Sunday, August 31, 2014

Menunggu Mustar

Cerpen Yulizar Fadli


DUA lelaki duduk di depan ruko yang dilabeli tulisan ‘Dijual’. Sepeda motor yang mereka bawa diparkir di belakang warung kopi dan rokok yang dijaga seorang perempuan dan anak lelakinya.

“Sudah datang?” tanya Taji.

“Kurasa belum,” jawab Forta.

“Kau yakin?”

“Sangat.”

“Oh, Tuhan...”

Pagi ini si perempuan dan anak lelakinya memerhatikan dua lelaki yang duduk di depan ruko di belakang warung kecilnya. Si perempuan tak bisa mendengar percakapan mereka berdua, tapi bisa melihat keduanya saling mendekatkan kepala saat bicara.

“Tunggu sampai rokok kita habis.”

”Pukul berapa sekarang?”

“Lima menit lalu kau sudah bertanya.”

“Berati 07.05.”

Kendaraan roda dua dan empat berseliweran. Asapnya melambung ke udara. Suara sirine sebuah mobil polisi diikuti klakson-klakson mobil di belakangnya terdengar di jalan raya.

“Kau hafal pelat mobilnya?”

“B-2675-HY. Bahkan aku tahu tanpa harus melihat pelatnya.”

“Kau yakin dia kerja di sana?”

“100%...” Taji menyahut sambil mengangguk lalu mengangkat alisnya. Ia melihat bank swasta yang berdiri di seberang jalan raya. Bank itu berdekatan dengan toko kaca dan benda-benda itu dipajang di pinggir jalan raya. Sinar matahari memantul dari sana.

“Pukul berapa sekarang?”

“Akan kujawab setelah rokok kita habis.”

“Kalau begitu aku ingin memesan kopi.”

Taji beranjak dan berjalan mendekati warung itu. Ia memesan kopi pada si perempuan kemudian kembali lagi ke tempat duduknya. Forta tetap duduk dan terus memerhatikan setiap kendaraan yang berbelok ke arah bank itu.

“Bagaimana?”

“Masih sama.”

“Kau yakin?”

“Apa gunanya berdusta? Dan aku bersumpah bahwa sekarang sudah jam tujuh lewat sebelas,” kata Forta, setelah melihat Taji mematikan rokok kreteknya.

“Terima kasih telah memberi tahuku.”

“Berterima kasihlah pada Tuhan.”

Taji memegang dadanya dan berkata, “Hmm... instingku mengatakan dia tak akan berangkat kerja.”

“Jangan gunakan insting.”

Taji membuka mata, “Aku percaya pada insting.”

“Percayalah pada Tuhan.” Forta mengangkat kedua tangan sambil menengadahkan wajahnya. “Hari apa sekarang?” tambahnya.

“Jumat.”

“Berkat...”

“Kenapa kita tidak bertanya pada penjual kopi dan rokok itu?”

“Mana mungkin si perempuan tahu satu per satu orang yang bekerja di bank seberang jalan itu.”

“Apa salahnya mencoba?”

“Itu pekerjaan lucu.”

“Memang lucu.”

“Tapi masih kalah lucu dibanding pekerjaan Joker dalam film Batman.”

Anak dari perempuan pemilik warung itu datang membawa segelas kopi di atas nampan pelastik. Taji mencoba mengajaknya bicara. Tapi bocah itu tak menjawab. Si bocah hanya berkedip cepat sambil menggelengkan kepalanya.

“Hi hi hi...” Forta tertawa. 

“Hi hi hi...” Taji menirukan Forta.

“Kenapa kau tak memesankan kopi untukku?”

“Tak pernah sekali pun aku melihatmu minum kopi.”

“Ay ya ya ya ...”

“Dasar tonggos!”

“Ssssttt ... apa kau mau kita kehilangan jejak kendaraan itu?!”

Jalan Kartini makin sibuk karena kendaraan saling berdempetan. Forta melihat satu per satu kendaraan itu. Ia beranjak dari duduk dan berjalan meninggalkan Taji.

Forta, dengan mata terarah ke setiap kendaraan, terus berjalan mendekati warung rokok dan kopi yang segaris lurus dengan bank itu. Ia menyeberangi jalan dan hampir saja ditabrak kendaraan roda dua. Tapi Forta tak peduli dan terus berjalan melewati kaca-kaca yang dipajang di pinggir jalan.

Forta menuju parkiran mobil yang ada di antara toko kaca dan bank itu, dan bank itu memang mempunyai dua tempat parkir. Pertama di areal sekitar bank dan kedua adalah tempat Forta sekarang. Lelaki kekar itu mulai memeriksa satu per satu mobil yang teparkir di sana. Tapi Forta tak menemukan mobil yang dicarinya.

“Bagaimana?” tanya Taji setelah Forta kembali dari tempat parkiran.

“Nihil. Tapi saya yakin dia akan datang.”

“Aku tak yakin ...”

“Kalau begitu berdoalah.”

“Kau saja. Bukannya kau pemeluk teguh?”

“Tuhan mahabaik, datangkanlah si Mustar dengan segera. Datangkanlah.”

“Begitukah caramu berdoa?”

“Sudah lama aku tidak berdoa.”

“Mustar,” kata Taji, “Cepatlah datang dan jangan buat kami menunggu lebih lama,” tambahnya.

“Hi hi hi...”

Anak si perempuan penjual kopi dan rokok itu menoleh ke arah dua lelaki yang duduk di depan ruko tepat di belakang warungnya. Forta sempat beradu pandang dengan anak itu, tapi dua detik kemudian ia kembali fokus ke jalan raya dan bank swasta.

“Aku punya rencana untuk menunggunya sampai malam.”

“Tanpa makan?”

“Ya. Kita bukan orang yang kurang makan. Kita sengaja tidak makan. Itu dua hal yang berbeda.”

“Kenapa kita tidak ke rumahnya saja.”

“Tak perlu.”

“Kenapa?”

“Itu bukan inti rencana kita.”

“Tapi kau baru saja merubah rencana.”
“Tapi aku tak bilang akan ke rumahnya dan tak ada yang menyuruh kita mendatangi rumahnya.”

“Kita akan menuntaskan pekerjaan kita di jalan yang sepi?”

“Aku tahu jalan menuju rumahnya sangat sepi dan penuh pohon jati.”

“Tapi tunggu dulu,” kata Forta. “Aku ingin tahu pokok persoalannya...”

“Yang penting,” kata Taji, “Kau ikuti saja perintahku. “Dan percayalah,” tambahnya, “Aku hanya mengikuti perintah bosku.”

“Tapi aku ingin melakukan sesuatu yang kuketahui sebabnya.”

“Ini urusan utang, kau tahu, utang...” kata Taji. “Tapi sekarang bosku tak menginginkan uang si Mustar lagi. Sudahlah, Forta, yang jelas aku mengandalkanmu karena ingatan dan tubuhmu sama-sama kuat. Kau seperti banteng. Oh tidak, kau seperti Muhammad Ali.”

“Aku lebih mirip Mike Tyson!” jawab Forta. “Tapi selain itu, Taji, aku membantumu karena aku berutang nyawa padamu,” tambahnya. Forta kembali mengarahkan matanya ke jalan raya dan bangunan bank swasta.

“Inilah waktu yang tepat jika kau mau menebus utangmu,” kata Taji. Forta menoleh dan mengangguk ke arah Taji.

“Pukul berapa sekarang?”

“Apa tidak ada pertanyaan lain?”

“Forta...”

“Tiga menit lagi jam 8.”

“Kenapa tak satu pun kendaraan yang berbelok ke bank itu milik si Mustar!”

“Tapi kita masih punya banyak waktu untuk menunggu.”

“Kita pernah menunggu lebih lama dari ini.”

“Kau ingat kapan itu?”

Taji mengangguk. “Tapi,” katanya, “Kita tak akan membahasnya di sini.” Ia mengernyitkan dahi dan menggeleng dua kali.

Sekarang Forta mengernyitkan dahi dan menyipitkan mata besarnya ke jalan raya. Ke arah sedan hitam mengilat. Pelan-pelan ia berdiri dan mulai melangkah.

“Itu dia...” bisik Forta. “Ya, pasti dia...” ia menekan suaranya.

Taji beranjak dari duduknya. “Kau yakin?!” katanya.

Sedan hitam itu berbelok ke bank swasta ketika Forta mengatakan “Itu pertanyaan konyol” kepada Taji. “Jadi bagaimana?” tambah Forta.

“Tunggu sampai dia keluar, baru kita ikuti!” kata Taji.

“Kenapa tidak di tempat parkir saja ...”

“Jangan...”

“Tuhan pengasih. Ampunilah temanku ini.”

“Ada apa denganmu? Memang begitulah rencana kita.”

Forta menekan gigi atasnya ke gigi bawahnya. “Rasanya aku ingin mengambil pistol di motor kita,” katanya.

“Aku yakin kau tidak selucu itu.”

“Berapa lama lagi?”

“Sampai dia keluar.”

“Kalau tidak?”

“Pasti keluar.”

“Kalau begitu aku mau pesan kopi,” kata Forta.

“Hihihi ...”

Forta mendekati warung kecil itu dan memesan segelas kopi. Ia berjalan dan kembali duduk di depan ruko, menyusul Taji yang telah duduk duluan.

“Ini pertama kalinya kau minum kopi.”

“Oh... aku jadi terharu.” Hammer mencibir sambil membelalakkan matanya.

“Kuamini jika kau mau mati diinjak gajah,” tambahnya.

“Jelek sekali doamu, kawan...”

Kopi datang, tapi kali ini dibawa oleh si perempuan. Ia langsung pergi setelah meletakkan gelas itu di samping kaki kanan Forta. Jalan raya tetap sibuk dan mobil sedan itu belum juga keluar dari bank.

“Minumlah semuanya selagi panas,” kata Taji.

“Bagaimana jika kusiramkan ini ke mukamu?” kata Forta sekedipan mata sebelum ia meniup kopinya.

“Soal gajah tadi,” kata Taji. “Bukannya ayahmu pernah menembak induk gajah?”

Forta berhenti menyesap kopinya, “Tak perlu bertanya. Kau sudah tahu.”

“Lalu ia dipecat dari kepolisian?”

“Bukan dipecat, tapi pensiun. Itu dua hal yang berbeda.” Forta kembali meneguk kopinya. “Oh Tuhan, kenapa si Mustar belum juga keluar...” tambahnya. Sekarang Forta menghidupkan rokok kreteknya.

“Kau sendiri tahu kalau mobil si Mustar baru saja masuk ke bank itu. Pukul berapa sekarang?” tanya Taji.

“Kamu lihat saja sendiri.” Forta menunjukkan jam tangannya.

Taji mengangguk, “Setengah sembilan.”

“Kurasa hanya kita berdua yang menunggui orang sepagi ini.” Forta kembali menyeruput kopinya.

“Kupikir ada. Banyak malah.”

“Arghhh...”

Jalanan masih ramai dengan kendaraan, dan kali ini ditambah dengan arak-arakan puluhan sepeda yang dikendarai anak-anak sekolah. Di belakang dan di depan rombongan itu, masing-masing dua polisi bermotor mengawal mereka. Anak lelaki si perempuan penjual kopi dan rokok itu juga melihat arak-arakan. Tiga mobil terlihat keluar dari bank itu, tapi bukan mobil si Mustar.

“Memang biasanya dia keluar jam berapa?”

“Mungkin 11.”

“Oh, Tuhan...”

“Kubilang, mungkin. Bisa saja si Mustar keluar satu menit lagi, kan?”

“Bersuka rialah dengan ucapanmu.”

“Kita harus tenang.”

“Berilah hamba ketenangan, Tuhan.” Forta menunduk dan menghelas napas.
Taji menarik tangan kiri Forta dan melihat jam kulit yang melingkar di tangannya. Sekarang pukul 08.55.

Satu mobil keluar dari bank itu, tapi bukan mobil si Mustar si manajer bank, melainkan mobil putih panjang bersirine merah.

Semua mobil yang teparkir di bank itu keluar, kecuali mobil si Mustar. Taji dan Forta bangkit. Keduanya berjalan menuju trotoar di depan warung kecil itu. Si perempuan dan anak lelakinya terus memerhatikan Taji dan Forta.

Taji dan Forta menyeberang melewati kendaraan dan kaca-kaca yang dipajang di pinggir jalan raya. Dan keduanya memang menemukan mobil Mustar terparkir sendirian.

“Cepat ambil motor,” kata Taji.

“Untuk?”

“Mengejar ambulans tadi. Kita ubah rencana. Aku tak ingin Mustar mati di rumah sakit.” N


Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2014

Sunday, August 24, 2014

Menunggu Martin

Cerpen Mashdar Zainal


TUNGGU aku di seberang jembatan, kiri jalan, di bawah pohon mangga, di depan kios rokok Mbak Jum, nanti malam, tepat pukul delapan. Kios itu biasanya tutup sebelum maghrib, jadi jangan khawatir, takkan ada orang yang melihatmu.

Ingat, pukul delapan malam, tepat. Jangan sampai terlambat.
Jadi, kusarankan, sebelum petang kau sudah mandi, supaya tidak terburu-buru. Jangan lupa bawa barang-barangmu, barang-barang yang kau anggap perlu saja. Tak usah bawa boneka segala. Itu tak penting. Dan lagi, tak usah bawa pakaian terlalu banyak, yang nyaman kau pakai saja. Kalau pun mau bawa novel untuk dibaca-baca, bawa satu saja, yang tebal sekalian, karena mungkin nanti kau tak akan sempat membaca. Jadi, kalau bisa, persiapkan semua dari sekarang, dan ingat jangan sampai ada orang tahu…

Itulah yang dikatakan Martin siang tadi.

Kau tahu, aku dan Martin berencana untuk kabur dari rumah, seperti yang dilakukan dua sejoli yang kasmaran dalam roman-roman picisan. Ceritanya, besok pagi, sekitar pukul sepuluh, Mami hendak mempertemukan aku dengan lelaki pilihannya. Sesuai rencana Mami, mungkin kami akan bertukar cincin, dan itu Mami rencanakan supaya aku tak lagi-lagi berhubungan dengan Martin. Maksud Mami, supaya Martin tahu bahwa aku sudah jadi milik orang, cincin yang akan melingkar di jari manisku sebagai tandanya. Oh, betapa naifnya mereka, tidakkah mereka sadar bahwa itu hanya sebuah cincin. Bahkan anak di bawah umur pun tak jarang memakai cincin. Dan kupikir, soal cincin yang dipakai sebagai tanda, itu semata karangan manusia, jadi tak sesakral itu.

Mami tahu kalau aku tak pernah setuju dengan lelaki pilihannya, tapi Mami memang manusia produk lama, produk zaman Siti Nurbaya, jadi perjodohan semacam itu baginya sah-sah saja. Sayangnya, Mami memilih lelaki yang salah. Kuakui, lelaki pilihan Mami memang sempurna, ia tampan, beruang, dari keluarga terpandang, tapi seandainya Mami bisa membaca tatapan—seperti yang kulakukan, mungkin Mami akan tahu bahwa lelaki pilihan Mami itu memiliki mata srigala. Ketika kami bersitatap, aku seperti melihatnya hendak menerkamku dan melumatku sampai ludas. Dan tentu saja Mami tak pernah tahu, bahwa lelaki pilihannya adalah lelaki yang suka membawa gadis-gadis ke hotel atau ke klub malam di akhir pekan.

Aku berkata demikian bukan tanpa bukti, aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku juga punya seorang teman yang pernah jadi teman kencannya di akhir pekan. Tentu aku tak menceritakan semua itu pada Mami. Lagi pula Mami tak akan percaya, tentu saja.
“Kalau kau tak suka padanya, kau jangan mengarang-ngarang cerita, itu tak baik,” itulah yang akan dikatakan Mami.

Jadi, jika malam ini aku memutuskan untuk pergi dengan Martin, itu bukan salahku. Jika kau dihadapkan pada dua pilihan, yang pertama kau hidup di sekeliling orang yang bisa memberimu banyak hal tapi tak bisa memberimu rasa nyaman, dan kedua kau hidup di dekat orang yang bisa memberimu rasa nyaman meski ia tak bisa memberimu banyak hal, tentu saja, jika kau ‘normal’ kau akan memilih pilihan kedua. Rasa nyaman adalah segalanya. Dan ia lebih mahal dari banyak hal. Jadi, sekali lagi, aku telah memilih pilihan yang tepat untuk pergi dengan Martin. Ke mana saja ia akan membawaku pergi, aku akan turut.
               
***

Sekarang sudah pukul 19.45, aku sudah duduk di depan kios rokok Mbak Jum yang sudah kukut sedari tadi. Di sini sepi, dan dingin, dingin sekali. Seperempat jam lagi Martin akan datang. Kubayangkan Martin datang dengan baju kotak-kotak biru hitam dengan jins tipis yang agak longgar hingga menutupi sepatu. Ia datang dengan motor matic yang biasa ia pakai. Di bagian depan motor ia akan meletakkan kopor kecil berisi beberapa pakaian dan barang yang ia anggap penting. Lantas ia akan meluncur dari jalanan yang paling gelap lagi lengang, cahaya dari lampu motornya seperti dua sorot mata yang mengantarkan kabar gembira.

Oh, betapa, ia seperti sesosok pangeran yang tiba-tiba muncul menyelamatkan seorang putri yang disandera. Ia begitu tampan dan penuh kelembutan. Ketika ia melangkah, mengayunkan pedang, dan bahkan ketika berkata-kata. Setelah mengalahkan para musuh, pangeran itu akan membawa sang putri ke istananya dan kemudian menikahinya. Kisah yang sempurna. Happy ever after. Oh, Martin, tapi mengapa kau belum datang. Beberapa detik lagi, jarum panjang dan jarum pendek akan bertumbuk pada angka yang sama: delapan, tepat. Bukankah tadi kau bilang pukul delapan tepat?

Manusia bisa dan boleh-boleh saja merencanakan banyak hal, tapi bukan ia yang memutuskan. Mungkin, Martin berada dalam posisi itu. Bukankah bisa saja, ia berangkat dari rumah pukul tujuh, dan sudah mempersiapkan semua. Tapi, di tengah jalan tiba-tiba ban motornya bocor sehingga ia harus mampir ke tambal ban. Dan malam-malam begini, mencari tambal ban mungkin akan sedikit sulit. Kalau Martin beruntung, mungkin ia akan menemukan sebuah bengkel dan ia bisa membeli ban baru, tanpa harus menembel ban yang bocor. Dan itu tentu akan menyita waktunya, hingga ia terlambat.

Atau kalau tidak, mungkin ada beberapa barang penting yang ketinggalan, sehingga ia harus putar haluan balik untuk mengambilnya, dan itu juga akan memakan waktu. Bukankah hal-hal semacam itu bisa saja terjadi? Semua hal memang bisa saja terjadi pada manusia. Manusia yang sebenarnya sangat rapuh tapi sok ampuh.
               
***

Angin bermain dengan dedaunan pohon mangga di depan kios rokok Mbak Jum yang sepi. Iramanya begitu menyeramkan, seakan-akan menciptakan sebuah dunia baru yang begitu dingin dan pendiam. Kudukku berdiri. Entah mengapa, tiba-tiba aku membayangkan sesosok makhluk besar berwarna hitam menuruni pohon mangga dan mendekapku dari belakang. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan. O, Martin mengapa kau belum datang juga. Jika terjadi sesuatu padaku, kau orang pertama yang harus bertanggung jawab.

Beberapa menit berlalu dengan cara paling mengerikan, seperti makhluk-makhluk yang berjalan merangkak. Dan Martin, ia belum juga datang, apa ia tidak sadar, ia sudah terlambat setengah jam lebih. Lima belas kali pesan pendek kukirimkan, tapi pending. Sepuluh kali kucall tapi di luar jangkauan. Perlahan, rasanya ada sesuatu yang bocor di dadaku: kekhawatiran. Persis seperti pipi sebuah ban yang dicium paku payung di tengah jalan. Menempel dan kempes perlahan-lahan. Kekhawatiran itu mulai menyebar, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Berpusat di jantung. Membuatku tertegun.

Martin, tak seharusnya kau terlambat lebih dari setengah jam. Apa kau sengaja mempermainkanku, atau ada sesuatu yang di luar kuasamu. Entahlah. Tapi yang harus kau tahu, di sini, seorang gadis tengah menunggumu dengan cemas yang luber sampai ke ujung kaki. Ia menunggumu dengan setia. Ia kedinginan. Sesekali ketakutan oleh suara angin yang mempermainkan daun. Kau tahu, bahkan ia sudah menahan pipisnya hampir satu jam. Martin, kau tidak kasihan padanya, atau—sekali lagi, mungkin ada sesuatu yang terjadi di luar kuasamu. Oh, lihatlah, gadis itu mulai menangis. Aku menangis, meski tanpa suara.
           
***

Sekarang sudah pukul berapa, Martin? Pukul sepuluh lebih. Tepatnya, pukul sepuluh lebih dua tujuh menit. Mami sudah menelponku sembilan belas kali dan selalu kureject. Ia mengirim pesan lima kali dan tidak kubalas. Sekarang handphone kumatikan, kalau tidak, Mami akan terus menelponku sampai aku mengangkatnya. Jadi, kumohon, cepatlah datang, Martin. Karena aku tak mungkin kembali pulang. Aku sudah membuat pesan tertulis untuk Mami yang mengatakan, bahwa aku dan kau akan pergi jauh. Jika aku pulang, bukankah sama artinya dengan menelan muntahanku sendiri. Dan tentu saja, Mami akan memarahiku habis-habisan. Sungguh alternatif yang buruk. Aku takkan mengambilnya.

Aku sempat tertidur beberapa menit, Martin. Dan sekarang nyaris pukul dua belas nol-nol. Lihatlah! Aku menangis lagi, Martin. Kalau tadi menangis karena khawatir. Sekarang, aku menangis karena takut, takut kehilanganmu. Dan nanti, jika sampai dini hari kau belum datang juga, mungkin aku akan menangis lagi, menangis karena esok hari aku akan jadi gelandangan. Aku lelah, Martin. Lelah menunggumu. Jadi, kau datang atau tidak? n
           
Malang, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 24 Agustus 2014

Sunday, August 10, 2014

Adenita

Cerpen Yuli Nugrahani

SEHARUSNYA dia sudah ada di rumah dan tidak perlu kedinginan gelisah di teras rumah kosong tanpa tahu kapan bisa melanjutkan perjalanan tanpa basah kuyup. Walau rumahnya selalu sepi tidak kenal waktu, sering membuatnya salah tingkah tak tahu apa yang harus dibuatnya seorang diri, tetap saja rumah itu lebih nyaman daripada teras ini. Jauh lebih nyaman apalagi dalam hujan deras semacam ini.

Rumahnya masih di ketinggian sana, di ujung jalan setapak yang terjangkau hanya dengan jalan kaki. Bukit-bukit sudah membuatnya menjadi tempat paling indah yang pernah dihuninya. Tapi sayang, untuk menjangkaunya dia harus menitipkan motor dan mobil kesayangannya di halaman samping toko Cik Lien. Motor dan mobil mustahil bisa melewati jalan menanjak menuju rumah itu.

Karena itu pula, tadi dia tertahan banyak menit oleh Cik Lien yang bercerita tentang anaknya yang tinggal di Taichung. Ah, Cik Lien sudah baik hati menampung mobil dan motornya, tentu tak enak jika menolak mendengar cerita-cerita penuh kegembiraan itu. Dia bisa pamit ketika bunyi guruh sudah dua kali terdengar di kejauhan sehingga Cik Lien rela hati melepaskannya setelah menambah nasehat ini itu untuk hari lamarannya besok.

Dia beruntung mendapatkan rumah itu setahun lalu. Itu rumah idaman. Indah di tengah alam. Tidak terlalu besar sehingga tak akan merepotkan siapa pun yang mengurusnya, tetapi juga cukup lapang bagi tamu-tamu keluarga yang ingin menginap. Yang agak merepotkan memang jalan setapak dengan kemiringan antara 20 dan 45 derajat untuk sampai di rumah itu. Orang-orang tertentu pasti akan mengeluh sebelum sampai di rumahnya.

Sebenarnya lokasi rumah itu tidak terlalu jauh dari jalan raya. Dari toko Cik Lien di pinggir jalan membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke atas. Setengah perjalanan yang dilalui adalah permukiman penduduk yang padat. Setengah perjalanan berikutnya, setelah pohon waru besar yang di musim hujan selalu dipenuhi ulat bulu, hanya ada satu rumah kosong bekas milik juragan tahu yang sekarang tak ditempati lagi. Selebihnya kebun cokelat tak terurus berseling dengan semak-semak walikukun.

Persis setelah melewati pohon waru itulah hujan deras menggila memaksanya lari ke emper rumah kosong dan berteduh di situ. Dia merutuk dirinya sendiri karena meninggalkan payungnya di dalam mobil. Dia membawa baju batik yang akan dipakainya besok dalam tasnya dan dia tak mau memakai batik itu dalam kondisi basah, maka dia memutuskan berteduh sebentar di rumah kosong itu. Jika nanti tinggal gerimis saja dia akan melanjutkan perjalanan tanpa membuat isi tasnya basah.

Rumah kosong itu tampak masih kukuh. Seluruh kusennya masih jelas bercat cokelat tua. Beberapa bagian memang mengelupas, tapi secara keseluruhan rumah itu tampak kukuh berdiri di antara hijau perkebunan. Untung saja pintu pagarnya tidak pernah dikunci sehingga dia bisa masuk tanpa kesulitan.

Ketika dia sedang gelisah merasakan hujan sekaligus berpikir tentang segala acara besok yang akan mempertemukan keluarga besarnya dengan keluarga besar calon istrinya, suatu gerakan muncul dari jalan bawah. Payung jingga bergerak pelan. Lalu seorang lelaki tua kelihatan tubuhnya samar-samar terselubung hujan berjalan ke arahnya, tepatnya ke rumah kosong. Lelaki itu masuk halaman dan mengucapkan salam.

“Saya mencari Adenita. Apakah ada?”

“Maaf, Pak. Saya hanya menumpang berteduh di rumah ini. Namun, setahuku rumah ini kosong tidak ada penghuninya. Dan penghuni lama saya kenal tidak ada yang bernama Adenita.”

“Tapi ini rumahnya. Adenita tinggal di sini dari dulu.”

“Mungkin Bapak salah alamat. Ini rumah kosong dan tidak ada yang bernama Adenta di sini.”

“Pasti kau yang salah.”

Lelaki itu melangkah ke pintu rumah. Diketuknya rumah itu berkali-kali setelah dia memencet bel yang tidak berbunyi, dan memang pasti tidak akan berbunyi karena rumah itu tak punya sambungan listrik lagi. Beberapa saat dia menunggu suatu reaksi atas tindakannya, lalu bapak itu mulai berteriak.

“Adenita! Adenita! Kau di dalam?”

Kali ini ketukan lelaki tua itu menjadi gedoran. Dia mendekati mencoba menenangkan lelaki itu.

“Maaf, Pak. Seperti kubilang, rumah ini kosong. Sudah lebih dari setahun rumah ini tidak berpenghuni. Jika Bapak mau tahu siapa yang dulu menempatinya, Bapak bisa pergi ke sebelah pasar, tempat Pak Krodi. Mereka sekeluargalah yang dulu menempati rumah itu. Mungkin Adenita yang Bapak maksud masih keluarga dari mereka.”

Bapak itu memandangnya.

“Kau kira aku ini orang pikun yang salah alamat? Kau kira aku tidak kenal Adenita sehingga lupa di mana rumahnya?”

“Tapi memang perkataanku itu benar, Pak. Sampai capai pun tak akan ada orang yang keluar dari rumah ini.”

Bapak itu terlihat membalikkan badan dan melanjutkan mengetuk dan mengguncang pintu sambil berteriak. Suaranya masih terdengar menggelegar parau di tengah hujan deras ini.

Dia ingin sekali menandaskan lagi soal rumah kosong, tapi diputuskan untuk tidak mengatakan apa pun. Dibiarkan saja lelaki itu mengetuk dan berteriak. Dia menggeser dirinya agak menjauh supaya tidak ada lagi kontak dengan lelaki itu.

Beberapa saat kemudian dia hanyut dalam lamunan akan hari esok. Dia akan melakukan prosesi lamaran. Itu adalah hari yang ditunggunya. Akhirnya dia akan bersanding dengan pujaan hati yang sudah dipacarinya tiga tahun terakhir. Akhirnya dia akan mempunyai teman menyenangkan untuk segala kegiatan di rumah gunungnya. Kegelisahan memang tak terelakkan jika mengingat hari besok karena dia ingin semuanya sempurna. Pikiran itu membuatnya meremas tas kantung kain. Di dalamnya ada baju batik yang baru diambilnya dari penjahit. Batik motif daun berwarna merah marun, senada dengan kebaya kekasihnya untuk hari istimewa besok.

“Adenita...”

Dia melirik arah suara. Bapak itu kini mengelesot di depan pintu. Merintih dan menangis. Dia tak lagi meneriakkan nama itu, berganti dengan suara lemah putus asa.

“Kenapa kau tidak membukakan pintu untukku. Adenita, Adenita...”

Dia mendekat kembali. Kali ini dia tak mengatakan apa pun. Biar saja Si Bapak merasakan apa yang dirasakannya. Toh percuma saja dia menjelaskan kalau rumah itu kosong. Si Bapak masih saja kukuh pada pendapatnya. Sebagai gantinya dia mengelus lengan Bapak tua itu dengan ringan.

“Adenita itu siapa, Pak? Putri Bapak? Teman? Istri?”

Mata lelaki tua itu kelabu kosong menatap sesuatu tanpa fokus. Dia tidak bisa menangkap manik mata Bapak itu dalam pandangan. Bapak itu terus menggeleng-geleng, lalu dengan lemah berdiri.

“Ya, mungkin kau benar. Aku salah alamat.”

Awalnya dia ingin menduga kalau Bapak ini kurang waras atau sedikit gila. Tapi pernyataan terakhir ini membuatnya yakin kalau Bapak berpayung jingga ini orang kebanyakan saja. Mungkin menjadi sedikit aneh karena kebetulan sedang bersedih mencari Adenita, entah siapa pun perempuan itu.

“Aku permisi. Maaf telah mengganggumu.”

Bapak itu membuka payungnya dan berjalan melintasi halaman. Di pintu pagar Si Bapak membelok ke kiri, ke arah atas. Dia berteriak mengingatkan karena siapa tahu Bapak itu salah jalan.

“Pak, tidak ada lagi rumah lain di atas kecuali rumahku! Di sana tak ada yang bernama Adenita. Aku tinggal seorang diri. Pak, kau salah arah!”

Bapak itu memandang ke teras sekilas sambil mengernyitkan sepasang alisnya. Bibirnya komat-kamit tanpa bisa ditangkap sepatah kata pun. Sepertinya teriakan itu tak ada gunanya. Segera saja tubuh lelaki itu lenyap dalam derasnya hujan dan remangnya senja. Bapak itu berjalan pelahan ke atas melalui jalan setapak, arah rumahnya.

Hingga hujan tinggal gerimis Bapak itu tak juga kelihatan turun. Tidak ada jalan lain untuk kembali ke jalan raya kecuali jalan setapak ini. Setengah berlari dia menerobos gerimis. Dia ingin segera pulang untuk istirahat, sekaligus untuk meluapkan rasa penasarannya pada Bapak tua itu. Apakah Bapak itu mampir di rumahnya? Sangat masuk akal karena itulah satu-satunya rumah di ujung jalan setapak.

Dekat pohon ketepeng, rumahnya sudah terlihat. Tampak gelap gulita karena lampu-lampu belum dinyalakan. Tapi sepintas pandang bisa diyakini bahwa tidak ada orang di sekitar rumahnya. Jadi ke mana Bapak berpayung jingga itu pergi? Dia masuk ke rumah setelah terlebih dahulu mengamati sekitar rumah. Tak ada tanda-tanda terasnya dimasuki oleh orang lain selain dirinya.

Saat pintu rumah mulai dipalangnya dari dalam, hujan kembali deras. Pikirannya tak bisa dilepas dari bayangan Bapak berpayung itu. Kekhawatiran tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Jangan-jangan Bapak itu tersesat? Atau terjatuh? Siapa yang akan menolongnya dalam gulita dan hujan deras seperti ini?

Dia mulai menyesal tidak bertanya nama dan alamat Bapak tua itu. Satu-satunya yang dikenalnya adalah nama perempuan yang disebut Bapak itu beberapa kali. Adenita. Adenita. Adenita, siapa dia? Tak ada petunjuk apa pun selain itu.

Penasaran dan kegelisahan menyeruak bersamaan dalam tubuhnya sepanjang malam. Pikirannya menyeberang ke segala arah. Seluruh rencana lamaran berselang-seling dengan bayangan Bapak berpayung jingga dan nama Adenita. Di luar hujan deras berdentang-dentang menimpa seng atap rumah. Harusnya pagi segera datang. Dia tak sedikit pun bisa memejamkan mata.  n


Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2014

Sunday, August 3, 2014

Jembatan Cikapundung

Cerpen Beni Setia


HANYA kala terlelap aku kembali ke tempat itu, tapi tak setiap terlelap dibawa ke tempat itu—sesekali saja. Mungkin selama ini hanya beberapa kali. Setelah di satu senja aku terpukau oleh pemandangan sunyi saat hari mulai teduh meski orang-orang masih abai dalam rumah. Tak gegas ambil mandi sore—mungkin, dengan penghasilan yang dimiliki, belum memutuskan makan malam di mana. Mereka nyaman berumah, tidak perlu tergesa ke luar rumah, seakan tidak ada kesulitan menjelang malam ketika siang berlalu. Mapan. Benarkah begitu? Apa itu di Bandung? Tahun berapa?

Kini, tak teringat aku mau ke mana? Ke pertigaan Gatot Subroto, yang bertanda monumen tank itu atau lebih ke sana lagi untuk berhenti di mulut gang, lantas masuk ke perkampungan padat? Kini, tidak merasa pulang dari bepergian atau akan bertamu pada seseorang. Bahkan, aku tidak merasa dari tempat itu, tidak merasa si dari sekitar tempat itu, dan, karena itu, tidak merasa akan ke sana dan dari sana—atau situ. Seperti tersihir, atau dikutuk, aku sendiri dalam angkutan umum, terkantuk-kantuk dengan sopir abai mengendarai—tak dikejar setoran, tidak bernafsu mencari penumpang, dan (sepertinya) akan kembali ke garasi untuk bayar setoran ke juragan.

Abai mendengarkan calung Darso dari kaset, ikut bersenandung dengan aksen sangat Sunda: mengimla lirik lagu agak ngeres—melupakan calon penumpang pinggir jalan. Abai. Tak peduli—padahal aku telah dibawa dari Kebonkalapa. Mengherankan.
Karena itu: apa aku ada, apa aku disadarinya sebagai subjek bernyawa berkehendak?
                               
***

AKU tak berasal dari saat ini—mungkin juga bukan dari masa lampau yang jelas, sehingga bisa memiliki masa datang yang pasti. Aku seperti ceruk gaib. Yang tak bisa ditandai, bahkan mustahil bisa diraba dalam remang lengkung kabin dengan matahari terang di barat dan menimbulkan bayang yang memanjang ke timur, ke arah angkutan itu menggelundung abai. Sesuatu yang mendadak hadir ketika angkutan menyeberang dari Terminal Kebonkalapa, memburu sisi kiri, melaju lurus ke utara—abai pada lerotan mobil berebut melaju di perempatan dan pertigaan, abai pada calon penumpang yang mencegat agar secepatnya berada di rumah—, membelok ke kanan di perempatan, dan melambat seperti berdarmawisata di sepanjang sisi selatan alun-alun.

Lurus. Tidak peduli pada calon penumpang yang mungkin menunggu di teduh beringin, di trotoar sempit berpagar tinggi dari kompleks kabupaten di seberang, dan tak terburu ketika memotong perempatan menuju tepian pusat pertokoan tempat orang mencegar angkutan. Sopir yang abai. Menyenandungkan lagu Darso dari kaset, yang suaranya disalurkan stereo mobil seadanya—dalam volume lembut. Tak tergesa. Apa limit setoran telah dikuasai? Apa sisa penghasilan hari ini sudah cukup untuk dibawa santai main catur, merokok, dan minum kopi di gardu ronda RW nanti malam—bahkan sebetulnya besok bisa santai tak narik—? Aku ingin mengajaknya bicara tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.

Aku diam. Duduk di tepi batas kabin penumpang dan pengemudi, menghadap ke pintu menyesap angin dari pintu kabin penumpang dan jendela kabin pengemudi. Aku terpejam. Menghirup puisi jelang senja, dengan si seluruh panas matahari siang yang dicecap bumi mulai dilepas pelan-pelan—amat prosaik. Aku menonton bayang makin panjang, berusaha buat semakin panjang lagi—sebelum terang hilang, lantas orang dan toko-toko menyalakan lampu, serta PKL-PKL berteriak atau membunyikan lagu-lagu buat memancing orang ke luar rumah, buat serentak menolak kuasa kelam. Tapi masih berapa jam lagi? Bukankah itu harus diawali dengan kumandang teriakan azan yang nyaris serentak di mana-mana?

Mobil melata karena jalan miring menuju sosok jembatan sambil merambat naik sampai ke perempatan belakang Savoy Homan. Aku menelan ludah—jemu serta sunyi.

Dan dalam terang siang yang meregang mau redup itu, sisi utara jembatan itu, pas di tengah-tengah susunan tiang, palang dan ujung melengkung jembatan, yang sebagian telah merah berkarat itu: termangu menatap arus muncul dari kolong jembatan Asia-Afrika—setelah Cikapundung berkelok sepanjang sisi kantor PLN. Aku tidak melihat wajahnya, aku cuma melihat punggungnya, dengan ujung kaos berjuntai di atas jins dengan ikat pinggang kulit tiga jari. Ber-sneaker, berambut menjuntai di atas kerah—dua tangan di palang jembatan: kaos lengan panjang.
                               
***

TEPI Cikapundung hanya si tembok beton, fondasi untuk rumah yang dibangun tepat di tepi sungai—kecuali sebagian sisi barat yang melandai dan disesaki perdu liar. Ada pohon Cangkudu dekat jalan di lahan yang ditelantarkan. Tinggi, rimbun, serta banyak menjatuhkan buahnya yang memutih lunak berbintil bagaikan nanas. Buah-buah itu pecah di aspal, di trotoar, serta di tanah di balik tembok tiga per empat meter dan jalinan belah ketupat kawat setinggi satu setengah. Memuncratkan kandungan air dan getah yang mengeluarkan rasa tidak enak. Mungkin juga itu yang menyebabkan tak ada kios si penjaja di sana. Meski tak ada kaitannya, ada fakta lain: di seberang sungai deretan toko tak pernah buka, sedang di seberang ada warung nasi yang sunyi dengan, terbenam, percetakan yang merana.

Tempat sunyi—bagian kota yang ditinggalkan. Jalur rutin matahari melata sesuai jadwal, tempat kendaraan bergegas meninggalkan penumpang naik terakhir sebelum memburu perempatan—lalu belok ke kiri—, di mana pada tanggal-tanggal tertentu jadi tempat si orang masa lalu ambil pensiun—pasar kaget yang menjajakan mainan kanak-kanak. Dan entah kenapa, aku menyetop angkutan, turun dengan santai—tanpa bayar. Balik ke jembatan. Merokok di sisinya sambil memperhatikan palung. Di mana pulau-pulau organik dari dedaunan hanyut tersangkut di batu atau batang terbenam—sambil menyauk sampah plastik—menjanjikan kedangkalan akibat endapan. Jadi tak ada yang harus dikuatirkan—selain sulit naik bila terjerunuk ke palung dangkal.
                               
***

MATAHARI membakar sisi kiri wajah. Aku bisu serta terus merokok—sesekali terlirik si lelaki itu fokus pada arus. Memainkan rokok yang tak nikmat karena semua asap segera dilarikan angin yang melaju dari kolong jembatan di hadapan dan jepitan tepian berjulangan beton. Aku berpikir: kenapa harus turun, kenapa harus mendekati, dan termangu di sisinya? Bukankah ia memang punya kegelisahan dan aku tak gelisah sedikit pun? Selain—rasanya—, semacam kebingungan: kenapa ada di sisi, kenapa naik angkutan entah ke mana, serta kenapa turun di sini hanya karena melihatnya termangu tanpa sedikit pun terlihat bingung? Aku berdehem. Melirik. Tersirap—saat menenggok—: karena aku seperti melihat ke cermin.

”Aku masih menunggu.”

”Ya—kau juga terus mengunjungi, mengingatkan.”

”Bener? Kau telah melupakan…”

”Tidak. Tempat ini selalu memanggil, membelit, dan bagai jangkar: menarik aku untuk balik, loncat, dan menyelam di tempat itu. Ke sana naskah itu dibuang kan?”

”Aku sering datang, ya? Menghantui dan meneror. Mungkin bosan menunggu di sini karena kau tak pernah kembali, tidak pernah kembali naik bemo lewat sini. Turun belakang Homan, jalan di gang samping, lalu menyeberang untuk, naik ke lantai dua koran sana. Atau terus sampai monumen tank di Gatot Subroto, lalu menelusuri gang, menyeberang, dan jalan sepanjang sempadan sungai yang arusnya menderas laju—ke Kosambi… Kau ke mana saja?”

Pertanyaan itu menderas, jadi arus yang menemukan celah, menggangsirnya jadi liang, jeram di mana kesadaran waktu serta kenangan ambruk. Aku, dulu, sering lewat di sini, ngambil honor tulisan di sana, sebelum sama sekali tak bisa menulis dan tidak pernah dapat honor lagi. Membenamkan naskah dan kliping, sebelum naik kereta arah timur, serta jadi kuli—menikah, punya anak, serta tetap hidup terbata. Aku memejam. Aku janji tak akan kembali, tak akan menulis lagi. Bersumpah jadi manusia biasa dan melulu memikirkan penghasilan. Dan sejak itu aku tak berasal dari saat ini, sekaligus aku tidak berasal dari tempat ini, sehingga saat semua terlihat serta seperti bisa diraba: tak terhubungkan dan punya ikatan.

Aku seperti angin berembus melintasi semua—masa kini, masa lalu, meski tuna kejelasan tentang masa depan—, tanpa terkait integratif dengan semuanya. Ngambang. Mungkin bersigesekan tapi tidak bersentuhan, karena dibungkus dengan plastik tebal, kenyal, dan berlapis. Tapi kenapa aku dipaksa ke sini dengan berkali-kali dipanggil—oleh diri sendiri—, diajak masuk ke dalam penampakan sangat riil? Padahal amat tidak berdaya—dengan berkeras: tak berasal dari sini dan dari saat ini. Dan kini, apakah aku masih hidup atau telah lama mati? Aku melirik. Si bayangan di cermin itu beku. n


Lampung Post, Minggu, 3 Agustus 2014