah ditulis oleh sastrawan Rusia tersebut. Di manakah kematian? Apakah kematian itu? tak ada rasa takut karena kematian tak ada.[1]  Ros tak hanya sekadar kutip mengutip kata. Apa yang telah ditulis Tolstoy tersebut, ia mencoba menafsirkan sendiri, hingga, perlu waktu yang cukup lama untuk bersepakat dengan itu semua. Pernah suatu ketika ia mencoba untuk menunjukkan gagasannya kepada Lev, bahwa kenanganlah yang membuat setiap manusia punya sebuah dogma yang menakutkan tentang suatu hal, kematian.

***

“Maafkan aku,” katanya untuk kesekian kali, kepalanya mendongak ke atas. Dilihatnya gumpalan awan bergerak terlalu lambat dan menutupi matahari, mendung menjadi, pada saat itulah rekahan masa lampau tak mampu di tampiknya. Bara api itu masih berkobar, dari ingatan yang tak mau memudar, mungkin waktu yang akan memadamkannya.

“Kau ingin jadi sastrawan! Dasar anak tak tahu di untung, sudah kusekolahkan tinggi-tinggi. Apa untungnya jadi seorang sastrawan? Hah! Kau juga ingin ikut-ikutan seperti mereka, mencari kebebasan!” kata ayahnya dengan berkaca pinggang, lima tahun silam. Ros sebenarnya ingin sekali menjawab dan membantah pernyataan ayahnya tersebut. Namun, ia di besarkan dari keluarga yang menjunjung tinggi norma kepatuhan, tak mampu berbuat apapun, lebih baik memendam amarahnya dalam diam.
Tak hanya itu.

Suatu waktu, Ros menulis sebuah catatan harian yang ia tulis pada beberapa kertas – mungkin telah menjadi buku – yang berisikan realita-realita atas apa yang dilihatnya sehari-hari. Catatan-catatan itu ia taruh di atas sebuah meja. Sepulangnya dari berkegiatan di luar rumah, ia sudah tak menemukan lagi catatan-catatannya. Kebingungan mendera. Kamar yang rapi itu dengan sekejap berubah menjadi acak. Hingga ia menyerah. Ia coba ingat-ingat kembali. Tapi keyakinan yang bulat itu mengatakan dengan pasti, bahwa catatan-catatan itu masih berdiam di atas mejanya. Sang ibu dan Ann, menjadikan objek-objeknya, dengan di berikannya bertubi-tubi pertanyaan.

“Aku membakarnya. Tulisanmu banyak yang provokatif. Aku tak suka. Inikah cara pelampiasan sastrawan terhadap kebebasan?” ujar ayahnya, yang membuat Ros harus mematung tak berdaya.

Semenjak kejadian-kejadian tersebut, hubungannya dengan sang ayah mulai retak. Walau dalam satu atap rumah, dan komunikasi di antara keduanya pun menjadi renggang. Tak sepatah kata pun terlontar, baik dari Ros maupun ayahnya.

Ibu dan Ann, sudah berpuluh-puluh kali mencoba untuk memberikan pendekatan dalam berbagai hal kepada keduanya, namun tak satu pun hasil positif yang di dapat.

“Bagaimana pun. Dia ayah kita, Ros, cobalah berdamai dengannya,” tutur Ann kepada adiknya.

“Biarkan Ros memilih jalan hidupnya. Ros hanya titipan-Nya yang diberikan kepada kita. Lunakkan sedikit hatimu,” kata Ibunya kepada sang ayah.

Dan ibunya tentu menyadari, bahwa karakter Ros adalah karakter ayahnya sendiri. Batu!

Waktu demi waktu, Ros pun mencapai puncak matang kedewasaannya, ia sudah menemukan sebuah jalan. Ia menyadari bahwa keputusannya untuk menentang ayah adalah sebuah perjudian besar dalam hidupnya. Apa yang dikatakan ayahnya mungkin saja benar, seperti sebuah kematian, kebebasan pun punya ketakutan dalam keterbatasannya sendiri. Namun jalan hidup seringkali menjadi nuansa yang begitu mengagumkan sekaligus memilukan. Ros menyadari dan banyak belajar banyak dari kematian Lev dan karya Tolstoy, yang membuat ia yakin dengan keputusannya menjadi seorang sastrawan. Sebuah pilihan yang tak banyak orang mau mengambil.

***

Ros pun mendekati nisan dan menjongkok. Ia belai satu persatu huruf yang mengukir nama ayahnya.  Ia pandangi dengan sepuas-puasnya, sosok yang selama ini menentangnya dalam mengambil persepsi tentang masa depannya.

“Mungkin hanya ini yang aku punya, dari sekian lama kita bersama, dan aku tak mampu membuatmu bahagia,” Ia rogoh sakunya, diambilnya secarik kertas, warnanya buram tak keruan. Mulutnya kini membuka, suara rendah itu mulai melafal, sesuai teks yang tertera:
"Di muka pintu masih/bergantung tanda kabung/Seakan ia tak akan kembali/memang ia tak kembali/tapi ada yang mereka tak/mengerti – mengapa ia tinggal diam/waktu berpisah. bahkan tak/ada kesan kesedihan/ pada muka/dan mata itu, yang terus/memandang, seakan mau bilang/dengan bangga: Matiku muda…”[2]

Dan kertas itu ditaruhnya, di antara bunga-bunga yang mulai diterpa angin. Ia lalu pulang, berlalu, dan hilang. Tanpa satu air mata.

Malang, 25 Desember 2012

[1] Diambil dari karya Leo Tolstoy, Matinya Ivan Illych.
[2] Penggalan puisi Dan Kematian Makin Akrab (Sebuah Nyanyian Kabung) dari Subagio Sastrowardoyo.



Lampung Post, Minggu, 20 Januari 2013









Sunday, January 13, 2013

Suara dari Masa Lalu

Cerpen Alexander G.B.

SETELAH menikahi Arin, anak pengusaha ternama di kota ini kehidupanku berubah 180 derajat.  Atas saran Arin aku tetap merahasiakan asal usulku pada keluarganya. Namun setiap malam aku tertunduk, dadaku sesak, seperti merasakan sesuatu yang hilang dari diriku. Hampir setiap malam  aku bertanya dan tak kunjung menemukan jawabannya.

Arin dan dua anakku pergi sejak sore tadi ke rumah mertua, silaturahmi dan refleksi keluarga setiap malam tahun baru. Sementara aku terbaring di sofa ruang tamu menunggu sembari menonton televisi.  Apa boleh buat, badanku masih lemas dan menggigil. Mungkin demam lantaran dua hari diterpa hujan atau kelelahan karena banyaknya pekerjaan yang mesti diselesaikan. Arin mengirim pesan mereka pulang selepas tengah malam.

Detak jam dinding bergema di ruang tamu. Mendengung di telinga. Lalu sepi dan dingin. Aku tercekat. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Daun jendela terombang ambing, tirainya bergoyang, dingin merayap. Jendela terbuka, televisi menyala. Sejenak kusandarkan kepala di sofa. Tiba-tiba ingatan tentang kampung halaman bermekaran.  Terkenang Bapak dan Ibu yang telah 15 tahun kutinggalkan. Kabarnya mereka masih menggarap sawah dan ladang di lereng bukit barisan. Entalah. Lalu seperti ada kabut tipis di ruang tamu. Televisi tiba-tiba tanpa suara. Badanku meringan, melayang, menyaksikan Ulubelu.

***

Aku duduk di ruang tamu. Di hadapanku ada ibu. Ia tampak sehat. Tersenyum, menghidangkan segelas teh hangat untuku.

“Yuli kakakmu sudah dua tahun jadi TKI. Mestinya dia sudah pulang. Tapi sampai sekarang belum ada kabarnya,” ujar Ibu mengawali perbincangan.

“Ya, berdoa saja agar dia baik-baik saja,” ujarku.

“Seandainya doa bisa menyelesaikan semuanya.” Ia menghela nafas.

“Atun kemana?” tanyaku.

“Atun jaga toko di Padang, kebetulan dapat jodoh dan menetap di sana,” ujarnya diiringi batuk kecil.

“Yanti?”  tanyaku kembali.

“Yanti sudah menikah, sudah punya anak satu. Itu si Panji yang kini menemani ibu. Kalau tidak ada dia pasti rumah ini akan sangat sepi. Tanah di lereng bukit sudah dijual untuk berobat,” ujarnya, nadanya  sedih. 

“Ibu sakit apa? Kenapa tidak ada yang memberitahu?” tanyaku.

“Darah tinggi. Tapi tidak apa-apa sudah sembuh,” ujar ibu.

Lalu diam sejenak. Setelah sejenak menatapku.

“Duduklah. Setiap hari Ibu mencemaskanmu. Tapi syukur kamu baik-baik saja. Tuhan menjawab doa ibu. Kata Yanti kamu sudah sukses. Nah sekarang Ibu titip adikmu. Kami sudah kepayahan untuk mengarahkannya. Kerjanya di sini mabuk-mabukan dan berkelahi dengan anak-anak kampung sebelah. Karena doyan berkelahi dia tidak diterima kerja di pabrik. Padahal anak itu sesungguhnya baik, sayang dengan keluarga dan mau bekerja keras.” Matanya berkaca-kaca menatap foto adikku yang terpajang di dinding.

“Iya, biar saya yang mencarikan pekerjaan nanti.”

Ibu menggangguk. Membelai rambutku. Hampir sepuluh tahun aku tak pulang. Rambut ibu sudah penuh uban.

“Suara apa rame-rame itu? Kok sepertinya gawat. Coba kamu lihat!” pintanya.

“Bukan apa-apa, itu suara petasan dan kembang api. Nanti malam itu tahun baru Ibu.” Ujarku menenangkan diri. Tiba-tiba ia seperti ingin bangkit. Aku mencegahnya.

“Seperti suara rumah yang terbakar.” Aku mencoba mendengar. Tapi tak terdengar apa-apa. Wajah ibu semakin cemas.

“Tidak ada apa-apa Ibu. Duduklah,” ujarku.

“Tapi ada yang teriak-teriak.” Ibu semakin gelisah.

“Baiklah, ibu duduk saja. Biar kulihat.” Aku pun lekas membuka pintu. Kutengok kanan dan kiri.  Tak ada apa-apa. Tak ada anak-anak yang menyalakan petasan seperti yang kuduga. Aku terus melangkah, melewati halaman. Lalu bergegas ke jalan. Kakiku kian menjauh dari rumah.

Tiba-tiba semua tampak memerah. Api menyala di mana-mana. Aku terkejut. mengapa tadi aku tak melihat atau mendengar apa pun? Dalam waktu sekejap kampung ini berubah. Aku menyaksikan orang-orang memakai topeng membakar sekolah dan rumah-rumah. Aku berteriak. Mereka mengacuhkan teriakanku. Aku ingat Bapak dan Ibu. Aku lekas berbalik arah. Tapi tidak tampak jalan yang tadi kulewati.
Orang-orang bertopeng berkelebat. Bapak dan para tetangga mengejarnya. Sepintas aku melihat anak kecil menangisi bapak ibunya yang terbakar. Aku ingin menggendong dan membawanya menjauh dari kobaran api. Tapi ia malah takut dan berlari, kemudian terbakar.

Aku membalikkan badan, berhadapan dengan orang-orang kampung, aku mengenalinya beberapa diantara mereka adalah teman sekolahku dulu. Tapi sepertinya tak ada lagi yang mengenaliku. Wajah mereka berubah buas. Matanya menyala seperti anjing-anjing geladak. Lalu mereka berlalu, mengikuti Bapak yang berlari membawa golok dan cangkul memburu orang-orang bertopeng.  Ada yang membawa parang, bambu atau kayu sebesar lengan orang dewasa. Mereka berteriak, berlarian.  Aku mendengar jerit orang-orang yang dipukuli dan terbakar.

Oh, itu Ibu. Ia  menampi beras dalam kobaran api. Aku mencoba memanggilnya. Tapi ia tetap menampi beras. Wajahnya hambar, air matanya menetes dan menjadi butiran-butiran beras yang ia tampi. Aku berteriak, memanggilnya berkali-kali. Tapi sia-sia.

Lalu ibu menghilang dalam kobaran api. Berganti dengan rombongan bertopeng seperti ninja, mereka membawa obor dan kembali membakar apa saja. Rumah, ladang jagung, kandang ternak, belukar, hutan bambu di sepanjang bukit barisan.  Masjid dan mushola ikut terbakar.  Orang-orang bertopeng terus berlari, jumlahnya semakin bertambah banyak.  Bapak dan tetangga terlibat perkelahian. Sementara api terus menjalar di sekelilingnya. Jerit mahluk-mahluk yang terbakar. Aku mencoba melompati kobaran api. Tapi terpental seperti ada dinding yang menghalangi. Aku melihat bapak yang terbakar tetapi tetap mengayunkan parangnya dengan kesetanan, tetangga yang lain melakukan hal yang sama. Kenapa bapak berubah buas?
Setelah menghabisi semua warga desa, orang-orang bertopeng membalikkan badan dan menatapku. 

Mereka mendekat.  Pakaian mereka seperti aku kenal. Mereka pegawai …..  Ah, gagal mengingatnya. Mereka makin dekat,  tinggal sepuluh langkah di depanku. Kerumunan orang itu membuka topengnya.
Wajah mereka berubah anjing geladak, menyeringai. Kulihat  air liurnya yang menetes-netes. Gigi dan taringnya berkilatan. Mereka bersiap untuk menerkamku. Aku terus mundur…. mereka mengpung dan menerkamku. Aku berteriak ketakutan, tak ada suara keluar, tubuhku tak bisa bergerak. mataku terpejam... dan... Gelap. Seperti ada suara tembakan. Seperti ada suara pintu yang terbuka.

***

Aku mengangkat wajahku, ada pijar kembang api, disusul suara petasan. kulihat langit bertuliskan; HAPPY  NEW YEARS.. Aku mencoba menajamkan pandangan dan mencoba bangkit. Tiba-tiba sudah ada sosok Arin dekat sofa, ada Dodi dan Sindy, dua anakku yang masih menggenggam terompet. Lalu mereka menyerbu, memelukku yang masih bersimbah keringat, dan terengah-engah.

Happy New Years Ayah

Suara terompet tahun baru. Lalu memberiku pelukan.  “Ada kabar gembira. Ayah memberitahu setelah tiga tahun, besok perusahaannya resmi dioperasikan. Tahu tidak tempatnya? Di Ulubelu, itu kampung Ayah bukan? Sekalian pulang kampung, jangan lupa ajak aku menghadap bapak dan ibu. Diam-diam saja, jangan sampai ayah dan keluarga lain mengetahuinya,” ujar Arin dengan lembut. Aku mengangguk.

“Akhirnya kamu pulang Ton.  Duduklah. Tiga tahun lalu rumah kita dipaksa pindah. Rumah kita kena gusur. Itu tanahnya yang dipakai area pabrik. Ia keras kepala, ia menolak pindah sebelum kamu bisa dihubungi. Tapi petugas-petugas itu memaksa, Tomo marah melihat petugas memaksa ibu. Ia mati melawan petugas-petugas itu. Ibu tak bisa menerima kehilangan Tomo, ia pun sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Sebulan kemudian bapak menyusul.  Kami kesulitan untuk menghubungimu. Syukurlah akhirnya kamu datang sendiri.” ujar Yanti.

Ia tersenyum. Beberapa butir air terjatuh dari dua matanya.  

Bandar Lampung, 31 Desember 2012

Sunday, January 6, 2013

Warisan Kematian

Cerpen Skylashtar Maryam


DI belakang pondok Bah Imang, dua rumpun melati tumbuh subur, menguarkan bau harum meski tanah di bawahnya tidak terlalu gembur.

***

Kasihan sekali lelaki itu, pundak dan dadanya telah banyak dibebani berbagai macam luka dan peristiwa. Ingatan dan kenangan. Tentang perempuan yang sangat ia sayang. Perempuan itu adalah renjana, bumi, semesta yang ke dalamnyalah ia berpusara. Tentang jundi-jundi yang juga ia sayangi; dua orang anak yang tak pernah tahu membalas budi. Tentang kampung dan sawahnya yang kini tergenang bangunan bernama pabrik atas nama peradaban dan kemajuan ekonomi. Ekonomi kerakyatan, yang di benaknya pantas untuk dicaci, layak untuk dimaki.

Dada lelaki itu yang dulu membusung sebagai juragan  pemilik berhektar-hektar tanah dan sawah  kini terlarung. Berganti dengan lengkung punggung renta yang semakin tertelikung. Banyak beban, banyak kemalangan yang ia hadapi di setiap jejalan hidup yang menikung.

“Kasihan Bah Imang, sekarang ia begitu melarat padahal dulu ia adalah lelaki kaya raya,” bisik salah satu tetangga dengan iba.

“Ck ck ck, kalau saja aku punya istri dan anak seperti istri dan anak Bah Imang, mungkin aku akan mengejar mereka hingga ke ujung dunia untuk membalaskan dendam,” bisik tetangga yang lain, kali ini dengan amarah nyaris muntah.

“Kalau aku, mungkin sudah gila atau bunuh diri sejak semula,” bisik yang lain lagi.

“Tapi sayangnya Bah Imang orang yang baik hati, dan orang baik hati hidupnya selalu susah,” keluh salah satu tetangga.

Bah Imang, lelaki yang seringkali menjadi pembicaraan para tetangga dari masa ke masa memang salah satu penduduk Kalihurip yang paling sengsara pasca pembelian paksa dengan dalih relokasi oleh para petinggi industri. Tanah dan sawah yang ia jual untuk pembangunan pabrik memang telah menghasilkan uang bermilyar-milyar rupiah. Uang yang mungkin tidak pernah tebayangkan oleh kebanyakan orang. Tapi ya, uang sebesar itu pernah mampir di tangan Bah Imang, lelaki yang kini ambruk dihantam gelombang, dijahati Tuhan bernama uang.

Tak banyak yang ia ingat dari masa-masa di belakang karena baginya segala macam kepahitan masa lalu hanya akan membuat hidupnya sedemikian deru. Namun benak tua di balik rambut berubannya sesekali berlari, bertepi di jerjak-jerjak imaji seakan segala peristiwa naas itu baru saja terjadi.

“Sudahlah, Kang. Tak usah kita beli tanah dan sawah lagi di sini. Lebih baik kita pindah ke kota, beli rumah dan membangun toko di sana. Biar anak-anak kita yang menjaganya,” bujuk Sumi, istrinya.

“Tapi Akang ini petani, Sum. Apa jadinya kalau Akang tinggal di kota?  Ongkang-ongkang kaki?  Tidak, Akang tak akan tahan menjalani hidup seperti itu,” tolak Bah Imang.

“Mau sampai kapan Akang jadi petani?  Berlumpur-lumpur, berpanas-panas?  Isum sudah bosan hidup di sini, Kang. Isum mau seperti perempuan-perempuan di kota, pergi ke pasar swalayan, memakai perhiasan mahal. Kita sekarang orang kaya, lebih dari kaya. Untuk apa harus menerus tinggal di sini?  Di Kalihurip?  Biarlah desa ini penuh dengan pabrik,” Isum mulai membujuk lagi.

Bah Imang tetap menggeleng. Baginya, hidup adalah menyaksikan setiap benih tumbuh di tanah melalui tangannya. Hidup baginya ada di antara sawah, ladang, empang, dan segala macam yang dihadiahkan alam. Bukan rumah mewah di kota besar, bukan berbelanja di pasar swalayan, bukan hidup seperti itu yang ia inginkan.

Keinginan-keinginan selalu mendatangkan setan, memang. Bah Imang larut dan dikebiri mimpi-mimpi yang tak sanggup ia beli. Bukan, bukan mimpinya sendiri, melainkan mimpi kedua anaknya dan mimpi sang istri.
Maka, dengan berbagai cara Isum mulai menggerogoti harta suaminya, pun kedua anaknya. Entah bagaimana uang dengan cepat berpindah tangan dan semua surat-surat berharga digantinamakan. Bah Imang kemudian tak memiliki apa-apa selain hayat dikandung badan dan sehelai pakaian yang ia kenakan.
Ia adalah lelaki yang dikhianati.

Istrinya, Isum kemudian pergi melarikan diri bersama seorang lelaki. Kedua anaknya hilang, meninggalkan Bah Imang sendirian.

***

Panas menerjang, sawah terjerang siang, seorang lelaki berjalan di antara pematang. Laki-laki itu, Bah Imang yang malang gontai melangkah, matanya nyalang namun raut wajahnya tenang.

“Kasihan dia, ya. Coba lihat itu, hampir setiap hari dia berjalan-jalan di sawah, di ladang, di tegalan. Mungkin dia rindu sawah dan ladangnya dulu,” kata Solih, salah satu tetangga Bah Imang.

“Aneh, kok bisa ya dia itu begitu tenang?  Apa tidak ada niat untuk menggugat harta kekayaannya?” timpal Parta, tetangga yang lain.

“Kita sendiri tahu, Bah Imang itu jenis orang yang tak begitu peduli terhadap harta. Waktu dia belum punya uang milyaran rupiah saja, dia lebih senang membantu orang lain yang kesusahan daripada menumpuk hartanya. Iya, kan?” sahut Imran.

Solih mengangguk. “Betul juga katamu, Imran. Mungkin Bah Imang sudah puas kita berikan sebuah pondok di pinggir mushola itu.”

Dua orang lelaki di depan Solih mengangguk, mata mereka kembali menuju kepada sosok Bah Imang yang kini diterjang jarak. Sosoknya semakin menjauh kemudian hilang di ujung pesawahan.

Bah Imang sendiri terus berjalan, menuju pondoknya, pondok yang sengaja dibangun oleh para tetangga untuk tempatnya tinggal. Bah Imang tidak lagi bertani, hanya menghabiskan hari dengan mengurus mushola renta tepat di pinggir pondoknya. Baginya, harapan apa pun dalam hidup sudah sedemikian aus.

“Aku tak butuh uang,” katanya kepada orang-orang. “Uang telah banyak membuatku menderita,” tambahnya lagi.

Maka tanpa kesepakatan tertulis, tetangga sekitar pondoknya bergantian menyediakan beras dan bahan pangan untuk Bah Imang meski tanpa diminta. Bah Imang sendiri menerima kebaikan tetanga-tetangganya dengan raut biasa saja. Makan juga perkara yang tak begitu ia pikirkan. Memang, dalam hidup Bah Imang kini, tak lagi banyak hal-hal yang harus ia genapi.
   
***

Malam itu Bah Imang duduk di beranda pondoknya, menatapi raut renjana yang murung disaput mendung. Berbekal secangkir kopi dan beberapa batang rokok kretek, matanya kembali menerawang.

“Bulan itu mengingatkanku pada Sumi,” bisiknya. “Apa kabarnya dia di dalam tanah sana? Ah, mungkin sedang berbulan madu dengan lelaki lacurnya itu ditemani cacing-cacing,” ia terkekeh, meludahkan dahak berwarna kelabu ke tanah.

Angin berdesing, membawa aroma hujan. Bah Imang bergeming, tetap meminum kopi dan merokok di beranda. Ada malam yang harus ia nikmati.

“Anak-anakku yang malang,” ia berdecak. “Apakah kalian masih bisa menggunakan uang di dalam sana?” ia kembali terkekeh.

Hujan mulai berderai ketika Bah Imang berjalan mengendap, mengelilingi pondoknya. Ia berjongkok tepat di dua rumpun melati yang tumbuh begitu subur meski tanah di bawahnya tidak terlalu gembur. Cuping hidungnya mengendus, mencium-cium bau bunga bercampur malam dan hujan.

“Melati yang baik, tolong jaga istri dan anak-anakku di dalam sana. Semoga harummu yang semerbak ini bisa mengharumkan mereka yang busuk dan serakah,” bisik Bah Imang. “Hah apa? Tidak, tidak… jangan bersedih begitu. Aku memang sengaja menanam mereka bersama uang-uang itu, yaaa… supaya mereka tidak merasa kehilangan apa-apa,” Bah Imang kembali terkekeh.

Ritual sejak setahun yang lalu itu berakhir dengan hujan yang semakin deras, maka Bah Imang berjingkat kembali ke pondoknya, masih terkekeh-kekeh.

***

Hari-hari berlari seakan tak memiliki tepi. Bah Imang tetap dengan riwayatnya yang karam sementara cerita-cerita tentangnya tetap saja berkumandang dari mulut ke mulut, dari warung ke warung, dari saung ke saung. Di mata dan mulut penduduk Kalihurip, ia adalah lelaki tua yang dikhianati, dikebiri mimpi-mimpi. Lelaki baik yang hidupnya tidak beruntung karena melulu disapu mendung.

Di belakang pondok Bah Imang, dua rumpun melati tumbuh subur, menguarkan bau harum meski tanah di bawahnya tidak terlalu gembur.

Bandung, 2012


Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013