Sunday, June 24, 2012

Kapitein Terakhir

Cerpen Riza Multazam Luthfy

"BAHAYA!" Abdul Rasyid tergopoh-gopoh, napasnya kembang kempis.

"Kenapa? Ada maling lagi?" Kakaknya ikut gugup.

"Bahaya!" Dalam pikiran Abdul Rasyid hanya terselip satu kata.

"Apa yang akan dicuri dari kita? Tenanglah! Kita ini sudah tak punya apa-apa." Dalam kondisi paling runyam, sejumlah orang justru memanfaatkan keadaan. Tidak, tidak. Tepatnya, mereka terdesak. Munculnya para pencuri karena butuh makanan dan benar-benar kelaparan.

"Di jalanan banyak orang membawa senjata."

"Senjata? Bambu runcing maksudmu?" Harun menebak sekenanya. Maklum. Selama ini di dalam maupun belakang rumah para warga banyak bambu yang diraut ujungnya.

"Tidak."

"Lantas?" Sepasang alis Harun mengait. Keheranan.

"Senapan."

"Senapan burung? Ah, mungkin orang-orang Belanda mau berburu. Mereka butuh hiburan."

"Aku tak tahu senapan apa. Yang pasti aku belum pernah melihat sebelumnya. Dan, mereka akan menyerang kita!" Lidah Abdul Rasyid tampak lebih berat.

Terpancing dengan apa yang dilontarkan adiknya, Harun segera memeriksa keadaan. Celaka! Serdadu Belanda yang dianggap sebagai teman sendiri—karena berjasa mengusir Portugis dari tanah kami—sedang mengepung serata kampung.

Dan, dari Harunlah kami mengetahui kondisi sebenarnya. Benar. Itulah waktu pertama kali orang-orang Belanda menunjukkan gelagat sebenarnya. Beberapa bulan selanjutnya, orang-orang berludah pahit itu ternyata kian beringas.

Sungguh. Kekhawatiran yang selama ini kami pendam akhirnya menyembul. Kami baru sadar, apa yang dulu didengung-dengungkan nyatanya sanggup mereka wujudkan. Sebelumnya, kami mengira mereka cuma menyebar kegelisahan, sehingga kami pun meyakini hal itu sebagai omong kosong belaka. Tiada lebih. Rupanya, kata-kata mereka terkadang ada benarnya. Lihatlah kemajuan luar biasa telah dipetik Belanda! Entah apa yang genap dilakukan, sehingga dengan mudahnya fondasi-fondasi militer untuk menguasai perdagangan berhasil mereka tancapkan. Dengan demikian, perniagaan laut di negeri kami sedang dalam kondisi darurat; mendesak diselamatkan.

Ambon. Pulau penghasil rempah-rempah itu terpaksa bertekuk lutut, setelah melakukan berbagai upaya, tapi nihil. Tentu, kekuatan orang-orang yang kebanyakan bernama Van itu tak bisa diremehkan. Anggapan yang menuturkan bahwa hanya orang berkulit hitamlah yang kuat, salah total. Kami bukan mengada-ngada. Tengoklah kuli di pasar, buruh, pegawai kasar di pabrik, kuli-kuli tebu, petani, atau para pekerja berat lain. Semua berkulit hitam! Akan tetapi, kenyataannya, orang-orang berkulit putih-aneh seperti mereka, meskipun tampak lemah, justru mengantongi kekuatan yang bersembunyi di kepala. Buktinya, berbekal kelicikan dan politik nista, markas megah di Batavia mampu mereka dirikan. Lengkap dengan begundal-begundal yang sok terlatih dan profesional. Dan, masih banyak contoh lain yang enggan kami sebutkan.

Malaka. Kota yang tersohor dengan pelabuhan dagang itu beralih ke tangan VOC. Ini adalah pencapaian gemilang yang patut mereka rayakan. Tampaknya, dengan apa yang diraih tersebut, mereka menyelenggarakan pesta besar beberapa malam dengan mendatangkan anggur-anggur ternikmat. Perkumpulan yang awal pembentukannya dipicu persaingan sengit antarsejumlah perseroan tersebut semakin menunjukkan taringnya. Namun, kami lega ketika mendengar kabar bahwa pada pertengahan abad XVII, kesatuan VOC agak goyah. Pencetusan beberapa perjanjian perdamaian, pendirian pusat-pusat pertahanan, serta kedigdayaan armada lautnya diterka belum mampu menegakkan sendi-sendi kegagahan VOC. Ditambah lagi, kerajaan-kerajaan di negeri kami masih menebar ancaman dengan menerbitkan beragam pemberontakan. Tentu, hal ini bertujuan salah satunya agar kecongkakan VOC merosot tajam. Agar VOC malas menganggap kami semua sebagai boneka. Ya, hanya boneka!

Menyadari gencarnya gertakan dari beberapa kerajaan, VOC melanting tindakan dengan menelurkan kebijakan yang terkesan membabi buta. Benar. Lagi-lagi kekuatan militer diberdayakan untuk membungkam semua orang yang dianggap pemberontak. Kaum pengacau layak dilibas. Golongan pendurhaka pantas dibersihkan. Otomatis, dengan munculnya keadaan yang kurang nyaman, para pengecut dan pengkhianat memilih bergabung dalam kebijakan tersebut. Dan, tak berselang lama, lahirlah dasar-dasar bagi imperium Belanda di negeri kami. Hal yang ringan membuat kami gentar, dengan bulu kuduk berloncatan disertai tubuh menggigil.

Antonio van Diemen, Joan Maetsuycker, Rijklof van Goens, dan Cornelis Janszoon Speelman. Keempat lelaki inilah di antara para Gubernur Jenderal yang leluasa menudingkan telunjuk agar diikuti perintahnya. Di bawah arahan merekalah, kaki militer VOC berjalan. Daerah mana yang ditunjuk dalam peta, di sanalah akan turun neraka. Ya. Bersiap-siaplah bagi seluruh penduduknya untuk berwasiat kepada keluarga. Atau menebar pahala sebanyak-banyaknya. Atau berdiam saja sambil menunggu kapan bersua ajal. Sebab, sebentar lagi, genangan darah bakal menyebabkan parit berwarna merah dan berbau anyir.

Sasaran pertama orang-orang berbulu menggelikan itu adalah Maluku. Di sana. Di tempat Francisco Serrao—delegasi terpercaya Portugis—pernah mengangkut beraneka bahan pangan serta menebus rempah-rempah itulah Belanda memasang siasat. Produksi pala dan cengkih dimonopoli sedemikian brutalnya. Orang-orang yang mulanya berprofesi membudidayakan tanaman yang mendarat dari surga tersebut tersisih. Permainan harga seolah menjadi pemandangan biasa. Dan, terjadilah apa yang dinamakan penyingkiran dan pelecehan dalam negeri sendiri.

"Benar-benar biadab! Setelah dapat tempat, mereka memperlakukan kita seperti sampah."

Begitulah raung salah seseorang yang merasakan kepahitan tersebut.

Selaku kaum bertuhan, kami selalu berharap atas pertolongan ajaib-Nya. Kami mafhum bahwa apa yang tunai ditetapkan menyimpan bebongkah kebaikan. Namun, maafkan. Maafkan, Tuhan! Bila kami belum sanggup menghadapi cobaan berat ini. Cobaan yang rajin mencabik-cabik bukan hanya badan, hati, tapi juga jiwa kami. Di tengah penderitaan menyesakkan seperti ini, tiada yang bisa kami lakukan kecuali hanya berdoa. Ya. Berdoa, bagi kami, merupakan hiburan tersendiri. Karena dengannyalah, kami masih sanggup merawat sinar kehidupan.

Dan, terkabul. Seorang bernama Kakiali diturunkan. Sejak balita, tiada sebiji tanda apa pun menempel di tubuhnya, yang memberitahukan bahwa kelak ia merupakan pemimpin sejati. Ibunya, ketika hamil, tak pernah bercerita jika suatu hari bermimpi ada cahaya bergerak-gerak dalam perutnya. Hanya saja, seorang lelaki di antara kami—kami lupa siapa namanya—menduga, anak kecil tersebut akan menjadi orang yang berguna. Entah bagi orang tua, bangsa, ataupun agamanya. Atau bahkan ketiga-tiganya.

Yang kami mengerti, bukanlah ia malaikat, jin, atau nabi. Bukan, bukan. Kakiali hanyalah pemeluk syariat teguh. Kalau tidak salah, ia termasuk murid Sunan Giri di Jawa—anggota Wali Songo yang giat menyebarkan Islam, agama yang tumbuh di padang gersang dan memuncratkan cahaya gilang-gemilang di pucuk timur.

Di usianya yang masih hijau, Kakiali nekat membentuk persekutuan dalam rangka memprotes kesombongan Belanda. Bagaimanapun juga, orang-orang kafir itu tak ubahnya dengan majikan yang menuntut pelayanan penuh, gemar ongkang-ongkang kaki dan meludah sembarangan. Melihat tindakan Kakiali, tak ayal, sebagian besar di antara kami ditikam keheranan. Pasalnya, di balik tampangnya yang lembut, janggal bila benih-benih perlawanan menumpuk dalam dirinya.

Kakiali memperoleh jalan. Bermodal sokongan kerajaan bangsa Makassar, Gowa, ia berhasrat memandu kami—kaum Muslim Hitu—beserta pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal guna melancarkan aksi pemberontakan. Dengan mengobarkan semangat anti-VOC, si keras kepala itu berniat menanamkan arti perlawanan. Benar. Perlawanan yang digaungkan demi merenggut kebebasan.

"Kalian tahu apa yang akan kita lakukan?" sambil berdiri, Kakiali memekik lantang. Penampilannya meyakinkan, didukung terutama oleh kumisnya yang gagah.

Sebagian dari kami menggeleng. Lebih banyak lagi mematung.

"Kita akan menggorok leher orang-orang bermata biru itu satu per satu."

Tiba-tiba kebingungan menghinggapi wajah kami. Kami bertukar pandang antara satu dengan yang lain. Serasa ada ribuan jarum menusuk cuping kami. Serejang kemudian, "Dengan apa?" seseorang memaksakan diri bertanya.

"Dengan keberanian." Begitu tenang Kakiali melanting jawaban. Katup mulutnya tampak lebih hitam. Lantas menyambungnya dengan ketus, "Untuk mengusir para calon penghuni neraka itu dari tanah kita, cuma ada satu jalan: pemberontakan!"

Kami tergeragap. Suara-suara yang berseliweran sebelum perkumpulan tersebut lenyap. Debu-debu yang dibuntingi udara jatuh ke tanah. Pohon-pohon turut memasang telinga, hendak menyimak apa yang selanjutnya menyembul dari lidah Kakiali.

"Kalau gagal?" lelaki itu, lelaki berjambang tipis itu lagi yang nekat menggerakkan moncongnya. Seakan tiada sama sekali orang di sampingnya.

“Hidup mulia atau mati syahid”. Kakiali menjawabnya singkat; dengan wibawa yang memancar dari tubuhnya.

Dan, jauh dari sangkaan kami sebelumnya, pewaris gelar Kapitein Hitoe tersebut bukanlah lelaki dungu yang ingin mati konyol. Ia begitu cerdas, sehingga kerap kali kami dibuat heran dengan apa yang dilakukan. Cara berpikirnya yang berbeda merupakan tanda bahwa otaknya lebih encer. Bayangkan! Ia pura-pura bersahabat dengan Belanda. Padahal, di saat yang sama, ia juga mengingatkan bahwa VOC adalah musuh yang laik diluluhlantakkan. Hampir setiap hari kami terngiang-ngiang dengan kata-katanya yang dilontarkan di satu pagi yang mendung: "Hidup diperbudak lebih hina daripada mati diterjang pelor. Atau bahkan meriam sekalipun."

Apa yang diperbuat Kakiali menyebabkan kepercayaan diri tumbuh di pundak semua orang, terutama sekali kaum pejantan. Entah mantra apa yang dibaca, sehingga apa pun yang keluar dari bibirnya, seakan menjanjikan kebaikan. Dan, demikianlah, pada khatamnya kami berbulat hati hendak memperjuangkan tanah kami hingga titik darah penghabisan.

Terkena lecutan, kami segera membangun benteng-benteng pertahanan di pelosok. Belum sebanding memang, jika gedung-gedung sederhana itu disandingkan dengan markas VOC. Sunggguhpun demikian, kami anggap hal tersebut sebagai upaya agar VOC urung memandang kami sebelah mata.

Para pembesar VOC naik pitam. Darah mereka memanjat ubun-ubun. Pasalnya, selain harus membabat ulah kami sekaligus membuat kami jera, kali itu penyelundupan cengkih yang melanggar peraturan-peraturan VOC kian menjalar. Jika tidak segera diatasi, mereka khawatir akan timbul persoalan lebih pelik. Dan, mereka menaruh curiga, jangan-jangan seseorang di balik semua ini adalah Kakiali.

Kakiali tersenyum lebar, melihat gerakan penyelundupan cengkihnya berjalan sesuai harapan. Merasa tidak tahan, ia pun melepas kedok persahabatannya dengan VOC. Bagaimanapun juga, menyamar menjadi karib VOC bukanlah persoalan mudah. Kerap ia dituntut untuk memungut satu di antara sekian pilihan yang sama-sama menyakitkan.

Sebagaimana dirinya sendiri, kami pun percaya dengan segenap keputusan Kakiali. Kami yakin bahwa apa yang ditentukan lelaki bijak tersebut senantiasa melahirkan kebahagiaan. Sayangnya, sekali lagi sayangnya, kebahagiaan yang baru kami ketam nyatanya harus lekas menghilang. Benar. Pagi itu, tak biasanya Kakiali telat ke masjid. Ia selalu datang lebih awal; berdiri di saf pertama untuk lebih dulu menunaikan dua rakaat salat fajar sembari menanti para jemaah lain.

Usai menunggu begitu lama dan tiada tanda kemunculannya, terpaksa salah satu di antara kami menjadi imam. Padahal, selama ini, Kakiali, orang yang memiliki bacaan Alquran paling fasih itulah yang bertindak sebagai imam Masjid Bait Alqahar.

Membaca wirid, konsentrasi kami buyar saat Abdul Rasyid berteriak berulang-ulang.

"Bahaya! Bahaya!"

Geram, Harun bergegas keluar, hendak menanggapi ulah adiknya yang jarang ikut berjamaah dan sepagi itu sudah membikin ribut. "Bahaya apa? Tak perlu lagi ada yang dirisaukan. VOC masih takut menghadapi Kapitein Kakiali. Kau tahu? Sebuah desa yang berkompromi dengan VOC berhasil diserang."

"Bahaya!" Apa yang dialami Abdul Rasyid hampir serupa dengan kegugupannya ketika mengetahui serdadu Belanda menyerang kampung kami.

Penasaran, orang-orang di dalam masjid berhamburan keluar. Syarif, pemuda yang bertugas mengumandangkan azan, langsung bersoal. "Ada apa?"

"Kapitein Kakiali semalam dibunuh ketika tidur." Abdul Rasyid menjawabnya tangkas.

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Benar apa yang kau ucapkan?"

"Orang Spanyol kiriman VOC menusukkan pisau ke tubuhnya bertubi-tubi!"

Dalam waktu agak lama kami terdiam. Ya. Kami sangat terpukul dengan apa yang dikatakan Abdul Rasyid. Nyaris kami tak percaya bahwa seseorang yang mendermakan keberanian serta mengajarkan arti harga diri tersebut akhirnya harus meregang nyawa, setelah berjuang habis-habisan. Benak kami bertanya-tanya, "Adakah Kapitein selanjutnya yang mewarisi darah Kakiali?" dan kami sendiri menjawab, "Sepertinya tidak akan pernah ada".

Yogyakarta, 2012


Lampung Post, Minggu, 24 Juni 2012

Sunday, June 10, 2012

Perempuan Bulan November

: Rina

Cerpen Alex R. Nainggolan

APA aku pernah mengenal dirimu? Bertemu denganmu di suatu tempat, di sebuah tahun yang buruk; sehingga dirimu merupa de ja vu? Ketika asap de ja vu itu berkelebatan di kelenjar otakku. Semacam menyeret ingatan. Sayangnya, aku tak pernah lengkap untuk mengingatmu.

Jadi siapa namamu? Engkau cuma menggeleng. Matamu menjelma paku. Sesekali melihat detak jam dinding. Sebentar-sebentar mencuri ke layar televisi. Sebuah berita yang menggabarkan tragedi. Ah, betapa bangsa ini terus menanggungnya. Tragedi yang melulu berulang. Nyawa yang melayang. Korban yang seperti hujan. Begitu deras. Kali ini, tentang pesawat yang menabrak cadas gunung. Dan seperti kaucium bau tabrakan itu. Ah, betapa dirimu begitu seksi.

Setelah ini kau akan pergi ke mana?

Kau hanya membisu.

Lalu dari bibirmu yang menyala itu bersiul lagu. Lagu yang juga mengingatkanku pada perempuan, yang pernah kutemui di suatu masa.

Lagu apa?

Nggak tau. Tapi enak aja dengar nadanya.

Tapi kauhapal liriknya.

Sedikit.

Perasaan banyak, deh....

Little-little.... tapi hidup enggak perlu dibawa perasaan. Enjoy aja—mengingatkanku pada sebuah iklan.

Ia berkhotbah. Suara dering telepon seluler. Senandung lagu.

Kenapa enggak diangkat?, aku bertanya.

Ia tertawa. Matanya menyipit. Mengingatkanku pada guguran daun. Rumput yang mengering. Debu pasir yang terbang. Rumah-rumah yang terbakar.

Biar saja! Lelaki kadal bunting. Lelaki bajingan.

Loh, aku juga lelaki. Tidak semua laki-laki, kataku pelan sembari mengingat lagu dangdut yang lumayan tenar dibawakan Basofi Sudirman.

Dan tiba-tiba aku kepingin sekali buat mengecup bibirmu.

Tapi aku belum mengenalmu. Belum sungguh, belum seluruh. Hanya sebuah kafe yang remang. Di luar, gerimis tiba. Jalanan menjelma jadi bayangan yang basah. Seperti rimbun air yang berkerumun. Sebentar lagi akan deras. Hanya mendung.

Terasa November menyelinap di depan.

***

DENTINGAN lagu Shoot The Piano Player masih menerawang. Ada sesak di sana. Ada candu yang lindap. Ada barisan sedih yang singgah tanpa henti. Terus berjalan. Memasuki stasiun ingatan. Kafe ini begitu lirih. Kafe yang sunyi. Dan perempuan itu duduk di sana. Tanpa ekspresi. Mungkin sedang masuk ke dalam refrain atau beat lagu. Mungkin ia sedang asyik mengunci kenangan. Matanya menyipit dan mulai berair.

Mata yang sendu. Namun hanya berair. Sepertinya air mata tak jadi menetes di pipinya. Sebab perona pipinya masih cerlang. Masih merah muda. Dan ia masih cantik. Ia meremas-remas sapu tangan putih di atas meja. Ia mengusap rambut. Ia menahan napas.

Aku di sudut yang lain. Masih di kafe itu. Suara lagu itu menyayat. Namun terasa nikmat, seperti menitipkan jeda pada sebuah hal. Hal yang tak sepenuhnya bisa kuingat dengan lengkap.

Lalu siapa namamu?, aku mengulang pertanyaan yang sama.

Seperti juga kuingat wajah pejabat negeri ini yang kerap melontarkan pernyataan yang sama. Berulang-ulang. Tanpa bobot. Tak berenergi. Tak bergairah. Dan mengapa juga segala hal bermula dari nama? Nama yang kerap menjadi awalan bagi pertemuan. Sepertinya nama adalah hal yang seksi. Nama pula yang mungkin membuat seorang Adam jatuh cinta pada Hawa.

Shoot The Piano Player masih saja bergema. Ah, apakah aku mesti menembak pemain piano semacam dalam lagu itu? Agar denting nada itu tak lagi bergetar. Supaya sunyi bisa sendiri. Dan hanya ada percakapan antara aku dan perempuan itu. Sayang aku tak membawa sepucuk pistol. Meskipun ini negeri koboi, karena di sini setiap orang bebas mengacungkan senjata api. Bila tersulut sedikit emosi, bahkan di kerumunan sekadar menciutkan nyali. Ya, mestinya kutembak saja kepala pemain piano itu. Supaya lagu berhenti. Dan aku bisa luas bercakap denganmu, mencium harum parfummu, atau menatap lekat dengan dekat bening matamu. Mata yang saat bercakap begitu penuh gairah.

Tunggu!, temani aku sebentar, radangmu pelan.

Aku baru saja ingin beranjak. Sebab kau tak pernah menyebutkan namamu. Bahkan di pertanyaan yang kedua.

Mengapa cinta terasa cuma sekadar gema? tanyamu memantul. Mengingatkanku pada bola bekel.

Lalu aku kelimpungan. Mencari lagi makna cinta di bibir gelas kaca yang masih tersisa bekas lipstikmu di gigirnya. Aku belingsatan, mencari cinta di kerlip lelampuan kafe. Juga asap rokok yang merawang. Ah, mengapa cinta mendadak cuma gema? Cuma lintasan peristiwa yang singgah saat pertama kali kenal. Saat dua mata bertemu dan berkemah di dalamnya.

Telepon selulernya berdering lagi.

Serius tak mau kamu angkat?

Biarin aja. Paling-paling cuma lelaki iseng. Seperti kamu.

Seperti aku?

Iya, kamu?

Buat apa kamu tiba-tiba mendekat? Bukankah kita tak pernah kenal sebelumnya? Cinta yang cuma sekadar gema.

Tapi aku tertarik padamu.

Hanya gombal yang silau. Mulanya begitu, seterusnya apa?

Aku ingin menikahimu.

Hanya baru sekali kenal, tiba-tiba kau ingin mengajakku menikah. Lelaki edan!

Biar. Aku ingin engkau menjadi ibu bagi anak-anakku-kataku sembari mengingat baris puisi Rendra.

Boleh kusimpan nomor selulermu?

Percuma.

Kok, percuma?

Ya, kaudengar sendiri yang barusan saja ada dering. Tapi tak pernah kuangkat. Buat apa? Kau hanya akan menghubungi angin. Yang kau dapati kelak cuma sebekas kekosongan.

Baiklah, kalau begitu alamat rumahmu? Mungkin apartemenmu?

Tidak perlu.

Kalau begitu namamu?

Ah. Ini sudah pertanyaan ketiga tentang nama.

Rina. Sudah, cukup?

Dan lagu itu masih saja mengalun. Namun kali ini terasa lembut. Shoot The Piano Player.

***

CINTA cuma sekadar gema. Gema yang memanjang. Seperti hujan yang turun. Seperti relung jauh yang mendadak samar-samar. Tak pernah bisa dengan lengkap diterka. Apakah betul itu dirimu?  Saat November luruh, lalu hujan jatuh satu-satu di setiap harinya?

Mungkin pula akan kutambatkan semacam kait buatmu. Meskipun aku tak memunyai nomor telepon atau alamatmu. Hanya hati kecil yang bisa menjawabnya. Hati kecilku yang meyakini jika dirimu bakal menjadi ibu bagi anak-anakku.

Terasa betapa November bakal jadi panjang. Semacam sebuah prosa yang tak pernah selesai untuk ditulis. Aku yakin bakal bertemu denganmu lagi. Di suatu tempat dan kita akan bercakap akrab. Sebab, seperti ucapmu: cinta cuma sekadar gema.

**

Mestinya aku mengantarkanmu pulang malam itu. Ke apartemenmu. Malam yang larut dan seperti bangkrut. Malam yang gelap membayang. Mungkin sebentar lagi hujan. Bukankah aku telah mengetahui namamu? Tapi engkau seperti tegar. Engkau seperti tak mau berhubungan lebih lanjut.

Sudah tidak perlu, ucapmu. Jika kau perlu, kau akan menemuiku lagi di kafe ini, sambungmu.

Dan kau bergegas pergi. Meskipun remang kafe ini belum tutup. Meskipun lagu yang kaugemari belum benar-benar selesai. Meskipun pula, di luar gerimis masih turun sedikit-sedikit. Namun kau memilih pulang. Langkahmu menjauh. Lagu itu masih saja berputar. Aku merebut hamparan nada-nadanya. Aku terlelap di untaiannya. Aku terkesima.

***

APAKAH aku pernah mengenal dirimu? Bertemu denganmu di suatu tempat, di sebuah tahun yang buruk; sehingga dirimu merupa de ja vu? Ketika asap de ja vu itu berkelebatan di kelenjar otakku. Tapi sebenarnya siapa namamu? Seketika aku mengingat bulan  di kalender. Mungkin engkau adalah perempuan yang selama ini kucari. Mataku  kembali tertumbuk pada kalender. Ahai, sudah November...


Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012

Sunday, June 3, 2012

Seperti Mengisahkan Seorang Lelaki yang Sedemikian Mencintai Senja

Cerpen F. Moses


AKU senantiasa memang melihatnya. Membiarkan penglihatan yang samar-samar ini untuk selalu melihat pada kedua bola mata yang seolah sepasang mata yang entah harus dideskripsikannya seperti apa, sebab tak pernah berhenti untuk melihatku. Seperti teratai yang terjulur untuk memberi sebulir air menetes menjadi air mata kebahagiaan. Aku selalu bertanya padanya, dalam hati yang selalu ingin mencapai suasana hati tak terbatas dalam pikiran maupun perasaan penuh getar antara aku dan dirinya. Entah adakah. Entah sedemikian dahsyatkah. Entah kebahagiankah?

Di laut. Ya, aku tengah berada di laut. Selalu memperhatikan rambutnya yang dibiarkannya tergerai sesuka hati sebab kesetiaan angin selalu mengibas ke mana suka pula kesana ke mari, seperti pendaran masing-masing dari ujung warna pelangi yang entah dari mana masing-masing berpangkal. Benar-benar membuatku mabuk kepayang. Seolah memang tak ada persoalan lain lagi saat aku menjumpainya. Suatu perjumpaan di laut. Hanya laut dan hanya dia yang benar-benar tertangkap oleh mata hatiku. Betapa laut memang selalu memberi perasaan tersendiri. Laut seperti memberi ruang kepada kami setelah berleha-leha dari kitaran jiwa yang letih yang kadang memesona dan tanpa.

Laut benar-benar memberi ruang buat para pejago untuk berfantasi. Sebuah pekerjaan rumah imajinasi terbaik dari semesta untuk ditunai.

Lantas, mengapa aku harus diam. Mengapa aku tak senantiasa menatap wajahnya dalam kegamangan yang akhir-akhir ini hampir mendidih untuk mutlak berperasaan memilikinya? Merengkuhnya sambil memeluk untuk menyatukannya ke jiwaku.

Ah, aku tak sabar untuk segera menggodanya dengan kata-kata sedemikian indah. Laiknya penyair terganggu dari alam imajinasi.

"Kau semakin cantik dan manis saja, Senja? Anggun. Aku selalu tak sanggup melihatmu. Sebab tak tahan. Mana tahan...."

"Ah...."

"Apa?"

"Gombal."

"Apanya yang gombal? Aku jujur. Kejujuran dari hati paling dalam. Aku ingin memacari kamu, sungguh. Sungguh, Senja. Kalau tak percaya belah saja dadaku ini, ada sebungkus cokelat di dalamnya."

"Prek. Goblok. Matilah kamu kalau aku belah dadamu. Memang dada kamu itu warung pojok yang kayak di ujung gang itu?"

Senja tiba saja meninggalkanku begitu saja. Seperti lempengan matahari senja yang perlahan tenggelam pada ujung laut bergaris tipis tampak kejauhan. Seperti pelangi yang perlahan memudar. Senja berlari dariku. Ah, aku tahu, kebiasaannya memang selalu berlari setelah mendapat pujian, padahal biasa, bukan? Sekuat tenaga aku mengejarnya. Kukejar dan kukejar. Seperti pertengahan seru dalam adegan film India.

Tertangkap.

Dalam pelukan imajinasi lembutku, senja rupanya langsung menangis tiada berhenti. Senja menangis seperti lidah ombak menjilati pantai tiada berhenti. Kami larut di tepian. "Ah, seperti inikah larut hingga ke tepian hati perempuan yang selama ini aku cari?" kataku dalam hati.

Itulah kami. Kami sebagai sepasang kekasih tanpa kejelasan. Tanpa muasal sebenarnya dari mana ihwal kami bermain dalam perasaan cinta, meski kami kekasih. Sebab masyarakat tak akan mampu menerima kami demikian adanya. Makanya, kami lebih memilih di laut untuk selalu bertemu. Sebab aku yakin, cinta kami di sini kelak tiada pernah berkarat apalagi berperih. Pokoknya tiada berkesudahan. Itu pun andai pendaran redup indah senja mampu menerimaku.

Sayangnya, senja tak pernah mampu merasakan dari apa aku rasa. Makanya, aku selalu kembali ke laut setiap sore menjelang senja. Hanya untuk bertemu senja. Meski hampir semua teman banyak anggap aku gila. Demi mengejar senja untuk hidupku. Mungkin juga hidupmu—keseharian dari sore bersenja yang kerap dirimu alpa.

LAIN sekolah lain lautan. Lain ilmu manusia lain ilmu alam. Lain manusia tak berarti lain dari ikan. Aku merapuh tiap selalu kuingat senja; seperti rapuh gerak ikan di antara terumbu karang. Kembali kukejar meski cara pendekatan begini terbilang pongah.

"Senja, marilah kita kembali ke laut."

"Ngapain? Ah, paling untuk kembali merayu aku lagi."

"Banyak sesuatu untuk kukatakan."

:Kenapa tak di sini saja..., kan...."

"Karena bukan takdir kita!" sergah Aril.

Senja kembali tertunduk untuk ke sekian kalinya—lalu mereka pun menjadwal waktu.

Di laut segalanya selalu saja mungkin bagiku. Mesti kumiliki Senja yang selama ini banyak direbut. Perebutan terhadap dirinya yang tak hanya dilakukan oleh teman sekelas, tapi juga para guru bahkan, pernah aku dengar, oleh penulis hebat di negeri ini. Ah, ada-ada saja. Kurang kerjaan saja jika sampai separo hidup mesti mengejar senja.

Hmm, ini kali waktu paling tepat. Meski harapan sempat terputus-putus, tapi senja mau kembali menyambagi janjiku. Aku rasa pekerjaan rumah imajinasi terbesar telah terlewati.


***

SESAMPAINYA di laut hanya kekosongan. Masih kutunggu senja muncul perlahan di hadapanku. Betapa senantiasa kuat membayanginya. Betapa butuh kesetiaan paling utuh untuk memilikinya nanti, mungkin, tapi pasti,

Hingga pukul 17.00 lebih senja masih belum datang. Aku memang selalu tak peduli dalam hal menunggu. Karena buatku, kesetian dalam menunggu tak lain dari harapan. Antara ya dan tak. Antara mesti dan tak pasti. Aku tak peduli.

Berhari-hari orang tua Aril mencari sang anak. Dulu di Yogyakarta berulah dan kini di Jakarta juga berulah, seru sang ibu—hingga hari ke hari dan bulan ke bulan tanpa detik waktu tak terpikirkan. Bagimana mungkin Aril bisa kembali ke sekolah? Ah, dirinya masih bersetia menunggu kehadiran senja di laut.

Ya, aku tengah berada di laut. Selalu memperhatikan rambut tergerainya sesuka hati sebab angin selalu mengibas ke mana disuka, bak pendaran masing-masing dari ujung warna pelangi yang entah dari mana berpangkalnya. Membuat mabuk kepayang. Seolah memang tak ada persoalan lain lagi saat aku menjumpainya. Suatu perjumpaan di laut. Hanya laut dan hanya dia yang benar-benar tertangkap oleh mata hatiku. Betapa laut memang selalu memberi perasaan tersendiri. Laut seperti memberi ruang kepada kami setelah berleha-leha dari kitaran jiwa yang letih yang kadang memesona dan kadang tanpa.

Dan aku tak lagi menunggu, sebab senantiasa laut adalah sekolah ilmu alam terbaik buat aku: menikmati dan bercinta dengan senja yang sesungguhnya. Dalam setia hadirnya tiap sore. Sore bersenja. Senja bulat dalam sepi cakrawala. Senja yang bukan lagi bak sang surya, melainkan sang Suryowati kekasih hati yang sudah dan memang telah berlalu. Ah, kira-kira begitulah kalau aku tengah mabuk kepayang kepada senja. Senja yang berdaging dan mempunya hati seperti hatimu. Entah adakah. Entah sedemikian dahsyatkah. Masih kupertanyakan hingga detik ini. Hingga tarikan napas dan kerdipan mata terakhir saat kau baca kisahku ini.


Lampung Post, Minggu, 3 Juni 2012