Sunday, May 26, 2013

Porphyria: Penggemar Pertama

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


Ada perpautan misterius yang terjalin kuat antara penulis dengan penggemar pertamanya. Setidaknya demikian yang dirasakan Amit ketika ia menggenggam tangan Porphyria, di sebuah pantai yang dibungkus senja. Amit mendekatkan wajah dan Porphyria memejam mata. Amit membelai rambut, merasakan perpautan yang menguat di dirinya dengan Porphyria, penggemar pertamanya.

BUKAN mudah bagi Amit untuk menerbitkan cerita pendeknya di koran. Ia butuh dua tahun buat itu. Dua tahun yang penuh penolakan dan kekhawatiran.

Amit telah selesai kuliah strata satu dan orang tuanya menginginkan Amit mencari kerja, seperti teman-temannya yang lain. Kerja apa saja: karyawan di perusahaan swasta, PNS, di bank, apa saja. Asal bukan sebagai penulis. Menurut mereka, hidup penulis tidak sejahtera: tidak ada penghasilan tetap, asuransi kesehatan, apalagi jaminan pensiun. Lebih-lebih, mereka tak suka pula melihat Amit menjadi pemuda asosial, sehari-hari berkurung diri di kamarnya saja.

Selama dua tahun mendengar keberatan dan keluhan kedua orang tuanya, Amit merasa tertekan. Terlebih lagi, dalam dua tahun itu, seluruh teman-temannya telah bekerja, ada yang sering ditugaskan kantor ke luar negeri, ada yang sudah kredit rumah-mobil, ada yang kawin dengan anak orang kaya dan hidup nyaman. Sementara itu, Amit tidak juga bisa membuktikan bahwa ia mampu menjadi penulis. Surat-surat penolakan dari redaktur sastra adalah kematian baginya, seperti pisau tajam yang dihujamkan ke jantungnya, berkali-kali. Amit hampir putus asa, dan hampir menerima ketetapan takdir bahwa ia tidak dilahirkan sebagai penulis, ketika akhirnya keajaiban itu datang. Cerpennya dimuat di sebuah koran lokal!

Sesungguhnya, honor yang ia dapat tidaklah seberapa. Sungguh pun demikian, rasa percaya diri Amit yang sempat terpuruk ke dasar laut, mendadak melambung setinggi langit, melewati tinggi pepohonan dan pegunungan. Ia adalah seorang penulis, akhirnya. Karyanya diakui seorang redaktur sastra! Ternyata Tuhan benar menggariskan ia sebagai penggembala kata-kata, pikir Amit. Mendadak, ia merasa seperti berada di bawah cahaya lampu sorot, segenap pandang orang-orang tertuju padanya, memuji karyanya. Walaupun perasannya itu ilusi semata dan kala hari berganti, seketika itu juga koran yang memuat cerpen Amit dilupakan orang-orang, menimbuni sampah daur ulang dan dijadikan pembungkus pecel atau kacang rebus, Amit tetap menikmati keberhasilannya benar-benar, detik demi detik, dari hari ke minggu, berbulan-bulan.

Orang tua Amit terlihat bangga pula. Mereka bercerita tentang cerpen Amit itu pada keluarga dan tetangga. Dan ini membuat Amit berlega. Selama beberapa waktu, ia tak lagi mendengar keluhan orang tuanya. Ia bisa dengan tenang menumpang tinggal dan makan, seolah dengan terbitnya cerpennya di koran, ia berhak memeroleh apa saja dari orang tuanya.

Amit bertambah rajin menulis. Ia menulis setiap hari. Sewaktu ia tidak menulis, ia akan membaca karya-karya penulis besar, dari dalam dan luar negeri, sembari berpikir: mengapa ia tidak menulis frasa sedemikian baik, dia harus menggambarkan hal lebih detil – seperti cerita yang sedang ia baca, ia bisa mencoba menggunakan plot dan struktur seperti cerita ini dan itu. Singkatnya, di saat tidak sedang menulis, Amit hanya memikirkan tentang menulis.

Suatu pagi, sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam milik Amit: dari seorang penggemar. Pesan itu berbunyi: 'Kak Amit, saya dapat nomor ponsel Kakak dari redaktur koran. Saya penggemar Kakak. Saya suka sekali dengan cerpen-cerpen Kakak. Salam, Ria.'

Hati Amit berbunga-bunga. Walaupun pengirim pesan itu menulis bahwa ia menyukai ‘cerpen-cerpen’nya dan bukan ‘cerpen’, Amit tidak peduli. Ia memang baru menerbitkan satu cerpen saja, tapi penulisan ‘cerpen-cerpen’ itu bukan prinsip bagi Amit. Yang terpenting adalah: ada orang, selain keluarga dan tetangganya, yang mengapresiasi karyanya! Ada orang yang mengaku sebagai penggemarnya!

Setelah bernapas dalam-dalam dan berdehem beberapa kali, Amit membalas pesan itu: 'Ria, terima kasih atas pujiannya. Saya cuma seorang manusia yang resah. Salam, Amit.'

Tidak ada balasan. Amit menunggu gelisah di dalam kamarnya. Setelah dua tahun, baru kali ini ada hal lain, selain menulis, yang memenuhi benaknya. Buku-buku kumpulan cerita pendek dan novel yang bertumpuk di meja belajar, memenuhi rak buku, dan berserak di lantai, tak lagi menarik baginya. Telepon genggam, dan hanya telepon genggamnya saja, yang ia pandangi berlama-lama, seolah dengan demikian telepon itu akan merespon, dengan bunyi masuknya pesan singkat atau, bahkan, dering. Seperti menunggu keputusan redaktur saja!

Dugaan berkelebat cepat, silih-berganti, memenuhi pikirannya: Apa balasannya tadi terlalu singkat? Apa ia salah menulis kata? Apa Ria berubah pikiran, dan tak ingin lagi menjadi penggemarnya? Apa Ria seorang yang hanya ingin menyampaikan perasaan tanpa menginginkan balasan? Ah, mungkin seharusnya ia tidak membalas pesan itu, dan membiarkan rasa bahagia lesap di hatinya. Selama ia tidak menerima balasan pesan dari Ria, selama itu juga Amit menyesali diri.

Tiga hari berlalu, dan akhirnya, ketika Amit masih tertidur, balasan singkat dari Ria masuk: ‘Kak Amit sedang apa?’. Meski singkat, pesan ini membuka hubungan baru bagi Amit dan Ria. Sejak itu mereka kerap berkorespondensi dan bertukar informasi mengenai apa saja: sedang apa, makan apa, baca apa. Kadang Amit mengirim baris puisi romantis, yang kemudian dibalas Ria dengan puisi yang juga romantis.

Bukan di atas kertas atau layar komputer, melainkan di telepon genggam, sekarang Amit banyak menuliskan cerita dan mengungkapkan rasa. Kapan saja dan di mana saja: tatkala matahari baru saja terbit, selama matahari bersinar cemerlang, ketika matahari terbenam dan waktu bulan naik ke langit; di kamar, di meja makan, di toilet, di pesta, di rumah duka. Kedua orang tua Amit bertambah cemas. Apabila kemarin mereka khawatir bercampur bangga, karena sesungguhnya mereka sadar anak mereka berjuang demi meraih mimpinya, tapi kini yang ada kekhawatiran semata.

Sampai Ria mengirimkan pesan, ‘Ria rindu baca cerpen Kak Amit di koran’, barulah secepat kilat Amit berjibaku menulis cerpen lagi. Berbeda dengan cerita yang pertama,  yang dihuni tokoh-tokoh kriminal dan terkesan muram, cerpennya kali ini dihuni tokoh-tokoh yang sedang jatuh cinta dan bernuansa romantis. Tak lama, cerpen itu dimuat koran lokal yang lain!

Ria menjelma semangat Amit menulis, sumber inspirasi dan gelora hati. Amit menerima beberapa pesan singkat dari pengemar lain. Kendatipun begitu, semua tak seindah ketika ia mendapat pesan dari Ria dulu. Penggemar pertama, bagi Amit, seperti keajaiban, serupa sebuah titik terang di tengah lautan kelam kala ia tersesat.

Ria mengajaknya bertemu. Ini pertama kali dalam hidupnya Amit mengkhawatirkan penampilan. Ia mengamati wajah pucatnya, jerawat di pipi, kurus tubuh. Ia takut jikalau secara jasmani ia akan mengecewakan Ria. Di hari pertemuan, Amit mencuci sedan hitam milik ibunya lalu rambut gondrongnya bersih-bersih. Ia mengenakan kemeja dan jins merek terkenal lalu menyemprotkan parfum termahal yang dimiliki ayahnya.

Mereka bertemu di sebuah kafe milik hotel bintang lima, yang terletak di tepi laut. Ria gadis yang cantik: berkulit cerah, berhidung mancung, bibir merah muda tipis, yang selalu terlihat basah. Dan yang paling mengesankan bagi Amit adalah rambutnya. Rambut Ria hitam-berkilau dan panjang sekali, melewati pinggul, hampir menyentuh paha. Ria kuliah bahasa Indonesia semester tiga.

Setelah berkenalan dan menghabiskan minum, mereka berjalan bersisian menyusuri pantai. Dibungkus teduh awal senja, mereka berbincang tentang sastra dan cinta, memandang matahari yang memerah-keemasan. Ria memuji-puji keindahan laut, matahari, nyamannya angin, lembutnya pasir, bentuk umang-umang dan kerang. Perasaan Amit terusik. Ternyata Ria mudah sekali terkesan dan merasa senang. Bukan melulu pada cerpen yang ia tulis, tapi juga kagum pada hal-hal, yang menurut Amit, remeh-temeh belaka.

Saat mereka kembali ke kafe untuk memesan makanan, terdengar bunyi pesan singkat masuk dari dalam tas tangan kulit ungu milik Ria. Ria membuka tasnya, mengambil telepon genggam dan membaca pesan. Perlahan senyum Ria melebar, pipinya bersemu merah muda.

“Robert membalas SMS-ku,” katanya dengan kegembiraan kanak-kanak. Ria menyodorkan telepon genggamnya pada Amit. Pesan itu berbunyi: ‘Ria yang baik, terima kasih telah menyukai novel saya. Salam, RB’.

Amit terhenyak, tapi ia berusaha tak menampakkan kekagetannya. Ia tersenyum, membuka pesan-pesan yang lain. Dan tahulah ia, bahwa Ria bukan hanya mengagumi karyanya belaka, tetapi juga banyak karya penulis lain. Perlahan Amit mengembalikan telepon genggam itu pada Ria, senyum tak lepas dari wajahnya.

“Baik sekali ya. Dia seorang penulis terkenal, tapi masih mau membalas SMS pengemar,” ujar Ria, riang.

Amit meminta Ria pulang bersama. Tapi sebelum mengantarnya ke rumah, dengan alasan ingin melihat mentari terbenam, Amit mengajak Ria kembali ke pantai, kali ini dengan mengendarai mobilnya. Ria tidak keberatan.

Di satu sudut pantai, di balik rimbun bunga ilalang dan leret pokok-pokok kelapa, Amit memarkir mobil. Tak lama, ia menggenggam tangan Ria, mendekatkan wajahnya pada wajah Ria. Ria bergeming, memejam mata, bibirnya perlahan terbuka. Amit membelai rambut Ria, membawa rambut itu melingkari leher Ria yang jenjang, membelit leher sebanyak tiga putaran. Setelah itu, Amit menarik ujung rambut Ria sekuat ia bisa. Ria tak sempat membuka mata, hanya dengkur halus yang terdengar dari mulutnya sebelum ia terkulai.

Amit memainkan tangan Ria, mengangkat-melepas, membuka-tutup mulut dan kelopak mata, seolah Ria cuma boneka tali belaka. Sesudah itu Amit tersenyum, menyandarkan kepala Ria di dadanya, mengelus wajah seraya menggumam lirih, “Ria, Ria, Ria. Penggemar pertamaku. Porphyria yang cantik.”

Lancaster, 14 Maret 2013.

Cerpen ini terinspirasi dari dua puisi Robert Browning: My Last Duchess dan Porphyria’s Lover.


Lampung Post, Minggu, 26 Mei 2013

Sunday, May 19, 2013

Bujang Lapuk

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


Maukah kuceritakan kisah seseorang yang disebut bujang lapok: lelaki lapuk karena lama melajang? Lelaki itu dianggap tidak laku. Ia menjadi mekhanai tohow (bujang tua). Inilah ceritanya.

LELAKI itu memasuki usia 29 tahun, sudah cukup umur sebagai bujang. Di sini, lelaki--bukan hanya perempuan--jika sudah berusia 27 tahun belum juga berumahtangga,  keluarga akan mengecapnya mekhanai tohow 1) alias bujang lapok.2)  Dia akan merasa dikucilkan, layaknya diasingkan.
Apatah lagi, selain usianya sudah menjelang 29 tahun, juga sudah bekerja di sebuah perusahaan BUMN yang bergaji di atas Rp5 juta. Kalau cuma menikahi seorang gadis, tentu tak sulit. Tetapi sampai usianya yang sudah tidak remaja lagi, belum juga punya isteri.

Sebenarnya bukan dia saja bernasib menjadi menganai lapok, karena ayahnya sudah berumur 50 tahun saat menikah dengan ibunya yang janda berusia 28 tahun namun belum punya anak. Pernikahan tanpa didahului perkenalan. Paman yang mencari, paman juga yang meminta kepada keluarga ibu. Untunglah ibu menerima lamaran ayah, sehingga melahirkannya.
Kini lelaki itu merasakan sesuatu yang hampir sama dengan ayah. Bukan karena ia tak punya perempuan yang dicintai. Hanya semenjak lelaki itu mendapat pekerjaan di provinsi lain, membuat hubungan mereka agak renggang. Apalagi, keluarga dari kekasihnya amat kuat menjunjung adat. Seakan adat lebih didahulukan, setelah itu agama.

Begitulah, karena itu wajar banyak perempuan di daerah itu menjadi gadis tua karena tak ada yang berani meminang. Untuk menikah dengan cara melamar kepada keluarga gadis, uang pinangan sedikitnya Rp5 juta, bahkan bisa lebih dari itu semisal Rp75-100 juta.

Kalau dilanjutkan begawi adat3) berarti wajib menyembelih dua ekor kerbau. Berapa ratus juta hanya untuk sehari menjadi raja dan ratu? Kenapa tidak dana yang sangat banyak itu, dimanfaatkan untuk kebutuhan setelah menikah seperti rumah, perabotan rumah tangga bahkan keperluan sehari-sehari.
Namun adat demikian adiluhung dan dihidupkan secara turun-temurun, tidak dibenarkan hilang sekatapun. Setiap masyarakat adat, seperti wajib menjalani tradisi yang dibuat nenek-moyang sebagai adab. Sebelum berhadap-hadapan dengan penghulu, yang hendak menikah terlebih dulu siram-siraman4) di tanggo rajo.5) Selepas menikah, dilangsungkan mosok,6) adok,7) lalu sesan.8)

Sudah selesaikah begawi? Ternyata masih ada pernik-pernik lainnya. Begi keluarga perempuan berduit, bisa digelar pilangan9) maupun cuak mengan,10) baik di rumah gadis serta di keluarga besan.11)

Kalau lelaki itu dari kekuarga berpunya, tak akan ia menjadi menganai tohow, soalnya dengan mudah ia dapat meminang perempuan manapun yang nvdicintainya. Atau ia bisa saja ngeramut12) seandainya ada yang disukai namun si gadis tak merespon. Meramut masih kerap terjadi, meski adat seperti ini menegangkan dan cenderung berisiko besar dibandingkan jika sebambangan,13) yakni kawin-lari.

"Kapan mau mengambil gadis, usiamu sudah layak berkeluarga. Kau sudah bekerja, sudah bisa menghidupi isteri dan anak. Lagi pula ayah dan ibumu sudah rindu menggendong cucu," kata ayah saat ia pulang karena cuti.

Ibu hanya tersenyum seusai mengangguk. Mata ibu bagaikan menunggu jawaban.

Siapa yang tidak ingin berkeluarga? Siapa yang tak merindukan seorang perempuan untuk menemani hari-harinya, kawan di kala suka dan sedih, pengobat saat sakit ataupun duka, serta kawan di saat malam nan dingin? Ia menggumam.

"Bagaimana dengan..." ibu tak meneruskan kalimatnya.

"Bayu sudah menemui kekuarga Pipit, namun kata ayahnya setelah anaknya dapat pekerjaan karena hendak mencicipi hasil dari anaknya. Sebagai orang tua, tentu ingin sekali merasakan hasil keringat sang anak, itulah kebahagiaan tak ternilai dari orang tua sekaligus keberhasilan membesarkan anak. Kecuali..."

"Kecuali apa, Bayu?" desak ibu ingin sekali memeroleh jawaban segera.

"Bayu kira orang tua Pipit maunya kita ngelamar seperti yang dimintanya," ujar Bayu.

"Berapa mereka minta, langsung ayahnya bicara ke Bayu?" kini ayahnya bertanya.

"Pipit pernah ngomong, kalau orang tuanya minta uang lamaran Rp50 juta."
"Apa?" tanya kedua orang tuanya bersamaan, seraya keduanya kaget.
"Tapi Pipit hanya tersenyum. Tak menanggapi orang tuanya. Hanya saat bersama ibunya, ia coba minta pengertiaan dengan menceritakan keadaan keluarga kita."

"Lalu apa kata orang tuanya?" kejar ayahnya.

"Ya itulah kata ayahnya Pipit, tunggu anaknya bekerja dulu baru menikah," jawab Bayu.

"Dengan kata lain, mereka ingin mengulur-ulur waktu?" kata ayah lagi.

Bayu diam. Dia menarik sebatang rokok dari dalam bungkus, kemudian menyalakan. Sejenak ia nikmati hisapan demi hisapan rokok.

"Kamu punya rencana apa dengan Pipit. Ada langkah yang sudah disepakati kalian?" ayah membuka percakapan lagi.

"Ya ayah..."

"Apa rencananya?" ibu ingin tahu.

"Sebambangan."

*

KAWIN lari adalah pilihan terakhir bagi sepasang kekasih dalam adat di sini,14) apabila tak bisa ditempuh jalan melamar seperti biaya yang ditetapkan keluarga perempuan terlalu tinggi sehingga amat membebani, atau orang tua gadis tidak menyetujui hubungan kasih keduanya.

Dalam adat ini dibenarkan, walaupun musyawarah akan berlangsung tegang. Keluarga lelaki akan akan menyambangi orang tua perempuan setelah melarikan gadis ke keluarga yang bisa menjaga kehormatan, dengan membawa keris dan buah tangan lainnya.

Sebelum sebambangan, keduanya harus sepakat yang dilakukannya tanpa desakan orang lain. Keduanya juga harus meninggalkan surat dan sejumlah uang di rumah gadis. Kawin lari harus direncanakan secara masak oleh pasangan kekasih agar tidak gagal.

Gagal berarti malu yang tak terperi akan ditanggung. Bisa-bisa berujung ada yang jadi korbang. Pihak lelaki besar resikonya, karena ia dianggap menculik gadis orang. Apalagi sekiranya si gadis belum dewasa atau di bawah umur akan berhadapan dengan hukum.

"Sudah kau pikir matang, rencana melarikan Pipit, kalau ayah dan ibu hanya mendukung yang menurutmu paling baik," kata ayah pagi ini di meja makan.

"Terima kasih ibu, ayah. Sudah. Pipit minta minggu depan, bertepatan ada keluarganya pesta pernikahan, Bayu akan membawanya lari."

"Apa benar kalian sudah siap?" ibu ingin mendapat keyakinan dari Bayu.

"Siap lahir batin," tukas Bayu sembari tersenyum, kemudian memeluk dan mencium ibunya.

Dia menghitung jam, hari, pekan, bulan, lalu tahun. Ah, sudah mendekati gerbang 29 tahun. Suatu usia yang semestinya sudah mencumbu isteri dan menimang anak. Usia yang sejatinya tiap kali diteriaki "Abi" atau "Ayah" dan disiapkan makan di meja tiap pagi dan petang, sambil berkata dari bibir seorang perempuan: "Ayah, makan, sudah ada di meja mumpung masih hangat."

Khayalan itu hanya sekejap kemudian lesap. Kenyataannya, Bayu tetap sebagai lajang. Bahkan nyaris menjadi bujang lapok, menganai tohow.

*

KESEMPATAN tak akan datang dua kali. Bayu baru paham sepahamnya sekarang. Kenapa ia abai pada janji? Kenapa pula kuterima tawaran pendidikan di luar kota pada saat rencana sudah disepakati? Ia membatin.
Sehari sebelum membawa lari Pipit, ia mendapat surat mengikuti pendidikan di Kota M selama sebulan. Ia terima setelah disetujui Pipit, bahkan kekasihnya itu mendukung.

"Kita tunda, hanya sebulan kok sayang..." kata Pipit saat bertemu di Solaria, di psebuah mall terbesar di kotanya.

Bayu tersenyum. Berulang tangannya meremas-remas jemari Pipit, seperti tak ingin ia lepaskan.

Lalu malamnya ia tinggalkan kota ini, setelah berpamitan pada Pipit melalui telepon, juga kepada kedua orang tuanya.

Namun dua pekan begitu cepat mengubah segalanya. Pun rencana-rencana yang akhirnya harus ppupus.

Dari temannya datang kabar. Pipit dilamar pria dari kampung tetangganya, anak Suttan Macakpirang--seorang juragan pasir dan marmer, terpandang sebagai tokoh adat. Lelaki yang melamar kekasihnya juga sudah cakak pepadun15) bergelar Pangeran Rajo Dinegeri.16)

Bayu hanya termangu. Dia tak bergelar. Tidak punya adok,17) sebab sekali beradok, dananya tak kurang dari Rp20 juta bahkan bisa lebih sebab tiap begawi mesti menggelar cangget18) minimal tiga hari tiga malam.

Pipit tak mampu menolak. Karena kedua orang tuanya banyak berutang jasa pada Suttan Macakpirang. Saat dirawat di rumah sakit karena ginjal dan paru-paru basah, Macakpirang ikut melunasi biaya pengobatan yang tidak kecil.

Kini manakala Macakpirang meminta Pipit untuk menjadi isteri Pangeran Raja Dinegeri yang telah setahun menduda karena isterinya minggat ketika dia di dalam bui, tak mungkin mereka berani menolak.

Walaupun, Bayu tahu benar, calon suami kekasihnya itu dipenjara lantaran juragan narkoba dan penjudi. Kekasihnya akan memasuki kandang harimau.

"Tapi aku janji akan tetap menunggu, menerima dia apa adanya nanti," kata Bayu seperti bersumpah setelah mendengar kabar dari temannya kalau Pipit telah dilamar oleh keluarga Suttan Macakpirang.

Saudara aku selesaikan cerita ini, sebab tak ada kabar lagi nasib bujang lapok setelah kekasihnya menikah. Dia diboyong ke kota, apakah masih menjadi isteri Pangeran Rajo Dinegeri dan dikarunia anak atau ditinggal karena suaminya kembali menjalani hukuman? Jika ada berita baru ihwal dia, tentu akan kuceritakan untuk Anda... n

Lampung, 3-11 Februari 2013


Catatan:
1) mekhanai (menganai ) tohow, berarti lelaki (bujang) tua.

2) bujang lapok, lelaki lapuk alias tidak lelaki.

3) begawi adat biasa dilangsungkan di masyatakat adat Lampung, misalnya kala perkawinan, menerima gelar (cakak pepadun).

4) siram-siraman atau mandi sebelum akad nikah atau cakak pepadun.

5) tanggo rajo adalah tempat untuk turun mandi dan biasanya dibangun di tepi way (sungai) bagi yang akan menikah ataupun yang hendak menerima gelar adat.

6) mosok artinya suap-suapan (saling suap) antara pengantin lelaki dan perempuan, baik disuap oleh kedua orang tuanya.

7) adok atau nama gelar, misalnya Bayu Segara adok Suttan Seago-ago.

8) sesan merupakan bawaan--biasanya barang-barang maupun perabotan rumah tangga--oleh pengantin saat diboyong ke rumah pengantin/keluarga lelaki.

9) pilangan dilakukan pihak perempuan setelah gadisnya dilarikan oleh calon pengantin lelaki lalu dipulangkan/dikembalikan lagi sebagai gadis dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Pilangan seperti begawi, ada cangget, siram-siraman, dan makan bersama di Sessat Agung.

10) cuak mengan; panggilan makan (bersama) untuk mengumumkan adanya hajatan pernikahan.

11) besan; keluarga lelaki bagi perempuan, atau sebaliknya.

12) Ngeramut; merampas anak gadis. Biasanya seorang pria menyukai seorang perempuan namun si perempuan tak merespon, lalu direncanakan ngeramut atau dikarikan. Adat ngeramut lebih berisiko atau berbahaya dibanding sebambangan sebab biasa berurusan dengan pihak berwajib, jika si perempuan dan keluarganya tidak menerima. Itu sebabnya pihak lelaki biasanya akan menekan perempuan, atau perempuan dalam tekanan kekuasaan keluarga lelaki: ia harus menyatakan atas keinginan bersama.

13) sebambangan; selarian, melarikan gadis atas kesepakatan bersama, lantaran orang tua/keluarga gadis tidak setuju atau permintaan lamaran yang sangat memberatkan pihak lelaki, sedangkan pasangan kasih itu sudah saling mencinta.

14) adat masyarakat Lampung masih hidup sebambangan ini, jika jalan melamar buntu atau orang tua gadis tampaknya tidak mengehndaki kehadiran si lelaki.

15) cakak pepadun; naik/mengambil gelar, tradisi ini hidup di masyarakat Lampung beradat pepadun. Sementara bagi Lampung Saibatin, gelar diterima secara turun temurun, sebagaimana yang dianut dalam kerajaan.

16) Pangeran Rajo Dinegeri salah satu gelar bagi lelaki Lampung beradat pepadun. Gelar atau nama adok dipasang setelah nama yang diberi saat lahir. Selain pangeran, ada suttan, dalom, penyimbang.

17) maksudnya tidak memiliki gelar atau belum melangsungkan cakak pepadun.

18) pesta dalam begawi, dimana dalam acara ini ditampilkan tari-tarian (ngigel) baik itu antarmuda-mudi, orang tua, juga anak-anak. Cangget ini banyak ragam, yang terkenal adalah cangget bulan bakha (pesta/tari di bulan purnama) khusus bagi muda-mudi. Saat seperti ini muli (gadis/perempuan) Lampung dibolehkan orang tuanya keluar rumah.


Lampung Post, Minggu, 19 Mei 2013

Sunday, May 12, 2013

Dua Paket Cerita Mini

Cerpen Satmoko Budi Santoso


Cerita Mini Pertama
KALAU ada yang tiba-tiba mengetuk pintu rumah saya entah pada pagi, siang, sore, atau malam, tentu saja itu bukanlah suatu kejutan. Karena adat orang bertamu memang mengetuk pintu ruang tamu. Yang mengherankan, dalam satu minggu terakhir ini, tiap ada yang mengetuk pintu rumah lantas saya, istri, atau anak membukakan, menengok siapakah yang mengetuk pintu, ternyata tidak ada siapa-siapa. Istri saya adalah orang yang sensitif terhadap peristiwa “kecil” yang mengherankan seperti itu dan akan meraba-raba kemungkinan maksud dan pelakunya.

“Rasanya, kalau dilakukan anak-anak tetangga tidak mungkinlah berturut-turut dalam setiap hari selama seminggu. Lagi pula, waktunya acak. Apakah maksudnya memang meneror, membuat kita tidak nyaman? Tapi, kita kan bukan pengontrak,” demikian analisa istriku suatu hari.

“Ya, ini sudah hari ketujuh dan tadi sore saya masih mendengar suara ketukan itu kemudian saya lihat tidak ada,” imbuh anak tunggal saya yang menginjak bangku SMA.

“Kalau hanya tetangga biasa, kenapa isengnya keterlaluan, ya,” saya ikut menimpali.

Perihal suara ketukan pintu yang misterius di rumah kami memang hanya menjadi agenda perbincangan kami sekeluarga saja. Kami tidak berusaha membawa obrolan tersebut ke orang-orang kampung, misalnya dengan sengaja membicarakan di warung atau gardu ronda. Kami khawatir, peristiwa tersebut akan menjadi perbincangan seru di tingkatan kampung. Tapi, sungguh, saya sendiri sebagai kepala rumah tangga sangat penasaran dengan peristiwa ketukan pintu tersebut. Suara ketukan pintu tersebut cukup keras, di antara saya, istri, dan anak saya yang pernah mendengar secara terpisah, tidak pernah bersamaan, bisa sangat jelas mendengarnya. Tapi, ya begitulah, jika ditengok, tidak ada siapa-siapa.

Sebegitu penasarannya terhadap peristiwa suara ketukan pintu yang misterius tersebut, saya mempunyai inisiatif memasang CCTV.  Karena, kini, sudah menginjak hitungan hari ke 14 suara ketukan pintu misterius tersebut akan muncul dalam waktu yang acak.

***

CCTV telah dipasang di teras rumah. Otomatis jika ada orang yang mengetuk pintu akan kelihatan.  Sembari menunggu jawaban secara logis dengan dipasangnya CCTV di teras rumah, pikiran saya melayang dengan ragam dugaan.

“Apakah karena profesi saya  wartawan sehingga mendapatkan perlakuan teror seperti itu? Apakah karena istri saya bekerja di LSM perlindungan anak sehingga mendapatkan teror seperti itu? Apakah karena anak saya sebulanan lalu ikut demo di sekolahnya menuntut transparansi kebijakan dana BOS sehingga mendapatkan teror semacam itu?” saya bersolilokui, bicara dengan diri sendiri.

Saya cuma bersolilokui tiga hal itu saja. Saya tidak memperpanjang prasangka di dalam diri saya sendiri, karena saya tahu kalau saya panjang-panjangkan justru hanya akan menyiksa diri. Terus terang, saya juga malas dengan kemungkinan memperlebar prasangka dengan menganggap ada hal gaib yang berkaitan dengan suara ketukan pintu yang misterius itu. Wah, jika prasangka saya sampai pada hal yang gaib, berarti saya telah memperlebar prasangka terhadap setan. Makin tidak jelas saja arahnya. Maka, logika yang paling masuk akal untuk membuktikan kemungkinan prasangka apa pun adalah dengan memasang CCTV itu.

Aneh, setelah CCTV dipasang memang tidak ada lagi suara ketukan yang misterius. Kalau pun ada suara ketukan, kami tengok orang yang mengetuk memang ingin bertamu. Ketukan misterius yang jika kami tengok tidak ada orangnya tidak ada lagi. Yang menjadi puncak keanehan, yang tahu bahwa ada CCTV hanya saya, anak saya, dan istri saya. Jadi, siapakah yang sesungguhnya melakukan? Kami bertiga saling memandang mata secara bergantian dengan maksud saling menuduh...
               

Cerita Mini Kedua

BAYI itu menangis. Panjang. Pasti, tangis bayi itu menjadi bernilai aneh. Apalagi, suara tangisnya seperti tangis yang menakutkan, bukan tangisan haus atau karena gerah.

Nung, ibu bayi, pada mulanya kalut jika mendengar anaknya menangis. Nung kerap menghubung-hubungkan keberadaan kuburan yang berada tepat di samping kanan rumah kontrakannya.

“Mungkin anak pertama kita kesambet,” ucapnya berbisik, suatu kesempatan, kepada suaminya. Budya, suami Nung, melengos. Terus merokok.
Jika bayi itu menangis, memang ada satu-dua-tiga atau empat orang tetangga yang peduli, datang untuk sekadar menengok, menanyakan kenapa sampai menangis.

“Sudah disusui?” begitu biasanya para tetangga bertanya. Nung mengangguk sembari melirik anaknya. Bayi itu hanya memandang, tatapan matanya kosong, maklum matanya belumlah awas.

“Nggak apa-apa, barangkali saja ia melihat dan ingin bercanda dengan malaikat yang menjaganya,” begitulah Nung pada akhirnya menghibur diri dengan menelan ujaran orang-orang kampung jika kembali mendengar bayi itu menangis, terlebih pada malam hari.

Ya, Nung telah akrab dengan tangis anaknya. Nung pun semakin akrab dengan rumah yang ditempatinya, yang pada waktu-waktu tertentu bisa menyengatkan bau kemenyan, karena kuburan di sebelah rumahnya diziarahi.

“Santai saja, setiap orang bakalan merasa karib dengan yang sebelumnya tak dibayangkan, tak dirancang dalam angan,” cetus Budya, sengaja melontarkan kalimat yang sekiranya tak menambah gundah istri tersayang.
Bagi Budya, tangis bayi seperti apa pun tak berpengaruh apa-apa, bukan merupakan isyarat bakalan tiba malapetaka.

***

KINI bayi itu berumur lebih dari tiga puluh lima hari. Suara tangisnya tetap sama. Bagi Budya, hal itu malah bernilai keberuntungan. Bukti bahwa malapetaka tak sudi mampir.

“Ngomong-ngomong atas jenis suara tangis bayi, apakah suara tangis anak kita selama ini justru karena ia tak diadzani sewaktu lahir, ya?” cetus Nung.

“Hus…. Nggak usah dikait-kaitkanlah.”

“Lho, mungkin saja.”

“Kalau semuanya bisa mungkin, dengan tak diadzaninya anak kita sewaktu lahir, apa kamu percaya bahwa ia dijaga malaikat, seperti yang dibilang orang-orang kampung?”

Nung kelu. Tercekat kaku.

“Apakah masih ada malaikat yang mau menjaganya?”

Nung melotot. Budya mengepulkan asap rokok.

Ya, bayi itu memang selalu menangis, entah pagi-siang-sore atau malam hari. Nung perlahan-lahan mulai merasakan kecemasan dengan tangis anaknya. Mereka juga sama sekali belum tahu apa sesungguhnya makna tangis anaknya yang lebih dari sekadar haus atau lapar. Hidup berjalan, hari berganti. Seperti petuah sederet sajak milik “si burung merak” WS Rendra: …. Bencana dan keberuntungan sama saja/ Langit di luar langit di badan/ Bersatu dalam jiwa….

***

PAGI-PAGI, seperti biasa, Nung maupun Budya keramas. Udara pagi masih setia seperti pagi-pagi yang silam, tak ada desir angin yang dirasakan berbeda. Begitu pula pas siang hari menohok, bagai siang-siang yang lewat, tetaplah gerah tak tertawar. Baru ketika sore hari, pas anak semata wayang mereka tertidur, mereka duduk santai di beranda rumah. Menyeruput teh, memandang kelengangan jalan kampung, seluas mata sebatas jarak, masih mereka lihat sawah pepadian kemuning menghampar, menyulut asa mata bajak para petani.

“Kapan kita menikah?” Nung sontak bertanya. Tiba-tiba.

“Kapan-kapanlah. Kenapa berubah pikiran? Karena punya anak?” jawab Budya sekadarnya.

“Aku ingin hidup kita diberkahi Tuhan. Lurus-lurus saja.”

Anak mereka kembali menangis. Rupa-rupanya bukan berarti malapetaka, bukan isyarat kutukan. Namun, Nung bersikeras untuk tetap menikah. Nung merasakan, ada aura lain di dalam rumah seandainya mereka tak menikah. Kalau anaknya memandang langit-langit rumah sehabis menangis, sorot matanya seperti gamang, ragu, padahal -- lagi-lagi kata orang -- anaknya bisa saja ditemani bahkan dijaga malaikat.

Nung mendadak yakin, untuk mengusir kegamangan sorot mata anaknya, ia harus menikah. Nung berubah mempercayai dugaannya, selama ini anaknya tak ditemani malaikat. Nung bersiteguh, tak ada malaikat yang pernah memasuki rumahnya, setiap malaikat pastilah jengah menemani anaknya.

“Kapan kita menikah?” Nung mengulang pertanyaan yang sama ketika Maghrib menjelang, dengan intonasi yang amat tegas.

Budya mematikan rokok. Sebuah jawaban yang sangat berarti sebentar lagi akan keluar dari mulutnya. n

Catatan:
Istilah cerita mini dipopulerkan oleh sastrawan Agus Noor.


Lampung Post, Minggu, 12 Mei 2013

Sunday, May 5, 2013

Wanita Ini Membawa Senjata

Cerpen Sungging Raga

WANITA ini membawa senjata. Wanita yang sedang tidur di hadapanku seraya menyandarkan kepalanya ke kaca jendela, membawa pistol jenis sand hawk. Pistol itu terselip di pinggang bagian kiri, aku melihatnya ketika ia sedikit menggeliat beberapa detik lalu. Mungkin ia akan membajak kereta ini, semisal memaksa masinis untuk membawa kereta sesuai perintahnya, lalu menabrakkannya di suatu tempat. Ah, apakah sebaiknya aku memberitahu masinis agar kereta cepat-cepat berhenti di stasiun terdekat sebelum wanita ini terjaga dan melancarkan aksinya?

Wanita ini jelas-jelas membawa senjata, bagaimana ia bisa lolos dari pengawasan? Bahkan aku tak yakin wanita ini hanya sendirian, pasti ada kawan-kawannya yang menyebar di setiap gerbong, mungkin wanita-wanita lain yang juga membawa senjata, satu komplotan penjahat sistematis, yang menunggu komando untuk beraksi bersama-sama. Atau ia adalah satu-satunya wanita di komplotan tersebut? Biasanya memang begitu, sebuah komplotan penjahat sering menyisipkan seorang wanita sebagai anggota, menjadi pemanis suasana, kadang malah wanita itu ketuanya.

Kalau wanita ini membawa senjata, mungkin ia bukan wanita baik-baik, dan aku tidak terbiasa dekat wanita yang tidak baik-baik, kalau wanita baik saja bisa melukai seorang lelaki, apalagi wanita yang tidak baik-baik? Namun aku sebenarnya bingung dengan definisi baik itu sendiri. Apakah semua wanita yang tak bersenjata adalah wanita yang baik? Apakah semua wanita yang ketahuan membawa senjata adalah wanita yang sama sekali tidak baik? Yang pasti, wanita ini membawa senjata, meski penampilannya cukup anggun, rambutnya tergerai panjang, bibirnya tipis dan tampak segar, antara dagu dan lehernya terlihat lekukan seperti putih telur, aku yakin bahwa wanita ini sangat jahat, mungkin ada tato di balik kemejanya yang berwarna merah itu, tato ular naga, atau ular kobra, atau gambar tengkorak dengan sepasang pedang menancap, pokoknya tato mengerikan yang ia sembunyikan entah di bagian tubuh yang mana, biasanya wanita semacam ini juga punya paku yang ditancapkan di lidah, hidung, atau dekat alis matanya. Ah, pasti paku-paku itu dilepas agar tidak terlalu mencurigakan.
                ***

Kereta terus melaju. Tak ada petugas kereta yang biasanya mondar-mandir, kalau ada satu di antara mereka yang kebetulan melintas, pasti akan kuberitahukan bahwa kereta ini tidak aman. Namun tak ada yang lewat, aku melongok ke lorong dekat pintu, tak ada sosok petugas. Mungkin aku yang harus bertindak, mungkin aku harus pura-pura ke kamar kecil, lalu menyelinap ke gerbong berikutnya, ke kamar kecil lagi, menyelinap lagi, sampai aku tiba di ruang petugas. Ya, ya, sepertinya itu lebih baik.

Perlahan aku bangkit dari tempat duduk, sangat perlahan, berharap wanita itu tidak terjaga, kuharap tidurnya sangat nyenyak seperti tokoh wanita di novel House of Sleeping Beauties karangan Kawabata. Aku maju beberapa langkah meninggalkan tempat dudukku, sesekali kulihat penumpang lain, wajah-wajah yang tak tahu apa-apa, sebagian juga sedang tertidur, barangkali mereka juga membawa senjata. Aku curiga pada beberapa tas bawaan penumpang yang diletakkan di bagian atas, jangan-jangan ada tumpukan shotgun di salah satunya.

Tak lama kemudian aku pun tiba di persambungan gerbong, kereta masih melaju kencang, seperti tak ada stasiun yang mengharuskannya berhenti. Aku baru saja hendak masuk ke dalam toilet ketika tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.

“Mas?”

Jantungku terasa berhenti.

Kukira wanita itu, ternyata kondektur yang hendak memeriksa karcis. Sial, kenapa tidak sejak tadi ia muncul? Segera kuserahkan karcis, dan kulaporkan apa yang kulihat.

“Wanita yang duduk di depan saya kelihatan membawa senjata.”

“Senjata?”

“Ya. Mungkin dia akan membajak kereta ini.”

“Lho. Anda tidak tahu, ya? Semua wanita di kereta ini memang membawa senjata.”

Aku terkejut mendengar penuturan kondektur itu. Ia tersenyum, mengembalikan karcis, lantas masuk ke ruang gerbong.

Semua wanita di kereta ini membawa senjata? Kereta macam apa ini? Kereta pembajak? Apakah aku naik kereta yang salah? Tidak. Aku harus cepat-cepat lari, tetapi kereta seperti tak akan pernah berhenti. Tak ada cara lain, lebih baik aku melompat saja daripada harus kehilangan nyawa sia-sia.

Segera kubuka pintu gerbong, kurasakan angin berembus kencang. Dan pada saat yang kuanggap paling tepat, aku pun melompat ketika kereta sedikit mengurangi kecepatan karena sebuah tikungan, terjadi beberapa benturan keras, tubuhku berguling-guling, terasa ngilu di setiap sendi.

Kereta telah jauh melaju ketika aku mencoba untuk bangkit, ada cukup banyak luka gores meski tak sampai mengucurkan darah. Aku mulai berdiri dan berjalan dengan sedikit tertatih, kukibaskan bajuku yang berdebu, lalu melangkah menjauhi rel.

Aku tiba di sebuah jalan pedesaan, ada sebuah warung pecel, tampak beberapa orang pembeli di situ, semuanya wanita, dan, ya Tuhan, masing-masing dari mereka memegang senjata! Ada yang membawa jenis SMG, prototype shotgun, bahkan yang agak gemuk itu, yang mengenakan daster ungu, memanggul bazooka. Mengapa mereka semua membawa senjata? Apakah mereka juga anggota komplotan wanita di kereta tadi? Atau jangan-jangan, mereka ini adalah sekumpulan wanita-wanita patah hati yang hendak sarapan nasi pecel sebelum membunuh lelakinya masing-masing?

Aku pernah mendengar kisah seorang wanita yang menunggu mantan kekasihnya di stasiun, ketika si lelaki keluar dari kereta, tanpa ba-bi-bu lagi, wanita itu menodongkan pistol, menembak dahi mantan kekasihnya itu sampai bocor. Apakah wanita jenis ini semakin menjamur? Aku penasaran, berapa jumlah wanita patah hati menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2013? Apakah meningkat drastis sejak tahun lalu? Apakah ada kenaikan signifikan pada kuartal pertama? Adakah lembaga survey yang mengalisis kecenderungan patah hati dan jumlah pembelian senjata? Bukankah senjata itu tak bisa dimiliki sembarangan? Apakah kepolisian memiliki undang-undang baru yang membolehkan wanita patah hati untuk membeli senjata?

Semakin banyak dugaan, rasanya semakin mencemaskan, aku berjalan menjauhi warung itu, mencoba untuk tak menarik perhatian mereka, sesekali aku juga berpapasan dengan orang-orang sekitar, tetapi aku lebih banyak menunduk, badanku masih sedikit nyeri, dan sepuluh menit kemudian aku tiba di sebuah pasar.

Ternyata di sini lebih menakjubkan lagi, ada begitu banyak wanita yang menyelempangkan senjata di punggung mereka, lalu bertransaksi seperti biasa. Ada yang meletakkan senjata itu di keranjang belanjanya, bertumpuk dengan sayuran. Sementara para lelaki terlihat normal, tidak ada senjata di tangan mereka, tetapi mengapa mereka tidak heran melihat para wanita membawa senjata?

Akhirnya, setelah mengumpulkan sisa keberanian, kudekati salah seorang wanita yang kebetulan sedang menyendiri di gerbang pasar, tangan kanan wanita ini memegang bullpup sniper dengan sangat kokoh, bahkan ia letakkan telunjuk di pelatuknya, seperti siap menembak kapan saja, apakah dia pernah bertugas di medan perang?

“Permisi, Mbak.”

“Ya.”

“Boleh saya tanya sesuatu?”

“Boleh.”

“Kenapa Mbak membawa senjata?”

“Oh, ini ya. Ini memang selalu saya bawa kemana-mana. Memangnya cuma laki-laki yang boleh pegang senjata?”

“Tapi buat apa Mbak?”

“Hm. Saya juga tidak tahu buat apa.”

Jawaban yang tak memuaskan. Aku lantas berpindah ke seorang nenek penjual kembang kuburan di sudut pasar, nenek itu menyandarkan senjata di kakinya, sebuah chrome shotgun.

“Nek, shotgun itu dipakai buat apa?”

“Shot apa Nak?”

“Shotgun. Itu yang ada di bawah.”

“Ooo. Aduh. Saya juga lupa ini dipakai untuk apa. Mungkin untuk mengusir lalat.”

Tidak masuk akal. Aku berpindah lagi ke seorang wanita yang baru turun dari sebuah angkot, ia membawa sebuah compact rifle.

“Mbak. Kenapa Mbak membawa senjata ke pasar?”

“Lho, kan memang harus begitu, Mas. Mana ada perempuan tidak bawa senjata? Melanggar kodrat itu namanya. Coba lihat, apa saya tampak lebih cantik dengan senjata ini? Lebih anggun?”

Astaga. Apakah aku sudah gila? Segera kutinggalkan pasar itu, aku berjalan menjauh, melangkah tak tentu arah, sampai akhirnya aku tiba di sebuah stasiun kereta yang cukup terpencil. Ada sebuah kereta berhenti di sana. Segera aku menuju loket.

“Mau kemana?” tanya penjaga loket.

“Ke mana saja, yang penting pergi jauh dari tempat ini!”

Si penjaga pun buru-buru mencetak tiket. Aku meraih dan membayarnya, lantas melompat ke dalam kereta yang mulai bergerak perlahan. Segera aku mencari nomor tempat duduk sesuai yang tetera di tiket.

Napasku masih tersengal ketika akhirnya aku menemukan tempat dudukku. Kereta sudah melaju, melintasi sawah-sawah hijau. Sekarang aku bisa beristirahat dengan tenang, menikmati pemandangan yang menyejukkan, langit biru dan pohon-pohon, sementara di hadapanku hanya ada seorang wanita yang sepertinya sedang tertidur pulas, ia menyandarkan kepalanya ke kaca jendela. n


Lampung Post, Minggu, 5 Mei 2013