Sunday, July 6, 2014

Capucino Kenangan

Cerpen Tita Tjindarbumi


Secangkir kopi cappucino yang kuseduh malam ini membuat aku terkejut. Tiba-tiba aku menyadari bahwa ternyata kita menggemari rasa kopi yang sama. Lebih terkejut lagi karena aku melihat bayangmu pada uapnya yang mengepul, padahal sudah kulipat ingatanku tentangmu. Ah, perempuan bermata embun.
                     
***

MENCINTAI dan dicintai bukanlah sesuatu yang pernah kita rencanakan apalagi hadirnya dibuat-buat. Ia datang menyusup serupa udara yang kita hirup, memenuhi rongga dada yang terkadang justru membuat kita kelelahan. Barangkali karena fakta yang berlari melaju terlalu dini mencapai garis finis, sementara kita masih bersiap-siap di garis start untuk melangkah mencetak jejak, mengambil sekadar pilihan.

Dan…kita seperti dua manusia yang tersesat di hutan belantara yang gelap. Tak membawa perbekalan dan juga peta!

Baru kusadari, cinta saja memang tak cukup untuk berjalan sampai di tujuan, sebuah rumah cinta yang selalu ramah dan memberikan rasa nyaman dan aman. Kuakui, menepis semua godaan memang tak semudah membalik telapak tangan. Perhatian dan kasih sayangmu terasa belum menyempurnakan hidupku yang terbiasa dengan lompatan-lompatan yang menggairahkan. Jauh di dasar hatiku, aku menginginkan dirimu seperti perempuan lain yang mengejar-kejar diriku. Sepertinya mereka tak peduli dengan segala urusan yang bernama cinta. Bagi mereka bersamaku jauh melebihi rasa cinta.

Sayangnya, kau bukan mereka. Dan tak akan pernah bisa menjadi mereka!

Pernah di suatu kesempatan percakapan kita yang tak pernah bisa berdurasi panjang, bagaimana kau menyimpulkan bahwa "cintaku hanya sebuah retorika" dan hanya sekadar konsep yang tak mewujud dalam tindakan nyata. Merangkum semua ucapanmu, selalu kusimpulkan bahwa realitasnya adalah; ada dia suamimu, seseorang yang nyatanya selalu ada dan setia menunggumu meskipun ia tahu cintamu kini untukku.

Dalam kenyataan yang sama, di ruang kosong hatiku yang lain, masih ada seorang perempuan yang tak lagi asing bagimu dan kau selalu menyebutnya sebagai musuh abadi. Aku dan terlebih dirimu, sering membuat kesimpulan yang sama: bahwa kita hanya membuang waktu untuk hal yang tak mungkin bisa tergapai. Kita, terlebih dirimu hanya membuang energi yang seharusnya energi itu dapat kau manfaat untuk hal yang lebih berarti dari sekadar mencintaiku, lelaki yang kau sebut manusia ambigu!

Itu sebabnya, tak bisa kupersalahkan ketika matamu tak lagi menatapku penuh binar. Jemarimu tak lagi bergetar setiap rindu ini tak kuasa kutahan dan rasa itu ingin kutumpahkan meski hanya sebatas menggenggam jemarimu yang tak pernah berhenti bekerja. Kau terkadang seperti arus yang mengalir jauh menuju samudera luas.

“Jika hanya ini yang dapat kau berikan, aku tak akan menampiknya,” ujarku ketika jemarinya dingin berada di genggamanku.

Bibir yang warnanya selalu berwarna cokelat soft itu terkatup. Kau menatapku sejenak. Tidak lebih dari lima detik. Dadaku ingin pecah menahan getar yang menggila.

Ah, sepertinya aku sedang mengalami tsunami hati. Ombak naluri bergulung-gulung. Naik turun membuncah dan pecah di tepian menyebarkan buih.

Aku bisa gila setiap berhadapan denganmu, perempuan yang kurasakan membalas perasaan cintaku dengan sinyal-sinyal yang berpendar dari matanya yang berembun, tuturnya yang membuatku ingin mengulum setiap kata yang terucap dari bibir yang selalu terlihat seksi dan menggoda berahi.

“Hanya ini yang kupunya,” jawabnya pendek. Rambutnya yang panjang tergerai meriap kena angin yang masuk lewat jendela ruang tamu yang selalu ia buka lebar setiap aku berkunjung.

Aku diam. Menunggu sekian detik sinyal dari bahasa tubuhmu. Yang kubayangkan ternyata memang terlalu berlebihan. Kau tetap saja seperti arca yang terbuat dari pualam. Dan aku tak berani menyenggolmu. Aku tak ingin membuatmu retak. Lebih tepatnya, aku tak ingin kehilanganmu jika nekat memperlakukanmu seperti perempuan-perempuanku, pendahulumu.

“Aku tak bisa memberimu lebih, kau tahu alasanku,” katamu lagi.

Aku kembali menatapmu. Aku tahu kau perempuan normal yang butuh sentuhan. Namun tetap saja ketakutan akan kehilanganmu jauh lebih kuat dan membuatku tak berdaya.

Setiap menghadapi kenyataan ini, aku merasa menjadi lelaki tanpa taring. Kadang ingin kuterjang semua keraguan dan ketakutan yang sepertinya telah berhasil mengangkangiku. Membuatku menjadi lelaki tanpa daya setiap berada di dekatmu. Namun, tetap saja rasa cintaku padamu berhasil membuatku menjad lelaki penyabar yang harus puas dengan hanya menggenggam tanganmu.

“Aku akan menjadi pengabdi yang setia jika sudah tiba saatnya,” katamu, saat kau dengan pasti dapat membaca kegelisahanku.

“Berapa lama aku harus menunggu saat yang mendebarkan itu?” tanyaku dengan suara bergetar. Ombak semakin bergulung dan gerakannya nyaris membuatku kehilangan akal sehat.

Darah di otakku bergerak cepat. Aku sudah tak tahan ingin memeluknya.

“Berapa lama? Kita tidak pernah tahu apa rencana Tuhan,” jawabmu lembut dan dengan suara bergetar. Aku terpaku menatapmu.

Jantungku seperti berhenti ketika kau menyebut kata Tuhan. Terasa seperti disengat aliran listrik bertegangan tinggi.

“Ketika kita menginginkan sekarang sementara Tuhan belum berkehendak, maka kita akan dimarahi Tuhan,” katamu lagi, mimik wajahmu serius.  Begitu indah sekaligus kejam caramu menjinakkan kegelisahanku. Begitu jitu caramu menyentil kenakalanku.

Bibirmu tersenyum. Tetapi aku lebih suka memandang matamu yang kian berembun. Kalimatmu sungguh ajaib plus manjur. Dengan sebuah kalimat saja telah membuatku terlempar ke masa lalu yang berwarna hitam.

Diriku seperti domba nakal yang tak pernah mengenal Tuhan.

Aku ingin beringsut melepas genggaman tanganku. Tetapi rasa tak rela itu lebih kuat memenjarakan hatiku. Mematahkan keinginan-keinginanku, terutama melampiaskan kenakalanku. Aku lelaki normal. Begitu anehkah jika aku berharap lebih dari sekadar menggenggam jemari?

Atau justru aku sudah gila? Membiarkan perempuan yang manusia biasa dan kuanggap peri….atau bidadari penyelamat hidupku?

Secangkir capucino seduhanmu memang telah membuatku tak berdaya selain mencintaimu dan rela menjadi si kodok yang merindu rembulan…

***

Aku mendengar sumpah serapah itu serupa gendang bertalu-talu, menggebuk gendang telinga, mencambuk kebodohan, meremuk-redamkan jiwa dan memorak-porandakan batinku. Tetapi apalah arti semua itu jika aku tak bisa melakukan apa-apa, selain marah pada keadaan. Marah pada manusia yang memetak-metakan keyakinan. Marah pada mereka membeda-bedakan tempat untuk menuju Tuhan.

Aku tak bisa marah ketika dirimu mengatakan bahwa Tuhanmu begitu sayang padamu sehingga kau bisa menikmati sekaligus mensyukuri semua beban deritamu meski kau hidup sendirian. Aku ingin mendebatmu ketika kau bilang kesendirianmu karena itu bentuk kasih Tuhanmu yang sedang mengujimu dan kau ikhlas menerima hanya agar kau bisa naik kelas.

Sungguh, kau perempuan yang tak mudah dimengerti jika sedang bicara tentang Tuhanmu. Apalagi kau begitu takut kusentuh hanya karena sebuah kata “dosa”.

Lalu aku? Sikapmu membuatku merasa kau sedang meragu akan diriku. Seakan kau bertanya “Bertuhankah diriku?” Tatap matamu seakan menempatkan diriku di barisan manusia yang penuh dosa karena aku suka berganti-ganti perempuan.

Tuhan…di mana dirimu? Di mana kau letakkan diriku? Apakah Tuhanku berbeda dengan Tuhanmu?

Tubuhku membiru pasrah menikmati kenyataan yang hanya mampu membuatku seperti seorang pangeran tanpa mahkota. Seperti arjuna tanpa anak panah yang hanya bisa menunggu, seperti katamu: ketika tiba saatnya…

Tak banyak aksara yang dapat kususun dalam kata-kata, berbaris menjadi puisi yang mampu membuat jiwaku nyaman menunggumu hingga waktu menjelma binar wajahmu seperti merahnya senja paling ranum di lengkung cakrawala.

Ah…a..aku bukan pujangga yang bisa meruntuhkan keyakinanmu dan menjelma menjadi pangeran yang kau impikan. Pangeran yang diutus Tuhanmu membawa kebahagiaan yang abadi.

Abadi?

Bukankah kau bilang, tak ada yang abadi, kecuali perubahan…

Andai bisa kuputar ulang “Mississippi” tanpa bermaksud merayumu agar kau selalu mengingatku, hingga pita suara laptopmu parau kelelahan menyanyikannya, seolah kaki pengembara yang tergagap langkahnya hingga terbujur di atas padang ilalang yang ujung dedaunnya tajam menusuk sukma.

Andai….

Ternyata aku salah menerjemahkan pesan musim yang datang menyapa rimbun ilalang di rumah cinta, tempat di mana kita pernah saling menggenggam jemari menerima kenyataan yang kejam sebagai kenangan.

Kini jalan pulangmu jadi sempurna sesempurna langkahmu yang purnama saat hujan bulan Juli menyapa iringi lambaian tanganmu yang terakhir di bandara itu, tinggalkan secarik cerita dan sisakan sendiriku yang tak menerima kepergianmu. Maka kubiarkan kau jadi kisah sebuah musim dan melipatnya dalam sunyi yang paling purba.

Aku ternyata salah membaca pesanmu, aku keliru meraba hatimu yang ternyata separuhnya telah pergi hingga badai benar-benar datang menenggelamkan kita di lautan kenyataan. Adalah aku lelaki yang terbungkam ambigu, cuma bisa menyusun rindu lewat aksara. Mungkin hanya terdengar seperti nyanyian camar yang rindukan sarang, maka tak perlu menyalahkan waktu juga keadaan sebab cinta kita mungkin hanya untuk memijak hari kemarin.

Kini saat fajar mulai membuka pagi dengan gerimis paling romantis memasuki musim kehilangan. Ada rasa cemas meremas terasa makin sunyi,  berteman redupnya matahari ketika kau pergi di senja kemarin. Mungkin tak ada lagi suguhan istimewa yang bisa kuberikan padamu andai nanti kau datang singgahi kotaku, sebab kita tak bisa kembali pada jalan yang terpecah oleh keyakinan. Maka pulanglah kau kepadanya…

Begitu sederhana caraku menyelesaikan persoalan. Bagiku mungkin ini jalan paling terbaik untuk kita.

Kita?

“Semua bisa terjadi dalam percintaan,” kataku seakan begitu yakin bahwa dirimu tak akan menangis. Yang ada di kepalaku bermacam-macam jenis kekhawatiran. Tetapi melihatmu tak menangis adalah hal yang paling dominan. Sebab, aku tak akan mampu beranjak pergi setiap melihat air mata perempuan. Mungkin itu kelemahanku. Air mata perempuan pulalah yang membuatku tak bisa menolak kehadiran mereka. Menikmati kemanjaan dan dimanja oleh mereka.

“Ya, saatnya memang sudah tiba,” katamu dengan suara pelan, seperti biasa, membuatku gemas. Aku berharap kau menangis dan aku segera memelukmu.

Lima menit…itu tak terjadi. Justru senyum tipismu menusuk jantungku. Kau memang peri penyelamat bagi dirimu. Bukan peri penyelamat kegelisahanku.

Semusim lalu saat aroma bunga kau tebar dan memasuki relung hatiku yang kosong, kukira kau jelmaan peri yang akan menolongku dari sunyi. Ternyata kau perempuan yang lebih suka membiarkan matamu kian berembun, daripada berlari menerjang rambu yang Tuhanmu ciptakan. Kini aroma bungamu berubah menjadi jeruji sunyi yang memenjarakan hatiku: lelaki ambigu. n

* Catatan di sebuah kota yang tercoret dari petamu, 2 September 2011 pukul 20.22, terinspirasi dari sebuah puisi karya EMP.

                       
Lampung Post, Minggu, 6 Juli 2014

No comments:

Post a Comment