Cerpen Alexander G.B.
DI kamar berdinding cokelat itu ia bangkit, melempar buku karya Murakami yang belum selesai dibaca. Dadanya turun naik, berkali-kali mendengus, melangkah bolak-balik di dekat ranjang, lalu mendekat jendela, memperhatikan jalanan, kabut tipis mulai turun. Ia menuntaskan bir yang tinggal satu tegukan.
Di luar, orang-orang hilir mudik memenuhi jalanan. Setelah menatap jam, ia mengambil pistol yang tersimpan di laci meja. Beberapa saat merasakan dingin pistol yang telah digenggamnya, menimang-nimang, lantas memasukkannya ke dalam tas dan bergegas keluar. Sampai di trotoar, ia melihat beberapa pasangan keluar dari hotel dan restoran.
Sambil mengisap rokok putihnya pelan-pelan, Luna melangkah mendekat ke salah satu pasangan, lalu membidikkan pistol ke arah salah satu pasangan.
"Mengapa kau harus bersama banci itu. Fuck you!" ujar Luna, lebih kepada dirinya sendiri.
Letusan pistol Luna menggema. Lelaki itu roboh sambil memegang dadanya. Perempuan di sebelahnya berteriak histeris dan menutupi wajah dengan kedua tangan, menata sosok Luna lalu memeluk lelaki itu, sambil meraung-raung seperti suara sirene ambulans membelah jalanan.
Dua burung bersayap merah terbang ke langit.
Tak berselang lama tampak kabut semakin menebal, lelaki dan perempuan itu pun tinggal menjelma bayangan, pelan-pelan menjadi dua titik hitam yang semakin kecil lalu lenyap. Namun, suara teriakan wanita itu masih terngiang-ngiang di telinga Luna.
Luna menutup telinga dengan kedua tanggannya, tubuh wanita yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahun ke-26 itu bersimbah keringat. Selimut terlempar ke lantai bersama bantal guling. Ia menggeliat, seperti didekap sesuatu yang sangat kuat, tubuhnya menegang, napasnya kian tak teratur. Sekitar 15 menit kemudian akhirnya ia berhasil membuka mata dan mencoba menyadari apa yang barusan terjadi dengan dirinya, lalu terkulai. Saat itu wajah Luna sepucat mayat dan bibirnya gemetar.
Luna menatap dinding yang ditempeli foto-foto keluarganya, lalu beralih ke langit-langit kamar. Lekas ia mengambil posisi duduk, mengambil bantal dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia mencoba mengingat kembali mimpinya. Namun gagal.
Sementara angin menggerakkan daun jendela, terdengar pula suara detak jam yang memantul-mantul di dinding kamar. Perlahan nafasnya kembali teratur, memeluk kedua kaki hingga dagunya bersandar pada kedua lutut.
Saat kembali teringat pesan ayahnya yang meminta lekas kembali ke Tanjungkarang, wajahnya kembali berubah muram. Tak mungkin menolak perintah lelaki itu.
Dua minggu sudah ia menimbangnya, tetapi tak kunjung bulat keputusannya, terombang ambing antara pulang dan bertahan. Lantaran itu hampir setiap malam ia berkarib dengan mimpi-mimpi ganjil, tentang wanita tua yang matanya menyala, tentang pistol yang tiba-tiba ada di laci meja, pisau, sepasang mata lelaki yang serupa mata serigala, sungai yang sewarna tinta cumi dan gurita dengan bau amis yang menyebar ke seluruh kota.
Barangkali, seluruh mimpi buruk itu bersumber dari sorot mata lelaki dan perempuan itu. Dua sosok yang ia percaya membuat hidupnya kehilangan pukaunya. Ia terjebak pada situasi putus asa dan kehendak untuk mengakhiri hidup lebih cepat dari yang semestinya.
Namun, ada suara penyangkalan yang berbiak di kepalanya. Suara-suara yang bergema setiap malam, sesaat sebelum matanya terpejam. Pada waktu-waktu lain ia terusik oleh bayangan di cermin yang terletak di sebelah kanan ranjang. Cermin itu terkadang menghadirkan sosok yang asing bagi dirinya sendiri. Sosok yang tersenyum dan kerap menampilkan kegembiraan pelayan toko yang pura-pura ramah kepada setiap pelanggan.
Pada titik ini, ia ragu apakah keganjilan yang ia rasakan bersumber dari sepasang mata lelaki dan perempuan itu atau justru dari dirinya sendiri. Kebimbangan ini menyakiti perasaannya sendiri. Keadaan yang membuatnya tak pernah sunggguh-sungguh bisa menikmati hidupnya.
Seperti ketika ia bersama Dani, seorang arsitek yang lembut dan berpenampilan rapi, bertubuh tegap, senyum menawan, cerlang matanya begitu cerah, seperti pagi di bulan Juni. Namun, baru beberapa bulan kemudian, Luna bosan, merasa kehampaan menyelimuti hubungan keduanya. Kembali Luna terusik sepasang mata lelaki itu. Demikian halnya ketika ia menjalin cinta dengan yang lainnya, sepasang mata lelaki itu seperti tak ingin membiarkan Luna menikmati hidupnya.
Seketika ia merasakan senyap merayap ke tepi ranjang, jarum jam dinding mengarah pada angka dua. Masih terlalu cepat baginya untuk meninggalkan kamar dan tampak ia enggan kembali tertidur.
Kota itu masih terlelap, gedung dan atap-atap rumah tampak hitam, lampu yang masih menyala seperti kunang-kunang yang berkerumun, sementara suara jangkerik dan belalang bagi Luna seolah menyusun nada-nada yang melulu kesedihan.
Pada saat-saat seperti ini, sepasang mata lelaki itu kembali memenuhi ingatannya. Sepasang mata yang terkadang menyala di tengah kegelapan, berkilat seperti sepasang mata serigala. Meski kerap timbul rasa takut, diam-diam Luna mengagumi sepasang mata yang terkadang begitu lembut dan menenteramkan baginya.
***
Beberapa saat sebelum Luna berniat menutup kisah hidupnya, ia dikejutkan sepasang mata Robert di kaca jendela. Sepasang mata yang sesekali tampak lembut, misterius, jalang, tak peduli, dan terkadang merupa langit kala senja. Hal yang membuat kaki dan tangan Luna gemetar, hingga pisau yang digenggamnya terlepas. Ia mundur beberapa langkah lalu terduduk di samping ranjang dan segera menyembunyikan wajah pucatnya dengan kedua lutut yang masih gemetar. Pakaian Luna basah oleh butiran-butiran garam yang keluar dari tubuhnya. Ia menggigil, meringkuk dengan bahu yang sesekali terguncang. Sesekali pula matanya—melalui celah jemari—menatap kaca jendela, namun sepasang mata Robert tak lagi ada di sana.
Ya, memang bukan pertama. Sudah beberapa kali aku mencobanya. Tetapi selalu saja gagal pada akhirnya. Selalu saja muncul keraguan atau sesuatu yang menggagalkan niatku. Sebenarnya Ini sangat menyedihkan.
Aku membenci sesuatu yang dulu kerap kamu katakan bahwa hidup hanyalah serangkaian kemungkinan dan kitalah yang memastikannya. Faktanya tak ada kepastian, yang pasti hanyalah ketidakpastian itu sendiri.
Dan aku ingin ia lebih cepat datangnya masa itu. Aku merindukan kepakan sayap malaikat, hingga tuntas semua penderitaanku.
Dari jendela aku menyaksikan dunia yang memutih itu. Aku melangkah sendirian dengan bibir gemetar. Ah, mengapa kau terus mengusikku. Sepasang matamu lagi-lagi membuyarkan keberanianku. Kamu benar-benar mirip patung yang terbuat dari perunggu dengan hati yang terbuat dari timah.
Tetapi mungkin ini salahku, sebab tak kunjung mampu membuang ingatan-ingatan tentangmu. Seandainya aku bisa menghapusmu.... Sayang, kurasa aku gagal.
Tindakan ini bukan didorong rasa frustrasi karena gagal mendapatkan lelaki lain selain darimu. Mereka mencintaiku, hal yang menyedihkan justru aku yang tak kunjung mampu mencintai mereka…. Kamu tahu, karierku cukup membanggakan, gaji lebih dari cukup untuk hidup setiap bulannya, tetapi tetap terasa ada yang tak lengkap.
Tolong. Hentikan. Tidak. aku tidak ingin berpikir. Aku tidak ingin merindukan. Aku tidak ingin apa pun. Aku ingin pergi ke jalan, pohon-pohon menggigil, dunia memutih.
//(Diam, menyeka beberapa butir air yang sempat menggantung di kelopak matanya)//
Aku memutuskan berhenti di sini. Aku ingin membuat sebuah upacara sederhana menjelang tidur panjangku.
Wanita itu, ah, ia terlalu banyak menyimpan jejakmu… Sayang aku juga sangat mencintainya.
Pada saat-saat terakhir seperti ini tiap detik menjadi sangat berarti, setiap kenangan menjadi begitu berharga. Baiklah, sekarang biarkan aku tenang. Biarkan aku tenang, tak membenci atau mencintaimu secara berlebihan.
Apa kau dengar detak jam dinding yang melambat itu?
Angin mendesau. Berkali-kali Luna menghela napas. Sesaat ia memejamkan mata.
Luna…
Luna …
Suara wanita setengah baya membuat Luna terhenyak. Ia mengenali suara itu. Matanya terbuka, lalu bangkit, menoleh ke sana kemari, keluar dari kamarnya. Ia menoleh ke kanan, tak ada siapa pun di ruang tamu.
Ia melangkah masuk ke kamar mandi, memutar shower, memejamkan mata, dan membiarkan air kran yang serupa hujan itu menyentuh kulit kepala dan tubuhnya. Satu jam kemudian ia mulai menggigil dan menyelesaikan upacara di kamar mandi. Sampai di depan pintu kamar ia berhenti sejenak, membayangkan wanita itu termangu di ruang tamu.
Luna telah berganti pakaian, tetapi kembali merasakan kepalanya berdenyut. Sesaat, tubuh Luna bergetar, meremas, merobek kertas atau apa saja yang ada di dekatnya. Debu-debu berlompatan di kamar itu. Matanya berubah merah, dadanya sesak, ribuan jarum seperti menusuk-nusuk kepalanya. Mulutnya terbuka, otot-otot wajahnya menegang. Tangannya gemetar memegangi kepalanya. Ia melihat sebilah pisau tergeletak di lantai berdekatan dengan salah satu kaki meja. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya menegang, lalu terkulai di samping ranjang.
Dan bulan tertutup awan. n
Bandar Lampung, Januari 2014
Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2014
DI kamar berdinding cokelat itu ia bangkit, melempar buku karya Murakami yang belum selesai dibaca. Dadanya turun naik, berkali-kali mendengus, melangkah bolak-balik di dekat ranjang, lalu mendekat jendela, memperhatikan jalanan, kabut tipis mulai turun. Ia menuntaskan bir yang tinggal satu tegukan.
Di luar, orang-orang hilir mudik memenuhi jalanan. Setelah menatap jam, ia mengambil pistol yang tersimpan di laci meja. Beberapa saat merasakan dingin pistol yang telah digenggamnya, menimang-nimang, lantas memasukkannya ke dalam tas dan bergegas keluar. Sampai di trotoar, ia melihat beberapa pasangan keluar dari hotel dan restoran.
Sambil mengisap rokok putihnya pelan-pelan, Luna melangkah mendekat ke salah satu pasangan, lalu membidikkan pistol ke arah salah satu pasangan.
"Mengapa kau harus bersama banci itu. Fuck you!" ujar Luna, lebih kepada dirinya sendiri.
Letusan pistol Luna menggema. Lelaki itu roboh sambil memegang dadanya. Perempuan di sebelahnya berteriak histeris dan menutupi wajah dengan kedua tangan, menata sosok Luna lalu memeluk lelaki itu, sambil meraung-raung seperti suara sirene ambulans membelah jalanan.
Dua burung bersayap merah terbang ke langit.
Tak berselang lama tampak kabut semakin menebal, lelaki dan perempuan itu pun tinggal menjelma bayangan, pelan-pelan menjadi dua titik hitam yang semakin kecil lalu lenyap. Namun, suara teriakan wanita itu masih terngiang-ngiang di telinga Luna.
Luna menutup telinga dengan kedua tanggannya, tubuh wanita yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahun ke-26 itu bersimbah keringat. Selimut terlempar ke lantai bersama bantal guling. Ia menggeliat, seperti didekap sesuatu yang sangat kuat, tubuhnya menegang, napasnya kian tak teratur. Sekitar 15 menit kemudian akhirnya ia berhasil membuka mata dan mencoba menyadari apa yang barusan terjadi dengan dirinya, lalu terkulai. Saat itu wajah Luna sepucat mayat dan bibirnya gemetar.
Luna menatap dinding yang ditempeli foto-foto keluarganya, lalu beralih ke langit-langit kamar. Lekas ia mengambil posisi duduk, mengambil bantal dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia mencoba mengingat kembali mimpinya. Namun gagal.
Sementara angin menggerakkan daun jendela, terdengar pula suara detak jam yang memantul-mantul di dinding kamar. Perlahan nafasnya kembali teratur, memeluk kedua kaki hingga dagunya bersandar pada kedua lutut.
Saat kembali teringat pesan ayahnya yang meminta lekas kembali ke Tanjungkarang, wajahnya kembali berubah muram. Tak mungkin menolak perintah lelaki itu.
Dua minggu sudah ia menimbangnya, tetapi tak kunjung bulat keputusannya, terombang ambing antara pulang dan bertahan. Lantaran itu hampir setiap malam ia berkarib dengan mimpi-mimpi ganjil, tentang wanita tua yang matanya menyala, tentang pistol yang tiba-tiba ada di laci meja, pisau, sepasang mata lelaki yang serupa mata serigala, sungai yang sewarna tinta cumi dan gurita dengan bau amis yang menyebar ke seluruh kota.
Barangkali, seluruh mimpi buruk itu bersumber dari sorot mata lelaki dan perempuan itu. Dua sosok yang ia percaya membuat hidupnya kehilangan pukaunya. Ia terjebak pada situasi putus asa dan kehendak untuk mengakhiri hidup lebih cepat dari yang semestinya.
Namun, ada suara penyangkalan yang berbiak di kepalanya. Suara-suara yang bergema setiap malam, sesaat sebelum matanya terpejam. Pada waktu-waktu lain ia terusik oleh bayangan di cermin yang terletak di sebelah kanan ranjang. Cermin itu terkadang menghadirkan sosok yang asing bagi dirinya sendiri. Sosok yang tersenyum dan kerap menampilkan kegembiraan pelayan toko yang pura-pura ramah kepada setiap pelanggan.
Pada titik ini, ia ragu apakah keganjilan yang ia rasakan bersumber dari sepasang mata lelaki dan perempuan itu atau justru dari dirinya sendiri. Kebimbangan ini menyakiti perasaannya sendiri. Keadaan yang membuatnya tak pernah sunggguh-sungguh bisa menikmati hidupnya.
Seperti ketika ia bersama Dani, seorang arsitek yang lembut dan berpenampilan rapi, bertubuh tegap, senyum menawan, cerlang matanya begitu cerah, seperti pagi di bulan Juni. Namun, baru beberapa bulan kemudian, Luna bosan, merasa kehampaan menyelimuti hubungan keduanya. Kembali Luna terusik sepasang mata lelaki itu. Demikian halnya ketika ia menjalin cinta dengan yang lainnya, sepasang mata lelaki itu seperti tak ingin membiarkan Luna menikmati hidupnya.
Seketika ia merasakan senyap merayap ke tepi ranjang, jarum jam dinding mengarah pada angka dua. Masih terlalu cepat baginya untuk meninggalkan kamar dan tampak ia enggan kembali tertidur.
Kota itu masih terlelap, gedung dan atap-atap rumah tampak hitam, lampu yang masih menyala seperti kunang-kunang yang berkerumun, sementara suara jangkerik dan belalang bagi Luna seolah menyusun nada-nada yang melulu kesedihan.
Pada saat-saat seperti ini, sepasang mata lelaki itu kembali memenuhi ingatannya. Sepasang mata yang terkadang menyala di tengah kegelapan, berkilat seperti sepasang mata serigala. Meski kerap timbul rasa takut, diam-diam Luna mengagumi sepasang mata yang terkadang begitu lembut dan menenteramkan baginya.
***
Beberapa saat sebelum Luna berniat menutup kisah hidupnya, ia dikejutkan sepasang mata Robert di kaca jendela. Sepasang mata yang sesekali tampak lembut, misterius, jalang, tak peduli, dan terkadang merupa langit kala senja. Hal yang membuat kaki dan tangan Luna gemetar, hingga pisau yang digenggamnya terlepas. Ia mundur beberapa langkah lalu terduduk di samping ranjang dan segera menyembunyikan wajah pucatnya dengan kedua lutut yang masih gemetar. Pakaian Luna basah oleh butiran-butiran garam yang keluar dari tubuhnya. Ia menggigil, meringkuk dengan bahu yang sesekali terguncang. Sesekali pula matanya—melalui celah jemari—menatap kaca jendela, namun sepasang mata Robert tak lagi ada di sana.
Ya, memang bukan pertama. Sudah beberapa kali aku mencobanya. Tetapi selalu saja gagal pada akhirnya. Selalu saja muncul keraguan atau sesuatu yang menggagalkan niatku. Sebenarnya Ini sangat menyedihkan.
Aku membenci sesuatu yang dulu kerap kamu katakan bahwa hidup hanyalah serangkaian kemungkinan dan kitalah yang memastikannya. Faktanya tak ada kepastian, yang pasti hanyalah ketidakpastian itu sendiri.
Dan aku ingin ia lebih cepat datangnya masa itu. Aku merindukan kepakan sayap malaikat, hingga tuntas semua penderitaanku.
Dari jendela aku menyaksikan dunia yang memutih itu. Aku melangkah sendirian dengan bibir gemetar. Ah, mengapa kau terus mengusikku. Sepasang matamu lagi-lagi membuyarkan keberanianku. Kamu benar-benar mirip patung yang terbuat dari perunggu dengan hati yang terbuat dari timah.
Tetapi mungkin ini salahku, sebab tak kunjung mampu membuang ingatan-ingatan tentangmu. Seandainya aku bisa menghapusmu.... Sayang, kurasa aku gagal.
Tindakan ini bukan didorong rasa frustrasi karena gagal mendapatkan lelaki lain selain darimu. Mereka mencintaiku, hal yang menyedihkan justru aku yang tak kunjung mampu mencintai mereka…. Kamu tahu, karierku cukup membanggakan, gaji lebih dari cukup untuk hidup setiap bulannya, tetapi tetap terasa ada yang tak lengkap.
Tolong. Hentikan. Tidak. aku tidak ingin berpikir. Aku tidak ingin merindukan. Aku tidak ingin apa pun. Aku ingin pergi ke jalan, pohon-pohon menggigil, dunia memutih.
//(Diam, menyeka beberapa butir air yang sempat menggantung di kelopak matanya)//
Aku memutuskan berhenti di sini. Aku ingin membuat sebuah upacara sederhana menjelang tidur panjangku.
Wanita itu, ah, ia terlalu banyak menyimpan jejakmu… Sayang aku juga sangat mencintainya.
Pada saat-saat terakhir seperti ini tiap detik menjadi sangat berarti, setiap kenangan menjadi begitu berharga. Baiklah, sekarang biarkan aku tenang. Biarkan aku tenang, tak membenci atau mencintaimu secara berlebihan.
Apa kau dengar detak jam dinding yang melambat itu?
Angin mendesau. Berkali-kali Luna menghela napas. Sesaat ia memejamkan mata.
Luna…
Luna …
Suara wanita setengah baya membuat Luna terhenyak. Ia mengenali suara itu. Matanya terbuka, lalu bangkit, menoleh ke sana kemari, keluar dari kamarnya. Ia menoleh ke kanan, tak ada siapa pun di ruang tamu.
Ia melangkah masuk ke kamar mandi, memutar shower, memejamkan mata, dan membiarkan air kran yang serupa hujan itu menyentuh kulit kepala dan tubuhnya. Satu jam kemudian ia mulai menggigil dan menyelesaikan upacara di kamar mandi. Sampai di depan pintu kamar ia berhenti sejenak, membayangkan wanita itu termangu di ruang tamu.
Luna telah berganti pakaian, tetapi kembali merasakan kepalanya berdenyut. Sesaat, tubuh Luna bergetar, meremas, merobek kertas atau apa saja yang ada di dekatnya. Debu-debu berlompatan di kamar itu. Matanya berubah merah, dadanya sesak, ribuan jarum seperti menusuk-nusuk kepalanya. Mulutnya terbuka, otot-otot wajahnya menegang. Tangannya gemetar memegangi kepalanya. Ia melihat sebilah pisau tergeletak di lantai berdekatan dengan salah satu kaki meja. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya menegang, lalu terkulai di samping ranjang.
Dan bulan tertutup awan. n
Bandar Lampung, Januari 2014
Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2014
No comments:
Post a Comment