Sunday, July 29, 2012

Di Bawah Kaki Pesagi1

Cerpen Muhammad Harya Ramdhoni

SIAPA pernah bayangkan seonggok jasad dewa merupakan singgasanaku kini? Dulu ia dipuja dan disembah. Tempat manusia dari berbagai kaum dan kasta memohon kasih sayang dan karunia-Nya. Mereka menyebutnya Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua. Berdiri tegak meneduhi ibu kota Kerajaan Pegunungan Tak Bernama di selatan pulau Sumatera. Setiap pagi dan petang dayang-dayang istana persembahkan wangi kemenyan berkepul-kepul dan secawan air bunga tujuh warna ke hadapannya. Lalu diam-diam ia hirup aroma sedap itu hingga tak bersisa. Tinggalkan bunga aneka warna yang jadi layu dan akhirnya mati kerontang. Tak ketinggalan harum dupa dan kemenyan pun lesap entah kemana.

Demikianlah ia dipercaya hidup dan bernyawa. Memiliki ruh sebagaimana manusia dan hewan yang hilir mudik di sekitarnya. Diyakini berperasaan dan berkehendak. Seperti makhluk mahakuasa yang menentukan hidup dan mati setiap orang serta dunia di sekelilingnya. Di bawah kaki Gunung Pesagi sembilan ratus tahun lalu ia adalah seperti yang kugambarkan kepada kalian. Di bawah kaki Gunung Pesagi sembilan ratus tahun lalu ia adalah sebatang pokok suci yang menjulang menantang langit. Pancarkan racun dan penawarnya secara bersamaan bagi sesiapa saja yang membutuhkannya. Namun di bawah kaki pegunungan ini sembilan ratus tahun kemudian kisahnya tak lagi sama. Ia tak lebih baik dengan alas kakimu kini.

***

JANGAN dengarkan perihal diriku dari mulut lelaki yang mengukuhkan penistaan terhadapku! Ia dan lima kakek moyangnya adalah para lelaki durjana yang menjatuhkan harga diriku sebagai alas pantat. Sembilan ratus tahun lalu aku adalah dewa yang menguasai seisi negeri. Diriku adalah simbol resmi sebuah negeri berdaulat. Galilah puing-puing bekas ibu kota Kerajaan Pegunungan Tak Bernama maka akan kalian temui ratusan guci dan lempeng emas dan perak bergambar diriku. Tambo-tambo2 dari kulit kayu dan hewan telah berujar dengan kagum tentang diriku, Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua.

Seluruh wangsa telah persembahkan ketaatan dan ketakziman keharibaanku sejak tiga ribu tahun sebelum diriku dipermalukan sebagai tempat penobatan temurun lima lelaki berpikiran mesum. Keberadaanku ialah kunci rahasia asal usul nenek moyang pendiri Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Hidupku berkait pula dengan simpang siur sejarah kerajaan mereka. Maka tak heran bila tiada seorang pun berani mencemooh keberadaanku di negeri ini. Setiap jiwa yang bermukim di sini memperlakukanku layaknya dewata sendiri. Mereka layani diriku penuh cinta disertai segala sikap penghambaan yang mereka punya. Pada masa jayaku telah kusaksikan betapa makhluk bernama manusia tak hanya memendam hasrat sebagai penakluk. Alam bawah sadar mereka juga menyimpan rindu untuk ditaklukkan. Sifat-sifat hamba sahaya nan laten muncul dari dalam diri mereka ketika pemujaan terhadap diriku berlangsung dengan sempurna. Lucuti segenap harga diri dan maruah mereka sebagai wakil sebenarnya Maha Dewa di atas dunia ini. Pemujaan terhadap diriku, tanpa mereka sadari, adalah kekalahan akal sehat oleh sikap penghambaan mereka yang terpendam.

Kedatangan lima lelaki asing berpikiran pesong runtuhkan digdaya diriku di hadapan seisi negeri. Mereka sebarkan benih kebencian atas diriku. Menuduhku sebagai biang keladi kekerdilan jiwa dan alam pikir seluruh rakyat. Memang begitulah adanya. Wangsa penghuni Kerajaan Pegunungan Tak Bernama mencipta diriku sebagai dewa sambil mengagungkan kebodohannya sendiri. Sementara lima lelaki berwatak pesong terus menerus menyerang diriku tanpa ampun. Hingga kerajaan itu pun goyah dan akhirnya runtuh tak bersisa melalui sebuah perang saudara yang teramat mengerikan untuk dikisahkan bahkan dalam syair pilihan gubahan pujangga agung sekalipun. Kejatuhan kerajaan itu siratkan betapa masa hidupku tak lama lagi akan berakhir. Aku meraung memohon pertolongan penguasa dan seluruh rakyat Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Aku berteriak memohon iba. Tapi tak seorang pun mendengar jerit putus asa yang kupekikkan. Setiap orang tengah berjuang mempertahankan hidupnya masing-masing. Setiap orang yang berani menentang penyebaran ajaran agama baru yang dilisankan kelima lelaki berwatak pesong mesti bersedia menerima ajal atau terusir dari tanah kelahiran sendiri.

Kepada putri kesayangan penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama kuserahkan nasibku. Sebab hanya dengannya aku dapat bercakap-cakap. Kusapa dirinya tiap kali bertandang menyembahku. Suara batinku telah menembus nurani terdalamnya sejak sang putri masih bermukim di dalam rahim ibunya. Suara gaibku menyapa dirinya melalui setiap ranting, batang, dan daun yang berkecambah dari dalam diriku. Dialah satu-satunya hamba sekaligus teman karib yang setia menemaniku di saat-saat terakhir. Bahkan ibundanya, sang ratu kerajaan itu, sama sekali tak mampu menjalin kekariban mistik denganku. Hatinya terlalu angkuh untuk menembus alam arwah yang menuntut kesucian tindak dan pikir. Secara memalukan pula ia lari tungang langgang meninggalkan diriku sendirian di bawah ancaman mata pedang lengkung milik lima lelaki berwatak pesong. Dasar hamba sahaya tak tahu sopan santun!

Pada pemujaan terakhir penguasa dan rakyat atas diriku di bulan bakha, tepatnya seminggu sebelum perang besar meletus, kutumpahkan kepadanya segala kegalauan hatiku selaku dewa tertinggi Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Saat itu bulan purnama berwarna semerah darah. Nujumkan tumpah ruah darah manusia yang tak lama lagi akan terjadi. Putri penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama membalas jerit putus asaku dengan duka cita yang tak kalah pilu. Kami bagaikan tuan dan hamba yang saling berbalas pantun. Rima yang terucap dedahkan luka dan harga diri yang remuk redam. Menyeret pula persinggungan antara nenek moyangnya dengan diriku sejak ribuan tahun silam. Pada akhirnya kami hanya bisa saling besarkan hati masing-masing tanpa tahu apa yang mesti diperbuat untuk membela diri melawan keangkuhan lima lelaki dan segenap pengikutnya.  

Marah dan kecewa meruyak dalam diriku ketika kutahu putri penguasa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama akhirnya memalingkan pula wajahnya dari haribaanku. Ia pilih dewa lain yang diusung lima lelaki berperawakan tak lumrah. Padahal ia satu-satunya harapanku agar diriku kekal sebagai sesembahan penduduk Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Ia satu-satunya hambaku yang mahir bercakap-cakap denganku tanpa dibatasi hubungan antara dewa dengan hambanya. Kupikir ia akan menjadi juru bicaraku dari alam arwah. Namun semua itu ia hancurkan dengan tega hati, demi menebus cinta buta bersama salah seorang lelaki aneh berwatak pesong. Tinggallah aku sendiri menunggu penugalan menjelang.      

Kedua dahanku memang istimewa. Dahan pertama dapat timbulkan luka nanah di tubuh siapa pun yang dengan sengaja maupun tidak sentuhkan kulitnya kepadaku. Sementara dahan kedua mampu sembuhkan luka itu dengan menempelkan bagian tubuh yang sakit. Sayangnya, dua keistimewaan itu seolah tak berarti saat diriku harus menghadapi lima lelaki kalap dengan hasrat membunuh tak terbatas. Pukulan demi pukulan belati lengkung milik mereka akhiri kisah hidupku. Diriku remuk redam tanpa perlawanan sama sekali. Apakah yang bisa dilakukan sebatang pohon untuk menghindari amuk seorang ayah dan keempat anak lelakinya yang bermata gelap? Tubuhku rubuh ke tanah disertai sorak sorai ribuan rakyat penghuni Kerajaan Pegunungan Tak Bernama yang telah bersalin keyakinan. Kemudian, lelaki setengah baya yang merupakan ayah dari empat lelaki keparat itu menginjak-injak diriku yang telah terbujur kaku sembari memaki dan menudingku di hadapan khalayak. Sungguh, perbuatan lelaki tua itu menista diriku tanpa ampun. Aku memang hanya dewa sesembahan suku pegunungan yang terkucil. Namun, betapa pun itu aku masih memiliki harga diri kedewaan. Diriku telah disembah oleh para puyang penghuni dataran tinggi ini sejak dua ribu seratus tahun sebelum lima lelaki berpikiran pesong itu hadir disini, di tanah istirahat para dewa. Telah kusaksikan puluhan wangsa jatuh bangun silih berganti menguasai negeri ini. Telah kusaksikan pula ribuan perang pembinasaan dan penaklukan dilakukan tanpa segan dan takut. Semua atas nama diriku atau atas nama dewa-dewa lain. Diriku adalah saksi bisu sejarah kebangkitan dan keruntuhan sebuah wangsa. Semestinya mereka, para bekas hambaku, memelihara diriku dengan hormat walau telah beralih keyakinan. Bukannya malah menciderai hak istimewaku sebagai dewa. Ataukah ini bagian dari ajaran lima lelaki berwatak pesong yang menolak menghormati setiap tradisi kuno negeri-negeri yang mereka perangi?

***
   
BERHATI-HATILAH dengan bujuk rayunya. Atau kesombongannya kala dendangkan kembali berbagai dongeng muskil tentang masa jayanya selaku dewa Kerajaan Pegunungan Tak Bernama. Ia seret kalian agar, setidaknya, bersimpati dan menyatakan kagum pada derajat kedewaannya. Kemudian pelan-pelan tanpa kalian sadari akan tersesat ke jalannya. Menyembah dan memuja dirinya seperti yang pernah dilakukan nenek moyang kita pada masa kegelapan adalah sesat pikir dan syirik belaka. Di bawah kaki Pesagi sembilan ratus tahun lalu para puyang telah berikrar mencampakkannya ke dalam tungku perapian masa lalu. Mereka menggantinya dengan Tuhan tunggal tanpa pesaing. Adalah kebodohan seekor keledai bila kalian menyembah dan mengimaninya setelah sembilan ratus tahun berselang. Setelah apa yang dilakukan nenek moyang kita demi merubah wajah negeri di bawah kaki Pesagi ini agar menjadi manusiawi dan bersahabat. Biarkan ia terbujur kaku menjadi alas pantat. Sebagai simbol tunduk dan takluk sebuah negeri penyembah berhala pada syiar para lelaki pemanggul ajaran Jalan Yang Lurus.

***

DI BAWAH kaki Pesagi sembilan ratus tahun kemudian, tepatnya menjelang dini hari, lima pemuda keturunan lima lelaki penugal Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua diam-diam memasuki bilik tempat penyimpanan jasad pohon keramat. Peringatan ayah dan paman mereka sama sekali tak diindahkan.   

"Berikan golokmu," pinta pemuda pertama kepada pemuda kedua.

Pemuda kedua ulurkan apa yang dipinta sepupunya tanpa mengucap sepatah kata.

"Pelan-pelan, dong!" pemuda ketiga mengingatkan ketika melihat pemuda pertama tergesa-gesa membelah kayu bekas Pohon Nangka Keramat Bercabang Dua.

"Apa betul benda ini bisa bikin kita kebal dan juga manjur untuk pelet perawan?" tanya pemuda keempat dengan nada suara gemetar.

"Bergantung pada tingkat imanmu kepada dirinya atau kepada Tuhan?" pemuda kelima malah balik bertanya. Nada suaranya terdengar sinis bukan kepalang.

Kuala Lumpur-Kota Karang, Mei 2012


Catatan

1. Gunung Pesagi merupakan gunung tertinggi di Lampung yang terletak di Liwa, Kabupaten Lampung Barat.

2. Buku silsilah keturunan bangsawan Lampung Sai Batin.


Lampung Post, Minggu,29 Juli 2012

Sunday, July 22, 2012

Sang Kepala Desa

Cerpen Humam S. Chudori


MALAM terus berjalan. Melewati Desa Hidup Fakir. Sebuah desa yang terpencil. Jauh dari sebuah kota kecil. Desa yang tak pernah tercatat dalam peta itu begitu senyap. Penduduknya masih jarang. Hampir tidak ada rumah yang berjajar. Hanya ada satu dua rumah yang menempel satu sama lain. Rumah seperti ini, biasanya, merupakan rumah satu yang disekat menjadi dua. Penghuni kedua rumah tersebut masih punya hubungan kekerabatan. Masih bersaudara.

Kebanyakan rumah di sana masih berdinding papan atau gedek alias anyaman bambu, dan beratapkan blarak. Sebagian lainnya setengah permanen. Hanya ada satu dua rumah yang berdinding tembok. Penerangan listrik belum merata. Jika malam tiba, Desa Hidup Fakir laksana kuburan. Sepi. Sunyi. Lengang. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Hanya suara binatang malam yang tak pernah henti atau desah suara gesekan daun yang dibelai angin malam.

Malam ini Desa Hidup Fakir benar-benar senyap. Lantaran hujan yang turun sejak sore belum sepenuhnya reda. Kendati butiran air yang jatuh dari langit sudah lebih lembut. Pun, angin malas bertiup. Hingga nyaris tak ada gesekan dedaunan di pucuk pohon seperti pada malam-malam sebelumnya. Padahal biasanya menjelang larut malam angin sudah menciptakan instrumentalia alam. Laksana musik jazz yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan.

Binatang malam yang biasanya berdendang tak terdengar suaranya. Entah kenapa pula kodok yang senantiasa bernyanyi riang apabila hujan dicurahkan dari langit, tidak ada yang bersuara. Mereka bungkam. Atau barangkali mereka sedang merenungkan nasib yang dialami sebagian penduduk desa yang terisolir dari desa-desa sekitarnya. Lantaran mereka sudah dipaksa keadaan–makan nasi aking dan harus “berpuasa”. Ya, sejak era reformasi bergulir kehidupan penduduk makin terpuruk. Sudah bertahun-tahun desa itu tak terjamah oleh berita. Apalagi terberitakan ke luar. Mungkin karena orang-orang lebih sibuk memikirkan politik daripada nasib rakyat.

***

DI sebuah gubuk berdinding anyaman bambu, seorang kakek renta tengah duduk di pinggir ambin. Gurat-gurat ketuaan menghiasi wajahnya yang telah keriput. Kerut-kerut yang menjadi garis penghias wajahnya bukan sekadar tanda ia sudah berusia lanjut. Melainkan pula disebabkan beban hidup yang terlalu berat.

Kakek yang tak punya pekerjaan tetap itu duduk di pinggir ambin. Sementara itu, sang istri terbaring lemah. Tidak berdaya. Ambin yang terbuat dari papan itu berderik, tatkala istrinya terbatuk-batuk. Bukan saja karena tempat tidur itu sudah sangat tua. Melainkan juga kaki-kaki tempat tidur itu sudah disangga di sana-sini. Lantaran tempat tidur tersebut sudah lapuk dimakan usia.

"Kalau Karsini masih hidup," ujar sang nenek, "Barangkali kita tidak akan begini, Pak ne."

Lelaki tua itu, Sumardi, bergeming. Membisu. Mematung. Tak berusaha memberi jawaban kepada istrinya. Kendati hanya sekadar anggukan atau gelengan kepala.

"Betul kan, Pak ne. Kalau Karsini masih ada kita tak akan..."

Suara Sukemi terhenti. Lantaran ia terbatuk-batuk. Napasnya tersengal-sengal. Kaki ambin kembali berderit-derit.

"Sudahlah Mbok ne. Tidak usah memikirkan yang sudah tak ada. Tak ada artinya menyesali nasib Karsini," ucap Sumardi, mencoba menenangkan hati istrinya, "Ora ilok, kalau kita membicarakan orang yang sudah mati. Nanti arwahnya tidak tenteram di alam kubur."

Sukemi diam. Dengan susah payah ia mengatur napas.

Benar. Sudah hampir satu tahun Karsini dikubur. Dimakamkan. Tetapi, kematian anak mereka yang semata wayang tak pernah dapat diterima. Karena kematian Karsini dianggap tidak wajar. Betapa tidak, perempuan yang bekerja sebagai TKW itu tak pernah ada kabar berita sebelumnya. Tahu-tahu anak pasangan Sumardi-Sukemi pulang sudah menjadi mayat.

Andaikata Karsini mendengar pendapat Lesmono. Perempuan itu tak akan pernah mengalami nasib tragis. Mati di tangan majikan. Bahkan bukan di negeri sendiri. Sebab, Lesmono menentang keinginan istrinya yang akan mengadu nasib ke negeri orang.

"Kalau cuma menjadi pembantu kenapa mesti ke luar negeri?" tanya Lesmono, ketika Karsini menyampaikan keinginannya mengadu nasib di negeri orang.

"Tapi, di sana gajinya besar Kang daripada pembantu di...."

"Mungkin benar. Gaji pembantu di sana besar. Tapi masalahnya bekerja itu bukan hanya cari uang. Kamu mesti ingat Kar, kamu punya suami dan anak."

"Jadi, Kang Mono keberatan kalau saya bekerja di luar negeri."

"Iya."

"Saya kerja di luar negeri juga untuk kepentingan keluarga, Kang."

"Apa selama ini uang yang...."

"Kalau sekadar untuk hidup memang cukup," Sukemi memotong kalimat yang belum usai dilontarkan menantunya, "Tapi, kami sebagai orang tua ingin ada perbaikan rumah tangga di sini."

"Sudahlah. Kalau memang saya dianggap tidak mampu memberi nafkah kepada istri lebih baik...."

"Mono!" untuk kedua kalinya Sukemi memotong ucapan menantu, "Kamu kalau ngomong itu mbok ya dipikir dulu."

"Apa Karsini mau bekerja di luar negeri juga dipikir. Kalau dipikir pasti ia tidak akan jadi. Sebab, ia punya suami sama anak. Apa gunanya hidup menjadi suami-istri jika tak mau tinggal bersama," kata Lesmono, tak mau kalah.

Karena tidak mau mendengar permintaan suaminya, untuk membatalkan niatnya—bekerja di luar negeri—Lesmono memutuskan pergi dari rumah mertua. Suami Karsini itu pergi bersama Darmo, anaknya yang masih balita.

"Ah, kalau saja Karsini tidak...."

"Yang saya pikirkan sekarang ini justru kita, Mbok ne," kata Sumardi, "Saya tidak tahu lagi apa yang akan kita makan besok."

Sukemi diam. Napasnya masih tidak teratur.

"Saya tidak tahu apa yang akan saya dapatkan besok. Asal Mbok ne tahu sudah tidak ada lagi pohon pisang yang masih berbuah," tambah Sumardi, dengan nada setengah berbisik. Sebab, ia tidak ingin pembicaraannya terdengar orang yang lewat.

***

LELAKI yang rambutnya sudah memutih semua itu menghentikan percakapan dengan istrinya, tatkala mendengar pintu rumahnya diketuk orang dari luar. Tubuhnya mendadak menggigil. Panas dingin. Rasa takut menjalari di sekujur badan.

Setelah berkali-kali pintu diketuk dan tak juga dibukakan oleh tuan rumah. Lelaki yang berdiri di depan pintu rumah Sumardi meneriakkan nama tuan rumah.

"Pak Mardi. Buka pintunya Pak," sebuah suara yang tidak asing bagi Sumardi terdengar.

Ya, suara itu memang tidak asing bagi tuan rumah. Sebab itu suara Maramian—sang kepala desa.

Sumardi masih bergeming. Jantungnya berdetak semakin tidak menentu. Ia tak bisa membayangkan jika percakapannya dengan Sukemi beberapa saat sebelumnya terdengar oleh kepala desa. Betapa tidak, sudah beberapa hari ini perut mereka hanya diganjal dengan pisang. Buah-buahan itu dicuri dari kebun milik kepala desa. Lantaran ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Sementara itu, Sukemi sudah lama hanya bisa terbaring di ambin.

"Pak Mardi sudah tidak kenal siapa saya?" Maramian kembali mengetuk pintu.

Hening. Tak ada sahutan dari dalam. Tiba-tiba batuk Sukemi kembali terdengar dari luar.

Ambin berderit, tatkala Sumardi bangkit. Menuju pintu. Di depan pintu, Sumardi merasa gamang. Ia ragu untuk mengangkat palang pintu rumahnya. Takut membukakan pintu untuk tamu yang datang malam itu.

Untuk apa Pak Kades kemari? Apa ia sudah tahu siapa yang mengambil pisang di kebunnya? Lalu kenapa harus malam-malam seperti ini? Dari mana Pak Kades tahu jika saya yang selama ini mencuri pisang di kebunnya? Mungkinkah Pak Kades mendengar apa yang saya ....

"Pak Mardi. Buka pintunya Pak," seru kepala Desa Hidup Fakir, membuyarkan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran tuan rumah.

Tiba-tiba tangan Sumardi terasa gemetar. Tangan itu mendadak lemas, tatkala mengangkat palang pintu rumah. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu palang pintu itu menimpa tubuhnya sendiri. Terpukul kepalanya sendiri. Lalu. Bruk. Sumardi terjatuh.

Mendengar suara orang terjatuh, Maramian mendorong pintu yang sudah tidak terhalang oleh balok itu. Dengan susah payah kepala Desa Hidup Fakir akhirnya bisa masuk ke rumah. Karena tubuh Sumardi melintang di depan pintu. Menghalangi terbukanya pintu yang sudah keropos di sana-sini tersebut.

Antara percaya dan tidak, Maramian mendapati tubuh yang terjatuh itu sudah tak bernyawa. Berkali-kali Pak Kades berusaha membangunkan Sumardi. Namun, Sumardi benar-benar sudah tak bereaksi.

Pak Kades bingung setengah mati setelah melihat kondisi Sumardi. Sementara itu, si nenek yang terbaring di ambin. Bahkan semula tampak lemas. Tak bertenaga. Tiba-tiba mampu berteriak sekeras-kerasnya. Ya, Sukemi berteriak, "Tolong ... tolong..." berkali-kali sambil menunjuk kepala desa yang berjongkok. Mematung di depan jasad Sumardi.

Belum sempat Maramian berbuat sesuatu, warga sekitar sudah berdatangan ke sana. Entah siapa yang memulai. Tiba-tiba kepala desa itu dihakimi warganya sendiri. Kepala desa dianggap telah melenyapkan nyawa Sumardi. n


Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012

Sunday, July 15, 2012

Melepas Bayang-Bayang

Cerpen Tita Tjindarbumi


KITA tak perlu berbicara apa-apa lagi tentang hubungan yang telah dingin ini. Sejak dulu aku mengenalmu sebagai lelaki yang tak pernah jujur dalam banyak hal, terutama untuk urusan hati. Kebohongan-kebohongan yang kerap kumaafkan kini seperti pekerjaan sia-sia yang tak akan pernah kunikmati hasilnya.

Memang sudah saatnya aku mendinginkan pikiranku. Berjalan terus ke depan dan tak perlu lagi menengok ke belakang. Sudah cukup semua usahaku untuk memperjuangkan agar mimpi kita menjadi sebuah kenyataan. tetapi kini faktanya sudah di depan mata.

Terbanglah sesukamu. Lupakan semuanya....


***

AKU membaca e-mail Hanna dengan mata pedih. Wajah pucat perempuan itu tergambar jelas di antara kalimat-kalimat yang terusun dengan bahasa yang halus. Tentu dengan keberanian yang di luar dugaanku.

Tak pernah kuduga, perempuan berhati lembut dan baik hati itu berani mengambil keputusan sulit ini. Aku sangat tahu bagaimana hati Hanna. Ia, seperti yang ada dalam pikiranku adalah perempuan Jawa yang santun, lembut hati dan pemaaf.

Ya, pemaaf. Itu pula sebabnya hubunganku dengannya masi berjalan sampai sebelum email ini kubaca. Sungguhkah hubungan kami telah berakhir?

Aku meraba kening. Lalu memijat kepalaku yang mendadak diserang sakit yang membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Otakku seperti buntu. Aku tak tahu harus membalas e-mail Hanna dengan jawaban seperti apa?

Hanna....

Perempuan itu telah menggoda pikiranku sejak awal pertemuan kami. Perempuan Jawa yang terikat kuat dengan aturan budaya. Sedikit kolot meski akhirnya entah mengapa ia seperti tak banyak protes ketika kubeberkan isi buku hidupku. Ia hanya tersenyum ketika bibirku dengan lancang dan bangga bertutur tentang sejumlah perempuan yang datang dan pergi dalam perjalanan hidupku.

"Kau laki-laki dan mungkin bagimu sejumlah nama perempuan itu bisa menjadi kebanggaanmu," ujarnya dengan kalimat teratur dan bernada datar.

Aku meringis. Rasa malu bergelayut di dada. Seperti sindiran tajam yang membuatku terjengkang. Tetapi sebagai laki-laki, bagiku pantang mempertontonkan perasaanku yang sebenarnya.

"Tidak begitu. Aku tak merasa bangga dengan semua itu. Aku lebih bangga bila bisa mencintai seseorang sepenuh hati," jawabku terasa enggak nyambung.

"Mungkin kau tidak merasa bangga. Tetapi dari caramu bercerita, aku bisa merasakan kebanggaanmu. Bisa dimaklumi kok. Laki-laki mungkin akan menjadi lebih hebat bila banyak disukai perempuan."

Lagi-lagi ia menohokku dengan kalimat ajibnya. Aku tahu Hanna pandai memainkan kata-kata. Ia juga pandai memainkan perasaanku. Membuatku ambigu dan kelelahan memaknai kebaikan hatinya.

"Kalimatmu bersayap. Sulit aku memaknainya secara tepat," kataku dengan nada tegas dan memang terdengar seperti protes. Kutatap matanya yang selalu berembun. Belum pernah kutemukan perempuan yang memiliki mata seindah ini. Mata itu juga yang membuat tidurku tak nyenyak karena selalu diganggu mimpi yang hanya sepotong-sepotong.

"Kebanggaan itu tak hanya menjadi milikmu, Tuan Baron. Tetapi juga dimiliki oleh sejumlah nama perempuan yang berhasil menggaet dirimu," katanya lagi tanpa memedulikan tekukan di wajahku yang mulai memanas karena menahan amarah.

"Tentu saja mereka bangga. Mereka tak segan-segan melakukan apa saja demi mengejarmu. Meski hanya menjadi bagian dari malammu," kata Hanna, semakin memojokkanku.

Sebagai laki-laki harga diriku terusik. Hanna tidak sedang memujiku tetapi memposisikan diriku di tempat yang menjatuhkan harga diriku.

"Kau pikir aku gigolo?" tukasku cepat merasa dipermalukan.

"Bukankah kau bisa menjadi siapa saja yang mereka inginkan? Cinta dan nafsu terkadang sulit dibedakan," katanya lagi, seakan memberi penegasan bahwa aku bisa saja meladeni semua perempuan di ranjang tanpa harus merasa punya cinta pada mereka.

"Sadis kalimatmu," kataku seperti desisan. Andai saja perempuan yang di depanku bukanlah perempuan yang telah membuat hari-hariku hampa tanpanya, pasti sudah kutinggalkan dia.

Tetapi aku tak bisa lakukan itu pada Hanna, perempuan Jawa yang kadang kolot dan membenci kebebasan tanpa tanggung jawab. Meski tidak terang-terangan mengatakannya.

***

KUBACA berulang e-mail itu. Isinya masih sama. Kalimat yang mencincang perasaanku. Ah, sungguhkah hatiku tercincang? Kurasa tak sebegitu hebat guncangan yang kurasakan. Apalagi aroma perempuan dari Negeri Kanguru itu seperti masih menempel di sekujur tubuhku. Laki-laki mana yang menolak suguhan istimewa itu?

"Aku tahu dari diri perempuan yang kau sebut kanguru merah itu kau bisa mendapatkan semua yang kau mau," ujar Hanna setelah membaca pesan singkat perempuan itu yang lupa kuhapus. Sialnya, Hanna yang kuminta mencari nomor ponsel seorang teman membuka dan membaca pesan yang berisikan rayuanku dan kalimat gombal yang kukirimkan padanya sebagai ucapan terima kasih karena telah mengobati dahaga berahiku.

"Kau akan menjadi laki-laki paling bodoh jika menolak penyerahan diri perempuan itu," kata Hanna dengan nada santai meski aku tahu ia seperti sedang terpanggang oleh kemarahan yang ditahannya.

"Atau... sebetulnya kau ingin bilang bahwa aku laki-laki kotor yang suka mengumbar berahi?" kataku kesal.

Hanna tertawa. Nadanya sumbang. Aku tahu, perempuan mana yang tidak sakit hati kekasihnya, lelaki yang dicintainya berbagi hati pada perempuan lain. Apalagi sampai bergelut di ranjang yang kian memanas saat dini hari membungkus kamar hotel itu dengan kabut es.

Melihat matanya, lalu tawanya aku menjadi ragu. Sungguhkah ia mencintaiku?

Pantaskah aku mempertanyakan perasaannya? Sementara aku yang selalu mengatakan sangat mencintainya, tak juga bisa menjaga perasaannya. Aku masih sering tergelincir dalam pesona perempuan-perempuan yang pernah singgah dalam hidupku. Aku tak bisa menahan gejolak berahi setiap kali perempuan kanguru merah itu membiarkan belahan dadanya menganga di balik blus tipis yang dua kancingnya dibiarkan terbuka. Belum lagi elusan tangannya yang nakal dan menjalar kian kemari dengan liar. Kebinalan yang membuat darah laki-lakiku berontak dan tak dapat menahan diri, mencegah diriku agar tak menjadi pengkhianat.

"Apakah laki-laki sepertimu memerlukan cinta?"

Aku merasa dihunus. Tepat di ulu hati. Kuakui aku laki-laki normal.

"Di luar sana banyak laki-laki normal yang mampu menjaga kehormatannya," kata Hanna semakin mencincangku.

Aku diam. Sepi membalut malam. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Memeluk Hanna? Aku tak yakin pelukanku dapat meredakan amarah yang ditahannya. Meminta maaf atas pengkhiantanku itu? Hanna bisa saja semakin marah karena menganggapku terlalu mudah mengumbar kata maaf.

"Maaf jika kata-kataku terlalu pedas. Tetapi aku harus berkata apa adanya." Hanna lalu menyodorkan capucino kaleng yang baru diambilnya dari lemari pendingin.

"Lupakan saja. Tak ada gunanya kita memperdebatkan persoalan ini jika kau masih saja merasa paling benar," lanjutnya lagi dengan dingin. Suaranya lebih dingin dari kaleng minuman yang kini sedang kupegang.

"Tak mudah mengubah karakter. Tak ada yang dapat mengubahnya jika bukan dirimu sendiri. Akan lebih sulit jika kau merasa apa yang kau lakukan itu kau anggap sesuatu yang benar."

Aku seperti laki-laki bodoh yang sedang dicecoki doktrin yang akan mencuci otakku. Ketika di sekolah menengah atas dan pacarku hamil, bapakku marah besar dan membuatku lari dari rumah karena ketakutan. Lain halnya dengan ibuku yang selalu siap menjadi pelindung dan pembela abadiku. Ia memberikan sejumlah uang untuk bekal selama persembunyianku dari amukan bapakku. Aku merasa ibuku tetap bersamaku meski aku tahu berita kehamilan pacarku telah mencoreng wajah bapakku yang ketua adat di kampung.

Sebagai laki-laki aku ingin menunjukkan tanggung jawab. Tetapi aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang belum memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bertanggung jawab. Ibuku berhasil melunakkan hati orang tua pacarku. Kami tidak menikah. Keluargaku menerima aib itu sebagai anugerah karena janin di perut pacarku semakin membesar dan itu berarti mereka akan mendapat rezeki seorang cucu dari anak laki mereka satu-satunya.

Aku lega. Aku dan pacarku atas restu kedua belah pihak diizinkan menunda pernikahan sampai aku lulus kuliah dan bekerja. Kami hidup satu atap meski tak menikah. Namun, kehidupan kampus dan kota besar membuatku tak semakin sadar akan tanggung jawab. Aku semakin liar. Meski tak pernah kusembunyikan statusku yang menggantungkan pernikahan, tetap saja banyak perempuan yang tak peduli. Saat mereka menginginkan kehangatanku, maka persetan dengan urusan anak dan lainnya.

Aku seperti disentil ketika menghadapi kenyataan calon isteriku akan menikah dengan lelaki lain. Lelaki yang menurut ibu anakku adalah lelaki yang bisa menerima dirinya apa adanya dan bertanggung jawab atas hidupnya.

Aku terpelanting. Tetapi tak bisa mencegah dengan alasan cinta sekali pun. Bagaimana mungkin ibu anakku bisa percaya kata cinta yang kuucapkan jika di belakangnya aku bergumul dengan banyak perempuan?

Aku mendendam dengan alasan yang menurut banyak orang sangat tidak masuk akal. Semua orang menganggapku laki-laki pengumbar syahwat. Yang menggantungkan kebahagian dalam persinggahan cinta sesaat. Bahkan sebagian orang mungkin saja menganggapku laki-laki penyedia jasa seks. Menikmati setiap permainan dan rayuan perempuan yang menghambur-hamburkan duitnya untukku sebagai balasan atas kesenangan yang kuberikan padanya.

Percintaanku yang terbawa ke kehidupan bebas beberapa kali menyeretku pada posisi yang tak menguntungkan. Meski tak juga bisa dibilang rugi. Setiap perempuan yang menginginkanku hampir semuanya berasal dari keluarga terhormat dan berlimpah harta. Aku ikut merasakan gelimang harta dan kehormatan keluarga mereka. Aku ikut bangga menjadi bagian dari mereka dan diperlakukan sebagaimana mereka memperlakukan orang yang mereka cinta.

Tetapi jika mau jujur, aku merasa hidup ini kering. Permainan dari ranjang ke ranjang kupastikan bukanlah cinta yang kucari. Kesenangan sesaat itu kini justru telah menjerumuskanku pada ketidakberdayaanku melawan perasaan dan pertentangan yang kian berkecamuk di gelisahku.

“Bantu aku melepaskan diri dari bayang-bayang mereka, Hanna.” Kataku akhirnya.

Perempuan itu menatap persis di manik mataku. Aku merasa ditelanjangi. Aku takut melihat kebencian di matanya. Aku menggigil ketakutan membayangkan betapa jijiknya perempuan itu memandangku. Perempuan yang kuimpikan menjadi perempuan terakhir yang akan mengisi hidupku di lima puluh tahun ke depan.

"Aku bisa apa selama dirimu merasa apa yang kau lakukan telah menjadi bagian dari kesenanganmu," jawab Hanna kalem. Pandangan matanya tak menakutkan, seperti yang kubayangkan. Rasa bersalah dan timbunan dosa yang kulakukan sepanjang hidupku membuatku merasa seperti debu yang hanya akan mengotori hidupnya. Tetapi aku tak bisa hidup tanpa dirinya.

Aku membutuhkannya. Lebih dari apa pun yang kubutuhkan. Aku menginginkannya lebih dari apa yang selama ini menjadi impian-impianku. Aku ingin segera menikahinya tetapi aku takut dengan bayanganku kegelisahanku. Aku takut Hanna menolak karena kukira perempuan mana pun tak akan bisa memasrahkan hidupnya dengan laki-laki macam aku yang hanya mementingkan diri sendiri.

Tak ada yang tahu alasanku bertualang cinta tanpa rasa. Trauma masa lalu, perlakuan beberapa perempuan yang lebih memilih mengikuti keinginan orang tuanya dari pada tetap mempertahankanku sebagai laki-laki pilihannya menghancurkan harapanku dan membuatku tak percaya pada cinta.

Tetapi mengapa kali ini aku tak bisa mengikuti keinginan Hanna untuk mengakhiri hubungan kami. Inikah yang disebut cinta?

Otakku beku.

***

HANNA membaca e-mail yang baru dikirimnya ke lelaki itu. Dibiarkannya air matanya menganak sungai dan jatuh menetes di lembaran buku hariannya. Ia harus tegas meski hati kecilnya berkata lain. Ia tahu ini keputusan yang berat. Tetapi hanya ini jalan terbaik untuk melepaskan diri dari bayang-bayang trauma lelaki yang mengajarinya arti cinta.

Hanna menyeka air matanya. Ia tak akan mendebatkan soal cinta. Tetapi ia butuh waktu untuk membuktikan apakah ia sungguh mencintai laki-laki yang menjuntai benang kusut masa lalunya. n


Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2012


Sunday, July 8, 2012

Narasi Hujan

Cerpen Fandrik Ahmad


MUSIM hujan memasuki awal tahun. Aku mengintip. Langkahku ringan mendekati gorden jendela. Kusibak kain tipis itu cukup kasar serupa anak muda memberikan surprise kepada kekasihnya. Kamar yang kurang pencahayaan membuat cahaya melesat kilat. Sementara di luar, hujan tak tentu arah menghindari tatapanku.

Bulir-bulir hujan tempias di lantai. Kaca jendela buram berembun. Apakah kau juga menikmati hujan, batinku. Bila anganku berwujud di sini, di tempatku berdiri, aku yakin, kau akan mengatakan, "Di mana pun, aku suka hujan."

Jendela kusibak. Kisinya berderet. Angin meruap menghempas bulu kuduk. Instingku begerak cepat ingin menutup kembali jendela. Dingin. Tetapi tekad dan perlawananku untuk mengetahui hujan di pagi ini, menahan kedua tangan menarik gagang jendela serta menutupnya rapat-rapat.

Ya, aku ingin memastikan hujan apa ini! Seperti yang telah kau ajarkan!

Serasa kau mengajakku, menjulurkan kedua tangan ke depan, merasakan bulir air jatuh di tangan. Persis yang pernah kau ajarkan. Aku cukup hati-hati karena hanya, cukuplah hujan menjamah tangangku. Tidak untuk bagian lain dari tubuhku. Seperti kau pernah menjamah bibirku di bawah ciuman hujan. Kupejamkan mata. Hujan apa ini? Curahnya begitu lembut namun deras.

Rinduku cair, serupa bisik air yang berjatuhan di bibir genting. Januari tiada indah tanpa hujan. Hujan tiada indah tanpamu. Hujan adalah kau. Kau adalah hujan. Kau hadir! Aku mencium aroma hujan seperti yang kau katakan. Mencium aromamu.

Apakah kau juga sedang menikmati hujan?

***

SEPULANG dari kantor, aku terjebak hujan di sebuah halte. Kau juga. Selain kau dan aku, tiga orang tengah duduk di sana. Kau menatapku sehingga aku terpaksa menatapmu. Begitulah, keterpaksaan menatapmu membuatku tahu bahwa pakaianmu lebih basah ketimbang pakaianku. Bibirmu lebih lembap ketimbang bibirku. Kau memperkenalkan diri dan aku menyebut itu hanya basa-basi.

Hujan akan segera usai. Hanya menyisakan rintik kecil. Angkutan Lin yang aku—atau juga kau—tunggu, sembari mendekapkan tangan pada dada, belum tiba. Mendadak kulitku terasa mengerut. Aku tak menduga. Tiba-tiba kau menarik tanganku, menembus rajutan basah itu.

"Indekosku dekat dari sini," tanganku kau seret paksa, memasuki gang cukup sempit sebelum tiba di indekosmu.

Segelas cappucino—yang kau buat sendiri—menemani perdebatan kita tentang hujan. Kataku hujan bikin becek, banjir, dan macet. Hujan hanya merisaukan awak kapal. Hujan hanya membuat burung-burung bosan bertengger. Dan hujan hanya membuatku kedinginan. Bikin pusing dan sakit kepala. Kau tersenyum mendengar kataku—yang mungkin bila orang lain turut mendengarkan pembicaraan kita, penyampaianku ini dibilang ocehan. Katamu hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.

Aku bisa mengamini pendapatmu yang terakhir kalau hujan itu anugerah. Selain alasan daripada itu, aku tak bisa menerimanya. Hujan kok dibilang indah, hujan kok dibilang romantis, hujan kok dibilang menyegarkan, apalagi hujan beraroma. Aku benar-benar tidak bisa menerima pendapatmu.

Lalu, aku memberikanmu kesempatan untuk merasionalisasikan pendapatmu.

"Apakah kau tahu kalau serakan hujan tampak berkilau di ujung lancipnya rerumputan?"

Aku menggeleng. Kau tersenyum. Yang jelas, kau bukan menarasikan hujan atau mendeskripsikan hujan sebagimana pendapatmu. Berpuisikah? Absurd.

"Deskripsikan tentang hujanmu!"

Kupandang lekat parasmu yang putih kekuningan. Bibirmu yang basah mulai melafalkan kata hujan diulang sampai tiga kali sebelum memojokkanku pada tatapanmu. Selalu begitu kau memenjaraiku.

"Banyak ragam tentang hujan," kau tercekat cukup lama. "Kau benar-benar ingin tahu?"

"Tentu."

"Kenalilah hujan maka kau akan mengenali kehidupan. Hujan hampir memiliki sifat yang sama dengan manusia, denganmu dan denganku. Ada hujan jahat dan baik, ada hujan yang tergesa-gesa, ada hujan yang romantis, ada hujan yang pemalu...."

"Cukuplah kau mendeskripsikan apa yang kau sebutkan tadi," potongku. Aku rasa kau tak lebih dari orang yang mengulur-ulur waktu. Aku mulai bosan.

"Hujan yang jahat adalah hujan yang kau sebutkan tadi: bikin becek, banjir, dan macet. Curah hujan sangat deras disertai kilat. Maka, bila hujan seperti itu turun, bersegeralah tidur. Hilangkan ketakutanmu di hari itu. Bila kau tak tidur, kau hanya akan mengutuk-ngutuk hujan dan perbuatan itu akan tampak seram sendiri kepadamu. Namun, percayalah, bahwa sebenarnya kau hanya dibayangi oleh ketakutan. Tidakkah kau lupa bahwa dalam ilmu astronomi kilat sebagai penebal lapisan ozon?"

"Kau menyalahkanku?"

Kau tak menjawab. Suatu kesempatan untuk mengalihkan topik lain. Apa pun. Tapi jangan hujan. Bagaimana kalau tentang negara? Ya! Negara dan politik. Aku suka itu. Namun, mulutmu lincah meliuk, seakan tak suka kalau topik kita dialihkan ke situ.

"Apabila kau mendapati sebentar hujan dan sebentar panas, itulah hujan yang tergesa-gesa. Itulah hujan lebih membahayakan ketimbang banjir bandang. Badan bisa panas dingin karenanya," kau tertawa kecil. Deskripsimu berhasil. Sayang, aku tak tertarik.

"Hujan yang pemalu. Hem, ya, bagaimana bila kau melihat tingkah orang yang pemalu?"

Tak penting untuk kujawab. Kini, aku rasa kau hanya seorang pembual. Tak lebih dari sebuah pertunjukan sirkus yang menakjubkan tetapi pias sampai di luar.

"Hujan yang pemalu adalah hujan yang selalu datang diam-diam serta datang dengan lembut. Apabila ditatap, hujan itu akan menghindar. Dan...."

"Cukupkan ceritamu. Aku mau pulang saja. Aku tak mau kena hujan lagi. Aku bukan manusia hujan sepertimu. Tubuhku tak sekuat tubuhmu."

"Aku belum menuturkan kalau hujan beraroma tanah, rerumputan, bunga, dan juga beraroma tubuhmu."

"Aku sudah bosan!"

"Selalulah bersamaku. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu indah. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu romantis. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu sepertimu...." nadamu tenang. Aku kembali duduk. Kita kembali sehadapan.

Aku tidak mengerti kenapa kau begitu tergila-gila pada sebuah musim yang hanya bisa menjanjikan basah. Hanya aku tahu, mengajakku berlama di ruangan yang berukuran 5 x 8 meter karena sedang menunggu hujan, bukan?

***

TIADAKAH ada yang lebih romantis daripada hujan? Aku mulai bosan berhubungan denganmu, manusia hujan, karena aku selalu merasa tubuhku selalu basah dan menggigil. Aku ingin jalan-jalan, berbelanja pakaian atau mendaki gunung.

Hujan datang. Hujan menyambangi. Aku menghela nafas. Berat. Kau tersenyum. Kau mendekatkan diri pada video player-mu. Dalam sekejap Winter Sonata from The Beginning Until Now menyesaki ruang hati kita. Lagu itu sungguh romantis. Lagu itu sungguh indah, katamu. Lagu yang paling kau suka. Nyalang matamu menembus dinding kaca....

"Aku ingin bersamamu. Hujan selalu mengingatkanku padamu!" Oh, ada mendung di matamu. Tanganmu mulai nakal meremas tanganku. Aku diam. Aku beku. Aku kaku. Semoga kata-katamu selanjutnya sama dengan yang kupikirkan.

Tapi kau memindahkan matamu kepada hujan. Kau berlari. Terpaksa aku menyusul, berusaha menghentikan tubuhmu yang meluncur deras serupa burung dadali yang berbasahan. Berkejaran.

"Apa yang kau inginkan di hujan ini?"

"Aku ingin kita segera kembali. Aku tak ingin hujan-hujanan begini."

"Ayolah...."

"Aku bukan manusia hujan sepertimu. Aku manusia rapuh. Kurus dan pesakitan."

"Aku tak ingin kau lebih sakit lagi." Matamu sayup. Suaramu surup...

"Apa?"

"Bersamalah denganku."

"Kau."

"Pejamkan matamu! Biarkan air hujan mencium dan menyentuh hatimu," katamu setengah berteriak.

Kau menuntunku. Di bawah hujan, satu kecupan mendarat. Aku merasakan basah namun hangat. Dingin tapi indah. Romantis! Kekuatan hujan telah memengaruhiku. Ini cinta. Sumpah, ini cinta. Aku melayang. Aku terbang. Dan, aku serasa menjadi hujan!

Siapa yang tidak tahu kalau bulir air hujan mengandung sifat asam? Kita tolol sendiri. Gemeretak gigimu sangat kuat. Hem, ternyata manusia hujan juga rapuh, sanggah batinku. Kau menggigil dengan hidung dan kepala udang rebus. Suatu kesempatan bagiku menertawaimu karena hujan. Suatu kesempatan untuk mengejekmu karena hujan. Suatu kesempatan mengomelimu karena hujan. Hujan yang sangat kau gandrungi mempersempit pembuluh darah dan mengurangi kekebalan tubuhmu. Tetapi kau benar-benar manusia hujan! Sampai, When I Need You mengalun dari suara Julio Iglesias, aku menghangatkanmu.

"Aku ingin menikahimu saat hujan beraroma tubuhmu," nadamu tak lebih dari memohon. Tapi cukup membuatku beku.

***

PAGIKU terasa bising melenting denting di dalam hening. Hujan. Telapak kaki terasa dingin. Sedingin ketika kita usai menendang buih di tepi pantai. Atau sedingin mata dan tanganmu ketika menelanjangi air mataku. Ah, rasanya tubuhku kian letih. Kulurut selimutku hingga dingin tak lagi menjamahi kaki. Entah, sudah keberapa kalinya hujan kunikmati sendiri. Entah pula, keberapa kalinya hujan menyembunyikan air mataku. Aku merinduimu.

Aku mulai menyukai hujan. Kenapa aku tolol? Apakah karena rindu atau karena hujan? Berapa kali hujan menjamahku? Aku tak tahu persis. Yang jelas, hatiku basah dan berusahan menyembunyikan air mataku pada hujan. Aku mendekap dalam selimut. Aku tahu, cappucino atau teh sepat hangat tak akan lagi terhidangkan di atas meja. Kali ini, aku tak ingin hujan melihat air mataku. Aku tak ingin hujan merampas air mataku. Maka, kubuat sendiri hujan itu di bawah selimutku.

"Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan," suaramu yang seperti daun kering diremukkan angin, kembali melenting. Lebur bersama rintihan sakitmu yang kini menjadi sakitku.

Kenapa kau tak pernah bercerita kalau kau manusia rapuh seperti hujan? Kenapa kau tak pernah memberitahuku kalau rekam jejak hidupmu lebih cepat dari hujan? Kau tahu, kebohonganmu selalu menghadirkan hujan di wajahku.

Tapi, aku tetap ingin menikahi hujan, sebagai gantimu. n

Annuqayah, 2012

(Terkenang seorang guru; Lan Fang)


Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012

Sunday, July 1, 2012

Malam Biru Keemasan

Cerpen Syaiful Irba Tanpaka



BONGKOT terpesona memandangi malam yang bewarna biru keemasan. Menurut dia, inilah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya. Betapa tidak! Kegelapan malam yang biasanya berwarna hitam, kali ini berwarna biru. Dan di atas bentangan warna biru itu ada sepuhan aura warna keemasan yang bening berkilau. Sungguh membuat setiap orang yang melihatnya pastilah terpukau.

Mulanya Bongkot tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Bagaimana mungkin kegelapan malam bisa berwarna biru keemasan," pikirnya.

"Warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini, kawan?"

"Warna biru keemasan!" jawab kawan.

"Warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini, teman?"

"Warna biru keemasan!" sahut teman.

Bongkot masih ragu-ragu mendengar jawaban kedua sobatnya. "Jangan-jangan karena kami bertiga terlalu banyak minum alkohol," pikirnya lagi. Bongkot lalu menarik perempuan yang ada di sebelahnya.

"Sayang, warna apakah yang kau lihat di kegelapan malam ini?"

"Warna biru keemasan!" ucap perempuan di sebelahnya.

"Memang kenapa kau bertanya serupa itu, sayang?"

"Kamu tidak bergurau, kan?"

"Kenapa aku harus bergurau untuk mengatakan sesuatu yang kulihat dengan benar."

"Kalau begitu katakan sekali lagi kepadaku!"

"Warna biru keemasan!"

Sementara penyanyi duet di atas panggung pertunjukan melantunkan lagu romantis Jangan Ada Dusta di Antara Kita yang dipopulerkan Broery Pesolima dan Dewi Yull di tahun ‘90-an.

Semua terserah padamu

Aku begini adanya

Kuhormati keputusanmu

Apapun yang akan kau katakan...

Bongkot menatap dalam-dalam wajah perempuan yang ada di sebelahnya. Wajah cantik dengan polesan make-up yang menggiurkan. Dengan tatapan mata sayu menantang gairah setiap laki-laki.

"Bisakah kupercaya ucapan gadis yang biasa mengumbar kata-kata manis ini? Gadis yang sering penuh basa basi untuk menyenangkan tamu yang ditemaninya. Atau jangan-jangan dia telah mendengar perkataan kawan dan teman?" Bongkot menimbang-nimbang. Ia ingin percaya tapi hatinya tidak begitu yakin.

"Sayang, kenapa memandangku seperti itu?"

"Eh, tidak. Aku hanya ingin meyakinkan diriku."

"Tentang apa? Tentang malam yang berwarna biru keemasan?" suara si perempuan dengan renyah dan manja.

Bongkot tidak menjawab. Ia berdiri dari kursinya dan perlahan melangkah menuju panggung pertunjukan. Kemudian ia mengambil mikrofon dari tangan seorang penyanyi. Seketika musik berhenti.

"Saudara-saudara, maaf kalau saya sudah mengganggu keasyikan kalian," suara Bongkot berkumandang.

Para pengunjung kafe yang didesain di tengah alam terbuka itu serentak bergumam: "Huuuuuu...!"

"Sebelum kita lanjutkan, saya ingin bertanya kepada kalian, warna apakah yang kalian lihat di kegelapan malam ini?"

Seperti dikomando para pengunjung kafe menjawab, "Warna biru keemasan!"

"Apa peduli kita dengan warna malam?" teriak seorang pengunjung.

"Mau biru, mau merah, kuning, hijau, ungu, di sini kita cuma butuh kesenangan!"

"Betul..., kita cuma butuh kesenangan!" timpal yang lain.

"Tapi ada baiknya kita dengar ucapan lelaki yang memegang mikrofon di panggung itu. Barangkali ia ingin meyakinkan penglihatannya bahwa malam ini betul-betul berwarna biru keemasan," ucap pengunjung yang lain lagi.

"Aku setuju denganmu kawan. Setidaknya kita jangan hanyut dengan diri kita masing-masing. Aku juga mulai menaruh perhatian, kenapa malam ini berwarna biru keemasan," tambah seseorang lainnya.

"Kamu mulai terprovokasi oleh lelaki itu," sungut seorang pengunjung.

"Bukan begitu, aku hanya ingin menghormati pandangannya. Mungkin betul juga pendapatnya, kita memang harus punya kepedulian terhadap lingkungan. Bukankah suatu keanehan ketika kita melihat malam ini berwarna biru keemasan?" balas seseorang lainnya.

"Ach..., sudahlah kawan, lupakan lelaki di atas panggung itu. Mari kita jelang kembali kenikmatan kita yang sudah terganggu."

Kemudian lelaki yang baru saja berkata itu mengajak kawan-kawannya mengangkat gelas, melakukan tos dan menenggak minuman di gelas masing-masing. Lalu tertawa terbahak-bahak.

"Anggap saja kita sedang berada di surga. Hahahaaa...!"

Bongkot memandangi satu per satu pengunjung kafe. Tapi tak satu pun dari mereka yang ada memperhatikannya. Semua asyik tenggelam dalam diri atau kelompok masing-masing. Tercenung, bernyanyi kecil, mengobrol, bercanda, merayu, dan bermesraan dengan pasangannya.

"Baiklah, Saudara-saudara. Sekali lagi saya minta maaf, dan terima kasih sudah mau menjawab pertanyaan saya."

Namun, kali ini tak ada satu pun pengunjung kafe yang bereaksi. Bongkot menyerahkan mikrofon pada penyanyi. Kemudian ia kembali ke tempat duduknya. Musik kembali bergema.

Memang kau bukan yang pertama bagiku

Pernah satu hati mengisi hidupku, dulu.....

Dan kini semua kau katakan padaku

Jangan ada dusta di antara kita...

Bongkot masih tercenung. Pandangannya jauh menembus malam yang berwarna biru keemasan. Menurutnya; inilah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Sayang..., ngapain sih mikirin warna malam. Kurang kerjaan."

Namun, Bongkot seperti tidak mendengarkan ucapan perempuan di sebelahnya. Ia masih asyik mereka-reka. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?

Apakah gerhana matahari, gerhana bulan, atau mungkin pengaruh global warming! Bongkot tiba-tiba nyengir sendiri. Mana mungkin pengaruh global warning. Sebab kalau karena hal itu, pastilah warna malam bukan biru keemasan, melainkan kuning kecokelat-cokelatan, atau merah membara sebagai cermin dari kegersangan dan udara panas menggila.

"Sayang, minum lagi yuk! Jangan bikin aku seperti patung dong, dicuekin."

Bongkot mengambil gelas yang disodorkan dan menenggak minuman Black Label yang terisi di gelas itu. Beberapa saat kemudian tatapannya kembali pada perempuan disebelahnya. Mencoba tersenyum, tapi tiba-tiba ia terkejut ketika melihat baju perempuan di sebelahnya yang juga berwarna biru keemasan.

"Sayang, apa warna baju yang kau pakai?"

"Warna biru keemasan!"

"Kamu tidak bergurau, kan?"

"Kenapa aku harus bergurau untuk mengatakan sesuatu yang kulihat dengan benar."

"Kalau begitu katakan sekali lagi kepadaku!"

"Warna biru keemasan!"

Sementara di atas panggung pertunjukan; seorang gadis cantik sedang melantunkan lagu kasmaran Cinta Satu Malam yang dipopulerkan Melinda  tahun 2010.

Walau cinta kita sementara

Aku merasa bahagia

Kala kau kecup mesra di keningku

Kurasa bagai di surga....

"Sayang..., kamu dengar lagu itu?"

"Tentu...!"

"Nah, itu pas untuk kita, daripada mikirin warna malam."

"Masak, sih," Bongkot tertawa. Si perempuan juga ikut tertawa.

"Ya iyalah, hehe..." dengan gesit jemari si perempuan mencubit lengan Bongkot.

"Auw...."

"Kamu suka, kan?"

"Suka apa?"

"Romantisme...."

"Selalu suka."

"Kalau gitu...."

"Apa sayang...."

"Kecup keningku, walau sementara, aku merasa bagai disurga xixixi...." senarai si perempuan memejamkan mata. Bongkot lalu mengecup kening si perempuan juga sambil memejamkan mata. Lama adegan itu berlangsung tanpa ada seorang pun yang memperhatikan.

Cinta satu malam oh indahnya

Cinta satu malam buat kumelayang...

Suara gadis cantik terus berkumandang membasahi malam. Sebagian dari pengunjung mulai berhambur dan berjoget di depan panggung pertunjukan. Irama house music membuat mereka aktase. Bergoyang dan terus bergoyang.

Bongkot dan si perempuan masih berciuman. Saling memeluk dan membelai. Dan perlahan-lahan tubuh mereka berdua melayang. Melayang dan terus melayang. Membumbung tinggi ke angkasa  raya.

"Sayang, aku mau dibawa ke mana?"

"Lho, bukannya kamu yang membawa aku?"

"Jangan bercanda, sayang...."

"Sungguh....!"

"Lalu kita akan kemana?"

"Entah! Mungkin ke surga/"

"Menjadi Adam dan Hawa?"

"Hehee...."

"Kok tertawa?"

"Asyik aja dari dunia turun ke surga."

"Apa surga juga berwarna biru keemasan?"

Bongkot kembali tertawa. Dia memandangi malam yang bewarna biru keemasan. Menurut dia, itulah malam yang paling menakjubkan dibanding dengan malam-malam yang pernah ia lihat sebelumnya. Betapa tidak! Kegelapan malam yang biasanya berwarna hitam, kali ini berwarna biru. Dan di atas bentangan warna biru itu ada sepuhan aura warna keemasan yang bening berkilau. Sungguh membuat setiap orang yang melihatnya pastilah terpukau.

Bandar Lampung, 010/12


Lampung Post, Minggu, 1 Juli 2012