Sunday, November 30, 2014

Seekor Naga yang Menggeliat di Kepala Seorang Wanita

Cerpen Alexander G.B.


SORE itu, aku melihat naga abu-abu yang keluar dari bibirmu. Menggeliat, mengibas-ngibaskan ekor, lalu melesat ke sebuah tempat yang jauh dan tinggi. Seperti dongeng tentang puyang atau sesuatu yang kau percaya sebagai muasalmu. Meski mati-matian aku mencoba membantah. Namun, telanjur kau percaya dan aku tak hendak mengusiknya.

“Jadi, salah satu telur naga itu ditetaskan di puncak Seminung. Lalu ia bertapa, berkelana dan akhirnya menjadi penguasa laut yang sakti dan pemberani,” ujarmu.

Meski demikian, aku mencoba menawarkan Adam sebagai mula kehidupan. Seperti yang disampaikan Kiai Muhtasor, guru ngaji-ku semasa aku masih tinggal di Ulubelu. Lelaki ringkih yang hampir separuh usianya dihabiskan di musala selepas menempuh pendidikan di sebuah ponpes di pulau seberang. Ia yang dengan keyakinan yang seolah tak bisa disangkal itu mengatakan Adam dan Hawa tergoda dan makan buah terlarang dan akhirnya terlempar ke dunia. Dan aku begitu saja percaya. Tak sedikit pun curiga, bahwa bisa jadi Tuhanlah (yang dengan caranya) yang telah merancang demikianlah kisah Adam-Hawa. Tanpa disadari siapa pun, sehingga (termasuk kita) telanjur menganggap itu sebagai kesalahan Adam semata. Padahal, Adam dijebak, ia masuk perangkap. Kudengar naga di kepalamu mendengus, mungkin hendak menelanku.

“Namanya Sabatang,” tegasnya.

“Bagaimana kamu bisa memercayai cerita semacam itu?” balasku.

“Memang bagimu tidak masuk akal, tapi begitulah, tapi bagiku demikianlah kebenaran.”

Lekas, kisah Seribu Satu dan Semalam (Harun dan Lautan Dongeng) Salman Rusdie mengetuk-ngetuk kepalaku. Ah, mengapa kitab itu tak kutemukan meski kepala telah lama berdenyut.

Dari tempat duduk, kau menatap langit yang tak biru. Lalu menghela napas. Aku menduga dongeng-dongeng di kepalamu turut tercemar oleh mendung yang tiba-tiba merebak itu. Kau juga menolak kuajak ke museum atau ke perpustakaan kota dengan alasan terlalu banyak fakta yang telanjur berubah sebagai fiksi di sini dan sebaliknya. Lalu kita tertawa, kembali membahas ihwal perjumpaan dan perpisahan, tentang sambal terasi dan seruit yang dulu kerap menghiasi meja makan kami.

“Ini bukan sekadar dongeng, memang tak disebutkan nama tempatnya. Tapi gunung yang dikelilingi danau itu ada. Kamu tahu Seminung kan?”

Aku mengangguk. Setelah puluhan atau ratusan perjumpaan baru sekarang kutemukan wanita yang ngotot sepertimu. Mungkin kau bosan bertahun-tahun hidup di Belanda yang selalu dituntut rasional dan serbateratur itu.

“Untuk apa lagi kau mencoba mengingat dongeng semacam itu?” tanyaku. 

Kau meneguk kopi tanpa gula, mengeluarkan sebatang rokok putih lalu mengisapnya. Bulatan-bulatan kecil keluar dari bibinya. Bulatan abu-abu, yang kemudian pudar dan menyusun garis tipis. Kau kembali tersenyum. Bulatan kecil abu-abu telah kembali menjelma naga. Ia menatapku usai berputar-putar di atas meta kayu pinggir kolam, matanya memerah seolah juga meminta membantumu menyusun kisah bersama. Lalu angin yang melompati dinding pembatas kolam berpusar, dan naga itu melesat dan mendekam di kepalaku. 

Kau tahu, aku sedang memikirkan hal lain, yang mungkin saja tak berkaitan dengan muasal siapa pun. Sebab, aku tak betah untuk turut menelusuri lorong-lorong masa lalu yang bagiku selalu gelap.

Sembari mengusap batu cempaka madu. Aku kembali menegaskan ada banyak hal terjadi di luar sana. Banyak orang berduyun-duyun membangun masa lalunya sendiri, memajang foto mereka di billboard-billboard. Sementara aku, dalam kerumunan itu, hanyalah sekumpulan daging yang sesekali menertawakan kisah yang mencoba mereka yakini sebagai kenyataan.

“Jadi menurutmu, kota ini juga bermula dari dongeng?”

“Barangkali, atau bisa jadi sesungguhnya kita hidup di negeri dongeng.”

“Saat ini?”

“Ya, saat ini.”

“Jadi kau pikir hidup sebatas fiksi?”

“Bisa jadi.”

“Baiklah, besok kuajak kamu menelusuri Tanjungkarang,” ujarku.

“Aku setuju,” ujarmu.

“Memang tak seindah kota-kota imajinernya Italo Calvino,”

“Aku tahu. Sekalian antar aku ke sebuah tempat ya?”

Aku mengangguk. Membayangkan kira akan menyapa sudut-sudut Tanjungkarang yang belakangan binary matanya terlihat gamang. Lalu aku berpamitan. Seorang teman lama mengirim kabar lewat pesan singkatnya, bahwa malam itu, kamu menjumpai sebuah komunitas lain di satu sudut kota ini. Sementara aku terlelap dalam kisah yang lain, hingga naga itu tiba-tiba hadir dan seolah hendak membelitku. Aku nyaris tak mampu bernapas, setelah mengapai, mengucap mantera, ayat-ayat yang diajarkan Kiai Muhtasor, mengatur napas, hingga terasa terbebas dari belitan naga yang keluar dari bibirmu. Meski risikonya, kupaksa mataku melotot hingga pagi. Terlelap sebentar, lalu dering telepon darimu membuatku kembali terjaga.

Kita kembali bertemu. Siang sangat terik. Kita jalan-jalan, kulit putihmu melegam. Tapi tak ada jalan lain untuk membangkitkan ingatan, kecuali kembali menelusuri jalan-jalan yang pernah kita lewati bukan? tanyamu dalam perjalanan. Aku sangat menghargai keseriusan dan ketulusan niatnya itu. 

“Apa yang kamu lakukan selama ini?”

“Menemani Bung Joy.”

“Siapa dia?”

“Kolektor batu akik.”

Kau tertawa. Mencubit lenganku, membasahi tenggorokan dengan air mineral, lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
                               
***

Di sebuah tempat, kamu tahu, banyak orang menyambut kita dengan tatapan sinis. Aku memakluminya. Butir-butir garam keluar dari kening dan pelipismu. Kamu terlalu bersemangat ketika itu, hingga sesungguhnya, hatiku berduka sebab sesuatu yang berbeda yang berlintasan di kepala mereka.

Namun, aku tak hendak mencampuri semua itu. Aku memilih menikmati segelas kopi dan beberapa batang rokok di satu sudut gedung, yang kuduga sebagai salah satu mata air dongeng yang salah satunya kau ceritakan itu. Di sana kisah-kisah lain dilahirkan, diproduksi, dikemas, dan disebarkan ke seluruh pelosok negeri.

Kutatap wajah minggu yang muram di sebuah kota, yang menurutmu, orang-orang lebih suka melihat kota itu sebagai puing-puing, gedung-gedung yang tak kuasa menahan hantaman sang waktu, yang dalam istilah Salman Rusdi serupa sekumpulan hati yang patah. Mestinya kita bisa menyusun dongeng kita sendiri, ujarmu. Tapi aku masih enggan dan lebih suka bertahan di kursi plastik hijau di beranda. Angin membawakan aroma mawar dari sebuah tempat yang jauh dan lekas berlalu. Samar kudengar debur ombak dan lengking camar dari dada temanku yang saat itu  termangu. Lalu jalanan kembali lengang, hari beranjak sore, dan minggu mulai berkemas.

“Sebentar lagi aku harus meninggalkan Tanjungkarang,”

“Mengapa buru-buru?”

“Dongeng-dongeng itu memanggilku,”

“Mengapa ia tak memanggilku?”

“Sebab, kamu terlalu terpukau pada Ulubelu.”

Kau tersenyum. Lalu meninggalkan satu sudut Grande yang tanpa sengaja telah mempertemukan kita, pada banyak obrolan yang gagal kita sepakati sebagai sejarah atau sekadar bumbu gelak-tawa.

Ada banyak dingin dan gigil yang hendak kau kirimkan lantaran rindu yang telanjur tertanam di satu ruang dalam diriku? Ada banyak kesedihan dan duka cita yang mesti kutanggung untuk kembali sampai kepadaku. Ada banyak dongeng yang mesti kausingkap usai pertemuan itu. Kau pukau aku lalu pergi begitu saja. Kini naga itu menyemburkan apinya kepadaku. Dan mungkin akan membakar seluruh kisah yang pernah kutuliskan.

Esoknya, selepas subuh, kau itu meninggalkan kota ini. Kau lupa membawa naga, yang kini telanjur mendekam di kepalaku yang kini sedang duduk di satu sudut kota, yang selalu gugup dan malu-malu ketika menyebutkan namanya. n

Tanjungkarang, September 2014


Lampung Post, Minggu, 30 November 2014

Sunday, November 16, 2014

Menjadi Ikan

Cerpen Muhammad Amin


SUDAH lama sekali, sejak aku mendengar cerita ini. Cerita yang awalnya kudengar dari Nenek. Perempuan tua yang hampir pikun tapi masih mengingat cerita-cerita. Aku tak menganggap ceritanya sebagai dongeng meskipun kisahnya seperti dongeng untuk anak-anak kecil sebelum terlelap tidur. Nenek bercerita tentang bidadari yang turun dari kayangan mandi di telaga suci. Juga tentang manusia setengah ikan. Tapi, menurutku, cerita Nenekku bukanlah dongeng.

Sebulan setelahnya Nenek meninggal—dan memang seharusnya ia yang setua itu meninggal. Mungkin saya kasihan juga jika penyakit tuanya semakin menggerogoti. Ia akan kembali seperti anak kecil, bahkan lebih parah lagi. Meski sudah pikun, Nenek masih ingat sembahyang. Dia bersembahyang lebih dari lima puluh kali sehari. Karena setiap kali telah menyelesaikan sembahyang, tampaknya Nenek lupa bahwa ia sudah melaksanakannya, sehingga ia mengambil wudu, sembahyang lagi. Begitu seterusnya. Padahal, saya sudah sering mengingatkan. Tapi, itulah Nenek.

Pada bulan Rajab waktu itu, bulan yang dipercaya sebagai bulan berkah. Bulan haram, kata orang Islam. Bulan di mana syariat salat diturunkan. Nenek meninggal di bulan ini. Terjatuh di tangga.

Tubuh Nenek terbujur kaku. Aku hanya memandangi dari kejauhan ketika banyak orang berdatangan. Aku seperti mencium aroma asing di udara. Aroma yang belum pernah aku mencium sebelumnya. Setelah diurus; dimandikan dan dikafani, jenazah Nenek dibawa ke tanah pekuburan. Aku tak ikut serta mengantarkan. Aku menyendiri saja di pojok rumah di tengah keramaian itu.

Satu orang telah pergi dari rumah kami. Tapi ada yang masih ditinggalkannya untukku, sebuah cerita yang masih mengiang di kepala. Meski kemudian minggu dan bulan terus berganti. Waktu memang tak pernah berhenti meski hanya sejenak melepas lelah.

Beberapa tahun kemudian, ada kasak-kusuk berita yang santer beredar dari rumah ke rumah. Dulu, bukit-bukit nun jauh sana adalah bekas-bekas kejayaan masa lalu penduduk kampung kami. Kebun-kebun cengkih yang ranggi, subur tanahnya, serta melimpah bunga bijinya. Ditambah lagi harga yang amat tinggi saat itu.

Seluruh orang kampung menjadi kaya karena bunga cengkih yang harum itu. Di kala musim panen tiba, orang-orang dari Batu Patah turun untuk upahan. Siang hari kampung sepi melompong, karena orang-orang seluruhnya pergi ke kebun untuk memanen bunga cengkih. Sore hari sampai malam bunga-bunga cengkih itu ditaburkan di atas lantai rumah panggung mereka untuk disortir, dipilih, dan dipisahkan dari tangkainya.

Kampung kami harum cengkih. Halaman-halaman rumah yang lapang dipenuhi oleh bunga cengkih yang dijemur di bawah terik matahari. Anak-anak kerap bermain berlari-larian di atas hamparan bunga cengkih yang dikeringkan, tapi tak ada satu pun orang tua yang memarahi. Ketika cengkih-cengkih itu sudah mengering dan dikarungkan, lalu disimpan di gudang-gudang penyimpanan di bawah rumah.

Kampung kami sangat aman. Tak ada pencurian dan sebagainya. Bahkan, di siang hari rumah-rumah ditinggalkan dengan pintu tak terkunci, padahal di dalam rumah banyak barang-barang berharga yang ditinggalkan. Begitulah.

Orang-orang kampung kami banyak yang sudah berangkat ke Tanah Suci, bahkan ada yang sudah berkali-kali. Banyak gelar haji lahir dari bunga cengkih. Ada yang menyekolahkan anaknya di kota hingga perguruan tinggi. Ada pula sebagian yang membeli rumah di kota. Namun, lebih banyak orang yang sangat betah di tanah kelahirannya, tak ingin ke mana-mana.

Harga emas masih murah. Bukan hanya perhiasan yang dibeli. Bahkan cangkir buat minum dan piring buat makan itu terbuat dari emas. Ya, dari emas. Mungkin ada yang tak percaya. Tapi begitulah kemakmuran di kampung kami. Bahkan kalau inginkan sebuah sepeda motor atau mobil sedan, bisa tukarkan dengan satu atau dua karung cengkih kering.

Namun, siklus kehidupan selalu berputar. Di mana ada letak puncak kejayaan, di situ akan patah menuju keruntuhan. Dalam hitungan hari, pohon-pohon cengkih yang ranggi dan subur itu serempak mati karena wabah penyakit. Saya tak tahu nama penyakitnya. Tapi itulah awal dimulainya masa muram di kampung kami.

Dalam hitungan beberapa tahun saja, penduduknya kembali miskin. Mungkin karena sudah telanjur hidup enak, sehingga harta yang tersisa begitu cepat habisnya. Hanya tinggal gelar-gelar haji pada orang-orang tua. Itulah salah satu yang selalu diceritakan Nenek, yang selalu dikenangnya. Juga oleh orang-orang kampung yang sempat hidup di masa itu.

Dan berita yang menyebar akhir ini adalah suatu kabar gembira bagi sebagian besar orang. Kabar bahwa tanah bekas kebun-kebun cengkih di bukit itu akan dibeli oleh pengusaha dari kota untuk dijadikan proyek pertambangan. Kalau tak salah, untuk pertambangan besi dan batu galena.

Sebagian besar penduduk gembira dengan kabar itu. Sebagian lagi biasa-biasa saja bahkan ada pula yang menolak. Terutama mereka yang menolak adalah yang tak suka kepada kepala kampung yang katanya sudah sering memakan uang anggaran untuk pembangunan kampung.

Tapi, bagi kami, sebenarnya itu tak terlalu penting. Yang terpenting bagi orang kampung adalah mereka mendapatkan uang banyak hasil penjualan tanah-tanah yang tak terurus meskipun kelak kampung mereka pun akan ikut dibeli dan dijadikan lahan pertambangan.

Tetapi, akhirnya kabar itu menyurut. Menghilang begitu saja. Sesekali muncul, tetapi cepat menghilang lagi. Hingga tak pernah terdengar lagi kabarnya.

*

Rumah kita masih seperti dulu, kata Emak. Sebuah rumah panggung dengan tangga kayu. Sangat sederhana. Lantainya dari papan yang tersusun-susun. Apabila berjalan di atasnya akan jelas terdengar suara langkah kaki. Letaknya dekat pantai menghadap laut.

Emakku seorang wanita yang tinggi semampai, berkulit kuning langsat dan rambut bergelombang kemerahan. Kata orang, Emak paling cantik di kampung kami. Orang-orang pun heran kenapa Emak mau diperisitri oleh Bapak, seorang lelaki berkulit hitam, berkumis tebal dan berwajah menyeramkan. Tapi, begitulah. Katanya, Bapak menemukan Emak di desa kecil Teluk Kiluan. Sebuah desa yang konon kata orang tempat dahulu bidadari turun untuk mandi.

Emak seorang pendiam, hanya tangannya yang sering bicara. Ketika Nenek sakit, Emak sangat rajin mengurusnya, tapi keduanya tampak jarang sekali bicara. Dan mata keduanya seolah menyimpan rahasia. Ataukah itu hanya perasaanku saja?

Sebagian besar penduduk di kampung kami adalah nelayan. Memanfaatkan angin darat, mereka berangkat malam hari membawa mesin tempel dan lampu petromaks. Kemudian kembali ke darat di pagi atau siang hari. Di sepanjang pantai berjejer perahu-perahu cadik sampai ke tepi muara. Dan, di sepanjang pantai itu rumah-rumah berjejeran menghadap laut.

Bapakku tak punya perahu cadik. Tapi ia pandai ngejodang, menyelam mencari udang di sesela batu karang. Setiap malam Bapak berangkat bersama rombongannya membawa peralatan menyusuri tepi-tepi pantai yang curam akan bebatuan. Sebuah pekerjaan yang mengandung risiko besar, meski hasil yang dibawa pulang juga besar. Dan sebenarnya sudah banyak yang menjadi korban keganasan laut. Tak jarang orang yang berangkat ngejodang hanya namanya saja yang pulang.

Laut dan malam memang sama-sama menyimpan misteri. Namun, di keduanya para nelayan mencari rezeki, termasuk Bapakku yang tak punya perahu. Berangkat di gelap malam menyusuri tebing-tebing batu mempertaruhkan nyawa. Hanya untuk menyambung hidup.

Seorang anak nelayan sepertiku harus bersiap menerima kenyataan jika sewaktu-waktu Bapakku mati dipulun ombak. Dan akulah yang harus menggantikannya menjadi pencari udang. Kami menjalani hidup sampai tangan takdir berbicara. Beberapa hari sebelum Bapak dinyatakan menghilang, sesosok mayat mengambang di permukaan laut, ditemukan oleh nelayan dengan tubuh sudah menguarkan bau busuk.

“Mayat siapa?”

“Mat Jupri,” jawab seseorang.

“Innalillahi…”

Mat Jupri adalah bagian dalam rombongan Bapak. Mendengar kabar itu segera kami merasa khawatir. Apa yang terjadi? Mungkinkah hanya Mat Jupri yang mati dan lainnya selamat? Ataukah?

Mayat Bapak tak diketemukan. Berhari-hari, berminggu-minggu. Memang hanya dua orang dari teman rombongan Bapak yang bisa pulang dengan selamat. Mereka menceritakan kejadiannya. Bapak dan Mat Jupri yang sedang menyelam memasang perangkap udang di celah bebatuan karang tak kembali ke darat. Hingga pagi. Memang saat itu cuaca sedang tak baik. Keduanya curiga bahwa keduanya menghilang ditelan laut.

Barulah dua minggu setelah dinyatakan menghilang, akhirnya mayat Bapak diketemukan. Mayat yang terlilit oleh jaring dan tersangkut di bawah bebatuan karang itu keadaannya sudah sangat mengerikan. Saya tak sanggup melihatnya. Mayat Bapak diangkat oleh penyelam. Kemudian dibawa pulang.

Emak hanya diam, mungkin menahan kesedihan. Tak banyak berkata-kata, begitulah ia. Setahuku, Bapak dan Emak selama ini tak pernah bertengkar. Keduanya memang sama-sama pendiam. Karena itu, aku lebih akrab dengan Nenekku atau tetangga daripada mereka berdua.

Satu lagi, saya kehilangan. Paling tidak, setelah ini saya yang akan segera menjadi pengganti Bapak untuk menyambung hidup keluarga.
                               
*

Setiap malam saya selalu keluar rumah. Setelah nongkrong di warung Wa Isah sambil ngopi dan bergitaran, karena mengantuk aku segera pulang. Sementara teman-temanku masih nongkrong di warung. Aku berjalan pulang melewati pohon-pohon nipah di tepi-tepi jalan yang berrawa. Aroma nipah menyeruak, suara desis angin, daun yang bergesekan, dan binatang malam.

Gelap. Sangat gelap. Tak ada sedikit pun cahaya penerangan. Tapi aku hafal setiap lekuk jalan. Terdengar suara kecipak air dari jalanan yang kulalui terendam air semata kaki, karena air muara meluap di malam hari. Aku hampir sampai di rumah setelah melewati jembatan dekat muara. Tapi seolah ada sesuatu yang mengganjal di hati, bahkan sejak awal melangkah pulang tadi. Apakah ini yang disebut firasat?

Kedua kaki yang bersandal jepit mulai menginjak pasir dekat pantai. Terlihat di laut lampu-lampu dari kapal tanker, perahu bagan, dan perahu cadik nelayan yang baru berangkat melaut. Satu per satu perahu cadik di bawah pepohonan kelapa yang berbaris di sepanjang pantai itu mulai dibawa pemiliknya melaut.

Aku kemudian melangkah ke rumah. Tiba-tiba dari kejauhan pintu seperti dibuka dari dalam, tampak cahaya samar. Seorang perempuan keluar membawa lampu badai. Mungkinkah itu Emak? Mau ke mana ia tengah malam begini? Langkah kakinya begitu cekatan, menuju tepi muara. Aku menyusulnya. Kemudian ia melangkah di atas batuan karang yang tajam, menyembul di atas permukaan laut.

Pertanyaan terus berkelebat secepat langkahku menyusul langkah Emak. Kulihat ia memanjat batuan karang yang bertebing. Aku memang tak sempat berpikir banyak saat itu. Tiba-tiba aku teringat salah satu cerita Nenek.

Perempuan yang biasa saya panggil Emak itu melepas pakaiannya. Kemudian masuk ke dalam laut, menghilang ditelan gelap dan ombak. Aku ingin berteriak memanggil, tapi tenggorokanku tercekat. Kedua kakiku terpaku. Malam membeku.
                               
Jakarta-Tangerang, Juni 2013



Lampung Post, Minggu, 16 Nevember 2014