Sunday, May 1, 2011

Surat dari Malaikat

Cerpen Suhairi Rachmad


SUPARTO terkejut ketika membaca surat kaleng yang tergeletak di depan pintu rumahnya. Isinya cukup singkat: Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 30 hari lagi. Ttd. Malaikat. Surat kaleng itu ditulis menggunakan spidol. Jadi, Suparto tak membutuhkan bantuan kacamata agar bisa membaca pesan dalam surat itu.

Suparto tahu, surat kaleng yang masih segar tersebut ditujukan kepada dirinya. Di rumah itu, ia tinggal seorang diri. Istrinya meninggal dunia setahun yang lalu akibat serangan jantung. Kedua anaknya kini bekerja di Jakarta dan Surabaya. Di rumah itu tak ada pembantu. Suparto mengerjakan semuanya dengan tangannya sendiri. Maka ia faham, jika surat itu ditujukan kepada dirinya. Tetapi siapa yang telah berani meletakkan surat kaleng di depan pintu rumahnya?

Bulu roma Suparto sempat merinding ketika membaca surat kaleng itu. Tatapan matanya seperti menatap aroma kematian. Ia bangkit dan seperti menahan perasaan terkejut. Sumpah serapah kini berhamburan keluar dari kedua belah bibirnya yang hitam legam. Ia berusaha menghilangkan perasaan itu dengan mengerjakan sesuatu; mencuci piring dan cangkir, lalu membuat secangkir kopi manis. Setelah itu, ia kembali duduk di kursi di teras depan.

Semasa muda, Suparto terkenal sebagai perampok kelas kakap. Bersama empat kawannya, beberapa kali ia merampok bank di siang bolong. Mereka menggunakan senjata api yang ditodongkan kepada karyawan dan nasabah bank. Dengan lihai Suparto membuka setiap laci milik karyawan yang diduga berisi tumpukan uang. Pada hari itu juga mereka berhasil menggondol uang ratusan juta rupiah.

Suparto tak merasa gentar. Bahkan ia tahu, aksinya di siang bolong itu direkam CCTV yang terpasang di pojok atas bank. Bisa dipastikan, aksi tersebut tak tercium aparat. Ia selalu lolos dalam setiap pengejaran pihak aparat keamanan. Dari hasil merampok, ia gunakan mabuk-mabukan, main judi, dan tentu saja dengan pendamping seorang perempuan berdandan seksi. Sedangkan istri dan kedua anaknya di rumah, ditinggal pergi hingga beberapa hari.

Ketika uangnya tinggal uang ribuan beberapa puluh lembar, Suparto baru mau pulang ke rumah. Pakaiannya yang kumal, rambutnya yang panjang dan ikal, serta mulutnya yang bau alkohol, membuat istrinya tak menyukai kedatangannya pada saat itu. Namun apa boleh buat, rumah itu adalah rumah Suparto. Yang dibangun dari hasil jerih payahnya sendiri. Ketika istrinya berusaha memberikan nasihat agar tak melakukan sesuatu yang melanggar agama, bisa dipastikan tangan Suparto yang kasar akan mendarat di pipi istrinya. Lalu istrinya akan lari ke kamar dan menangis sesenggukan.

***

Malam ini Suparto ingin secepatnya memejamkan matanya. Di usianya yang hampir uzur, ia tinggal seorang diri. Jika perasaannya sedang dirundung rasa kalut, tak seorang pun yang bisa memberikan nasihat, apalagi menghiburnya. Begitu juga setelah kedatangan surat kaleng tadi pagi. Rasa berani ketika masih muda kini menghilang lenyap. Bahkan sudah tiga jam ia berusaha memejamkan mata. Sekarang hampir tengah malam. Suara kendaraan di luar sana mulai menurun. Sesekali ia mendengar tetes embun menyentuh daun kering di samping rumahnya. Suara burung hantu membangkitkan kembali bulu kuduknya. Sesekali terdengar jeritan panjang. Mungkin anak-anak yang baru pulang begadang. Tetapi, suasana malam itu seperti mengajak Suparto menuju alam kematian.

Suparto terbangun setelah beberapa sinar matahari menerpa bagian punggungnya. Wah, aku kesiangan, desis Suparto pada dirinya sendiri. Ia bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Namun, di pagi yang segar itu, kedua belah matanya kembali menatap selembar kertas tergeletak di depan pintu rumahnya: Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 29 hari lagi. Ttd. Malaikat.

Tidaakk! Suparto berteriak keras dan meremas-meremas surat kaleng yang baru ia baca. Sobekan-sobekan kertas kemudian dilempar ke tempat sampah yang terletak di pojok teras depan.

Suparto berusaha menelepon anaknya yang bekerja di Jakarta. Ia membujuknya agar mau menemani dirinya di rumah. Anaknya menolak. Sebab, jika semua ada di rumah, siapa yang akan mencarikan duit untuk kebutuhan hidup Suparto. Anaknya juga mewanti-wanti agar Suparto tak banyak bekerja. Tetapi, bagaimana agar umurnya yang tinggal sedikit digunakan untuk bertobat.

"Apa? Anakku bilang aku harus banyak bertobat karena umurku tinggal sebentar lagi," wajah Suparto memerah. Tatapannya kosong melompong. Ponsel di genggamannya nyaris terlepas. Apakah surat kaleng itu dikirim oleh anaknya yang bekerja di Jakarta? Tak mungkin. Sebab, surat kaleng itu tak dikirim melalui pos.

Matahari tak terlalu siang. Ia berusaha menghubungi anaknya yang bekerja di Surabaya. Barangkali ia tak sibuk dan mau menyisihkan sedikit waktunya untuk menerima telepon dari ayah kandungnya.

"Nak, kamu harus pulang ke rumah! Ayah sendirian," pinta Suparto memelas.

Sang anak malah menjawab dengan sedikit membentak.

"Apa tak keliru, Yah. Bukankah ayah dulu yang mengusir saya dari rumah. Saya dikejar-kejar seperti anjing kudisan," jawabnya dari seberang sana.

"Maafkan ayah, Nak! Ayah khilaf!"

"Ketika saya menikah di Surabaya, ayah juga tak sudi menghadiri akad nikah. Bukankah ayah adalah wali saya?"

Tiba-tiba ponselnya ditutup. Suparto kini kembali meratapi nasibnya. Duduk di sebuah kursi yang tertata di teras depan. Pagi ini ia tak memiliki gairah memasak atau membuat secangkir kopi hangat. Pikirannya kacau. Apalagi, ia melihat burung gagak di depan rumahnya terbang dan hinggap di atas pohon. Lalu bertengger di sebuah ranting. Jelas terlihat dari tempat duduk Suparto. Burung gagak itu berkaok-kaok, seperti memanggil-manggil Suparto. Ajal baginya sudah nyata di ambang pintu.

Pagi hari Suparto kembali menemukan surat kaleng tergeletak di depan pintu. Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 28 hari lagi. Ttd. Malaikat.

Ah, ini pasti kerjaan orang iseng dan tak senang melihat kehidupanku aman dan tenteram. Tidak mungkin malaikat sibuk-sibuk setiap pagi mengantarkan surat kaleng ini kepadaku. Apalagi malaikat tak pernah memberikan pengumuman terkait kematian seseorang.

Suparto berusaha mengusir rasa gelisah yang menggenang pada sisi hatinya. Kali ini ia bertamu ke rumah tetangga dekatnya. Berbicara tentang bonsai. Kemudian, ia belajar cara merawat bonsai dengan baik. Untung saja di sebelah rumahnya terdapat tetangga yang suka mengoleksi dan merawat bonsai. Otomatis ia tak sering keluar rumah. Namanya Udin. Umurnya tak jauh berbeda dengan Suparto. Udin bekerja sebagai tukang bonsai sejak tiga puluh tahun silam. Inilah yang dijadikan kegiatan sebagai penopang hidup untuk keluarganya.

"Din, aku dapat surat kaleng," Suparto mengadukannya kepada Udin.

"Surat kaleng apa?" tanya Udin, seraya membengkokkan tangkai bonsai pohon asam.

"Ancaman."

"Ancaman apa?"

"Ancaman kematian."

"Hah!" Udin terkejut. Kawat sepanjang sepuluh sentimeter di tangan kanannya terlepas setelah mendengar ancaman kematian. Ia menatap wajah Suparto yang tampak ketakutan. Tiga surat kaleng yang disodorkan Suparto malah membuat Udin tertawa sekeras-kerasnya.

"Ha ha ha ha...!" Udin ngakak di depan Suparto. Gigi-geriginya yang tak utuh, terlihat jelas. "Ini bukan ancaman dari malaikat. Ini kerjaan orang iseng!"

"Ah, kau jangan bercanda, Udin!"

"Aku tak sedang bercanda."

Suparto sedikit lega. Wajahnya berbinar. Kini ia seperti memiliki semangat baru. Sesampainya di rumah, ia kembali menyeduh secangkir kopi hangat. Lalu duduk di sebuah kursi yang tertata di teras depan.

Malam ini terasa sangat pekat. Di luar suasana sudah sepi. Biasa, jika gerimis turun sejak menjelang magrib dan baru berhenti setelah salat isya, orang-orang enggan keluar rumah. Mereka lebih suka nonton televisi atau mendengkur di balik selimut tidur. Malam ini Suparto bisa memejamkan matanya secepat mungkin. Jauh sebelum Subuh, ia terbangun dari tidurnya. Rasa dingin yang menusuk-nusuk tulang dan sumsumnya tak dihiraukannya. Ia ingin mengetahui siapa yang telah iseng meletakkan surat kaleng di depan pintu rumahnya.

Sambil menahan rasa dingin dan sepi, Suparto duduk di dekat jendela kamar. Sebuah lubang kecil, dirasa cukup untuk melihat seseorang yang akan datang dan mengantarkan surat kaleng. Kadang-kadang bulu romanya terasa merinding. Seperti ada makhluk halus yang datang. Jangan-jangan malaikat maut kini berseleweran di rumah ini? Ah, tak mungkin!

Jarum jam berdenting tiga kali, empat kali, lalu lima kali. Berarti ia telah melewati tiga jam duduk menghadap pintu masuk ke kamar depan. Pagi ini tak ada yang datang. Sayup terdengar kicau burung dari reranting pohon di belakang rumahnya. Suparto bangkit dan ingin memastikan apakah pagi ini tak ada surat kaleng di depan pintu rumahnya?

Seraya menahan kantuk, dibukanya pintu kamar depan. Ternyata, sebuah surat kaleng tergeletak seperti menahan rasa takut. Lalu siapa yang meletakkan surat itu? Manusiakah? Tak mungkin. Semalam tak ada seorang pun yang memasuki halaman rumahnya lalu mendekat ke pintu depan. Malaikatkah? Ah, tak mungkin juga. Malaikat tak pernah main-main dengan kematian.

Pagi itu juga Suparto membawa surat-surat itu ke kiai atau orang pintar. Ia ingin mengetahui pengirim surat misterius itu. Seandainya bisa, ia juga ingin mengetahui sidik jari yang menempel pada bagian kertas. Namun, ini terlalu njlimet dan memakan waktu.

"Aku tak bisa menentukan siapa yang telah meletakkan surat kaleng di depan rumahmu. Saranku, kau harus bertobat agar bisa mengakhiri hidupmu dengan khusnul khotimah. Dan sejak saat ini kau tak perlu mempermasalahkan setiap surat kaleng yang kau terima," saran Kiai Samsul, yang tinggal sedesa dengan Suparto.

"Saya selalu merasa takut menghadapi maut, Kiai," ujar Suparto.

"Kau akan berani berhadapan dengan maut jika kau memiliki bekal banyak."

"Apakah ajal saya memang sudah dekat, Kiai?"

"Siapa pun tak mengetahui ajal seseorang. Itu urusan Allah," Kiai Samsul berusaha membujuk Suparto agar tak terlena dengan ancaman kematian. Ia menasihati Suparto agar mau mendekatkan diri dan bertobat atas perbuatannya yang selama ini telah melenceng dari aturan agama.

Setiap pagi ia masih menerima surat kaleng yang berisi ancaman kematian: Bersiap-siaplah menjemput maut. Umurmu tinggal 10 hari lagi. Ttd Malaikat.

Suparto merasakan panas-dingin. Napasnya terasa semakin sesak. Kepalanya terasa pening. Sambil menahan keseimbangan tubuhnya, ia mondar-mandir di ruang tamu. Kemudian keluar ruangan. Berdiri di tengah halaman. Mengambil sabit untuk membersihkan rumput-rumput liar di halaman rumahnya. Namun, itu semua tak membuat dirinya tenang. Apalagi ketentuan umur yang tercantum dalam surat kaleng itu semakin mengancam dirinya: tinggal lima hari lagi; tinggal empat hari lagi; tinggal tiga hari lagi, tinggal dua hari lagi; dan surat terakhir tertulis umurmu tinggal satu hari lagi.

Kini tubuhnya semakin gemetar. Wajah anaknya yang bekerja di Jakarta berkelebat seraya melambaikan tangannya. Sesaat kemudian, wajah anaknya yang tinggal di Surabaya seperti melambaikan salam perpisahan. Yang terakhir, giliran mendiang istrinya yang terbayang di pelupuk matanya. Ketika semuanya pergi, suasana menjadi sepi. Sunyi. Kini Suparto merasakan sepi yang mendera.

Beberapa hari berikutnya, sebelum berangkat kerja, orang-orang menikmati secangkir kopi dan sepotong pisang goreng hangat di warung Bu Minah. Ketika melewati jalan raya di depan rumah Suparto, mereka menutup hidung dengan tangannya. Sebagian terlihat mual-mual menahan bau tak sedap. Inilah yang menjadi perbincangan orang-orang di warung Bu Minah, bahwa mereka mencium bau mayat menyeruak memenuhi angkasa di pagi hari.

Sumenep, 23 Agustus 2010


Lampung Post
, 1 Mei 2011

2 comments:

  1. blog anda bagus>>>

    saya ajungi jempol!!!!



    dan saya hanya sekedar mampir ya sekalian blogwalking!!!



    jika bernit liat blog saya kunjungin balik jja!!!!

    ReplyDelete