Sunday, December 26, 2010

Kucing Keempat

Cerpen Faisal Syahreza


"AKU mempunyai sebuah impian untuk kota ini. Impian sederhana tentang sebuah rumah bagi seluruh kucing yang ada." Lirih hatinya.

Anak itu pun berteduh di bawah atap bangunan pertokoan. Sementara jalanan masih mengambang dengan rintik hujan. Setiap hari memang tak menentu di kota, siang panas untuk kemudian sorenya diguyur hujan. Gerimis berlapis-lapis mengepung jalanan. Orang-orang tampak kedinginan, bersembunyi memelukan badannya sendiri. Suara mulai redam memasuki liris hujan.

Seekor kucing keluar dari bak sampah di depan pasar. Tubuhnya kurus dengan bulu-bulu rindu usapan, basah. Menahan dingin dengan sisa sorot mata kuyu. Nurdin memerhatikan seksama kucing itu dari tadi. Dengan wajahnya yang berminyak, mata merah kurang tidur. Terasa dingin kucing itu sampai pada tubuhnya. Anak lelaki yang tak kalah layunya dengan kucing-kucing jalanan.

Ini kucing keempat yang dia temui hari ini. Seperti biasanya, Nurdin begitu saja menganggap seluruh kucing yang ada di kota ini adalah perliharaannya. Tapi entah kenapa, ia tak seperti biasanya. Ada yang menahan dirinya untuk segera menghampiri kucing itu sekadar menggendong dan kemudian dia elus sayang. Tapi yakin, ini bukan karena sore ini angin bertiup kencang dan ia tak mau kehujanan. Ada hal lain.

***

Mengumpulkan barang bekas memang sudah menjadi takdir, setidaknya itulah untuk beberapa hari ke depan yang ada di pikiran Nurdin. Sepanjang jalan, hanya berdoa. Ada yang bisa ia bawa pulang untuk sekadar menambah barang bekas yang bisa dijual bapaknya. Sesekali ia bisa ditemukan sedang meringkuk di taman. Sebelum terbangun oleh ulah para pengamen yang bernyanyi sumbang di dekat mereka yang sedang duduk-duduk di taman.

Anak lelaki yang pemalu itu biasanya sering juga keluar masuk mesjid yang tepat di gigir taman. Bagaimanapun ia anak taat beribadah. Memang semenjak dahulu, ia begitu menyukai binatang berbulu dan bercakar yang setiap saat sering ia jumpai, kucing. Entah gerangan apa yang membuat dirinya merasa dekat.

Pernah ia merasa bahwa seekor kucing adalah teman yang akan setia baginya. Meski begitu banyak yang sering menganggap kalau kita bertemu kucing di jalan, berarti itu petanda sial. Atau bila kita dihampiri sepasang kucing yang sedang bertengkar. Itu pun penanda buruk. Tapi bagi Nurdin, sebaliknya.

"Meong, sini!" Nurdin menggerakkan jemarinya menggoda. Seekor kucing pun menghampirinya. Sebelum akhirnya bareng-bareng menikmati sebungkus nasi.

Nurdin sebenarnya tak perlu turun ke jalanan, untuk ikut menyusuri dan memasuki gang-gang mencari barang bekas. Sekadar mencari kardus atau botol-botol plastik. Atau bila lebih beruntung lagi menemukan besi tua yang sudah dicampakan di tempat-tempat sampah. Nurdin sudah cukup bekerja di rumah saja. Menimbang barang-barang bekas yang dikumpulkan bapak dan kakaknya. Namun, semenjak merasa dirinya sudah besar, nuraninyalah yang menganggap dia sudah siap.

"Meong, kasihan sekali bulu-bulumu rontok. Wajahmu kotor sekali. Kenapa dengan kupingmu?" Sambil membelai.

***

Suatu waktu, ketika Nurdin kasak-kusuk di bak sampah di jalan raya menemukan seekor kucing yang terluka. Seluruh tubuh kucing itu dipenuhi borok dan berjalan dengan kaki patah. Alangkah terkejutnya Nurdin saat itu, ketika mata kucing itu seakan-akan meminta tolong padanya. Nurdin tak ambil pusing, ia gendong kucing itu. Diusapnya bulu-bulu pada tubuhnya. Ia kemudian seperti sudah bisa menebak bahwa kucing itu kelaparan. Ia kemudian menuju bak sampah makanan dan mencoba mencari sisa-sisa makanan yang masih bisa diberikan pada kucing.

"Meong, kasihan kamu. Tak bisa mencari makanan?"

Nurdin tak peduli lagi dengan segalanya bila ia sudah menemukan kucing. Ia tak peduli sepanjang jalan orang-orang dengan wajah cemas terus diburu waktu. Kendaraan berlalu-lalung berebut penumpang. Suara klakson terdengar bersusulan. Di antara gedung-gedung yang semakin mendesak dan pasar yang tak karuan Nurdin menemukan kedamaian bila bertemu kucing.

Atau di suatu siang yang panas, Nurdin sedang bersiap-siap bekerja mencari barang bekas. Ia dikejutkan oleh suatu kecelakan yang membuat harinya terasa hampa. Seekor kucing tertabrak mobil. Dia melihat langsung kejadiaan itu. Betapa remuk hatinya melihat hari nahas bagi binatang yang begitu ia cintai.

Kucing itu mati. Sopir keluar dan melepas bajunya. Untuk kemudian segera menuju ke tempat di mana kucing itu terbaring tragis. Dibungkusnya bangkai kucing yang ia tabrak. Dan kembali ke mobil dengan membawanya.

Nurdin sudah dengan sigap menghampiri jendela mobil yang menabrak.

"Pak biar saya yang menguburnya." Menawarkan.

"Tak usah. Nanti kau makan lagi." Menggerutu.

"Saya ingin menguburkannya, Pak."

"Ah, kamu. Nanti kalau tak dikubur sama kamu bagaimana. Nanti saya bisa kena sial. Celaka!" Sopir itu berteriak. Mukanya merah. Nurdin hanya terdiam, ketika dibentak telak.

***

Ada banyak kucing di kota. Berkeliaran setiap waktu. Tak ada habisnya mereka. Mati satu, lahir kemudian seribu. Keluar dari lubang-lubang yang tak menentu. Orang-orang tak memedulikan semua kucing-kucing itu. Mereka lebih sering menganggapnya hantu pengganggu. Mereka mengusir kucing itu setiap hari dari rumah-rumahnya. Dari kampung-kampungnya. Membiarkan kucing-kucing menuju pusat kota. Sementara itu, tiada tempat yang disediakan orang-orang untuk mereka.

"Aku mempunyai sebuah impian untuk kota ini. Impian sederhana tentang sebuah rumah bagi seluruh kucing yang ada."

Setiap kali pulang dan bertemu bapaknya. Atau setiap kali dengan kakaknya, pasti Nurdin akan mengutarakan mimpinya. Meskipun hanya sebagai angan.

Nurdin sering mencoba membawa kucing-kucing ke rumahnya. Tapi rumahnya sudah dipenuhi oleh barang-barang bekas dan tak mungkin cukup untuk menampung seluruh kucing yang ada di kotanya. Sehingga keinginannya selalu kandas.

"Pak, aku ingin membangunkan rumah buat kucing-kucing yang berkeliaran di kota."

"Boleh." Dingin jawaban.

"Kak, aku mau buat rumah tempat memelihara seluruh kucing-kucing."

"Iya-iya."

Nurdin tak pernah menyerah membawa ke mana-mana mimpinya itu. Mimpi yang terus setiap hari dipelihara di kepalanya.

Nurdin memang pernah ditanya, mengapa ia begitu mencintai kucing-kucing di sepanjang jalanan. Dengan penuh pengharapan ia jawab.

"Aku pernah mendengar riwayat. Jika kucing merupakan binatang kesayangan Nabi. Menyayanginya berarti mencintai Nabi. Maka aku pun bersahabat dengan semua kucing di kota ini. Agar bisa dekat dengan Nabi."

***

Kucing pertama ia temukan tanpa sengaja di sebuah karung. Ketika sedang sibuk mencari barang bekas di antara tumpukan sampah di depan gang. Tadinya Nurdin mengira sisa-sisa buku yang bisa dia bawa pulang. Tetapi rupanya itu adalah seekor kucing. Ia tak habis pikir, seseorang tega membuang kucing. Mungkin orang-orang sudah menganggap tak ada artinya lagi. Kucing kedua ia temukan di atas genting, dilempari batu oleh seorang ibu sambil memaki-maki. Kucing ketiga ditemukan sedang asyik bermain di taman. Ditatapnya khusyuk.

Tapi menjelang sore. Hujan turun tiba-tiba saja. Sehingga mendesaknya untuk berteduh di atap beranda pertokoan. Pada saat itulah ia melihat seekor kucing di seberang jalan. Nurdin merasa akrab dan mengenalnya. Mungkin karena terlalu sering ia menemu kucing dan memberi nama pada setiap kucing temuannya.

Perasaannya tak keruan sore itu. sehingga ada sedikit yang menahan dirinya untuk langsung menghampiri kucing itu. Tentu saja bukan karena cuaca buruk dengan diguyurnya hujan. Namun, perasaan itu segera sirna. Hilang. Tanpa memikirkan apa-apa lagi ia beranjak dan menuju tempat di mana kucing itu berteduh. Di seberang, di antara tumpukan plastik yang tercecer gigir bak sampah.

Baru tiga langkah kakinya menginjak jalan beraspal. Nurdin tak mengira dari arah kanan sebuah mobil sedan melaju kencang. Tubuhnya yang ceking jauh terpental beberapa meter. Akibat tak sempat mobil itu menginjak rem. Seketika suasana menjadi ramai.

Tapi anehnya, sopir sedan yang menabrak Nurdin tak buru-buru melepas bajunya. Jangankan itu, untuk keluar dari mobilnya pun tak. Orang-orang langsung mengerubungi tubuh Nurdin yang terkapar. Dan mobil sedan yang menabrak itu, terlihat membanting setir. Menginjak gas dalam-dalam dan meluncur lagi di jalanan yang basah oleh hujan. Orang-orang berteriak histeris.

"Tabrak lari. Tabrak lari. Kejar-kejar. Pelakunya melarikan diri."

Nurdin kini tak lagi perlu merisaukan kucing yang ke empat ditemuinya. Sebab kucing itu sudah tak ada lagi. Ia melesat terkejut ketika mendengar suara tubuh begitu keras tertabrak mobil tepat di depan kedua matanya. n

Karang Tineung, 2010

* Salah satu bait bagian dari sajak Khoer Jurzani yang berjudul Kucing.


---------
Faisal Syahreza, lahir 3 Mei 1987 di Cianjur, sedang belajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Kini bergiat di ASAS UPI. Puisi, esai, dan cerpennya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Lampung Post
, Minggu, 26 Desember 2010

Sunday, December 19, 2010

Kumbang Bi, Kembang Kenangan

Cerpen Elly Dharmawanti


INI bunga masa kecilku. Serupa terompet mungil merah dan putih bergelantungan. Bunga dengan tangkai dan batang yang hijau. Bijinya apabila sudah matang akan berwarna kehitam-hitaman. Orang-orang ada yang menyebut bunga pukul empat, karena sekitar pukul empat itulah ramai kuncup bunga akan bermekaran. Kami namai ia kumbang dibi, bunga sore hari.

Mungkin bunga ini tak istimewa. Tapi biar pun begitu ia selalu mendapat tempat dalam ingatanku. Ingatan yang mengantarku pada sore yang sederhana. Pernah, seorang anak laki laki kecil meroncung kuntum demi kuntum lantas melingkarkan ke leher dan kepalaku. Lantas kami bermain hingga lupa waktu, lupa makan, lupa segala. Sampai akhirnya lantang suara ibu menyuruh segera pulang.

Kumbang bi, kembang kenangan. Kau bentangkan peristiwa ketika kami bisa membuat mainan sendiri dari bahan apa saja; pelepah pisang, kulit jeruk bali, tempurung pepaya dan kelapa, daun nangka menjadi mahkota dan lain sebagainya. Meski sederhana tapi senyum kami tak henti bermekaran. Kami juga berkerabat dengan hujan, terik matahari, air dan lumpur jalan, juga ombak yang tak henti menggapai pantai Jukung. Tetapi semua telah berlalu, kini kulihat anak-anak kecil yang lebih suka berkunjung ke game zone. Andi gila PlayStation dan mobil-mobilan produksi luar negeri. Atau tengoklah Dewi yang sudah pandai memencet-mencet tombol telepon genggam padahal dia belum lulus sekolah dasar. Zaman berubah sudah.

***

Suatu sore di Tanjungkarang, ramai orang memacu kendaraan di sepanjang Jalan Kartini. Semua tampak tergesa-gesa. Mungkin ingin lekas beristirahat, hendak jalan-jalan, kencan dengan kekasih, atau apa saja. Entahlah. Kulambatkan laju mobil ketika masuk sebuah perempatan. Lampu merah menyala. Sembari menunggu lampu berubah hijau kunikmati alunan musik di mobilku. Tapi tak lama kemudian mataku tertuju pada serumpun bunga yang bermekaran di seberang jalan. Bunga yang indah, kokoh, dan hijau.

Aku tercekat itu kumbang bi, bunga masa kecilku. Ingatanku kembali pada sosok bertubuh tegap dengan sorot mata tajam dan rambut ikal sedikit mengilap. Aku tersenyum-senyum sendiri. Mengenang anak lelaki yang selalu menjaga dan menemaniku dari gangguan anak-anak lain. Ia yang kerap meredakan tangisku kala jatuh dari sepeda. "Sini aku pasangkan bunga ini di kepalamu," ujar Hendri ketika itu. Tak berselang lama kumbang bi telah melekat di leher dan kepalaku.

Hendri, di mana kamu sekarang? Apa kamu masih ingat masa-masa itu? Atau malah telah terkubur sejak kita berpisah dulu? gumamku. Suara klakson kendaraan membuyarkan lamunan. Lampu telah berubah hijau.

Ya, kumbang bi membuat sosok Hendri kembali hadir ketika rumah tanggaku tak mampu kuselamatkan. Mungkin karena dulu kami pernah sama-sama berjanji untuk hidup bersama. Tapi barangkali dia sekarang sudah lupa, pasti ia sudah punya anak satu atau dua. Kami berpisah setelah sama-sama lulus SMP. Keluargaku memutuskan pindah ke Tanjungkarang. Sejak itu tak ada kabar tentangnya.

Dua puluh tahun sudah, banyak peristiwa kulewati. Tapi ketika kulihat kumbang bi di seberang jalan, Hendri dan kenangan-kenangan semasa di kampung kembali menyeruak. Semuanya tampak masih begitu jelas, wajahnya, bentuk tubuh, dan senyumnya.

Ia sahabat terbaik yang pernah kumiliki atau bahkan mungkin lebih. Ada pendar di matanya, ada getar di dadaku yang tak bisa dicerna nalar oleh anak seusia kami ketika itu. Entahlah, sekian lama aku seperti tak mengenal lelaki lain. Dia membuat kamarku penuh bunga, bintang, dan kunang-kunang.

***

Tiba-tiba, ada semacam dorongan yang sangat kuat menguasaiku. Hingga kuputar mobil untuk mengambil arah berbeda. Mobil berbelok arah. Aku tersenyum ketika telinga serasa pekak oleh suara klakson dari kendaraan di belakangku. Hujan sebentar lagi tumpah. Tapi niatku bulat sudah, kudatangi lagi area parkir, di mana kumbang bi berada. Kuputuskan tidak segera pulang, kuabaikan langit yang disesaki awan hitam. Lantas sesampainya di sana, aku berjongkok di rimbunan bunga itu. Mataku sibuk mencari biji hitam yang bisa kutanam dipekarangan rumah. Aku tak menemukannya. Ada banyak biji tapi masih sangat muda. Aku tak mau putus asa. Kusibak rumputan, dan akhirnya kutemukan tunas baru. Lega rasanya. Langit seolah berubah biru.

Kini, kumbang bi tertanam sudah di halaman. Sesekali kuperiksa kembali album lama, kuamati sebuah foto yang mulai menguning dimakan usia. Foto kami berdua tersenyum malu-malu dalam balutan seragam putih biru. Sebuah bunga yang sangat istimewa ada di antara kami. Kuhela napas panjang.

Seperti biasa aku disibukkan dengan tugas kantor yang menumpuk, keningku berkerut. Tapi sejujurnya bukan soal pekerjaan yang membuat kepalaku mau pecah. Tapi kumbang bi. Lantas aku berencana cuti untuk waktu yang cukup lama. Aku ingin mengumpulkan kepingan masa kecilku.

***

Berbekal beberapa nama kerabat aku membulatkan tekat ke sana. Tak ada yang tahu persis sesungguhnya untuk apa mesti pergi. Aku tidak mau keluarga dan teman-teman menganggap aku gila. Bagaimana tidak, mungkin aku harus menempuh perjalanan darat selama seharian. Itu bukan hal mudah dan menyenangkan. Di tambah jalanan yang payah dan tak ada alasan lain pula kecuali untuk menelusuri kenangan yang mungkin pada akhirnya akan sia-sia. Maka sempurnalah kegilaanku.

Bus yang kutumpangi sampai di kota kecamatan. Dua jam perjalanan mesti kutempuh untuk sampai ke tujuan. Kutembus hutan bukit barisan dengan sedikit waswas. Akhirnya setelah melewati banyak tanjakan, jalanan yang aspalnya telah mengelupas sampai juga. Kumbang bi di manakah engkau, mengapa tak lekas kau sapa aku?

Sepi.

Sepi.

Hanya desir angin. Hanya daun-daun yang bergoyang. Apakah perjalanku sia-sia? Mengapa aku tak menemukan apa-apa di sini, bahkan sekadar petunjuk kecil tentang keberadaannya, gumanku setelah beberapa jam menelusuri jalan di kampung.

"Oh, Nak Hendri dan keluarganya sudah lama pindah. Tidak tahu ke mana pindahnya," ujar salah satu tetangganya. Jawaban yang sama setiap kali aku bertanya pada warga lainnya. Malah ada yang tidak tahu siapa Hendri. Ternyata tidak lama keluarga kami pindah Hendri juga melakukan hal yang sama. Masih kutemukan beberapa rumpun kumbang bi di pinggir jalan. Kulihat anak-anak kecil berlari kejar-kejaran. Tapi tak ada yang berkalung dan bermahkota kumbang bi seperti dulu.

Hampir satu minggu aku mencarinya. Tak ada hasil.

***

Aku kembali pada pekerjaan kantor yang menumpuk akhir-akhir ini membuatku kerap pulang lebih larut. Berkali-kali berharap keajaiban, agar Tuhan sedikit bermurah hati mempertemukanku dengan Hendri. Doa kulantunkan hampir setiap saat.

Nyaris tengah malam. Setelah membereskan pekerjaan kupacu kendaraan menembus Tanjungkarang yang sudah mendengkur. Lembut suara Kenny G mengalun menemaniku melewati jalan yang sama tiap harinya. Tapi malam ini benar-benar sepi, barangkali karena hujan seharian menyebabkan orang enggan meninggalkan rumah. Lirih aku turut bernyanyi.

Tiba-tiba, jalanan yang tadinya sepi, dipekakkan suara bising beberapa kendaraan bermotor. Mereka mengapit mobilku. Mengetuk-ngetuk jendela mobil. Aku kaget ada gelagat buruk. Sebuah sepeda motor melintang di depanku, kuhentikan kendaraan dengan mendadak. Tiga orang pengendara sepeda motor lain turun lantas menggedor pintu mobil dan menyeret paksa aku keluar, dengan senjata menempel di leher. Aku ketakutan. Napasku sesak. Kaki dan tanganku gemetar. Aku meronta sekuatnya, sementara satu orang masuk ke ke mobil membongkar dan apa saja yang ada di dalamnya. Entah dorongan apa membuat mataku bersitatap dengan orang yang kini mengacak-acak mobilku.

Sepasang mata itu juga yang menapatku. Terbelak tak percaya, mulutnya menggangga, lantas dengan segera ia melompat keluar mengempas pintu mobil keras-keras dan berteriak, "Siiiiiiaaaalllllll". Dia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi, meninggalkanku yang masih bersimpuh di tanah. Tangisku pecah. Aku terkejut. Tapi sungguh kali ini bukan karena keselamatanku nyaris terancam, bukan karena aku nyaris jadi korban tindak kriminal, tetapi karena aku yakin bahwa sepasang mata itu milik Hendri.

Krui, Desember 2010


Lampung Post, Minggu, 19 Desember 2010

Sunday, December 12, 2010

Mata Pencerita

Cerpen Aida Radar



TAK ada yang tahu siapa laki-laki tua itu. Dari mana dia berasal dan mengapa dia bisa berada di kampung ini. Orang-orang dewasa di kampung menyebutnya si tua misterius. Sementara anak-anak meneriakinya "O...rang gila...!" Maka, tiada bayangan jejaknya yang bisa kutelusuri. Hanya satu informasi bahwa ia terlihat di kampung sehari sebelum aku mudik dari tempat studi di Kota Daeng*.

Awal kulihat dia keesokan hari setelah tiba di Goto—nama kampungku di Pulau Tidore. Ketika menyusuri jalan setapak diterangi lampu 5 watt yang bersebelahan dengan perkuburan tua; di tengah sayup-sayup lolongan anjing kampung yang memilu, pukul empat subuh; dan di antara semilir angin malam yang menggoyang-goyang daun pala di atas makam-makam itu; kudapati sosoknya.

Sempat aku terhenyak. Kukira dia salah satu makhluk makam tua itu. Bagaimana tidak. Di waktu seperti itu, di pagi yang masih mendengkur, dipastikan belum ada orang kampung yang berseliweran. Semua masih meringkuk di balik selimut hangatnya. Menikmati malam untuk merehatkan tubuh yang sibuk membanting tulang siang tadi.

Dia duduk sendirian di bawah rimbun pohon pala itu. Entah apa yang sedang dia lakukan di sana. Mataku tak bisa menangkap aktivitasnya karena gelap yang menyelimuti. Lagi pula aku tidak bisa berlama di sana. Waktu yang memasuki subuh mendesakku segera mengumandangkan panggilan menghadap Ilahi bagi hamba-Nya. Maka kutinggalkan sosok itu berteman dengan sepi yang memang telah melingkar sedari tadi.

Hingga cakrawala mulai dilumuri kemilau emas di ufuk timur sekembalinya dari peraduan, menjemput pagi dengan perpaduan kesejukan embun di rerumputan, masih setia sosok tua menyendiri di bawah pohon pala itu. Lelaki yang kini dapat kutatapi wajahnya walau tak dari jarak terdekat.

Sebelumnya kukira ia berkepala lima. Tak seperti perkiraan orang sekampung bahwa ia telah menginjak tujuh puluh lebih. Pikirku berewok dan gondrongnyalah yang membuatnya kelihatan tua. Tapi memang begitulah adanya. Wajahnya berkata ia sudah seumuran kakekku yang koliho asal** sebulan lalu dalam usia tujuh puluh tiga tahun. Kakek yang semangat menuntut ilmunya tinggi hingga mengantarnya bersekolah di universitas bergengsi di luar negeri sana. Kakek yang semangat meraih cita-citanya selalu kupanuti. Yang membanggakanku terlahir sebagai cucunya. Sayang nasib baik yang menyambangi kakek sepertinya tidak berpihak pada lelaki tua itu.

Sunyi raut lelaki tua, lusuh, berewokan dan berpakaian kumal itu. Miskin ekspresi. Kuikuti arah tatapannya. Tiga anak berseragam merah putih yang berdiri di sisi jalanlah objeknya. Kemudian sesungging senyum melengkung di bibirnya. Dilanjutkan dengan bahak paling memiris yang pernah kudengar. Tawa yang menyeramkan. Tak lama sesudahnya, mulutnya komat kamit membahasakan hal-hal yang tidak kumengerti. Tangannya sibuk menggaruk-garuk kulit kepalanya. Mungkin mencari gigitan kutu yang membekas.

Diedarkan pandanganya ke sekeliling. Karena tak mau diketahui bahwa dia sedang kuperhatikan, buru-buru kupalingkan wajah dan berjalan menuju rumah. Menjauhinya yang kurasa sedang menatapiku tajam.

***

"Jangan dekati laki-laki tua misterius itu. Dia berbahaya. Tadi pagi dia melempari temanmu, Dani, dengan batu hingga kepala Dani dijahit tujuh. Padahal Dani hanya ingin menanyakan namanya untuk tugas kampusnya. Benar-benar jahat si tua itu. Bibi Ijah sudah melaporkannya ke polisi. Tapi kata polisi laki-laki itu gila. Dan orang gila tidak bisa ditangkap. Cukup menjauh saja dari dia supaya aman. Jadi ingat itu Rahmat! Jangan dekati dia."

Ibu mewanti-wanti saat kuutarakan niat mengakrabi laki-laki itu. Namun karena dijangkiti penasaran akut, kuacuhkan wejangan itu.

***

Di pagi keenam ketika malam perlahan menanggalkan jubah gelap seperempatnya; subuh telah mengakhiri ritual penghambaannya; dan surya siap-siap menjalankan titah merajai siang, pelan kudekati lelaki tua lusuh itu. Begitu tanganku menyentuh pundaknya yang membelakangi, sontak ia berbalik dan merengkuh kerah baju kokoku dengan kasar. Matanya melototiku yang terkejut mendapat sambutan itu.

"Mau apa kamu hah!? Dasar pengkhianat! Berani-beraninya kau muncul di hadapanku!"

Lelaki itu meneriakiku marah. Lantas mendorongku hingga jatuh terjerembab di tanah. Takut dan bingung memenuhi benakku. Ia meneriakiku pengkhianat? Bagaimana bisa jika baru beberapa hari ini aku melihatnya. Kenal saja tidak.

"Saya tidak ada niat jahat pada Anda. Saya hanya...."

Aku yang hendak berdiri tidak jadi berdiri. Kata-kataku terhenti ketika bersitatap dengan matanya yang menurutku sangar dan mengerikan. Mata yang kurasa hendak menelanku hidup-hidup.

Lalu tiba-tiba aku merasa ada kekuatan magnet yang menarikku. Kuat sekali memasuki mata sangar yang sedang melotot itu. Tak lama tubuhku sudah meluncur dalam labirin gelap. Lumayan lama aku meluncur di dalamnya. Sampai kemudian aku terempas di sebuah tempat asing.

Tidak! Tunggu dulu! Tempat itu tidak asing. Aku mengenalinya. Itu gedung kampusku di Makassar. Hanya saja papan nama kampus bukan bertuliskan Makassar melainkan Ujung Pandang. Suasana kampus pun tidak seramai kampus dengan papan nama bertuliskan Makassar. Meski begitu bangunannya yang tua masih kokoh.

Aku terus memandangi papan itu dalam lamun sampai mataku menangkap dari kejauhan dua sosok laki-laki di antara orang-orang yang lalu lalang. Keduanya dilingkupi warna, sementara selain mereka terlihat hitam putih. Bak gambar televisi tak berwarna era tujuh puluhan.

Dua laki-laki itu akrab sekali. Mereka jalan berangkulan dan tertawa bahagia. Sempat kudengar mereka memanggil satu sama lain “sahabatku”. Oh... itu artinya mereka bersahabat. Bisa kusebut sahabat kental. Sahabat yang sudah seperti saudara kandung.

Aku ingin mengenali wajah mereka namun yang tampak hanya seorang saja. Wajah yang satunya lagi samar-samar. Kupusatkan perhatianku pada lelaki yang wajahnya tampak itu. Aku tidak mengenalnya. Namun aku mengenali matanya. Yah... itu mata yang sama dengan mata yang menarikku ke tempat ini. Hanya saja arti sorot keduanya berbeda.

Kemudian aku merasa sekitaranku berputar. Aku seperti berada dalam benda bulat yang diputar-putar. Ketika berhenti aku telah berada di sebuah ruangan remang-remang dengan kepalaku yang malah berputar-putar. Ruangan dua kali tiga itu kukira sebuah kamar indekos mahasiswa. Rak yang dipenuhi buku-buku dan jadwal kuliah menjelaskan itu.

Aku baru menyadari bahwa bukan hanya aku di ruangan itu. Seseorang duduk dan menyembunyikan kepalanya di balik sepasang lutut yang tertekuk di sudut kamar. Sesaat kemudian ia mengangkat wajahnya. Loh! Itu lelaki di kampus tadi? Yang kukenali matanya. Tapi mengapa tak kulihat sorot bahagia dalam matanya seperti tadi. Justru sebaliknya, ada amarah bercampur kekecewaan dan tangis di sana. Ia meremas-remas selembar kertas di tangannya. Lalu ia buang kasar remasan kertas itu sambil berteriak marah.

"Pengkhianaaaaaaaat......! Pengkhianaaaaaaaaat........! Hu...hu...hu..."

Aku tersentak dengan teriakan marah diikuti segukan itu. Aku dekati ia. Duduk di depannya dan memegang pundaknya. Mencoba menenangkan. Namun tanganku tak bisa menyentuh pundaknya. Terasa seperti memegang angin. Rupanya aku ini hanya bayangan. Dan rupanya pula, ia tidak mengetahui keberadaanku. Maka berdirilah aku dan kuraih remasan kertas yang ia buang tadi. Kubaca asal kemarahan lelaki itu.

Maafkan aku sahabatku. Aku tahu aku bersalah padamu. Tapi dengan cara inilah aku bisa mewujudkan impianku. Beda dengan kau yang masih punya kesempatan meraih beasiswa itu di lain waktu karena kecerdasanmu. Sementara aku tak bisa begitu. Maka cara ini kutempuh. Sekali lagi maafkan aku, Sobat.

Aku ternganga dengan isi kertas itu. Astaga! Sebuah pengkhianatan dari sahabat sendiri kah? Oh... betapa hancur hatinya menghadapi kenyataan itu jika begitu adanya. Meski aku tidak tahu apa bentuk pengkhianatannya, iba juga aku melihat lelaki itu. Ketika itu ia menangkap pandanganku. Dan mata amarah penuh kekecewaan itu sekonyong-konyong menarik tubuhku hingga terjungkal di dalamnya. Aku kembali berada dalam labirin gelap dalam waktu lama. Tak lama di depanku muncul cahaya. Aku pun meluncur masuk dalam cahaya itu.

***

Mata itu masih menatapku tajam. Mata dengan sorot amarah penuh kekecewaan yang sama. Mata yang dimiliki lelaki tua gondrong dan dipanggil orang gila oleh anak-anak sekampung.

"Kau sudah lihat semuanya, kan? Kamu sudah tahu pengkhianatan itu, kan? Sahabat yang telah kuanggap seperti saudara kandung merampas hakku. Bahkan berkata Aku masih punya kesempatan di lain waktu. Huh! Tidak tahukah dia kalau untuk biaya kuliah di Ujung Pandang sana saja orang tuaku menjual tanah dan kebun pala hingga tak tersisa? Tidak tahukah dia kalau dengan mendapat beasiswa itu aku bisa melanjutkan kuliah yang terancam putus karena tak ada lagi biaya? Tidak tahukah ia kalau namaku dalam daftar penerima beasiswa yang ia ganti namanya telah menghancurkan hidupku? Dan dia berkata aku masih punya kesempatan lain? Cuih....!"

Napasnya megap-megap mengeluarkan rasa hati yang telah berkarat karena –pikirku—terpendam lama itu. Meski begitu ia tetap menatapiku tajam. Aku mematung di tempat tanpa suara. Bermain dengan keterkejutan dan iba pada lelaki di depanku. Tak berani kupandangi ia.

Lama kami diselimuti diam. Sampai ekor mataku menangkapnya berjalan mendekatiku. Aku ketakutan karena di genggaman tangannya aku melihat sebuah batu. Di jarak duapuluh cm tiba-tiba aku mendengar sebuah bunyi. Dan oh... bunyi itu berasal dari perutnya.

"Aku lapar. Beri Aku makan. Beri aku makan..."

Di antara tatapan menusuk itu ia mengiba. Mengharap belas untuk keroncongan perutnya yang terus bernyanyi ria. Menyirnakan keterkejutanku atas sikap ganasnya yang tiba-tiba melunak. Dan menumbuhkan rasa kasihanku akan kepayahannya.

"Saya tidak bawa makanan sekarang. Kita ke rumah ya? Ibu saya masak nasi goreng. Kita makan nasi goreng sama-sama di rumah saya. Itu di sana rumahnya. Yang bercat biru. Dekat, kan?" kuajak ia menghilangkan laparnya sambil menunjuk rumah orang tuaku.

Ia diam saja. Tidak menggeleng tidak juga mengangguk. Aku salah tingkah dibuatnya. Aku hendak mendekati dan menuntunnya ke rumah. Namun aku masih berjaga-jaga jangan sampai batu di tangannya ia ayunkan padaku. Maka bersitataplah kami dalam diam. Hingga sejurus kemudian ia mengangguk lemah. Batu di tangan ia lepaskan. Ia berjalan mendekatiku dan serak berbisik padaku.

"Aku lapar. Beri Aku makan sekarang."

***

Rumah kelihatan sepi. Ayah dan ibu pasti sudah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Kusuruh lelaki tua itu duduk sebentar di kursi teras. Aku akan mengambil nasi goreng untuk kami berdua. Kemudian makan di teras ini.

"Tunggu di sini ya. Saya ambilkan nasi gorengnya. Kita makan di sini sambil menikmati mawar-mawar ibu saya yang merekah."

Ia tak mengangguk tapi langsung duduk. Matanya merambati setiap bagian teras dan taman bunga kecil di depannya. Kutinggalkan ia dan masuk ke dalam rumah.

Aku mengisi dua piring dengan nasi goreng di atas meja. Satu piring kusendoki hingga menggunung. Itu untuk lelaki tua di depan sana. Kemudian aku menyeduh teh manis hangat. Kubawa sarapan itu dengan nampan ke teras. Baru tiga kali melangkah tiba-tiba...

Prang...!

Aku terkejut mendengar sesuatu seperti kaca pecah. Lalu suara teriakan dan beling yang diinjak-injak. Arah suaranya dari ruang tamu. Segera kutaruh kembali nampan di atas meja makan dan berlari ke depan.

"Pengkhianaaaaa......at! Pengkhianaaaaa......at!"

Itu teriakan lelaki tua lusuh itu. Ia seperti kesetanan. Kakinya berlumuran darah karena menginjak-injak beling bingkai foto yang pecah di lantai. Mulutnya terus meneriaki kata pengkhianat dan menunjuk-nunjuk foto berbingkai pecah itu. Aku terhenti di pintu. Terdiam dan lemas dalam keterkejutan yang sangat. Tahulah aku sekarang. Gambar dalam foto yang sedang diinjak-injak lelaki tua dengan beringas itu adalah dia, sahabatnya, almarhum kakek kebanggaanku.

Tidore-Makassar, Oktober 2009-Juni 2010

Catatan :

* Kota Daeng : Sebutan lain Kota Makassar.

** Koliho asal : Ungkapan orang-orang Tidore ketika mengabarkan seseorang meninggal dunia. Koliho asal artinya kembali ke asal manusia yaitu pada Allah swt.



Lampung Post, Minggu, 12 Desember 2010

Sunday, December 5, 2010

Perempuan Tua dalam Rashomon*

Cerpen Dadang Ari Murtono



PEREMPUAN itu berjongkok di antara mayat-mayat yang hampir membusuk dalam Menara Rashomon. Perempuan yang tua, berbaju kecokelatan, bertubuh pendek dan kurus, berambut putih dan mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potongan kayu cemara di tangan kanannya, perempuan itu memandangi wajah sesosok mayat. Mayat seorang perempuan dengan rambut panjang.

Bagaimana bisa ada tumpukan mayat dalam Menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun, beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun— kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.

Perempuan itu sebatang kara, tak mempunyai keluarga. Perempuan itu tak menikah sebab tak ada lelaki yang ingin menikah dengan perempuan berwajah buruk seperti monyet. Apalagi ia bukan seorang kaya atau turunan bangsawan. Dulu, ia bekerja sebagai pelayan di rumah bangsawan Kyoto. Bertahun-tahun ia bekerja dengan baik dan tak pernah mengeluhkan gaji yang terlalu sedikit. Majikannya menyayanginya. Ia merasa bahagia. Dan sepertinya tak bakal ada alasan bagi majikannya untuk memberhentikannya. Ia sudah seperti keluarga saja dengan keluarga majikannya. Karena perlakuan seperti itulah ia tak terlalu bersedih sewaktu bapak ibunya meninggal terkena wabah penyakit.

Namun ia keliru. Kondisi Kyoto pada waktu seperti ini mengalami kemunduran yang teramat cepat. Dan majikannya yang baik itu juga merasakan dampak kemunduran itu. Majikannya memecatnya. Majikannya bilang tak mampu lagi membayar gajinya yang tak banyak dan memberinya makan. Majikannya tak sekaya dan sebaik yang ia sangka ternyata. Kemudian ia pergi dari rumah majikannya. Dan karena ia tak mempunyai sanak famili untuk menumpang tinggal, juga rumah orang tuanya yang sempit telah lama dijual untuk biaya pengobatan mereka, maka ia melantung, tidur di emper rumah penduduk atau meringkuk di relung-relung reruntuhan bangunan yang banyak terdapat di seantero Kyoto bersama pencoleng dan orang-orang buangan.

Awalnya ia kebingungan bagaimana bekerja dan mendapat uang untuk menopang kehidupannya. Ia tak punya keahlian apa-apa selain menyiapkan teh dan membikin sushi, menyapu rumah dan mencuci pakaian. Ia tahu, tak bakal ada yang mau menerimanya sebagai pelayan. Semenjak krisis berkepanjangan ini, orang-orang kaya tak lagi mencari pelayan baru, sebagian besar malah memecat pelayan mereka. Dan para istri saudagar atau bangsawan mesti belajar menanak nasi, membersihkan rumah, dan merawat kebun. Krisis berlangsung terlalu panjang dan menimbulkan akibat yang teramat hebat. Pemecatan perempuan tua itu dan pelayan-pelayan lainnya barangkali hanya sekadar riak kecil saja dari kemunduran itu.

Dalam kebingungan seperti itu, perempuan tua itu berpikir untuk menjadi pencuri. Ia kelaparan. Daripada mati kelaparan lebih baik ia mencuri. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menopang hidupnya selain dengan mencuri. Namun belum sempat menjalankan pikiran itu, kesadarannya timbul. Tubuhnya sudah lemah dimakan usia, ia tak bakal bisa berlari cepat menyelamatkan diri bila terpergok pemilik rumah. Ia akan mudah tertangkap dan menjadi bulan-bulanan penduduk Kyoto. Itu akan sangat memalukan. Memang, seringkali rasa malu lebih penting dari perut yang kelaparan.

Hingga pada suatu ketika, ia sampai di Rashomon. Dengan menaiki beberapa anak tangga, ia menuju menara yang teduh untuk beristirahat. Alangkah terkejut ia dan hampir saja semaput demi dilihatnya dalam menara itu bertumpuk mayat-mayat. Sebagian mayat-mayat itu berpakaian, sebagian lagi telanjang. Sebagian mayat laki-laki dan sebagian lagi perempuan. Mayat-mayat itu berserakan dan bertumpuk di lantai, serupa boneka-boneka dari tanah. Ada yang mulutnya menganga dan tangan terentang. Sulit baginya membayangkan bahwa mayat-mayat mengerikan itu pernah hidup sebelumnya.

Perempuan tua itu nyaris berlari balik ke arah darimana ia datang, ke jalan yang tadi ia tempuh. Namun secepat ia berbalik badan, secepat itu pula terbersit pikiran untuk mendapatkan uang dari mayat-mayat itu. Barangkali di saku baju mayat-mayat yang masih berpakaian ada barang berharga yang tertinggal, barang berharga yang bisa dijual. Tapi mayat-mayat itu adalah mayat buangan. Bagaimana bisa ada barang berharga dari mayat-mayat semacam itu. Tentu orang yang membuang mayat-mayat itu telah lebih dulu mengambilnya.

Namun ia menemukan ide yang lebih cemerlang. Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, bapaknya pernah mengajarinya membuat cemara palsu dari bahan rambut. Itu bisa dijual. Dan kini di hadapannya, tersedia banyak sekali rambut untuk membuat cemara. Rambut mayat-mayat itu. Ia tinggal mencabutinya. Kemudian ia putuskan untuk tinggal dalam menara itu, tidur bersama tumpukan mayat-mayat itu.

Senja ini, hujan mengguyur Kyoto. Perempuan tua itu tak peduli. Ia merasa nyaman dan terlindung dalam menara itu. Tadi siang seseorang melempar mayat baru ke dalam menara itu. Mayat perempuan dengan rambut panjang yang lembut, perempuan yang seperti ia kenal, atau paling tidak pernah ia jumpai, hanya saja ia tak tahu persisnya di mana dan kapan. Ia tak tahu kenapa wanita itu mati dan dibuang ke dalam menara. Tak ada bekas luka di tubuh mayat itu, karena itulah ia menyimpulkan perempuan itu meninggal karena wabah penyakit. Tapi itu tak menjadi pikiran yang penting dan perlu berlama-lama direnungkan. Ia juga tak peduli siapa yang membuang mayat perempuan itu. Yang penting baginya adalah sesegera mungkin mencabuti rambut di kepala wanita itu untuk membuat cemara. "Alangkah bagus rambut ini. Tentu bakal jadi cemara yang bagus dan berharga mahal nantinya," bisiknya pada diri sendiri.

Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Pada waktu itulah, ia teringat siapa perempuan yang kini menjadi mayat dan tengah ia cabuti rambutnya itu.

Ia terlalu bersemangat mencabuti rambut mayat itu sampai tak tahu bahwa sedari tadi seseorang tengah mengamatinya. Seorang Genin, samurai kelas rendah. Genin itu tiba-tiba saja melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.

Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.

"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri. Ia masih meronta-ronta dengan hebat. Namun sehebat apa pun rontaan dari tubuhnya yang lemah, tetap saja tak mampu membuatnya lolos dari cengkeraman Genin itu.

"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."

Genin itu melepasKan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya. Genin mengerti perempuan tua itu tengah ketakutan.

"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."

"Aku mencabuti rambut.... Aku mencabuti rambut untuk membuat cemara."

Genin itu merasa kecewa dan kaget dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu.

Perempuan tua itu melanjutkan, "Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 cm ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini."

Genin menyarungkan pedangnya kembali. Ia mendengar ocehan perempuan tua itu dengan dingin. "Kau yakin begitu?" tanyanya dengan nada mengejek ketika perempuan itu telah selesai bicara. Lalu sambil mencengkeram leher baju perempuan itu, ia berkata geram.

"Kalau begitu, jangan salahkan aku bila aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tak melakukannya."

Dengan kasar, lelaki itu merenggut pakaian si perempuan tua, menarik tangan dan menyepak tubuh ringkih itu hingga jatuh menerpa tumpukan mayat-mayat. Dengan mengempit pakaian hasil rampasan, Genin itu menuruni tangga dan hilang di ujung jalan.

Beberapa saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh tak bernyawa itu sambil memijit-mijit bagian tubuhnya yang sakit karena ditendang dan jatuh tadi. Ia memandang jasad-jasad itu seperti tak pernah memandang sebelumnya. Tiba-tiba ia bergumam, "Alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar, dengan perkara duniawi."

Pada waktu itu, ia ingin menjadi mayat. Terlentang di tempat itu. Tak lagi berpikir apa-apa. Tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut rambut atau mengiris sekerat dagingnya.

Catatan

Rashomon sering dikaitkan dengan Rajomon, pintu gerbang pada zaman Heian (794—1185), sekarang terletak di Perfektur (daerah setingkat provinsi) Nara. Mon berarti gerbang. Ketika itu, ibu kota Jepang terletak di Nara. Rashomon juga merupakan judul cerpen Akutagawa Ryunosuke yang menjadi sumber penulisan kisah di atas.


----------
Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah, dan jurnal. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama.


Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Desember 2010


* CATATAN PENTING

Ini diambil dari Catatan Sungging Raga di Facebook berikut komentar dari berbagai pihak atas catatan tersebut yang dikutip Rabu, 15 Desember 2010 pukul 14.40 WIB.

Plagiat Rashomon
oleh Sungging Raga pada 14 Desember 2010 jam 10:41

saya di sini cuma melanjutkan bukti2 plagiat Dadang Ari Murtono terhadap karya Akutagawa yg berjudul Rashomon, saya sendiri belum sempat membuat esai, tapi sebagai soft opening, saya meminta teman dekat saya yg kebetulan juga teman dekat Dadang untuk bertanya via sms, dan Dadang mengirimkan sms balasan kepada teman dekat saya itu, lalu teman saya ini lantas menerjemahkan sms Dadang yg berbahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia kepada saya yg isinya seperti ini:







"maaf ya, aku gak peduli orang bilang apa. menyelesaikan? gimana? apa aku harus datang keorang orang seluruh indonesia satu persatu buat jelasin masalahnya? lha masalahnya apa? aku gak merasa punya masalah. terserah orang mau bilang apa. lha redakturnya aja nyantai kok, gak anggap plagiat kok. ya memang aku diam soalnya aku gak merasa ada apa-apa."







berikut ini sedikit bukti2nya antara Cerpen Dadang di Lampung Post & buku Akutagawa yg diterbitkan KPG



oya, ternyata cuplikan utuh Rashomon versi Akutagawa bisa dilihat di google books:



http://books.google.co.id/books?id=IL2M2djhQmoC&printsec=frontcover



=====

Cerpen Dadang:



Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun, beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun— kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.





Halaman 2 Akutagawa:



Kota Kyoto sesepi itu karena beberapa tahun silam didera bencana beruntun, mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karena itu Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Karena kondisi Kyoto seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, juga para pelonceng, memanfaatkan reruntuhan sebagai tempat tinggal. Akhirnya, lazim membawa dan membuang mayat tak dikenal ke gerbang itu. Karena bila senja telah tiba suasana menjadi menyeramkan. Tidak ada orang yang berani mendekat.



========







Cerpen Dadang:



Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.



Halaman 7 Akutagawa:



Perempuan tua itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat yang sejak tadi dipandanginya. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai, persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya.







=======

Cerpen Dadang:



Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.



Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.



"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri.









Halaman 8:



Sambil menggenggam gagang pedang ia menghampiri nenek tua itu dengan langkah lebar.



Sekilas ia melihat ke arah Genin. Dan saking kagetnya seketika itu pula iaterlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel.





"Hei, mau ke mana kau?" hardik Genin seraya mencengkeram tangan si nenek yang bermaksud melarikan diri,







======

Cerpen Dadang:



"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepasKan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya.









Halaman 8:



"Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku...."Genin itu melepaskan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata si nenek. Tapi, nenek tua itu tetap bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya,







======

Cerpen Dadang:



"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."





Halaman 9:



"Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apapun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini."





========

Terakhir, yg sudah sempat di-paste Bung Bamby:



Cerpen Dadang:



Perempuan tua itu melanjutkan, "Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempua...n yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 cm ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini."





Halaman 9 - 10:



"Ya... memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati mungkin bagimu merupakan kejahatan besar. Tapi, mayat-mayat yang ada di sini semuanya pantas diperlakukan seperti it...u. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasanya menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannnya sebagai ikan kering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawal katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tidak dapat disalahkan, karena kalau tidak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat memahami pula apa yang kulakukan sekarang ini."



====



karena terburu-buru, cukup sekian yg bisa ditampilkan :)
SukaTidak Suka · Komentari · Bagikan

*
*
Nihayatun Ni'mah, Ahmad Muhakkam El Zein, Esha Tegar Putra dan 15 lainnya menyukai ini.
*
o
Langit Biru sip bung,bakat juga jd detektif sastra, mungkin dadang bermasalah dg kejujuran
Senin pukul 21:49 · SukaTidak Suka
o
Bamby Cahyadi
Pendapatku begini, mungkin banyak di antara kita yang ingin cepat mendapat nama (popularitas) dalam dunia sastra (cerpen). Sehingga berbagai upaya dilakukan, misalnya seperti yang saudara Dadang lakukan. Memang ada keterangan dalam cerpen D...adang di Lampung Post. Tetapi, Dadang mengutip semua isi cerpen dengan membolak-balik paragrafnya.

Pada cerpen Dadang, diceritakan perempuan tua itu yang ingin menjarah mayat. Sementara dalam cerpen aslinya, Genin tersebut yang berpikiran seperti itu (menjarah mayat).

Jadi dadang hanya mengubah sudut pandang, tanpa mengembangkan cerita Rashomon tersebut. Sehingga, wajarlah kalau karya tersebut, adalah karya PLAGIAT.

Kadang popularitas itu mebuat kita BODOH. Dan, kadang juga teman-teman kita sendiri menjerumuskan ke dalam kebodohan tersebut. (Maaf, saya tidak bisa menyebut nama lembaga tersebut di sini). Semoga tulisan Raga, menjadi WARNING bagi para pencari popularitas instan.

"Katakan TIDAK! Untuk karya PLAGIAT!"Lihat Selengkapnya
Senin pukul 21:59 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Esha Tegar Putra waw
Senin pukul 22:00 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga yg aku sesalkan, dadang nggak mau mengakui, itu aja.
Senin pukul 22:02 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Esha Tegar Putra laporin ke KPK!
Senin pukul 22:04 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Bamby Cahyadi Jadi, berita bahwa dia menjadi murung, tidak makan dan menyendiri dan menarik diri dari berbagai acara sastra, hanyalah sandiwara belaka? Sungguh aku sesalkan. Semoga secara terbuka ia mengakuinya, selesai. Karena tidak ada pengadilan kasus karya plagiat.
Senin pukul 22:04 · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara Kejujuran bukanlah sesuatu yang sulit, selama kita memiliki kebesaran hati. Hanya saja, semangat aku bisa menenggelamkan hasrat berjujur itu. Andai saja Mas Dadang mau berbesar hati, tentulah akan lebih melegakan. Ihwal mendatangi satu demi satu penyuka sastra di Indonesia--atau di Jepang, negeri asal kisah ini--taklah perlu dilakukan. Cukup lewat Lampung Post.
Senin pukul 22:04 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
T Agus Khaidir Hal lain yang tak kalah mengherankan adalah, kenapa cerpen ini bisa lolos seleksi redaksi Lampung Post yang biasanya ketat?
Senin pukul 22:12 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Khrisna Pabichara
Perihal redaktur yang tenang-tenang saja dn tak mencap ini hasil plagiat, mestinya Mas Dadang menyadari bahwa redaktur memiliki keterbatasan untuk memeriksa kesahihan sebuah karya.

Sekadar berbagi kabar, ketika cerpen saya disabot pengarang ...lain di media yang sama, sayalah yang menghubungi redakturnya. Alhasil, sang penyabot diundang redaktur untuk menjelaskan asal-muasal cerita anggitannya. Jadi, apakah perlu Akutagawa sendiri yang menghubungi redaktur sastra Lampung Post? Mustahil, kan?Lihat Selengkapnya
Senin pukul 22:21 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Muhammad Anhar Husyam
Terkadang memang bisa terbawa, ya gaya,kata atau penggalan penulis yang di-idolakan. tapi nggak separah ini!!
semoga cukup sampai di sini.

(skdar mengingatkan. Cerpen bg khrisna pernah diplagiat juga:
repost: http://blogkoma.blogspot.com/201...0/03/amang-oi.html)Lihat Selengkapnya
Senin pukul 22:23 · SukaTidak Suka
o
Komunitas Ketik astaga...
Senin pukul 22:24 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga mungkin dadang menganggap kita-kita sebagai pembaca ini gak punya hak sama sekali untuk menggugat... mngkin bagi dia, mekanisme kehidupan cerpen koran cuma berawal dari ngirim email, trus bersaing dg karya lain, trus berakhir di persetujuan redaktur utk memuatnya.
Senin pukul 22:32 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Khrisna Pabichara
‎@Raga: Kalau cuma sebatas itu, dalam seminggu saya bisa mengirim 5-10 cerpen ke media berbeda. Hahaha. Persoalannya adalah kejujuran dan keberanian mengakui "kesalahan". Jika di batas itu saja kita belum lolos, bagaimana kita berharap memb...erikan sesuatu yang berharga bagi pembaca? Kasihan sekali jika kita martabat kepengarangan demi sebatas ketenaran.

Saya sangat berharap ada seseorang atau lembaga tertentu yang mau mengetuk hati Mas Dadang agar berkenan berbesar hati untuk tak melukai penyuka sastra.Lihat Selengkapnya
Senin pukul 22:46 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara Dan, tentu saja, kepada Redaktur Sastra Lampung Post agar memberikan peringatan keras agar Mas Dadang tidak melakukan hal sama di cerpen-cerpen sesudahnya.
Senin pukul 22:50 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Langit Biru jika masalahnya kejujuran dalam berkarya,ini fundamental,jadi tertarik menelisik karya dadang sebelumnya
Senin pukul 22:56 · SukaTidak Suka
o
T Agus Khaidir
Sekali lagi komentarku harus bernada heran. Kali ini untuk oknum bernama Dadang. Taruhlah dia memang berniat untuk plagiat, tapi kenapalah yang diplagiati itu justru Rashomon, karya Akutagawa yang sudah sangat masyhur? Kenapa tidak karya la...in saja yang "tidak terlalu terkenal"?

Tapi dia memang memplagiat Rashomon dan aku curiga jangan-jangan ini orang menganggap tak ada yang tahu bahwa cerpen itu ia plagiat - lantaran ditulis orang Jepang sekian puluh tahun lalu. Atau jangan-jangan dia pakai semacam ilmu hitam sehingga Rashomon tulisannya yang hampir tak berbeda dengan Rashomon asli itu bisa lolos dari seleksi awal redaksi, menyingkirkan barangkali puluhan cerpen lain dan dimuat di media sekelas Lampung Post.

Aku tiba-tiba membayangkan, dalam minggu-minggu ke depan akan muncul cerpen karya Sungging Raga, Bamby Cahyadi, Khrisna Pabichara, atau bahkan Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya dan Budi Darma dengan nama Dadang Ari Murtono dan dimuat di Kompas, Koran Tempo, dan Suara Merdeka, karena Myrna, Nirwan Dewanto dan Triyanto Triwikromo merasa terpesona sebab sudah kena guna-guna. hahahahaha...Lihat Selengkapnya
Senin pukul 23:03 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Khrisna Pabichara ‎@Agus K: Yang pasti, Bang, cerpen Mas Dadang di Kompas memiliki kemiripan dengan cerpen Ratih Kumala. Saya sedang membaca ulang cerpen Mas Dadang yang dimuat di Republika. Jangan-jangan...
Senin pukul 23:13 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara ‎@Anhar H: Jadi teringat kasus lama, Bang. Saya sampai mencari nomor kontak "sang penyabot" agar bisa klarifikasi langsung. Bukannya meminta maaf, yang bersangkutan malah meminta saya untuk melindungi sesama penulis. Hahaha. Miris!
Senin pukul 23:19 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Simalakama Rindu saya hanya ingin agar Dadang segera mermberikan keterangan. semoga cepat selesai.
Kemarin jam 4:43 · SukaTidak Suka
o
Imam Wahyudi
Saya hanya mau sedikit urun komentar. Diakui atau tidak, gaya dan penulisan para cerpenis, khususnya yang baru berkembang, kebanyakan memang terpengaruh oleh penulis yang kebetulan sedang menjadi anutannya. Tak jarang, cerita yang mereka tu...lis
hampir mirip dengan pengembangan disana-sini. Saya rasa itu tak masalah, asal tidak sama persis benar dengan cerpen acuannya. Meminjam istilah Agus Noor, diberi cita rasa baru yang berbeda. Soal cerpen Mas Dadang itu, saya berbaik sangka saja, mungkin ada yang ingin ditujunya, entah apa, dengan membuat cerpen semacam itu. Tetapi diatas semua itu, memang seyogianyalah mas Dadang memberikan sekedar penjelasan tentang tulisannya itu....Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 5:47 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Endah Sulwesi hari gini kok masih nyontek sih? Anak nakal! *pukul pantat Dadang* :D
Kemarin jam 8:21 · SukaTidak Suka
o
Han Gagas Sungging, di awal kau blg melanjutkan berarti ada yg sebelum ini. Wah aku terlewatkan neh. Mas bamby nt di inbox ke saya ya lembaga itu. Oya ada ketrangan di lampung pos itu apaya? Dadang oh dadang, aneh2 sj org ini. Kok redaktur lampung gak kau tandai ngging?
Kemarin jam 8:28 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Lan Fang coba tlg di tag ke wall ku ya...,
Kemarin jam 10:16 · SukaTidak Suka
o
Lan Fang
semua penulis kebanyakan "pasti" terinspirasi dengan tulisan2 yg pernah dibaca sebelumnya. "pasti" juga "mencuri" untuk eksplorasi. sebab untuk menjadi penulis itu harus memiliki "kecerdasan di atas rata2" harus bisa menjadi "pencuri" yg ce...rdas.

jadi plagiator adalah penulis yg dengan sadar menunjukkan kedunguannya sendiri.

akh, gol bunuh diri!Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 11:44 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Sungging Raga
tp kan inspirasi lain dg plagiasi,, kadang memang sering ditemukan bbrapa frase yg sudah dipakai seorg penulis tp juga ada di karya penulis lain, atau juga karya2nya bernafas sama..

kalo dadang ini udah trbukti masuk kategori plagiasi nih. b...ahkan karya2nya yg lain pun mulai dicurigai, terutama yg di Kompas (Lelaki Sepi) yg mirip cerpennya Ratih Kumala. cuma kalo kata mas khrisna, di kompas itu Dadang bermain lebih cantik (& cerdas), hehe. di sini kacaubalau.Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 11:50 · SukaTidak Suka · 1 orangKhrisna Pabichara menyukai ini.
o
Lan Fang saya tidak khusus menujukan pada dadang seorang. tapi harapan saya, semua yg berkaitan dengan tulis menulis bisa mengambil hikmah & bisa belajar dari urusan ini.
Kemarin jam 11:55 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat...
o
Aida Radar Wew!
ck...ck...ck...
Kemarin jam 13:12 · SukaTidak Suka
o
Benny Arnas plagiat! apa kata dunia? *kok dadang tak kau tag, Ga?
Kemarin jam 14:03 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga aku gak jdi friend-nya dadang sih.. yg pasti sblum mnulis ini, aku udah brusaha mendapatkan pnjelasannya scara langsung. hehe. tp di acara sastra trakhir yg mncantumkan namanya sbg pmbicara, trnyata dia pun gak dtg.
Kemarin jam 14:08 · SukaTidak Suka
o
Benny Arnas HALOOOO, SEMUAAA!! KITA NGE-ADD DADANMG YUKKKKK! :-)
Kemarin jam 14:17 · SukaTidak Suka
o
Imam Wahyudi Nah, mungkin yang akan saya pertanyakan disini sebagai orang yang baru belajar sastra, kadang seorang 'pencuri cerdas' pun, sengaja atau tidak sengaja, akan menemui masa-masa sial terjatuh menjadi pencuri yang 'tidak cerdas'. Bagaimana itu ? Ambil contohlah cerpen terakhir SGA di Kompas itu, yang sangat mirip karya Pablo Coelho, meski di akhir cerpen disebutkan bahwa cerpen tersebut mengambil inspirasi dari beberapa cerita yang berkembang di masyarakat. Plagiasi atau sekedar terinspirasi oleh karya lain itu ?
Kemarin jam 14:24 · SukaTidak Suka
o
Aida Radar Idem dengan K'Imam, plagiasi atau terinspirasi?
Kemarin jam 14:26 · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga apakah paragraf2 di seno ada yg sama dg coelho? apakah seno melakukan copy paste sprti yg kubuktikan di atas itu?

bedakan antara eksplorasi / inspirasi dg plagiasi.
Kemarin jam 14:30 · SukaTidak Suka
o
Aida Radar Oh begitu ya... ^_^
Kemarin jam 14:31 · SukaTidak Suka
o
Lan Fang kecerdasan bukan untuk membuat semua hal tanpa kesalahan, namun untuk mempercepat amatan bagaimana membuatnya (suatu karya) menjadi (lebih) bagus.
(bertolt brecht, pujangga & dramawan Jerman, 1898-1956)
Kemarin jam 14:32 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Imam Wahyudi Intinya, mungkin begini. Bolehlah kita mengutip bagian dari karya orang lain, asal (mungkin) diberi catatan kaki, bahwa kalimat ini diambil dari karya ini atau itu, umpamanya. Dan dilihat secara utuh (keseluruhan) karya itu tidak sama persis dengan yang menjadi inspirasinya. Begitu pa ya...hehe
23 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Langit Biru
hal-hal teknis dan teoretis mengenai eksplorasi, inspirasi, dan plagiasi selalu bisa diperdebatkan, termasuk dalam hal ini cerpen SGA.
semua berpulang pada niatan pengarang (kejujuran).
sesorang bisa saja tidak jujur (bohong) pada orang la...in tapi dia tdk akan bisa berbohong (tidak jujur) pada dirinya sendiri.
ada kepuasan batin yang tdk bisa dibeli dg materi dan popularitas ketika menghasilkan karya sastra. dan ini saya rasa tidak akan didapatkan oleh seorang plagiat.Lihat Selengkapnya
23 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 3 orangMemuat...
o
Han Gagas Kalo kasus dadang neh plagiat wong hampir tiap katanya sama plek gt. Kalo SGA kan tdk, terinspirasi. Itu kan bedane jelas. Aneh2 aja neh teman2. Kayak haram dan halal dlm islam. Ha3. Bangkai,darah, siapa muslim yg lurus mengatakannya sbg halal? Bukan abu2 kawan. Kalo tiap kata hmpir sama apalagi ide&latar jg sejurus itu sdh jls masuk mana. Ha3. Ada org yg menghamba pd fana, semu. Ada org yg benci pd itu. Huahaha3. Glegekk.
22 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Han Gagas Kok aku dakwah, ha3. Huaha3x. Gelekgek. Trnyt ak dah agak lama hub fb ma dadang jauh sblm urusan buruk ini tp ga prnah kontak2. Kalo kau bc, dang, wah gol bunuh diri, betul kak lf. Kdg kt mmg brdosa, mns, lupa, mari brusaha trs spy jd mns yg baik. Khilaf, alpa, mari kt perbaiki. Ngomong apa aku ini. He3. Menertawai keseriusan ki namane.
22 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Han Gagas kt tmnku yg dl cerpenis hebat, sga yg di kompas kmrn sdkt abu2. Ha3
21 jam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Khrisna Pabichara
Sepakat dengan Mbak Lan, kejujuran adalah sesuatu yang niscaya dimiliki oleh siapa saja yang berkaul jadi pengarang. Boleh jadi karya kita dianggap hebat oleh khalayak pembaca, tetapi karena proses penciptaannya tidak jujur--semisal meminda...hkan karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri--tidak akan menemukan kepuasan batin yang sama ketika kita menghasilkan satu karya dengan jujur. Istilah Bang Han, lebih menghasilkan karya yang biasa tetapi murni karya sendiri.

Kembali ke kasus Mas Dadang, dari klarifikasi yang disampaikannya lewat sms, menunjukkan ketidakseriusan Mas Dadang dalam membabarkan "ada apa dengan karyanya" dan "mengapa pembaca terus bertanya". Secara implisit, ini menunjukkan arogansi Mas Dadang, yang sekaligus juga menunjukkan ketidakbesaran hatinya. Tentu saja, ini dengan asumsi bahwa Mas Dadang berkeras tidak ada masalah karena cerpen "palsu"-nya ini.

Karena itu, tepatlah kiranya jika ada pihak yang berkenan menyampaikan atau mengunjukkan perbincangan ini ke hadapan Mas Dadang. Dan, bagi kita semua, tentulah banyak hikmah yang bisa kita petik dari kasus ini. Salam takzim buat semuanya.Lihat Selengkapnya
16 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira mentalitas pengen dapat hasil tanpa kerja keras kayak gini nih yang mesti diberangus. masa buat cerpen sekedar kopas aja. hah...macam macam saja si dadang ini..
7 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Kartolo Kempol Geyong-Geyong setelah saya baca di kereta, kata, bahkan kalimat karya Bung Dadang itu sama persis. Dalam satu paragraf hanya beberapa kata dan kalimat yang diubah. Sebagai penulis, setidaknya Bung Dadang lebih beretika, dengan menanggapi reaksi teman-teman. Kalau memang MALAS atau KESULITAN mengeksplorasi, jujur lah sama teman-teman. Toh itu bagian dari proses kreatif, kecuali kalau terburu-buru tenar. Tidak usah begitu saja sudah tenar kok. Salam
6 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Munajat Sunyi kasihan teman-teman yang sudah berusaha mengirim cerpen ke lampung post dengan karya original, tapi yang dimuat malah karya plagiasi. ckckckckckckck...
4 jam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas
betul mas khrisna tuh, mending nulis banyak cerpen jelek2 drpd palsu, huahahahah, itu karyaku, asli lho. mentang2 namaku disebut jd mbetulin dia hahaha, sopan santun, hehehe.
betul juga mas munajat sunyi neh, gara2 dadang neh cerpenku gak di...muat lampung post utk ke2 kali, jan-jan, nasib-nasib.Lihat Selengkapnya
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga ‎12 desember cerpen dadang ari murtono di Suara Pembaruan, cerpen yg sama dg di Nova edisi mingu sblumnya.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Kartolo Kempol Geyong-Geyong mojleng...
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas waduh alamak, kalau begitu saya dulu kalau mau ya bisa, wong cerpenku di lampung post itu juga dimaui nova, tapi aku tarik dari nova karena lampung post mau muat, alamak, dasar neh orang.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat...
o
Han Gagas hahahaha, aku girang neh, rama dira kasih jempol, barti nasib baik neh
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira ‎@ Han : sepakat. aku juga melakukan hal yang sama. toh kalaupun ndalalah termuat di dua media, itu bukan kesalahanku. tidak ada pemberitahuan dari redaksi yg menjadi penyebabnya sehingga tidak sempat ditarik.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas betul rama dira, aduh alamak kok kita cocok betul ya, aduh sayang kau jauh, andai dekat aku sudah tempelin kau. kayak ma sungging neh, cocok mak plek.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga rama lain tuh, dia ngirim ke dua media nggak di waktu yg sama, menggilir dulu,, trus kbtulan salah satu media lama bgt memuatnya... kalo yg DAM ini tematik. kjadian bulan lalu.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas cocok tuh maksudku pikiran2ne, wah sungging ki baca2 yg atas doooooooong
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira
ya. kalau sampai kejadian dimuat bareng di dua media (padahal kita tau) itu sama saja merampas rejeki teman penulis yg lain. cerpenku pernah hampir dimuat di nova & femina dalam waktu yg berdekatan. untung redaktur femina telpon. akhirnya a...ku tarik. ada sih cerpenku yg sebelumnya dimuat media lokal kemudian kukirimkan ke media nasional dan kemudian dimuat. itu terjadi karena honorku nda dibayar2 dan waktu nagih seolah2 aku melakukan kesalahan dan dipimpong sana sini. akhirnya aku nekat menariknya dan menyatakannya tak pernah dimuat di situ.Lihat Selengkapnya
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas ooo, gitu rama dira, okelah, aku belum pernah seh dimuat bareng, kalau pernah mungkin nanti salahku, karena kadang lewat tiga minggu aku dah pindah tuh cerpen, kenapa ya para media itu gak kasih batas waktu yg jelas gitu, sebagian memang sudah tapi gak semua.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas mas rama dira, media lokal apa tuh yg suka ping pong?inisial ajah
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira he..he.. ada ajah..tapi kayaknya setelah kejadian aku buat statement penarikan di fb itu, medianya sekarang nda kayak gitu lagi kok. honor sudah dibayar dengan baik menurut info yg kudapat dari teman sesama penulis.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Han Gagas alhamdulillah dah insyaf tuh media, hahaha
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Sungging Raga surabaya post.
sekitar sejam yang lalu · SukaTidak Suka
o
Rama Dira ha..ha..ha.. akhirnya Raga membocorkannya. Ya udah deh
sekitar sejam yang lalu · Suka

Sunday, November 28, 2010

Angka Sepuluh

Cerpen Bamby Cahyadi


AKU baru saja terbangun dari tidur di pagi yang dingin. Hawa sejuk merembes masuk melalui celah jendela kamar yang tak sepenuhnya tertutup. Di luar gerimis jatuh dari langit kelabu. Jam digital di rak buku menunjukkan pukul 07.11 WIB. Salat subuhku terlewat. Aku muslim, tapi tak begitu taat. Seperti biasa, apabila salat subuhku tertinggal, sepanjang hari aku tak salat. Itu prinsipku. Maafkan aku. Oh ya, untuk Tuhan.

Pagi ini usiaku genap 35 tahun. Aku masih lajang, bujangan. Tapi jangan kau kira aku tak pernah tidur dengan perempuan. Aku belum menikah bukan karena tak mau, apalagi tak mampu. Aku malas berkomitmen, itu saja. Seperti halnya meninggalkan salat, aku pun tak segan berbuat dosa-dosa untuk hal-hal lain. Namun, aku percaya ada surga dan neraka. Jadi, aku bukan tokoh jahat, aku hanya manusia biasa, bukan setan, juga bukan malaikat. Artinya aku bisa berbuat suatu kekhilafan, tapi aku pun bisa berbuat suatu kebajikan. Aku yakin, urusan besar kecil dosa dan pahala, hanya Tuhanlah yang boleh menakar, dan memberinya ganjaran. Kelak.

Sebenarnya aku tak suka terbangun dari tidur. Aku selalu berharap rohku tertahan di alam tidurku, di alam mimpiku yang selalu bisa kukenang setelah aku terbangun. Aku tahu, itulah kematian. Aku telah banyak menyaksikan kematian. Kematian orang-orang terdekatku: ayahku, kakek dan nenekku, sahabatku, pelacur langgananku, guru mengajiku, dan orang-orang terkenal di Tanah Air dan di seluruh belahan dunia. Tentu aku hanya menyaksikan dan mendengar kabar kematian itu. Paling tidak, tidur–menurut agama dan pendapat beberapa ahli dan ulama, adalah kematian kecil. Jadi kematian kecil ini yang kualami, berkali-kali dalam setiap tidurku.

Aku menciptakan tidur lelap dengan menelan obat tidur dosis tinggi, tentu dengan resep dokter. Sejak 10 tahun lalu aku menderita insomnia akut. Dua tahun terakhir obat tidur itu mampu membuat mimpiku semakin indah. Siklus tidur biologisku, kukira terganggu saat aku berusia 25 tahun, dan dua tahun lalu suatu penyakit hampir saja merenggut nyawaku. Penyakit akibat kurang tidur, maka sejak saat itu aku menemui dokter secara rutin untuk mendapatkan obat tidur yang ampuh dan tentu aman bagiku. Perlu kau ingat, aku menemui dokter bukan karena aku takut nyawaku direnggut oleh kematian. Tapi aku masih gairah menikmati kematian-kematian kecil yang kualami saat aku tertidur pulas. Kini, aku tak perlu menunggu mengantuk untuk tidur, cukup menenggak dua butir obat tidur, maka tak berapa lama setelah itu, aku tertidur nyenyak dan masuk dalam dunia mimpiku.

Pukul 07.20 WIB. Aku masih termangu di pinggir tempat tidur, melihat dengan gamang sekeliling kamarku. Aku malas bangun, malas pula untuk melanjutkan tidur. Kukira, efek obat tidur itu sudah lenyap dari kelenjar melatoninku. Aku kembali mengedar pandangan ke seluruh penjuru kamar apartemen sederhana tipe studio yang kubeli dari royalti novelku yang laris manis seperti kacang goreng di pasar malam. Aku penulis paruh waktu. Pekerjaan utamaku..., tak perlu kuceritakan, agak rahasia sifatnya.

Kamar apartemenku berada di lantai 9, entah kenapa aku suka angka 9, ketimbang 1 atau 10. Apartemen ini berlantai 9, maka tentu saja aku berada di bagian tertinggi gedung apartemen ini. Aku teringat tentang angka 9 yang dianggap–mungkin juga dikeramatkan oleh Presiden SBY. Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Presiden SBY kemudian dijadikan nomor kotak pos dan SMS di Istana: 9949, yakni 9 September 1949. Aku suka hal-hal klenik, tapi aku tak begitu suka seorang presiden percaya akan hal-hal klenik. Menyedihkan! Tak perlu heran, apabila nomor kamar apartemenku pun bernomor 9. Ya, apabila perlu, cukup mencariku di lantai 9 kamar 9 di apartemen sederhana di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Hanya ada satu unit lift di apartemenku, dan sudah dipastikan tak beroperasi 24 jam. Lift beroperasi mulai jam 7 pagi, ketika orang-orang berebutan dan bergegas keluar untuk pergi bekerja atau melakukan aktivitas sangat penting, agak penting dan tak penting. Lift akan ditutup jam 10 malam, ketika sudah tak ada hal penting yang harus diurus oleh penghuni apartemen ini di luar sana. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Lift itu selalu dijaga oleh seorang pemuda bertampang lugu tapi selalu menyungging senyum yang tulus. Nama pemuda penjaga lift itu, Markum. Aku cukup akrab dengan Markum, walaupun aku bukan penumpang lift yang setia. Sebagai penghargaan atas kesetiaan Markum menjaga lift, aku pernah membuat sebuah cerita pendek dengan tokoh Markum sang penjaga lift, cerpen itu lalu dimuat di sebuah koran nasional. Markum begitu girang ketika aku membacakan kisah dalam cerpen itu padanya, namun ia begitu tampak sedih dan binar di bola matanya meredup, ketika mengetahui bahwa ia hanyalah sesosok hantu lift dalam cerpen itu. Tapi mata Markum kembali berbinar, ketika kukatakan, honor cerpen itu untuknya. Ia merampas koran itu dari tanganku, lalu menciumnya berkali-kali.

Terus terang, aku lebih suka menapaki anak-anak tangga apartemen ketimbang berebut antre untuk turun dan naik menuju kamarku atau suatu tujuan tertentu. Delapan tahun tinggal di apartemen ini membuatku hafal betul lekuk-lekuk anak tangga yang kutelusuri setiap hari. Bahkan aku sangat akrab dengan suasana di setiap lantai apartemen ini, hingga aku menapaki anak tangga terakhir di pelataran lantai dasar, atau lorong lantai 9 ini.

Pukul 07,30 WIB, lampu kecil berwarna merah pada jam digital di rak buku berkedip-kedip diikuti suara bip-bip yang berbunyi agak pelan, sedikit keras dan akhirnya memekakkan telinga. Rencananya, aku akan bangun jam setengah delapan pagi ini. Tapi nyatanya aku terbangun pukul 07.11 WIB. Ya, sudah.

Dengan langkah malas aku menuju kamar mandi, mengambil handuk yang tersangkut di atas komputer dan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Kulihat layar ponsel, ada 23 pesan yang belum kubaca dan beberapa panggilan yang tak kujawab. Pasti ucapan selamat ulang tahun dari beberapa perempuan dan teman-teman akrab, juga dari rekan penulis dan sanak saudara. Aku letakkan kembali ponselku di atas meja dan buru-buru ke kamar mandi. Aku ingin buang hajat dan sekaligus mandi.

Aku suka berlama-lama di kamar mandi. Duduk di kloset sambil membuang hajat besar dan merokok. Menghabiskan dua-tiga batang rokok sambil melamun. Sebungkus rokok kretek selalu tersedia di kotak toiletris. Setelah itu aku bercukur, mengerok bulu-bulu kasar di sekeliling mulut dan daguku dengan pisau cukur modern sambil memandang wajahku di cermin kecil yang tertempel di kotak toiletris itu.

Ya, ya, wajahku tampan. Alis mataku tebal, hidungku mancung, tatapan mataku tajam, gigi-gigiku rapih walaupun sedikit kuning akibat nikotin. Banyak perempuan yang telah kulumat mulutnya dengan mulutku. Bahkan, banyak puting payudara yang telah kujilati dan kukulum dengan lidah dan bibirku. Sudahlah, aku tak mau membayangkan adegan percintaanku dengan Gladis, perempuan yang kemarin malam mendesis-desis dan mengerang-ngerang karena orgasme berkali-kali. Cukup luka bekas gigitan Gladis yang kukenang di bagian tengkukku.

Selesai bercukur, gosok gigi. Memandang nanar ke cermin yang memantulkan wajahku. Oh, apa rasanya berada di balik cermin sana. Apakah rasanya sama dengan di sini? Mungkin sama, mungkin juga tidak.

Mandi. Ah, air berasa dingin sekali mengguyur sekujur tubuhku. Sabun cair berbusa-busa kugosok-gosok pada setiap lekuk tubuhku. Bersyukur, tanpa fitnes tubuhku tumbuh atletis. Pantaslah Tante Mona, begitu keranjingan menyuruh aku telanjang. Alasannya untuk sebuah momen seni fotografi berkualitas. Tentu kau tahu apa yang kulakukan selesai sesi pemotretan. Sudah lupakan dulu penggalan kisahku dengan Tante Mona, aku masih mandi. Rambutku sedang kukeramas dengan sampo antiketombe. Saat-saat mandi hal-hal liar dan menggairahkan sering terlintas dalam benakku. Aku sangat imajinatif, membayangkan Gladis dan Tante Mona, kelaminku meremang. Aku sudah malas bermasturbasi. Itu kegiatan seks anak baru gede. Ah, sudahlah. Aku bergegas menyelesaikan ritual mandi, membilas rambut dan tubuhku dengan air dingin, berhanduk, dan membebatkan handuk pada bagian perut. Handuk menutupi pusarku hingga lutut.

Keluar dari kamar mandi, jam digital di atas rak buku menunjukkan pukul 08.52 WIB. Ya, begitulah. Aku bisa menghabiskan waktuku di kamar mandi satu sampai dua jam, lama bukan?

Aku menoleh ke arah jendela. Langit Jakarta masih abu-abu, pagi benar-benar jatuh di peraduan awan kelabu yang menutupi cahaya matahari. Gerimis sudah berhenti.

Pukul 09:00 WIB. Aku telah rapih. Mengenakan polo T-shirt warna hitam, celana jins warna biru dan menyiapkan tas selempang warna hitam berisi laptop. Aku menutup lemari pakaianku yang masih terbuka, sekilas kulihat tumpukkan beha dan celana dalam perempuan warna-warni dengan bentuk-bentuk yang seksi. Maaf, itu bukan punyaku. Beha dan celana dalam perempuan itu milik Gladis, Tante Mona, Tiwi, Effi, Nikky dan Mbak Putri. Nama yang kusebut terakhir adalah tukang cuci di apartemen ini. Bagaimana perangkat pakaian dalam perempuan itu berada di lemariku? Tak akan pernah kuceritakan.

Perutku terasa melilit ketika jam digital menunjukkan pukul 09:10 WIB. Apakah ada makanan tersisa di kulkas berukuran mini yang teronggok di pojok dekat pintu kamar mandi itu? Pikirku. Rasa lapar menyergapku. Aku membuka kulkas, mengeluarkan sebungkus kecil kopi instan dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser air dalam kemasan galon. Aku menyeruput kopi itu, rasanya cukup menghangatkan. Lalu, kuambil beberapa iris roti tawar dan mengolesnya dengan selai rasa cokelat kacang. Memakan dua tangkup roti berselai cokelat kacang dengan lahap sekaligus.

Seseorang mengetuk pintu kamar apartemenku. Pasti tukang koran. Aku terus menyeruput kopi dan melahap potongan roti terakhir dalam kunyahan. Tukang koran menyelinapkan koran pagi di bawah celah daun pintu. Aku melangkahkan kakiku menuju daun pintu. Membungkuk mengambil Koran Tempo yang tergeletak di lantai, membuka pintu sejenak, barangkali saja tukang koran itu masih berada di lorong apartemen ini. Menjulurkan kepala, menoleh ke kiri, ke kanan. Tak ada siapa-siapa di lorong itu. Cepat sekali tukang koran itu berlalu, padahal aku bermaksud membayar koran-koran beberapa hari yang lalu yang belum sempat kubayarkan padanya.

Sebuah koran edisi hari Minggu 10 Oktober 2010 segera kubaca. Kasus Bibit-Chandra menjadi headline news. Masalah Deponeering Berisiko Politik, kata koran ini. Halaman berikutnya, KPK Akui Sulit Mengejar Anggoro Widjojo. Sebenarnya tak sulit-sulit amat kok, batinku. Berita banjir di Wasior, Papua. 30 truk tangki NATO dihancurkan di Afghanistan. Kubuka halaman berikutnya, membaca sekilas rubrik Topik. Lembar berikutnya. Aih, resensi buku: Ada Klenik dalam Politik SBY. Apakah kebetulan yang tak disengaja tentang angka 9 yang kubahas tadi? Entahlah. Halaman berikutnya, wawancara dengan Panglima TNI yang baru, Laksamana TNI Agus Suhartono. Lembar berita olahraga kubaca, lagi-lagi cukup sekilas. Tiba pada lembar yang kusuka pada koran ini: Sastra, cerpen Sungging Raga yang imajinatif. Puisi Esha Tegar Putra yang ekspresif. Halaman-halaman iklan otomotif, berita-berita kecil yang tak penting. Artikel tentang kesehatan, Tak Cuti, Cepat Mati. Ah, apa iya? Tanyaku bergumam. Halaman kuliner kulalui. Membaca Pada Mulanya Kata, ”Sementara aku tahu diri sebagai ciptaan Tuhan, aku juga berkewajiban menyadari serta mengingat bahwa setiap orang lain dan segala sesuatu yang lain juga ciptaan Allah,” begitu kata Maya Angelou, seorang penyair asal Amerika.

Oh! Cukup tersindir aku dan kau dengan pernyataan Maya Angelou yang baru kukenal itu. Saat membaca halaman terakhir koran terbaca judul provokatif, Tutup Mulut Politikus. Pintu apartemenku kembali diketuk oleh seseorang dari luar. Jam digital yang terletak di rak buku tepat pada angka 10:00.

Aku lipat koran yang selesai kubaca dan melemparkannya di atas tempat tidur begitu saja. Lantas berjalan pelan menuju pintu dan membuka daun pintu. Seseorang berdiri gelisah di depanku, raut wajahnya menyiratkan ketegangan yang amat sangat. Aku tahu siapa lelaki separuh baya itu. Aku kenal ia. Aku sangat kenal. Pak Sam, tersangka korupsi sebuah bank besar di Jakarta. Kasusnya sedang kutangani. Istri lelaki itu bernama Mona dan anak gadis semata wayangnya bernama Gladis.

Dengan cemas ia menyeruak masuk ke dalam kamar apartemenku, tanpa permisi. Apalagi basa-basi.

"Maaf Pak Sam, bukan di sini tempat Bapak menemui saya," tegurku.

"Hentikan kasus saya!" katanya memohon. Aku menggeleng.

"Kita bertemu di Kuningan saja, besok," jawabku pendek.

"Tidak bisa! Hentikan kasus korupsi saya, atau kubunuh kau!" Pak Sam mencabut pistol yang ia simpan di saku celananya.

Aku kembali menggeleng dan mengangkat kedua tanganku. Saat itulah aku mendengar suara letusan pistol. Dada kiriku terasa panas, seketika aku terjerembab di atas karpet warna merah yang membalut lantai kamar apartemenku, tak bisa kubedakan lagi mana warna merah karpet, mana warna merah darahku. Samar-samar kulihat jam digital menunjukkan pukul 10:10 WIB, lantas jam itu berhenti berkedip. Mati.

Aku terbangun pada pukul 10:10 waktu Indonesia entah bagian mana, di suatu tempat yang tak asing bagiku. Di sinilah hidup baruku bermula bersamamu. Kukira aku mulai suka angka 10. n

Jakarta, 10 Oktober 2010


-------------
Bamby Cahyadi, lahir di Manado, 5 Maret 1970. Bergiat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Menulis cerpen di koran nasional dan lokal. Kumpulan cerpennya, Tangan untuk Utik (Koekoesan, 2009).



Lampung Post, Minggu, 28 November 2010

Sunday, November 21, 2010

Tarian dalam Dirimu

Cerpen Alex R. Nainggolan


SELALU ada yang menari dalam dirimu. Yang tak bisa kutanggalkan setiap kali bertemu.

"Jadi kau akan terus menari, sampai kapan?"

"Sampai mimpi tak lagi terbagi."

"Tapi tubuhmu bau selokan, begitu miskin, dan amis."

"Biarlah, toh, bukan diriku yang terlihat di sini. Melainkan tarianku."

"Ya, tarianmu bagus. Serupa gentar yang tak kelihatan. Seperti menusuki bekas cuaca, kini aku seperti menemukan bagian diriku yang hilang. Barangkali telah sekian waktu tak terbaca."

Orang-orang berkerumun ke arahmu. Merapikan diri mereka. Mereka mendekat. Seakan meneliti dirimu dengan seksama. Barangkali, agak heran, sebab di daerah ini jarang ada seorang perempuan yang memperlihatkan tarian ke khalayak. Namun kau seakan tak peduli, kau tetap saja terus menari, seakan terus membagi bagian sunyimu. Cuaca seakan membaca seluruhnya. Segalanya diam, keheningan yang menelusup ke setiap pori.

"Kau tak letih menari?" tanyaku ketika melihat tubuhmu telah dipenuhi peluh, "Orang-orang di sini mengharamkan seorang perempuan untuk menari."

"Kenapa?"

"Entahlah, barangkali pantangan tidak baik. Terlebih lagi, acapkali kau perlihatkan lekuk tubuhmu."

"Biar!" kau tak peduli. Tepatnya kau telah menikmati ekstase dirimu sendiri, kau terus menari. Setiap waktu, dengan atau tanpa iringan musik. "Aku takut," kataku, "Kenapa?"

"Aku takut kehilangan dirimu, tidakkah kau mendengar bisik-bisik orang-orang itu? Yang bercakap-cakap selama kau menari?"

"Apa? Ceritakan dong!" Kau terus saja menari, seakan waktu bagimu telah lama berhenti, diam di antara gerakan tubuhmu yang dengan sekejap memanjang, dan memendek. Kau terus saja bergerak, peluhmu bercucuran, begitu banyak, pakaian yang kau kenakan basah. Hampir seluruh lekuk tubuhmu terlihat.

"Syahdan, ada seorang perempuan datang ke daerah ini. Ia mempunyai bakat menari, sama seperti dirimu. Hampir setiap saat ia menari, hingga suatu saat...orang-orang membakarnya. Ia ditangkap di sebuah malam yang hitam. Tubuhnya terbakar di atas api, tangannya terikat, dan ia lantak menjadi abu. Sejak itu pula tak ada seorang pun yang berani menari di daerah ini. Orang-orang tak ada yang berani menggoyangkan anggota tubuh mereka, bahkan ketika alunan musik terdengar."

"Kok, ceritanya cuma sebentar?"

"Menurut juru cerita, orang-orang membakarnya karena tarian yang disuguhkan telah menjelma jadi wabah yang dianggap membahayakan. Ia mesti berhenti menari. Sebelum segalanya tambah parah. Maka ia dianggap aib. Ia mesti dimusnahkan dengan segera."

"Ia punya anak?"

"Entahlah, katanya dulu ia memunyai seorang kekasih. Lelaki yang mengagumi tarian yang disuguhkannya."

"Ia punya anak?" tanyamu datang lagi.

"Kabarnya, kaulah anaknya."

"Tapi, orang tua yang aku ketahui cuma seorang lelaki yang menetap di ujung daerah ini."

"Apa pernah kau tanyakan dirimu dengan sesungguhnya padanya?"

"Kau bohong!" lalu kau pergi meninggalkanku. Meski saat meninggalkan diriku, aku masih melihat tarian dari beberapa anggota tubuhmu. Tarian yang dipenuhi elegi.

***

Di hari berikutnya, aku melihatmu menari kembali. Kali ini, jauh lebih hebat. Kau berdiri di sebuah papan yang agak tinggi, dengan diiringi alunan musik. Orang-orang datang berkerumun. Peluhmu terus bercucuran, tapi dengan demikian justru terlihat bahwa kau istimewa. Semua mata melekat kepada dirimu. Tak ada ekor mata yang seperti lepas dari dirimu. Setiap orang menahan napasnya, dengan degup jantung yang seperti ditahan. Ah, betapa kau begitu sempurna saat itu. Dirimu tampak sebagai perempuan dewasa. Terkadang tinggi, sesekali rendah. Suatu hal yang mengingatkanku pada ombak di pantai yang terus datang bertubi-tubi.

Orang-orang masih saja berkerumun, tapi aku menyaksikan dirimu di kejauhan. Melihat dirimu yang tampak seperti siluet yang membentangkan hiburan baru. Ya, betapa orang-orang di daerah ini haus hiburan. Diam-diam, aku menyukai dirimu. Diam-diam, aku mengagumi setiap lekuk yang kau tawarkan, seperti seteguk air yang disuguhkan saat aku sedang kehausan. Betapa setiap gerakanmu telah menjelma menjadi suatu yang patut dikenang. Lekuk pinggul, payudara, dan bundar wajahmu telah menyihirku. Aku terpukau, kesiap yang melecut dengan seketika. Bayangan dirimu terus saja berkelebat. Yang memaksaku malas untuk menutup mata barang sebentar.

"Kau hebat ketika menari," aku menghampirimu.

"Selalu pujian yang kau berikan. Aku muak!" katamu.

"Tapi ini sungguh-sungguh. Dari sana aku menyaksikan keteguhanmu."

"Lalu, kau akan bermaksud melarangku? Kau akan menceritakan lagi kisah itu, bahwa aku memunyai seorang Ibu yang juga menari. Bila ibuku mati dibakar, begitu?"

"Kau tak percaya?"

"Buktinya, orang-orang memujaku. Lihatlah, bagaimana mereka puas dengan suguhanku. Seorang lelaki tadi menghampiriku, ia menawarkan kartu nama. Katanya pencari bakat dari sebuah production house. Katanya, tarianku dapat dipromosikan lebih besar lagi. Bisa menyaingi goyangan Inul Daratista."

"Siapa namanya?"

"Marta."

"Jadi, kau akan menerima tawaran dari dirinya?"

"Mengapa tidak? Kesempatan tak akan datang dua kali."

Tiba-tiba kembali ada yang berdesir, berenang menjauhi dadaku. Aku melihat pijar di kedua bola matamu. Dan, aku berfirasat bila kau akan pergi, jauh, meninggalkan diriku. Aku membayangkan akan ditinggalkan dirimu. Padahal, aku belum sempat mengutarakan bila aku menyukai dirimu, tepatnya telah jatuh cinta pada dirimu.

***

Sampai di hari-hari berikutnya, kau benar-benar telah menghilang dari daerah ini. Tinggal aku sendiri, mengingat-ingat tarian yang acapkali kau utarakan. Bagaimana seluruh lekuk tubuhmu seakan berbicara padaku. Suatu bahasa yang sekejap dilahirkan dengan tiba-tiba.

Aku merasa kehilangan dirimu. Seketika pula, aku kembali terkenang pada kisah di mana seorang penari yang juga Ibumu mati dibakar orang.

Tapi nyatanya, kemarin malam, aku melihat dirimu menari di televisi. Ya, dirimu! Dengan peluh yang berkucur banyak di wajahmu.

Jakarta Barat, 2004-07-17

-----
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media.


Lampung Post
, Minggu, 21 November 2010

Sunday, November 14, 2010

Senja di Mata Diana

Cerpen Alexander G.B.


SENJA di mata Diana. Wanita yang mati dan tergeletak di pinggir jalan bergitu saja. Tak ada yang menggambil inisiatif menguburnya hingga hari ini. Sebelumnya, keberadaan Diana dianggap meresahkan warga. Ketika kedapatan ia mati, warga bersorak bahagia. Aneh. Mengapa mereka malah senang dengan kepergian Diana? Bukankah Diana sosok yang baik hati pikirku. Apalagi jika mayat Diana tetap dibiarkan tergeletak di situ, apa mereka tak terganggu bau busuk yang akan segera menyebar ke seluruh kompleks perumahan?

Seekor kupu-kupu masuk ke kamar melalui jendela yang terbuka. Ia berputar-putar, menabrak-nabrak dinding. Lalu dalam sebuah kesempatan seekor cicak menangkapnya. Usia pula nasibnya. Aku memperhatikan kupu-kupu itu. Lalu telepon berdering berkali-kali. Setelah kuangkat, baru kutahu jika mayat Diana masih di tempat yang sama seperti dua hari yang lalu. Maka aku bangun dan segera meluncur ke kantor polisi. Saya menjumpai orang-orang berkepala serigala. Beberapa pasang mata mengawasi dari celah pintu.

Saya pengajar sebuah sekolah swasta di kota ini. Sekolah sederhana bagi anak-anak yang tak punya biaya mengenyam pendidikan formal. Baru satu tahun mengajar dengan gaji cukup lumayan bagi pemula. Maklum mengajar mereka juga dibutuhkan keahlian dan kesabaran yang berbeda. Tapi saya sangat menikmati pekerjaan ini.

***

Tiang-tiang listrik menggigil menahan udara pagi. Aroma besi karat menyeruak kemana-mana. Beberapa orang dengan santai melangkah, mungkin sudah kebal dengan dingin dan amis karat besi. Kenapa Diana selalu pulang pagi sementara orang-orang masih terlelap nyaman bermimpi sambil menikmati hangatnya pelukan suami? "Sebab Diana bukan wanita baik-baik, tidak punya suami," ujar Dewi salah satu tetangga yang kurang senang dengan perilaku Diana.

Sudah bukan rahasia jika wanita-wanita di kompleks itu tidak menyukai kehadiran Diana. Rasa benci ini mungkin dipicu karena mereka tak pandai merawat tubuh, atau barangkali mereka kalah bersaing dari sisi kecantikan. Mungkin karena didorong ketakutan suami-suami mereka tregiur pinggul Diana. Tapi sejauh ini, setelah lebih lima tahun selama aku tinggal di kompleks, hal tersebut sama sekali tidak terbukti. Bahwa Diana selalu memakai pakaian seksi, itu benar. Tetapi jika kita menduga ia menggoda suami-suami meraka, sama sekali tidak benar. Diana tampak selalu menjaga sikapnya jika bertemu semua orang.

Mayat yang tergeletak di pinggir jalan itu mungkin Diana, sudah beberapa hari ini tak tampak batang hidungnya. Biasanya menjelang subuh berjalan sambil menenteng tas merah, menyusuri gang yang sempit yang senantiasa remang.

***

Cemburu, mungkin itu yang membuat Diana kerap menjadi sasaran sumpah serapah dan pergunjingan wanita-wanita yang diduga tak sanggup memuaskan suaminya. Saya mengakui mata Diana memiliki daya tarik tersendiri, cokelat dan penuh harap. Mungkin itu yang membuat banyak lelaki berdegup jantungnya dan merangsang titik-titik tertentu sehingga mereka selalu berhasrat mendekat pada Diana. Tetapi apakah Diana suka mengganggu lelaki yang sudah punya istri? Setahu saya tidak. Tetapi Dewi dan juga wanita-wanita lain lebih suka menyalahkan Diana selalu pulang pagi.

"Tentu saja, memang kerja apa sih sampai subuh baru pulang?" kata Dewi.

"Jangan begitu, sekarang banyak jenis kerja yang waktunya harus malam."

"Alah, ya ga mungkin. Masak sejak dulu ia selalu pulang pagi. Iya kan, Mur?" ujar Dewi pada Murti.

"Iya, kalau bukan, mau usaha apa coba?"

"Eh liat dia baru keluar itu, sok sopan, padahal kalau pulang pasti pake rok mini, ih amit-amit."

"Jangan begitulah. Diana itu wanita. Kita juga wanita. Jadi mungkin dia terpaksa harus bekerja begitu. Meskipun kerjanya ga bener. Kasian kan udah hidup sendiri kita musuhi pula. Bisa jadi dia pelacur, tapi kan bisa juga tidak. Dia itu baik, kemarin saja dia bantu biaya pengobatan si Bayu waktu dia kena malaria."

"Eh, Nur kamu tahu apa tentang dia. Kalau kamu ga suka lagi kumpul sama kami-kami juga tidak apa-apa. Iya kan Mur?"

"Iya Nur, terus terang aku juga sedang khawatir, sebab Nurdin seuamiku sekarang sering pulang terlambat, pernah sekali waktu aku melihat ia menegur Diana ramah banget," ujar Murti.

"Jangan-jangan dia pake susuk atau jampi-jampi sehingga setiap lelaki tertarik padanya."

"Huss ngawur aja."

Obrolan kadang berlanjut hingga nama Diana babak belur.

***

"Aku mau kejelasan."

"Tentang apa? Jika hal yang kau tanyakan sama seperti sebelumnya, maka jawaban yang akan kau dengar akan sama saja dari yang sebelumnya. Aku mau pulang."

Lelaki itu diam sebentar lantas meraih tangan wanita itu.

"Jangan kurang ajar, jangan berbuat yang macam-macam nanti aku terpaksa berteriak," ujar wanita itu sedikit mundur. Tetapi lelaki itu lebih sigap, segera diraihnya pergelangan tangan dan ia dorong wanita itu hingga keluar trotoar sampai ke dekat gudang, bangunan tua di pinggir jalan. Wanita itu mencoba menenangkan diri. Ia hendak berteriak, tapi segera sebilah pisau mengancam lehernya. Ia tertegun, tapi tak hendak mengalah. Tak tampak raut takut diwajahnya. Ia tatap lelaki itu.

"Kita sudah cukup lama berteman. Selama ini aku sudah memperlakukan kamu dengan baik, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu hingga tega berbuat begini."

"Aku akan membiarkanmu jika berjanji tak pergi dengan laki-laki lain," ujarnya.

Wanita itu tersenyum sinis, berkukuh dengan pendapatnya.

"Kau pikir aku pelacur? Mereka rekan bisnis. Dan aku butuh teman yang banyak, sebab aku harus dapat banyak uang setiap bulannya. Lagi pula apa hubungannya denganmu dengan semua yang kulakukan. Toh aku tak pernah merugikan dirimu juga orang lain. Untuk saat ini dan selanjutnya aku sama sekali tak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun, apa pun bentuknya selain pertemanan. Aku juga tidak mau terikat dengan janji seperti yang kau tawarkan."

"Jangan keras kepala, aku tak mau menyakitimu."

"Lelaki macam apa yang mengancam wanita dengan sebilah pisau."

Lelaki itu terkejut ketika menyadari apa yang baru dilakukannya. Pisau terjatuh.

"Maafkan aku. Aku tak suka kamu punya banyak teman laki-laki."

"Aneh, aku bukan kekasih atau istrimu. Dan hati-hati kamu bisa kehilangan pekerjaanmu. Kamu tahu sejak dulu kita sebatas teman dan selamanya akan begitu. Jadi aku bebas pergi ke mana saja dengan siapa saja. Aku tidak mau ada orang yang mau ikut campur urusanku. Memang kamu siapa mau ngatur-ngatur hidupku. Dan tolong kamu dengar baik-baik, salah satu alasan kenapa aku lebih suka sendiri adalah karena aku tak mau terikat dengan aturan-aturan semacam itu. Biarkan aku hidup dengan caraku. Lagipula aku tak pernah merepotkan dirimu, sebaiknya kamu jaga ucapan dan sikapmu."

"Kalau begitu lekaslah pergi dari sini. Banyak orang yang tak menyukai kehadiranmu."

Wanita itu terdiam sejenak.

"Tidak, aku harus tetap di sini."

"Dasar kepala..."

Lelaki itu benar-benar geram, dan tak bisa mengendalikan dirinya. Dan wanita itu merasakan semua menghitam. Sempat ia masih tersenyum. Pagi menggigil.

***

Peristiwa satu malam sebelumnya.

"Pulang, Tante?"

"Iya Bud. Cuma bertiga nih?"

"Ga Tante, Ucil, Hasan dan Aam kebetulan sedang keliling."

"Owww...Ini untuk beli nasi goreng sama rokok biar bisa jadi temen ronda. Cukup untuk kalian berenam."

"Makasih Tante. Tumben baru jam dua sudah pulang?"

"Sudah selesai kerjaannya. Lagi pula badan sedang kurang fit jadi agak lebih awal pulangnya. Ya udah, Tante pulang ya?"

"Iya Tante. Makasih."

Wanita itu segera berlalu dari pos ronda.

"Asyik juga jika tiap malam bisa datang rezeki seperti ini. Misalnya semua warga baik seperti dia, makmur juga kita. Lagipula banyak orang kaya, tapi dasar pelit sebatas air putih saja susah banget keluar, ya?"

***

Di kantor polisi.

"Dia sebatas penari latar di klub-klub malam, kafe, atau pesta-pesta."

"Kamu yakin."

"Ya, aku sering melihatnya."

"Sebatas itu?"

"Sebatas itu."

"Kamu membelanya? Dari beberapa laporan dia meresahkan warga?"

"Tidak, itu yang sebenarnya. Mungkin karena dia baik, cantik, dan seksi jadi sebagaian orang iri dan sebagian lagi ingin memilikinya sendiri."

"Beberapa laporan menyebutkan kamu adalah warga yang paling dekat dengannya?"

"Benar, tapi hanya tahu beberapa hal yang dilakukannya."

"Menurutmu modus pembunuhan wanita itu apa?"

"Mungkin cemburu atau perasaan terlalu ingin memiliki."

"Terima kasih atas kerja samanya."

Saya segera meninggalkan kantor polisi dan menyimpan kebingungan.

***

Wanita setengah baya itu kini terbujur kaku. Saya tahu sebagian warga khususnya wanita-wanita itu pasti bersorak kegirangan atas kematian Diana, dan sebagian juga bersedih jika mengenang kebaikkannya. Polisi-polisi tersenyum puas. Tak ada penyelidikan lebih lanjut. Perkara dihentikan. Kecantikan sumber petaka baginya, atau ada hal lainnya? Kini tas merah itu terus menyiksa saya. Sebab di dalamnya ada nama yayasan atas nama dirinya yang digusur pemerintah kota secara paksa. Anak-anak gelandangan menundukkan kepala sebab kehilangan tempat belajar dan bernaung seperti biasanya, sementara beberapa orang menggelar pesta sebab hilang sudah penghalang pembangunan mal yang sempat terhenti karena rumitnya negosiasi. Saya diam di kamar beberapa hari. Kini saya menderita, hidup rasanya lebih buruk dari neraka.

Hatiku terluka, dan luka itu kini kutahu bernama Diana.

Bandar Lampung, Desember 2009



Lampung Post, Minggu, 14 November 2010