Sunday, April 5, 2015

Anak-anak Serigala

Cerpen Adam Yudhistira


DESAS-DESUS itu merebak di Desa Yeleniskoye, Desina Kruizseva melahirkan anak-anak serigala. Ia merayap seperti asap dan terisap masyarakat menjadi mitos yang bernuansa gelap. Kata mereka, sudah tak terhitung anak-anak serigala yang lahir dari rahim Desina. Bahkan desas-desus itu menjalar—sejak kerap terdengar lolong serigala pada malam-malam purnama yang memecah keheningan Desa Yeleniskoye. Masyarakat percaya, lolongan itu adalah anak-anak Desina yang beralih rupa menjadi serigala.

Konon, Desina Kruizseva dikutuk karena menjalin cinta dengan Major Rudolf Sauerbrei—seorang perwira muda dari serdadu Nazi. Masyarakat Desa Yeleniskoye mengusir Desina saat diketahui gadis itu mengandung benih Major Rudolf Sauerbrei. Dan kutukan itu menjadi semacam teror bagiku berpuluh tahun setelahnya—sebab entah benar atau tidak—kurasa aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka.

Aku mendapatkan pengalaman ini dari Vasilly. Ia lelaki setengah baya bertubuh gemuk, warga Yeleniskoye. Aku mengenalnya saat bekerja di Oblast, Chelyabinsk-Soviet, di penghujung tahun ‘80-an. Vasilly salah satu pekerja di proyek yang sama-sama kami tangani. Sampai kini aku masih sulit percaya jika mengingat cerita yang dituturkannya.

“Dia (maksudnya Desina) sedang berada di Kota Stalingrad,” ucap Vasilly memulai kisahnya.

Aku dan Vasilly berbincang di sebuah bar kumuh di sudut Desa Yeleniskoye. Langit gelap, hujan turun sangat deras, suasana bar begitu sepi. Hanya ada aku, Vasilly, dan pria tua pemilik Bar. Cuaca buruk itu membuat kami terjebak dan itulah titik mula kisah musykil ini kudengar.

“Lalu bagaimana dia bisa mempunyai anak dari Major Rudolf?” tanyaku sembari menenggak seteguk vodka untuk menghangatkan darahku yang membeku.

“Dia sukarelawan perang di sana.”

Aku memandang keheranan, “Setahuku saat perang di tepi Sungai Volga itu, serdadu Nazi dan Tentara Merah sama-sama sulit, rasanya tak mungkin dua kubu ini bisa bertemu dalam keadaan damai, apalagi untuk urusan cinta. Sungguh tak masuk akal, Kawan.”

“Dia sukarelawan perang, dia tidak memihak siapa pun.” Vasilly  memantik korek dan menyalakan sebatang rokok. “Desina mengaku jika janin yang dikandungnya adalah anak Major Rudolf, tapi bukan berarti mereka miliki ikatan cinta.”

“Kau pernah bertemu Desina?”

“Ehmm... tidak, aku dapat cerita ini dari kakekku.”

“Ah...” keluhku kecewa. “Lalu bagaimana cerita selanjutnya?”

“Desina Kruizseva terjebak di reruntuhan gedung.” Vasilly menggaruk hidungnya yang besar sebentar. “Dia memberi perawatan medis untuk Tentara Merah yang terluka di garis belakang, saat itulah dia diculik dan dibawa ke kubu Jerman.”

Kureguk lagi setegukan vodka di dalam gelas, lantas kuajukan analisisku, “Aneh sekali, setahuku juga, petugas medis adalah para pria, jarang ada wanita yang bertugas langsung di titik pertempuran seperti dalam ceritamu itu.”

“Jadi kau tidak percaya padaku, Bramantyo?” ucapnya sambil menunjukan raut wajah meradang.

Aku mahfum, tipikal lelaki Rusia memang mudah sekali naik darah. Aku tertawa, “Aku percaya, aku percaya. Sudahlah, lanjutkan saja ceritamu, aku masih ingin mendengarnya.”

“Oke,” katanya sambil mengisap rokoknya terlebih dulu. “Percayakah kau jika kukatakan, anak-anak yang lahir dari rahim Desina menjelma serigala?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Vasilly benar-benar pandai memancing rasa penasaranku. Aku mengangguk dan kucondongkan tubuhku sedikit ke arahnya. Ceritanya mulai menarik, sebab tak hanya di Indonesia saja ada hal-hal berbau klenik begini, ternyata di negara sebesar dan semaju Rusia ada juga cerita seperti itu. Hitung-hitung mengobati rasa rinduku pada Tanah Air, lantas kuteruskan pertanyaan-pertanyaanku.

“Menurut kakekku, Desina tidak sendirian menerima kutukan itu.”

“Maksudmu?”

Belum sempat Vassily menjawab pertanyaanku, tiba-tiba pria tua yang duduk di sudut bar menunjuk ke muka Vassily sambil berkata, “Eta lozh!”

“Zatknyis! Ya cibya nakazhu!” bentak Vasilly. Pria tua itu sontak terdiam, kemudian menunduk ketakutan. Aku tak mengerti apa yang mereka katakan, sepertinya Vasilly mengancam pria itu hingga dia ketakutan. Pria tua itu kembali mengacuhkan kami, tapi sesekali masih kudengar gumaman dari mulutnya.

“Iya, maksudku banyak perempuan lain yang menerima kutukan sama seperti dirinya. Diusir dan melahirkan anak-anak serigala.”

“Kenapa bisa seperti itu?”

“Karena benih yang ditanamkan serdadu-serdadu Nazi itu adalah benih-benih iblis. Dan perempuan yang menerima benih itu—apa pun alasannya—pasti akan menerima kutukan yang serupa.”

Aku mengangkat tangan dan mengisyaratkan pada pria tua penjaga bar untuk menambahkan vodka ke dalam gelasku. Pria tua itu mengangguk, dengan cekatan ia menuang cairan beraroma menyengat itu ke dalam gelas. Ia mendengus saat melirik Vasilly, melihat itu, aku tersenyum geli. Vasilly sendiri tak memedulikan keberadaan pria tua itu.

“Maksudku begini, bagaimana bisa serdadu Nazi menanamkan benihnya pada perempuan Soviet pada masa genting seperti itu?”

“Kau kritis sekali, tapi kau terlalu lugu untuk menguak fakta-fakta sejarah yang tidak sempat tertulis.” Vasilly menyeringai, di sela-sela giginya yang kuning, terselip beberapa pecahan daun tembakau.

“Aku tidak mengerti,” ucapku jujur. Aku sungguh tertarik mendengar kisah itu, tapi Vasilly menjadikan rasa ketertarikanku menjadi sebuah “siksaan” yang mengasyikkan. Rasa penasaranku ditarik-ulur olehnya. Itu membuatku mulai jengkel dan merasa sedang dipermainkan.

“Dulu...” katanya melanjutkan ceritanya lagi, “banyak perempuan Soviet yang menjadi budak seks serdadu Nazi.”

Aku mengangguk-angguk. Sejarah yang dicelotehkan lelaki itu tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Aku mulai merasa lelaki bertubuh tambun yang menguarkan aroma bawang ini cuma terobsesi dengan kisah-kisah hantu picisan.
“Seperti lazimnya negeri-negeri yang disinggahi bala tentara iblis, negeri kami juga pernah merasakan masa-masa suram itu,” lanjutnya sambil menghembuskan gumpalan asap rokok tepat ke wajahku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang perih terkena hembusan asap rokoknya. Kutegakkan posisi dudukku dan menjauh. Bukan cuma itu, sebenarnya cerita lelaki ini mulai menjurus pada kegilaan terstruktur dalam lisannya sendiri. Aku pesimistis ceritanya mengandung kebenaran.
Dia—kurasa—lelaki yang memiliki ketidaknormalan dan terobsesi kompulsif pada teori-teori konspirasi atau kisah-kisah menyeramkan tentang Nazi. Aku menduga pemikiran Vasilly sudah terjangkiti semacam paham kebencian pada mitos ras yang sempat didengung-dengungkan Jerman pada periode Perang Dunia II. Kebencian itu termanifestasikan dalam bualan kosongnya tentang anak-anak serigala—yang di telingaku tak ubahnya semacam caci-maki paling konyol yang pernah kudengar.

Aku mereguk vodka di dalam gelas yang isinya tinggal setengah. “Mengapa kau mengira jika serdadu-serdadu itu bala tentara Iblis?” tanyaku mengerutkan alis.

Vasilly terkekeh memamerkan deretan gigi-gigi keroposnya, “Kenyataannya memang seperti itu. Kau tahu? Hanya serdadu-serdadu iblis yang bisa melakukan kejahatan dan berambisi menguasai umat manusia dalam satu kekuasaan.”

“Aku tidak mengerti...”

Lelaki itu mendekat dan berbisik, “Dari kakekku pula aku tahu jika Hitler itu jelmaan Lucifer,” katanya mengangguk meyakinkanku.

Aku mendengus, “Kurasa ceritamu sudah melantur jauh dari kisah Desina Kruizseva. Sebaiknya kita kembali ke cerita tentang perempuan itu saja,” ucapku mengingatkannya.

Vasilly mengangkat dua tangannya seperti lagak orang yang menyerah, “Oke, oke...” katanya mengalah.

“Nah lanjutkan, mulailah dengan kisah tentang Major Rudolf, mengapa ia memilih Desina Kruizseva?” tanyaku sembari meraih gelas vodkaku dan mereguk isinya hingga tandas.

“Ah, itu memang sudah menjadi agenda terselubung, Bram.”

“Oh ya?”

“Iya! Aku bisa menjamin itu!” katanya menepuk meja. Matanya menyorot yakin. “Nazi mencetak serdadu-serdadunya dengan menanamkan benih iblis dalam kantong-kantong sperma mereka, untuk nanti dibuahkan pada perempuan yang negerinya menjadi target penaklukan. Desina adalah perempuan kuat dan pemberani, ia adalah perempuan yang tepat untuk program itu.”

“Wow!” seruku terkagum-kagum. “Maksudmu itu semua adalah konspirasi?”

“Tepat sekali!” jawabnya tertawa. “Kelak benih-benih itu akan lahir di negeri-negeri taklukan dan menjadi bala tentara iblis yang dikoordinasikan untuk tujuan Nazi di masa datang.”

“Tujuan apa?”

“Tujuan menguasai seluruh dunia.” Vassily tersenyum puas melihat ketakberdayaanku.
“Luar biasa,” sahutku menggeleng kagum. Sebenarnya aku kagum pada kepiawaiannya mendeskripsikan cerita sampah yang sarat omong kosong itu. Aku ingin terbahak, tapi takut ia tersinggung.

Hening sejenak, Vasilly tampak melamun. “Aku tahu kau tidak percaya pada ceritaku ini, Bramantyo,” ucapnya mengagetkanku.

“Oh tentu saja aku percaya, Kawan,” tangkisku cepat-cepat. “Tadi kau bilang mendapat cerita ini dari kakekmu, bukan?”

Vasilly mengangguk, kali ini wajahnya berubah datar. Bahkan sangat datar. Suhu di dalam ruangan bar yang tak seberapa luas itu mendadak menjadi lebih dingin. Aku menatap matanya, hatiku berdenyar.

“Lalu dari mana kakekmu bisa mendapatkan cerita menakutkan itu? Eng ... maksudku bagaimana cerita itu bisa sampai pada kakekmu dan sampai pula padamu?”

Vasilly menyeringai. Dia menatap mataku lekat-lekat dan bola matanya yang biru keruh itu menyala. Dengan nada suara penuh penekanan dan terdengar mistis, dia berkata, “Kakekku adalah Major Rudolf Sauerbrei dan nenekku adalah Desina Kruizseva.”

Vasilly menggeram, suaranya—entah kenapa—kudengar sangat mirip geram serigala dan aku terdiam dalam cekaman rasa takut yang sulit kuilustrasikan. n

Catatan:
Eta lozh! : Itu bohong!
Zatknyis! Ya cibya nakazhu! : Diamlah! Kupukul kau nanti!


Lampung Post
, Minggu, 5 April 2015

No comments:

Post a Comment