Sunday, April 27, 2014

Cerita Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri

Cerpen Dadang Ari Murtono


BILA ia benar bunuh diri—entah dengan cara apa—mungkin orang-orang yang tahu hari-hari terakhirnya akan meyakini bahwa dia bunuh diri karena jatuh gila. Dan bagi yang mengenalnya di masa jauh sebelum saat ini, barangkali akan lebih percaya kalau dia bunuh diri karena patah hati. “Dia lelaki yang dikutuk cinta. Dua kali dia jatuh cinta. Dan dua kali itu pula jatuh cintanya salah. Jatuh cinta kepada perempuan yang telah bersuami dan cintanya berujung malang. Dia pasti salah jatuh cinta lagi dan tak kuat menahan sakit lalu bunuh diri.”

Tapi baiklah, kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ini memang berhubungan dengan cinta. Berhubungan pula dengan gila. Cinta memang selalu gila, bukan? Tapi kali ini dia tidak jatuh cinta kepada perempuan. Dia jatuh cinta kepada cerita-cerita. Cinta yang membuatnya meninggalkan pekerjaan mapannya di perusahaaan telekomunikasi dan dibenci keluarganya yang sebenarnya bermaksud baik dan menghendaki ia hidup seperti kebanyakan orang, “hidup yang normal,” kata keluarganya. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan. Cinta bekerja dengan cara tersendiri yang terkadang tidak masuk akal. Dan ia telah membuat keputusan.

Dia banyak menulis. Namun, sekali waktu, ketika harapan masa depan yang lebih cerah terbit di dadanya, beberapa orang menuduhnya pencuri. Padahal ia pencinta teguh. Dan bagaimana orang yang mencintai sanggup mencuri sesuatu dari apa yang dicintainya? Yang terjadi sesungguhnya adalah ketika ia mencoba sampai sebatas apa cerita itu bisa dibikin, para penuduh itu menyalahpahaminya. Orang-orang itu seperti tahu semua hal tentang cerita. Tapi mereka hanya tahu apa yang sudah ada atau pernah dibuat oleh orang.

Merekalah sepandai-pandai penjaga kemapanan, bukan pendorong perubahan, atau penemu hal baru. Dan ia menulis sesuatu yang belum pernah ada (barangkali pernah ada, tetapi tidak sepenuhnya seperti yang ia lakukan). Menulis nyaris sama dengan tulisan orang lain, tetapi pada beberapa bagian memelencengkannya. “Bagaimanapun juga, sekalipun ia telah memberi keterangan bahwa apa yang dibikinnya berdasarkan cerita orang lain, tetap saja dia pencuri!” teriak para penuduh itu. Lalu segenap orang, seluruh semesta, seakan berbalik arah melawannya, memusuhinya. Ia merasa menjadi korban fitnah. Dan sengaja dibunuh pelan-pelan dalam sepi di dunia yang dicintainya.

Lalu tak ada lagi satu pun apa yang ia bikin yang terbit. Dan teman-temannya—karena malu berteman dengan pencuri—meninggalkannya satu-satu. “Dia pernah menulis cerita berjudul Lelaki Sepi. Dan kini, benar-benar sepilah dia. Salahnya sendiri ngawur membikin cerita. Apa dia tidak tahu kalau cerita itu seperti doa? Seperti nama, bukan?” simpul salah satu temannya dalam sebuah perbincangan di warung kopi.

Sedang makian, terus saja datang dalam rombongan besar kepadanya. Sungguh, ia merasa lebih baik ditusuk pisau daripada diperlakukan seperti itu. Dalam sepi yang begitu purba, ia memutuskan berteman dengan benda-benda. Ia mulai bicara pada komputer, pada piring, pada batu, pada tembok, pada bulan, dan sebagainya.

Tapi semua tidak lantas selesai begitu saja. Sebagaimana semua orang yang hidup, ia juga butuh makan, minum, sabun, odol, dan perkara-perkara lain yang hanya bisa selesai bila ada uang. Ia percaya seseorang harus melakukan sesuatu dilandasi cinta. Bukan keterpaksaan. Dan karena tak ada pekerjaan yang dicintainya selain menulis, dia terus menulis. Terus dan terus. Dan terus pula berupaya agar ada yang berkenan menerbitkan tulisannya. Selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun, i a menulis. Telah berapa ribu cerita ia tulis? Tapi apa yang pernah dialaminya, fitnah itu, tak cukup menumbuhkan—paling tidak—rasa kasihan bagi orang-orang di koran dan penerbit untuk meluluskan permintaannya. Sekali waktu, ada sebuah koran yang memuat tulisannya, dan hanya dalam hitungan menit, ribuan hujatan dialamatkan ke koran tersebut. Siapa bilang pengarang telah mati dan hanya karya yang bicara ketika tulisan itu telah selesai dibuat? Omong kosong.

Lalu seperti Akutagawa, penulis yang ceritanya pernah ia garap ulang dan menyebabkan ia mengalami nasib buruk sedemikian panjang, ia sepenuhnya menyadari dirinya menjadi gila. Barangkali bila persoalannya adalah sekadar menjadi gila, maka akan lebih mudah menanggungkannya. Tapi yang ia alami adalah menyadari sepenuhnya bahwa ia tengah dalam proses menjadi gila. Dan sungguh, itu sangat menyakitkan. Seandainya Akutagawa masih hidup, kau bisa bertanya kepadanya bagaimana rasa yang sedemikian itu. Bukan hanya sepi yang membikin seseorang menjadi gila, melainkan juga lapar dan perasaan tidak dihargai. Dan pada suatu malam, ia didatangi oleh makhluk-makhluk yang tidak ada dalam dunia nyata, makhluk-makhluk yang ia yakini juga mendatangi Akutagawa menjelang kematian sang pengarang itu karena bunuh diri pada usia 35 tahun. Makhluk-makhluk yang disebut Akutagawa Kappa dalam sebuah novelet dengan judul Kappa. Makhluk setinggi 1 meter dengan tangan dan kaki berselaput dan tengah puncak kepalanya berbentuk oval, cekung seperti piring.

Dan ia mulai melupakan benda-benda. Benda-benda tidak bisa diajak berbincang, apalagi berdiskusi. Ia telah mencoba menceritakan hal paling remeh kepada benda-benda itu, semisal, “hari ini hujan, aku kedinginan, apakah kau juga kedinginan?” Tetapi benda-benda tetap saja diam. Dengan para Kappa, ia bisa berbincang dan berdiskusi. Apalagi ada dari Kappa itu yang berprofesi sebagai filsuf, penyair, pegawai bank, gubernur, bahkan sampai pemabuk dan pengangguran. Ia bisa bicara banyak. Di mana-mana, selalu saja ada Kappa yang menemaninya. Dan di mana-mana itu pula, ia berbincang dengan asyik. Keasyikan yang membuatnya lupa mandi, lupa ganti baju, lupa cukur rambut, dan potong kuku.

“Awalnya ia bicara dengan benda-benda, sekarang malah dengan sesuatu yang tak ada,” ia tidak menghiraukan ucapan orang semacam itu.

“Dasar pengarang gila. Ia merasa tengah berbicara dengan Kappa. Itu pasti karma karena dia pernah mencuri karya Akutagawa. Biar saja dia gila seperti itu. Sebentar lagi dia pasti akan mati,” sahut orang yang lain.

Di antara semua Kappa, ada satu yang paling disukainya. Nama Kappa itu tidaklah penting benar. Yang jelas, Kappa itu adalah penyair. Ia merasa melihat pantulan dirinya di cermin pada diri Kappa itu. Penyair yang telah menulis ribuan puisi tapi tak satu pun yang menganggap puisi sang Kappa bagus. Kappa itu hidup dalam keprihatinan yang sangat. Bahkan, sering, ketika lapar telah terlalu, mengais makanan sisa dari tong sampah. Beberapa kali, sang Kappa berpura-pura gila agar bisa kencing di celana dan makan gratis di warung. Kappa itu juga tak jarang melakukan hal-hal tidak masuk akal yang menurutnya dikerjakan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai bahan tulisannya. Ketika punya uang, Kappa berambut kusut itu pernah menelan sepuluh butir obat sakit kepala hingga nyawanya nyaris lepas. “Agar aku tahu bagaimana rasanya sekarat,” terang si Kappa.

“Dunia benar-benar sudah miring!” kata si Kappa pada suatu kali. Tapi yang sesungguhnya terjadi adalah si Kappa penyair yang jalannya miring. Segenap dunia masih pada posisinya yang wajar. “Aku telah menulis puisi terhebat. Yang terhebat dari semua yang pernah aku tulis. Dan kalau orang-orang tetap saja mengejekku, aku akan bunuh diri. Aku tidak sudi hidup di dunia yang miring. Hanya orang-orang miring yang akan meremehkan apa yang telah kubuat ini,” kata si Kappa suatu sore. Dan ia menjawab perkataan si Kappa dengan kalimat yang mungkin sekali akan terus disesalinya. “Barangkali dunia tidak membutuhkan puisi-puisimu. Bahkan mungkin, dunia juga tidak membutuhkanmu. Dan tak akan ada bedanya kau hidup atau mati,” katanya meski sesungguhnya kalimat yang diucapkannya sembari menundukkan wajah itu lebih ia peruntukkan bagi dirinya sendiri.

Sore itu adalah sore terakhir ia bertemu sang Kappa penyair. Seminggu ia tidak bertemu sebab sang Kappa bilang butuh waktu untuk menyempurnakan puisi tersebut. Dan pada hari kedelapan, ia mendengar dari Kappa filsuf—Kappa yang paling sering mengatakan alangkah buruk dan tidak bermutunya karya Kappa penyair dan bahwa hanya orang-orang idiot yang mau membaca tulisan si Kappa penyair itu—bahwa Kappa penyair mati di kamarnya gantung diri. Ia terkejut mendengar berita itu. Ia berduka. Ia teringat apa yang diucapkan si Kappa pada pertemuan terakhir mereka. Dan ia semakin terkejut ketika Kappa filsuf itu berkata lirih, “Barangkali setelah ini, karya-karya yang ia tinggalkan akan lebih bernilai. Bukankah bahkan dalam duniamu sendiri, banyak pengarang yang jadi penting setelah menuntaskan hidupnya yang tragis dengan cara yang juga tragis?”

Malam itu, ia menulis sebuah cerita tentang dirinya sendiri. Sebuah Cerita Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri judulnya.

Ah, seandainya kau membaca cerita itu, mungkin kau akan keheranan bagaimana seseorang bisa meneguhi sesuatu yang seperti begitu sia-sia. Tapi bila kau pernah membaca Myte Sysiphus-nya Camus, mungkin kau akan menggumam: “Haruslah dibayangkan Dadang bahagia!”

Dan apakah Dadang benar-benar jadi bunuh diri? Entahlah. Tapi bila benar ia bunuh diri, pastilah ia akan didapati mati sambil membawa sebilah pisau (Ia yakin genggaman yang kuat akan membawa pisau itu turut bersama rohnya). Untuk apa? Sekali waktu, ia pernah berkata, “kelak di akhirat, bila Tuhan membungkam dari pertanyaanku kenapa takdir sebegini buruk yang ditimpakan kepadaku, aku akan menikamnya. Aku benci Tuhan yang bisu.” n


Lampung Post, Minggu, 27 April 2014

Sunday, April 20, 2014

Pesugihan Zombi

Cerpen Sungging Raga


KETIKA wanita itu melihat kekasihnya telah menjadi zombi, ia berlari ke tepi laut dan menangis seperti alien.

Suara tangis wanita itu menderit keras seperti gesekan seng pada lantai keramik, dan gesekan itu terdengar sampai ke radius 300 meter. Air matanya pun bukan air mata biasa, tapi berupa lahar panas, mengucur lewat pipi, jatuh di pasir, membuat kawah-kawah kecil. Tak seorang pun penduduk pantai yang berani mendekatinya, mereka bahkan harus menutup telinga karena miris dengan suara deritnya.

Sementara itu, kekasih si wanita juga telah dibawa ke puskesmas oleh warga sekitar, puluhan orang berkumpul di halaman puskesmas yang kecil, berebut melihat ke dalam ruangan di mana telah terbaring seorang lelaki yang rambutnya rontok, kulit tubuhnya membusuk, giginya tanggal dan berganti balok besar seukuran tuts piano. Sebuah pemandangan yang tak pernah terjadi sebelumnya.

“Kenapa bisa seperti itu?”

“Zombi, dia pasti mengikuti ritual pesugihan zombi.”

“Pesugihan zombi?”

“Itu lo, pesugihan baru di Gunung Barokwok.”

“Oh, yang sering dibicarakan orang-orang di pasar ikan?”

Sebagian warga memang sudah mendengar desas-desus tentang pesugihan zombi. Jika dahulu pesugihan menggunakan tuyul atau babi ngepet, beberapa bulan terakhir mereka mendengar bahwa di Gunung Barokwok ada seorang kakek sepuh yang bisa mengajarkan pesugihan dengan membuat pelakunya menjelma zombi, membuat wajah dan tubuh pelakunya menjadi sepucat mayat, suaranya seperti dengung lebah, lantas si pelaku ini akan berjalan di sekitar kampung sepanjang malam.

Tak seorang pun yang mencium aroma zombi itu, melainkan akan langsung tertidur, dan tidak satu benda berharga pun dalam radius 13 meter, melainkan akan menempel pada tubuh zombi tersebut, jadi ia seperti magnet, cukup dengan berjalan mengelilingi kampung, maka di tubuh sang zombi akan menempel berbagai jenis perhiasan, kalung, gelang, cincin, batu akik, dompet berisi uang, buku tabungan, dan yang lainnya.

Ketika ia tersadar pagi harinya, ia akan melihat benda-benda itu telah menumpuk di sekelilingnya. Pelaku pesugihan ini juga bisa mengatur nama-nama benda berharga yang tidak perlu diambil sehingga ia tidak akan membawa benda-benda berat, seperti televisi, kulkas, atau benda-benda pribadi seperti jemuran milik gadis tetangga.

Desas-desus pesugihan ini sebenarnya bukan sekadar isu, melainkan memang ada dan sengaja dipublikasikan. Entah siapa yang menempel selebaran di tiang-tiang listrik, di pos ronda, di tembok sekolahan, serta jembatan-jembatan di sekujur desa itu, selebaran yang isinya menawarkan ritual pesugihan zombi Gunung Barokwok. Dalam selebaran tersebut, segala hal yang saya jelaskan di paragraf sebelumnya telah tertulis jelas.

Dan lelaki itu, lelaki pengangguran yang telah berjanji akan menikahi kekasihnya tahun ini, tergiur dengan selebaran tersebut. Sepasang kekasih itu telah berpacaran selama enam tahun, tapi kisah romantis mereka selalu terkendala masalah ekonomi. Sering pasangan kekasih itu bertengkar karena uang, tidak bisa kencan malam minggu karena uang, tidak bisa candle light dinner karena uang, tidak bisa menelepon karena tak ada uang untuk pulsa, dan semisalnya.

Oleh sebab itu, si lelaki tertarik untuk mencoba pesugihan agar bisa mendapat uang dalam sekejap demi membahagiakan kekasihnya. Rupanya ia adalah orang pertama yang berminat, sementara warga lainnya tak tertarik karena belum tahu efek sampingnya. Begitulah si lelaki kemudian berangkat menuju gunung Barokwok ditemani sang kekasih. Mereka pergi pagi sekali tanpa diketahui warga.

Secara geografis, letak Gunung Barokwok cukup jauh dari desa itu. Lelaki itu dan kekasihnya menempuh perjalanan kereta api setengah hari untuk tiba di stasiun terdekat dengan lereng gunung, lalu dilanjutkan berjalan kaki selama tiga jam, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah goa dekat puncak gunung, dan di dalamnya telah duduk seorang kakek berpakaian serbaputih, jenggot putih, rambut panjang putih, di mana tak ada gambaran lain yang lebih umum dari ini.

Singkat cerita, si lelaki dan wanitanya mendengarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan juga pantangan-pantangannya.

“Syarat yang terpenting adalah, kau harus merelakan sebagian jiwa dari orang yang paling kau cintai untuk dirasuki jiwa anak buahku dari dunia gaib,” kata sang kakek. Lelaki itu pun langsung menoleh pada kekasihnya. Wanita itu mengerti.

“Apa saya harus mati sebagai tumbal?” tanya si wanita.

“Oh, tentu tidak. Itu sudah klise. Anak buahku hanya akan mendiami setengah jiwa Nona.”

“Apa saya akan mengalami perubahan fisik?” tanya si wanita lagi.

“Tidak. Selama kekasih Nona tidak melanggar pantangan, Nona akan tetap baik-baik saja. Anak buahku hanya sebagai penjaga, jika suatu saat pantangan zombi dilanggar, saat itulah anak buahku akan memberontak dalam tubuh Nona.”

“Memberontak? Apa yang akan dilakukannya pada saya?”

“Hm, sedikit perubahan perilaku yang tidak normal. Kalau itu terjadi, Nona harus segera kembali kemari untuk disembuhkan.”

“Kalau tidak kembali, bagaimana?”

“Ya, Nona akan tetap seperti itu.”

“Apakah perubahan perilaku itu lama-kelamaan bisa membuat nyawa saya melayang?”

Kakek ini rupanya geram juga dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya. “Ini cerita pendek, Nona. Lebih baik tanyakan langsung pada penulisnya apakah di akhir cerita nanti Nona mati atau tidak.”

Wanita itu terdiam. Akhirnya transaksi pun terjadi. Dan pantangan yang paling utama adalah, si wanita tak boleh berada di dekat kekasihnya dalam radius tertentu ketika sang kekasih sedang menjadi zombi di tengah malam, jadi ia harus bermalam di tempat yang steril.

***

Alkisah, beberapa hari setelah itu, warga mulai sering kehilangan harta benda, jutaan rupiah mendadak lenyap, ternak peliharaan, koleksi cincin dan batu keramat, semuanya menumpuk di rumah si lelaki. Namun, tak satu pun warga yang mengaku telah kehilangan sesuatu. Di sinilah keunggulan pesugihan zombi, para pemilik barang yang hilang itu akan lupa kalau pernah memiliki barang tersebut, kecuali kalau mereka melihatnya lagi.

Jadilah kehidupan sepasang kekasih itu mendadak sejahtera dan sangat romantis, nyaris tanpa persoalan. “Adakah pasangan kekasih yang lebih bahagia dari kita berdua?” tanya wanita itu. Mereka lantas membeli lahan di sebuah bukit yang menghadap laut. Mereka juga mulai membicarakan tanggal pernikahan.

Kehidupan keduanya berbanding terbalik dengan kehidupan warga lainnya, semakin hari warga desa semakin miskin, sebagian mulai terlilit utang pada rentenir desa sebelah, dan di saat-saat seperti itulah sering muncul obrolan, “Jangan-jangan, ada yang sudah melakukan pesugihan zombi di desa kita.”

“Mungkin. Tapi siapa? Kita juga tidak merasa kehilangan sesuatu.”

Pertanyaan mereka akhirnya terjawab beberapa bulan kemudian, yaitu pada suatu pagi, tersiar berita bahwa Gunung Barokwok tiba-tiba meletus. Rupanya sang kakek sepuh itu salah memilih gunung, ia memilih gunung yang masih aktif. Seharusnya ia belajar vulkanologi. Riwayatnya langsung berakhir bersama gempa vulkanik yang kemudian memicu semburan lahar panas. Berakhirlah usaha pesugihan zombi yang baru dirintisnya itu.


Kejadian tersebut langsung berdampak secara gaib pada si lelaki. Pagi itu, tiba-tiba tubuhnya menjadi keriput, kulitnya memucat, dan dia menggumam tak karuan. Dia telah menjadi zombi secara permanen. Ketika si wanita datang untuk membawakan sarapan, terkejutlah ia melihat pemandangan tersebut. Sebuah pantangan telah dilanggar. Tiba-tiba terasa tubuhnya sendiri bergejolak, hawa panas menyelimuti pori-pori kulitnya. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali lari menjauh ke tepi laut.

Dan wanita itu pun menangis seperti alien.

Sementara itu, setelah berjam-jam di puskesmas, warga semakin yakin bahwa lelaki itu memang melakukan pesugihan, apalagi ketika rumahnya digeledah, ditemukan banyak tumpukan uang dan benda-benda berharga yang tak sempat dijual ke penadah.

“Lo, ini dompet saya.”

“Ini cincin saya.”

“Nah, ini kalung saya waktu kawin dengan juragan beras.”

Dokter dan perawat puskesmas tak bisa melakukan apa-apa untuk menyembuhkan lelaki itu, tubuhnya cepat membusuk dan menyisakan aroma tak sedap, tapi matanya masih terbuka, melihat ke sekeliling, mulutnya juga terus menggumam tak jelas. Lelaki itu lantas dipindahkan ke ruangan khusus tanpa diberi penanganan lebih lanjut. Lama kelamaan, ia justru menjadi bahan tontonan warga sampai ke luar desa.

***

Begitulah yang terjadi sampai bertahun-tahun kemudian, kondisi lelaki itu ternyata tidak berubah, tidak hidup dan tidak pula mati. Sementara itu, si wanita tetap berdiri di tepi pantai. Sepasang kakinya kini membatu, air matanya terus mengalir ke laut dan menjelma lumpur panas.

Jadi, adakah pasangan kekasih di dunia ini yang lebih menderita daripada mereka berdua?

Baik di dunia ini atau di dunia setelah mati kelak, keduanya tak pernah bisa dipertemukan kembali. n


Lampung Post, Minggu, 20 April 2014

Sunday, April 13, 2014

Matu

Cerpen Elly Dharmawanti


Jika kamu berkunjung ke kotaku, kamu harus tahu hal-hal apa yang dianggap tabu.

UDARA subuh menyelimuti seisi pekon, angin barat bertiup kencang membuat kebanyakan orang enggan meninggalkan kamar yang hangat dan nyaman. Tapi, tidak di rumah Lekok. Semenjak azan subuh belum berkumandang, Mandok, istrinya, sudah sibuk di dapur, menyalakan tungku, menjerang air, masak dengan lauk seadanya. Lantas menyiapkan kopi dan sarapan sederhana untuk suaminya bekerja.

Lekok terkadang merasa iba melihat kondisi istrinya. Semakin hari tubuhnya terlihat semakin kurus. Virus tuberkulosis yang menggerogoti paru-parunya sudah merenggut kemolekan tubuh perempuan yang sangat ia cintai itu. Meski sudah delapan tahun usia perkawinan mereka belum juga dikaruniai keturunan, Lekok tak pernah mengeluh. Baginya dengan atau tanpa seorang anak, asal setiap hari ia bisa melihat istrinya tersenyum, itu lebih dari cukup.

Lekok bukan lelaki kaya. Meski ia anak satu-satunya, keluarganya hidup dalam kekurangan. Ibunya hanya buruh tani, yang hanya  mendapat pekerjaan ketika musim tanam atau panen dimulai. Sedangkan ayahnya hanya seorang pencari sarang walet yang menghabiskan harinya menyusuri goa-goa yang tersebar di sepanjang pantai Pesisir Barat ini. Pekerjaan yang sangat berisiko dan tidak sesuai dengan penghasilan yang didapat, meski sering ia mendengar kabar dari  mulut ke mulut bahwa sarang walet sangat digemari para cukong di kota bahkan luar negeri dengan harga yang selangit.

***

Beberapa tahun terakhir ini Lekok mulai mengikuti jejak ayahnya menyusuri goa-goa batu sepanjang garis pantai, mencoba mengais rezeki dari liur yang dikumpulkan para burung berbulu hitam tersebut. Ia ingin sekali mengumpulkan uang dan membawa istrinya, Mandok ke rumah sakit besar di kota provinsi. Ia ingin istrinya kembali sehat dan bugar seperti ketika pertama kali mereka bertemu. Lekok tahu, mesti tidak pernah mengeluh, istrinya merasakan sakit yang teramat sangat. Apalagi kala dingin menyerang  di rumah mereka yang sederhana, suara batuk istrinya seakan menikam jantung Lekok. Perih.

Pagi-pagi sekali, setelah menyantap hidangan yang disediakan istrinya, Lekok mengambil peralatan yang biasa ia gunakan menyusuri goa—baterai, tali, pisau, golok, dan tangga bambu, juga galah yang biasa ia manfaatkan untuk menjangkau sarang-sarang walet yang ada di tempat yang lebih tinggi.

Meski berat dan sangat ingin menghentikan langkah suaminya untuk berburu sarang walet pagi ini, Mandok tetap memperhatikan suaminya dalam diam, berdoa agak suaminya kembali pulang dalam keadaan sehat.

*** 

Sendirian, Lekok mulai menyusuri pantai. Jarak goa yang ia tuju sangat jauh. Kalau tidak ingin ketinggalan dengan rombongan yang lain, ia harus berangkat lebih awal dari biasanya. Meski peralatan yang mereka gunakan sangat sederhana, pekerjaan ini membutuhkan kerja sama dan risiko yang sangat berat. Sudah banyak Lekok menyaksikan teman-teman seprofesinya meninggal secara tragis ketika sedang bekerja. Dinding-dinding goa yang licin, pengap, dan gelap, sangat menyulitkan mereka menggapai sarang walet yang umumnya menempel di langit-langit goa. Toh, semua itu tidak menyurutkan niat Lekok. Di setiap langkahnya yang terbayang hanyalah wajah kuyu istrinya, menahan sakit berkepanjangan, ia ingin istrinya segera sembuh.

Bagi Lekok, menyusuri tiap  goa di sepanjang pantai pesisir ini, memberikan banyak kisah, banyak ketakutan dan kekhawatiran yang mengendap di dadanya, terutama ketika ia menatap di kedalaman goa yang gelap. Ada perasaan asing dan aneh yang mistis ketika ia mulai melangkahkan kaki memasuki goa.

Banyak cerita, banyak kisah yang ia dengar dari kecil mengenai keberadaan goa-goa yang ada di bibir pantai, terutama kisah tentang pemilik goa tersebut yang diyakini masyarakat sebagai matu, sebuah kerajaan yang teramat besar di alam gaib yang dipimpin oleh seorang putri cantik, yang menurut kepercayaan sebagian masyarakat merupakan pemilik sah dari liur-liur yang di hasilkan walet. Karena itu, setiap hendak memasuki suatu goa, Lekok dan rombongan terlebih dahulu melakukan ritual, permohonan kepada penunggu goa sehingga mereka bisa melakukan aktivitas dengan tenang dan selamat.

***

Percaya atau tidak, matu begitu mengakar dalam setiap langkah para pencari sarang walet sehingga adakalanya ketika mereka mendapatkan kesialan, mereka sengaja atau tidak menghubung-hubungkan semua peristiwa dengan kemarahan sang matu. “Barang kali ada yang tidak matu suka dari kita, atau ada di antara kita yang berpikiran jelek ketika di dalam goa," seperti itulah yang ada di kepala setiap anggota rombongan.

Konon, menurut cerita yang didengar Lekok dan telah dikisahkan turun-temurun para orang tua kepada anak-anak mereka di pekon, matu tidak hanya sekadar penguasa goa-goa walet, tetapi mereka juga penguasa lautan. Mereka memiliki kerajaan terbesar di alam gaib yang hanya orang-orang tertentu saja bisa melihat dan mengunjunginya.

Matu bukan makhluk jahat. Ia malah dipercaya sebagai pelindung dan pemberi berkah, terutama bagi mereka yang memiliki kaul. Karena itu, untuk menjembatani hubungan antara manusia dan matu peran juru kunci sangatlah utama.

Lekok sendiri pernah beberapa kali melihat penampakan dari kalangan mereka ketika tengah berada di atas ketinggian berusaha menggapai sarang walet dengan tangannya. Dalam penglihatan Lekok, makhluk yang disebut matu itu nyaris memiliki aktivitas sama dengan manusia, mereka memiliki perkampungan-perkampungan dengan aktivitas yang padat. Dan, Lekok selalu ketakutan bila melihat itu. Tapi, ia selalu diam sambil melanjutkan pekerjaannya.

***  

Ketika berangkat tadi, langkah kaki Lekok terasa sangat berat. Rasanya sulit meninggalkan rumah, meninggalkan istrinya yang sedang sakit. Tapi Lekok tak ada pilihan lain. Masa panen di pekon belum dimulai. Itu artinya tidak ada lagi tempat bekerja kecuali mengikuti rombongan menyelusuri goa-goa di sepanjang pantai.

Matahari sudah menampakkan sinarnya ketika Lekok dan rombongan tiba di mulut goa, meraba-raba jalan di antara bebatuan licin tanpa penerangan memadai, Dari aroma kotoran walet yang tercium tajam bercampur pengapnya udara pagi lekok bisa menebak bahwa di dalam sana banyak walet walet yang menetap dan tentunya banyak juga sarang yang mereka buat. Membayangkan itu semua anggota rombongan makin bersemangat makin dalam menapaki lorong-lorong goa. Dan, Lekok tidak bisa menepis ingatan akan  istrinya. Ia begitu bersemangat memanjat dinding-dinding goa hingga tidak menghiraukan betapa licin dan berlumutnya bebatuan yang ia pijak. Tangannya terus menggapai di ketinggian hingga ia merasa semakin tinggi, tinggi di awan. Tiba-tiba ia merasa dihempas hingga ke dasar bumi. Meski samar ia masih sempat menangkap jeritan panik teman-temannya, ia hanya bisa memejamkan mata semua menjadi gelap.

***

Seperti biasa Mandok melakukan pekerjaan sehari-hari. Dengan tubuh yang lemah, ia membereskan rumah memasak nasi dan lauk sekedarnya. Ia kemudian segera membersihkan diri, mengenakan pakaian terbagus yang ia miliki. Hari ini Lekok suaminya pulang setelah perjalanan jauh  menyelusuri gua-gua di bibir pantai. Mandok ingin menyambut kepulangan suaminya dengan dandanan yang paling cantik. Perempuan itu tersenyum sambil menyisir rambut hitamnya.

Hari menjelang senja, Mandok tidak mengalihkan pandangannya dari jalan di ujung pekon. Ia melihat rombongan yang sama ketika hari keberangkatan suaminya. Ia bisa mengenali mereka satu per satu, ada Jarwo, Marto, Mardi, dan beberapa anggota rombongan di belakangannya. Mereka membawa sesuatu seperti mengusung sesuatu di atas tandu.

Mandok tidak memperhatikan mereka semua. Ia sibuk mencari-cari sosok suaminya. Kenapa suaminya tidak terlihat di antara rombongan? Ke mana ia? Apa ia sengaja berada di belakang rombongan hingga tak terlihat? Berbagai pertanyaann muncul di benak Mandok. Hingga rombongan sampai di halaman rumahnya. Mandok masih saja sibuk mencari-cari.

Beberapa orang itu pun menurunkan sesuatu dari atas tandu tepat di hadapan Mandok. Mandok terpaku. Matanya membelak dengan tubuh kaku. n


Lampung Post, Minggu,13 April 2014


Sunday, April 6, 2014

Batu Serampok

Cerpen Tita Tjindarbumi


TELAH bertahun-tahun aku menunggu kesempatan ini. Pulang kampung, menghirup udara segar tanah kelahiran yang bau tanahnya tak pernah hilang dari penciumanku. Bahkan telah pula kususun dengan detail agenda selama berada di negeri beraroma lada. Dulu, ketika orang tuaku masih kaya, hampir sebulan sekali aku dan adik-adikku diajaknya ke kampung.

Di kampung ayahku selalu bilang, ”Ini tanah leluhur kita. Tidak akan habis tujuh turunan meski dibagi dengan anak cucu kalian kelak.” Waktu itu aku tidak begitu peduli apa yang diucapkannya. Yang kuperhatikan adalah kembang cengkih yang muncul di ketiak daun.

Bentuk bunga cengkih sungguh aneh namun indah. Aku suka sekali harum aromanya yang khas. Apalagi jika telah dipetik dan dijemur. Bunga cengkih itu telah menjadi kering dan kata ayahku harganya mahal sekali. Petani di kampungku makan dari upah memetik cengkih.

Selain melihat kebun keluarga, ayah juga memberi tahu letak tanah keluarga yang sama sekali tak menarik bagiku. Entah berapa hektare luasnya, yang kuingat ayahku pernah bilang, ”Di mana letak tanah yang kau suka, Imah. Jika kau suka laut, ambil yang paling dekat dengan pantai. Jika kau pilih yang belakang, nanti tertutup dengan bangunan lain.”

Aku diam. Tak begitu paham. Buat apa aku tanah? Aku memang suka laut. Debur ombaknya selalu membuat imajinasiku menari-nari. Tetapi tak terpikir olehku tinggal di tepi pantai. Selain sepi, aku ingin pergi merantau. Lepas dari urusan keluarga yang menurutku ruwet dengan berbagai urusan silsilah, adat istiadat. Lagi pula aku tak bermimpi bersuamikan lelaki asli daerah ini. Bukan tak cinta pada daerah, tetapi aku tak suka dengan adat istiadat yang ribet.

Aku suka kesederhanaan. Cinta bagiku adalah urusan perasaan. Bukan transaksi antara dua keluarga besar yang mengedepankan derajat keturunan atau gelar-gelar. Bahkan, jujur, aku tak mengerti apa yang mereka sebut “adok”. Bagiku ketika hatiku bergetar saat bertemu lelaki yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya, itulah cinta yang sebenarnya. Tak peduli ia dari keluarga keturunan ningrat atau orang biasa.

Siapa yang mampu menampik rasa cinta? Tak perlu bicara adat, sebab adat tak selalu bisa menyelesaikan persoalan hati. Mungkin adat hanya tepat mengurus soal waris dan bukan soal hati. “Kamu bisa minta apa saja dari ayah, tetapi tidak restu menikah dengan lelaki yang tak jelas asal usulnya!” Begitu ucap ayah saat kukatakan bahwa Lanang, lelaki berdarah Jawa itu akan datang untuk meminangku.

Suara ayah tidak keras tetapi sangat tegas seperti tak bisa ditawar. Darahku serasa bergerak cepat naik ke kepala. Aku perempuan Lampung yang mewarisi kekerasan hati keluarga, tak bisa diperlakukan sewenang-wenang. Ini urusan hati. Bukan urusan warisan yang sudah ada aturan tetapi masih tetap ada kompromi.

“Ayah, saya tidak meminta apa-apa, hanya restu. Dan saya sudah menentukan pilihan hidup saya. Apa pun risikonya, akan saya terima,” kataku tenang meski darah telah bergejolak. Aku ingin berteriak, tetapi percuma. Aku tahu persis siapa ayahku. Ia tak akan menggadaikan martabatnya hanya untuk sebuah restu. Bagi ayah memberi restu sama saja mempermalukan diri dan keluarga. Selain itu, ternyata ayah telah menjodohkanku dengan anak kerabatnya yang turunan ningrat, kaya raya, dan tanahnya berhektare-hektare ada di mana-mana.

Aku tahu, menjadi pembangkang terlalu besar risikonya. Tetapi aku tak akan pernah mundur. Meski begitu, aku juga tak mau bersikap konyol. Aku harus mendiskusikan pada Lanang. Aku butuh dukungan Lanang. Terutama keberanian Lanang agar apa yang sudah kupikirkan tidak hanya keinginan aku semata. Lanang harus punya keberanian dan nyali yang kuat jika ia memang mencintaiku. Dan aku tak begitu yakin soal itu.

“Kita harus bertemu,” kataku pada Lanang lewat telepon. Tegas. Aku tak ingin menangis meski hatiku galau. Darah Lampung, piil (gengsi)-nya terlalu tinggi. “Ya, tentu. Bisakah menunggu sampai selesai jam kantor?” jawab Lanang dengan suaranya yang tenang. Sama sekali tak terkesan ia mengkhawatirkanku. Inikah lelaki yang membuatku jatuh cinta? Bahkan seperti manusia tanpa logika?

“Tidak! Aku mau sekarang kamu datang menemuiku,” kataku memaksa. Lalu aku menyebutkan nama sebuah tempat di mana kami sering ke sana memandang laut, ombak yang bergulung-gulung dan pantai yang seksi. Di sanalah aku pertama kali merasakan getar cinta itu. Entahlah... jatuh cinta karena keindahan laut yang menghipnosis sehingga membuat Lanang terlihat sebagai lelaki yang hebat? Atau karena Lanang memang lelaki yang hebat dibandingkan lelaki lain yang mengejarku dengan modus yang mudah sekali kutebak. Karena aku pewaris tunggal kekayaan orang tuaku.

Hari itu aku menunggu Lanang sampai senja. Aku duduk sendirian memandang debur ombak yang bergulung-gulung. Biasanya aku selalu tersenyum setiap melihat ombak yang berkejaran menuju bibir pantai. Tetapi tidak saat itu. Hatiku cemas. Sebentar-sebentar aku menarik ujung lengan jaket yang menutupi lenganku hanya untuk melihat jam. Berkali-kali kucoba menelepon Lanang, tetapi ponselnya tidak aktif. Pesan singkat yang kukirim tak ada satu pun yang ia jawab.

Ke mana Lanang. Orang kantornya yang menerima teleponku mengatakan Lanang sudah keluar kantor beberapa jam yang lalu. Ke mana? Hingga menjelang mangrib Lanang tak muncul. Aku pulang dengan seribu tanya dan hati tak menentu.

Tak ada yang tahu Lanang ke mana. Bahkan tak satu pun teman kami mengetahui keberadaan Lanang. Seminggu tak ada kabar tentang Lanang, bagiku sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Lanang memang tidak akan muncul dan mewujudkan impianku untuk terus bersamanya dalam kapal yang sama. Lanang hanya sebuah lukisan buram masa laluku.

Berbulan-bulan aku menyendiri. Mengurung diri di kamar. Tak ingin bicara pada siapa pun bahkan seperti manusia dungu yang patah arang karena cinta yang kuimpikan begitu indah hanyalah fatamorgana.

***

Tak mudah melupakan Lanang. Ia lelaki baik. Lembut dan selalu saja penuh perhatian dan pengertian. Aku masih penasaran mengapa hari itu ia tak datang bahkan tak ada kabarnya. Setelah bertahun meninggalkan tanah Lampung, tak satu pun lelaki dapat menggantikan posisi Lanang di hatiku. Bagiku, rasanya aku masih mempunyai utang janji: janji untuk menikah dengannya. Aku tak peduli usiaku kian bertambah. Aku ingin tahu pasti mengapa Lanang tak datang hari itu. Jika saja ia bilang bahwa ia tak bisa menikahiku karena sesuatu alasan tentu, aku tidak akan sepenasaran ini. Bahkan, mungkin aku telah bisa membuka pintu hatiku untuk lelaki lain.

Upaya ayah dan ibu untuk memintaku kembali tak sedikit. Aku belum ingin kembali dengan luka yang masih basah. Aku butuh penjelasan. Sampai berita terakhir soal ibuku yang sakit-sakitan. Terbayang wajah ibuku yang lembut, ah rasanya aku sudah menjadi anak durhaka yang egois. Lari dari rumah hanya karena sepotong hati yang patah. Padahal ibuku tak pernah berhenti mengkhawatirkanku. Lalu kubiarkan ayahku mengirim orangnya untuk menjemputku. Aku memilih naik darat meski sebetulnya naik pesawat lebih menghemat waktu. Tetapi aku punya alasan yang tak bisa ditawar. Aku ingin berhenti di tempat aku dan Lanang memandang keindahan alam. Pantai Batu Serampok yang juga dikenal dengan nama Tikungan Patah Hati.

Hmm... aku baru sadar mengapa tempat itu disebut tikungan patah hati. Pantai itu kini tak seindah dulu. Sekarang berisik dengan suara mesin pemecah batubara. Lautnya yang dulu indah kini tak terlihat lagi. Tetapi aku tetap ingin duduk sejenak di tempat itu. Setidaknya....

“Hai... sudah sore sebaiknya jangan sendirian di tempat seperti ini,” tiba-tiba saja teguran itu membuatku menoleh. Dan suara itu seperti tidak asing. “Ka...mu?” Aku terbata-bata begitu melihat lelaki dengan kemeja kotak-kotak dan celana jins berwarna biru pekat berdiri tak jauh dari posisi dudukku.

Lelaki itu tersenyum tipis. Matanya memandang ke arah lain, seperti tak berani membalas tatap mataku yang tak lepas dari sosoknya. Aku ingin memeluknya, tetapi lelaki itu seperti tak ingin aku mendekatinya. “Pulanglah, Imah. Jangan lama-lama di sini. Sudah magrib,” katanya lagi seakan mengusirku.

Aku diam. Tak peduli pada kata-katanya. Aku ingin bicara banyak hal, termasuk bertanya mengapa ia tak datang. “Lanang... ke mana saja kamu selama ini?” tanyaku. ”Mengapa kamu tak menepati janjimu?” kataku setengah berteriak. “Kamu jahat! Aku kecewa padamu!” aku terus berteriak kencang lalu mendekatinya dan memukuli tubuh Lanang yang hanya diam. Pasrah.

“Pulanglah, Imah. Sudah gelap nanti kamu sakit. Udara malam di pantai ini tak baik untuk kesehatanmu,” kata Lanang lagi lalu membimbingku, setengah memaksaku turun dari bebatuan.

“Kamu harus ikut aku ke rumah. Dan katakan pada ayahku bahwa kita akan menikah!” kataku lagi memaksa Lanang untuk ikut pulang bersamaku. Lanang diam saja. Ia menuntunku, memegang erat lenganku seakan takut aku terjatuh. Oh, ternyata Lanang masih perhatian padaku. Ia masih mencintaiku.

***

Mobil yang membawaku berhenti di depan rumah keluarga. Bangunan itu masih seperti dulu, terawat dan tetap hijau. Ibuku penyuka tanaman. Seseorang membangunkanku. “Ke mana Lanang?” tanyaku cepat ketika melihat tak ada Lanang di dalam mobil selain pegawai ayahku. “Siapa Lanang?” tanya Udin, sopir ayahku.

“Temanku yang menuntunku ke mobil!” kataku cepat dengan mata nyalang mencari Lanang ke setiap sudut di dalam mobil. Mereka yang masih berada di dekat mobil berpandangan. Aku bingung. Ada apa? “Maaf, Non. Tadi Non masuk mobil sempoyongan. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa!”

Alamak! Jadi yang kutemui di pantai Batu Serampok tadi siapa? Tanpa sadar air mataku langsung bercucuran. Itukah jawabannya mengapa Lanang tak datang hari itu? Lalu mengapa ia tak tahu kabar buruk itu? Apa penyebabnya? Rasanya kakiku tak memijak tanah. Bumi berputar lebih kencang dari putaran gasing. n


Lampung Post, Minggu, 6 April 2014