Sunday, June 29, 2014

Di Bubungan Atap

Cerpen Marina Novianti



Mei 2014

ADA yang istimewa di bubungan atap. Burung–burung cokelat gemar bertengger di sepanjangnya. Mereka membentuk barisan teratur para penggosip mungil. Saling mendekatkan kepala satu sama lain, bertukar kabar angin tentang dunia dan segala kisaran rasa. Cericip mereka riuh gaduh, asyik sekali agaknya! Aku tak habis pikir, mengapa mereka memilih beramai–ramai hinggap di bubungan atap. Padahal pasti kaki, sayap, dan tubuh berbulu cokelat mereka nyaris hangus, terpanggang terik matahari. Tapi entahlah. Ini masalah rasa, kurasa. Wah… aku sedang berlagak memiliki perasaan rupanya. Hahaha!

“Hahaha! Mana mungkin kau bisa sembunyi dariku? Mau lari ke mana, hah?”

Hari ini ada pengunjung baru. Warnanya bukan cokelat, tapi biru berkotak-kotak merah. Dia tak bersayap. Ya, dia bukan burung, melainkan gadis kecil berkuncir dua. Dan dia jelas bukan anggota barisan penggosip. Sedari tadi dia diam. Kepala yang tertutup rambut hitam lebat dikuncir dua tunduk tak bergerak. Tampaknya ia terus menatap ke bawah atap.

Sesekali dia menghela napas, ekspresi wajahnya berubah–ubah dari kaku seperti papan menjadi berkabut. Sinar matanya terkadang berkilat memantulkan silau langit, adakalanya berpendar didesak air yang hendak mengalir keluar. Gadis kecil ini duduk seperti patung di bubungan atap. Akhirnya burung-burung cokelat memutuskan dia bukan ancaman bagi mereka, dan kembali hinggap berbondong-bondong, tak sabar untuk melanjutkan gosip berisik mereka.

“Sudah, diam saja! Kalau kau berontak, kau yang kesakitan. Bukan aku. Kalau kau berteriak, mulutmu kusumpal nanti. Diam!”

Aku terus mengamati gadis kecil berkuncir dua itu. Untuk ukuran seorang bocah, dia telah duduk diam terlalu lama di bubungan atap. Oh ya, aku tahu banyak tentang bocah-bocah! Sering mereka datang dan duduk di bawah naungan rindang daun–daunku yang memberi hidangan oksigen tiap hari untuk dunia. Mereka duduk terengah-engah dengan tubuh berkeringat sehabis berlarian mengejar angin atau apapun yang menurut mereka layak dikejar. Tapi gadis kecil ini, bukannya berlarian, dia memilih duduk diam berjam-jam di bubungan atap. Padahal panas genteng yang kasar pasti menggigit kulit cokelat susunya. Cokelat susu, kecuali di beberapa bagian. Ada biru kehijauan di pelipis mata, leher sebelah kiri, dan pergelangan tangannya. Mengapa, dia tak memilih untuk duduk di salah satu dahanku? Mengapa harus di bubungan atap? Bersama angin siang, ranting-rantingku melambai-lambai resah, mencari jawaban di udara. Namun sia-sia. Udara hanya tersenyum dan bersiul tinggi rendah, menertawakan tingkah polah dunia.

“Apa kau bilang? Pembohong cilik! Sembarangan mengarang cerita tentang Pak Wandi! Mana mungkin? Dia sangat baik…Berani-beraninya kau, bocah kerempeng memfitnah Pak Wandi? Kurang ajar!”

Ibu-ibu bermunculan dari balik berbagai pintu rumah. Anak – anak mulai beranjak dari duduk mereka di akarku, mematuhi panggilan ibu masing-masing. Matahari semakin intim mendekatkan diri pada kaki langit, bersiap memulai kencan dengan kekasih rahasianya yang bersembunyi di sana. Mahkota bunga di rumpun halaman merundukkan helai-helai kelopak, bentuk pengertian terhadap berkurangnya intensitas cahaya di udara. Burung–burung cokelat pun seolah mendengar panggilan malam, terbang meninggalkan bubungan atap sendirian.

Oh, tidak. Masih ada si gadis kecil berkuncir dua. Dia tak tampak hendak meninggalkan bubungan atap. Dan memang tak ada sosok seseorang atau suara yang memanggil-manggil untuk pulang. Tubuhnya nyaris menyerupai bayang-bayangnya sendiri. Sulit buatku terus mengamati raut wajahnya, cahaya semakin redup.

“Coba-coba mengadu ya? Sudah kubilang, takkan ada yang percaya padamu, bodoh. Kau hanya anak kecil yang bengal, tak bisa diatur. Semua orang bilang kau aneh dan gila. Aku kan guru yang disegani. Mana mungkin mereka lebih mendengarkanmu? Sudah, diam saja. Buka mulutmu. Lama–lama kau juga suka.”

Lama-lama, tubuh gadis kecil berkuncir dua semakin menyatu dengan bayang-bayang malam. Aku hampir tak bisa membedakan sosoknya dengan bentuk kanopi pohon lain di belakang bubungan atap. Bersama menurunnya suhu udara malam, dunia mulai menurunkan volume keriuhannya. Dan barulah terdengar sekarang, gumam lirih, cenderung merintih yang menguar dari sosok gelap gadis kecil berkuncir dua.
 
“Sakit, Pak. Sakit, Bunda. Kenapa kalian tak percaya padaku? Kenapa kalian pukuli aku? Sakit, Pak. Sakit, Bunda. Kenapa…”

Sekarang aku benar-benar ingin tahu bagaimana sebenarnya merasa. Suara lirih tersendat cairan tubuh seperti ini tak pernah kudengar dari makhluk hidup lain, kecuali dari seekor ayam sekarat yang lehernya setengah putus disembelih, masih tersisa napas satu dua. Aku ingin tahu bagaimana rasa sakit yang dirasakan gadis kecil berkuncir dua, hingga membuatnya merintih berulang-ulang sedari tadi, demikian rupa. Aku juga ingin tahu mengapa rumah besar di bawah bubungan atap ini begitu lengang. Tak menunjukkan kehidupan keluarga yang mencari-cari, bertanya ke mana si gadis kecil berkuncir dua, mengapa dia belum pulang juga.
 
“Aku ingin tahu, kalau sudah besar nanti, kau masih ingat tidak yang baru kita lakukan tadi. Buatku nikmat sekali. Mungkin saat kau dewasa,  kita bisa bertemu dan bernostalgia bersama. Hahaha!”

Gadis kecil berkuncir dua tertawa singkat, di sela-sela napasnya yang tercekat rintih. Tawa yang aneh, menurutku. Perlahan, dia mulai berdiri. Tubuh mungilnya berusaha tegak di atas bubungan atap. Ironis, betapa baju biru berkotak-kotak merahnya tampak gagal melindungi ringkihnya tubuh yang kurus kecil.

Malam semakin pekat, gelap semakin berkuasa. Sosok tegak yang limbung sudah menyatu dengan kelam, namun sorot mata si gadis kecil berkuncir dua tampak menyala-nyala.
 
“Aku tak ingin bertemu denganmu lagi, Pak. Tidak nanti kalau aku sudah besar, tidak juga besok. Aku tak mau sakit lagi, Bunda. Aku mau terbang saja.”

Saat itu lampu jalan mulai menyala. Sorot mata gadis kecil berkuncir dua tampak berkilat memantulkan cahaya. Untuk pertama kalinya, senyum mulai mengembang di wajah lembab mungil. Ia menegakkan diri, tampak seperti puncak kepalanya ditarik oleh temali alam semesta yang terulur dari langit. Tubuh gadis kecil berkuncir dua bergerak seperti hendak menari. Dengan senyum di wajah dan pendar di mata, dilangkahkannya kaki ke depan, meninggalkan bubungan atap. Tubuhnya yang ringan melayang sesaat, seolah bimbang memutuskan hendak terbang menyusul burung-burung cokelat atau mendarat ke pelukan tanah. Ia sungguh–sungguh tak ingin lagi bertemu dengan siapa pun. n


Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2014

No comments:

Post a Comment