Cerpen Faisal Syahreza
"AKU mempunyai sebuah impian untuk kota ini. Impian sederhana tentang sebuah rumah bagi seluruh kucing yang ada." Lirih hatinya.
Anak itu pun berteduh di bawah atap bangunan pertokoan. Sementara jalanan masih mengambang dengan rintik hujan. Setiap hari memang tak menentu di kota, siang panas untuk kemudian sorenya diguyur hujan. Gerimis berlapis-lapis mengepung jalanan. Orang-orang tampak kedinginan, bersembunyi memelukan badannya sendiri. Suara mulai redam memasuki liris hujan.
Seekor kucing keluar dari bak sampah di depan pasar. Tubuhnya kurus dengan bulu-bulu rindu usapan, basah. Menahan dingin dengan sisa sorot mata kuyu. Nurdin memerhatikan seksama kucing itu dari tadi. Dengan wajahnya yang berminyak, mata merah kurang tidur. Terasa dingin kucing itu sampai pada tubuhnya. Anak lelaki yang tak kalah layunya dengan kucing-kucing jalanan.
Ini kucing keempat yang dia temui hari ini. Seperti biasanya, Nurdin begitu saja menganggap seluruh kucing yang ada di kota ini adalah perliharaannya. Tapi entah kenapa, ia tak seperti biasanya. Ada yang menahan dirinya untuk segera menghampiri kucing itu sekadar menggendong dan kemudian dia elus sayang. Tapi yakin, ini bukan karena sore ini angin bertiup kencang dan ia tak mau kehujanan. Ada hal lain.
***
Mengumpulkan barang bekas memang sudah menjadi takdir, setidaknya itulah untuk beberapa hari ke depan yang ada di pikiran Nurdin. Sepanjang jalan, hanya berdoa. Ada yang bisa ia bawa pulang untuk sekadar menambah barang bekas yang bisa dijual bapaknya. Sesekali ia bisa ditemukan sedang meringkuk di taman. Sebelum terbangun oleh ulah para pengamen yang bernyanyi sumbang di dekat mereka yang sedang duduk-duduk di taman.
Anak lelaki yang pemalu itu biasanya sering juga keluar masuk mesjid yang tepat di gigir taman. Bagaimanapun ia anak taat beribadah. Memang semenjak dahulu, ia begitu menyukai binatang berbulu dan bercakar yang setiap saat sering ia jumpai, kucing. Entah gerangan apa yang membuat dirinya merasa dekat.
Pernah ia merasa bahwa seekor kucing adalah teman yang akan setia baginya. Meski begitu banyak yang sering menganggap kalau kita bertemu kucing di jalan, berarti itu petanda sial. Atau bila kita dihampiri sepasang kucing yang sedang bertengkar. Itu pun penanda buruk. Tapi bagi Nurdin, sebaliknya.
"Meong, sini!" Nurdin menggerakkan jemarinya menggoda. Seekor kucing pun menghampirinya. Sebelum akhirnya bareng-bareng menikmati sebungkus nasi.
Nurdin sebenarnya tak perlu turun ke jalanan, untuk ikut menyusuri dan memasuki gang-gang mencari barang bekas. Sekadar mencari kardus atau botol-botol plastik. Atau bila lebih beruntung lagi menemukan besi tua yang sudah dicampakan di tempat-tempat sampah. Nurdin sudah cukup bekerja di rumah saja. Menimbang barang-barang bekas yang dikumpulkan bapak dan kakaknya. Namun, semenjak merasa dirinya sudah besar, nuraninyalah yang menganggap dia sudah siap.
"Meong, kasihan sekali bulu-bulumu rontok. Wajahmu kotor sekali. Kenapa dengan kupingmu?" Sambil membelai.
***
Suatu waktu, ketika Nurdin kasak-kusuk di bak sampah di jalan raya menemukan seekor kucing yang terluka. Seluruh tubuh kucing itu dipenuhi borok dan berjalan dengan kaki patah. Alangkah terkejutnya Nurdin saat itu, ketika mata kucing itu seakan-akan meminta tolong padanya. Nurdin tak ambil pusing, ia gendong kucing itu. Diusapnya bulu-bulu pada tubuhnya. Ia kemudian seperti sudah bisa menebak bahwa kucing itu kelaparan. Ia kemudian menuju bak sampah makanan dan mencoba mencari sisa-sisa makanan yang masih bisa diberikan pada kucing.
"Meong, kasihan kamu. Tak bisa mencari makanan?"
Nurdin tak peduli lagi dengan segalanya bila ia sudah menemukan kucing. Ia tak peduli sepanjang jalan orang-orang dengan wajah cemas terus diburu waktu. Kendaraan berlalu-lalung berebut penumpang. Suara klakson terdengar bersusulan. Di antara gedung-gedung yang semakin mendesak dan pasar yang tak karuan Nurdin menemukan kedamaian bila bertemu kucing.
Atau di suatu siang yang panas, Nurdin sedang bersiap-siap bekerja mencari barang bekas. Ia dikejutkan oleh suatu kecelakan yang membuat harinya terasa hampa. Seekor kucing tertabrak mobil. Dia melihat langsung kejadiaan itu. Betapa remuk hatinya melihat hari nahas bagi binatang yang begitu ia cintai.
Kucing itu mati. Sopir keluar dan melepas bajunya. Untuk kemudian segera menuju ke tempat di mana kucing itu terbaring tragis. Dibungkusnya bangkai kucing yang ia tabrak. Dan kembali ke mobil dengan membawanya.
Nurdin sudah dengan sigap menghampiri jendela mobil yang menabrak.
"Pak biar saya yang menguburnya." Menawarkan.
"Tak usah. Nanti kau makan lagi." Menggerutu.
"Saya ingin menguburkannya, Pak."
"Ah, kamu. Nanti kalau tak dikubur sama kamu bagaimana. Nanti saya bisa kena sial. Celaka!" Sopir itu berteriak. Mukanya merah. Nurdin hanya terdiam, ketika dibentak telak.
***
Ada banyak kucing di kota. Berkeliaran setiap waktu. Tak ada habisnya mereka. Mati satu, lahir kemudian seribu. Keluar dari lubang-lubang yang tak menentu. Orang-orang tak memedulikan semua kucing-kucing itu. Mereka lebih sering menganggapnya hantu pengganggu. Mereka mengusir kucing itu setiap hari dari rumah-rumahnya. Dari kampung-kampungnya. Membiarkan kucing-kucing menuju pusat kota. Sementara itu, tiada tempat yang disediakan orang-orang untuk mereka.
"Aku mempunyai sebuah impian untuk kota ini. Impian sederhana tentang sebuah rumah bagi seluruh kucing yang ada."
Setiap kali pulang dan bertemu bapaknya. Atau setiap kali dengan kakaknya, pasti Nurdin akan mengutarakan mimpinya. Meskipun hanya sebagai angan.
Nurdin sering mencoba membawa kucing-kucing ke rumahnya. Tapi rumahnya sudah dipenuhi oleh barang-barang bekas dan tak mungkin cukup untuk menampung seluruh kucing yang ada di kotanya. Sehingga keinginannya selalu kandas.
"Pak, aku ingin membangunkan rumah buat kucing-kucing yang berkeliaran di kota."
"Boleh." Dingin jawaban.
"Kak, aku mau buat rumah tempat memelihara seluruh kucing-kucing."
"Iya-iya."
Nurdin tak pernah menyerah membawa ke mana-mana mimpinya itu. Mimpi yang terus setiap hari dipelihara di kepalanya.
Nurdin memang pernah ditanya, mengapa ia begitu mencintai kucing-kucing di sepanjang jalanan. Dengan penuh pengharapan ia jawab.
"Aku pernah mendengar riwayat. Jika kucing merupakan binatang kesayangan Nabi. Menyayanginya berarti mencintai Nabi. Maka aku pun bersahabat dengan semua kucing di kota ini. Agar bisa dekat dengan Nabi."
***
Kucing pertama ia temukan tanpa sengaja di sebuah karung. Ketika sedang sibuk mencari barang bekas di antara tumpukan sampah di depan gang. Tadinya Nurdin mengira sisa-sisa buku yang bisa dia bawa pulang. Tetapi rupanya itu adalah seekor kucing. Ia tak habis pikir, seseorang tega membuang kucing. Mungkin orang-orang sudah menganggap tak ada artinya lagi. Kucing kedua ia temukan di atas genting, dilempari batu oleh seorang ibu sambil memaki-maki. Kucing ketiga ditemukan sedang asyik bermain di taman. Ditatapnya khusyuk.
Tapi menjelang sore. Hujan turun tiba-tiba saja. Sehingga mendesaknya untuk berteduh di atap beranda pertokoan. Pada saat itulah ia melihat seekor kucing di seberang jalan. Nurdin merasa akrab dan mengenalnya. Mungkin karena terlalu sering ia menemu kucing dan memberi nama pada setiap kucing temuannya.
Perasaannya tak keruan sore itu. sehingga ada sedikit yang menahan dirinya untuk langsung menghampiri kucing itu. Tentu saja bukan karena cuaca buruk dengan diguyurnya hujan. Namun, perasaan itu segera sirna. Hilang. Tanpa memikirkan apa-apa lagi ia beranjak dan menuju tempat di mana kucing itu berteduh. Di seberang, di antara tumpukan plastik yang tercecer gigir bak sampah.
Baru tiga langkah kakinya menginjak jalan beraspal. Nurdin tak mengira dari arah kanan sebuah mobil sedan melaju kencang. Tubuhnya yang ceking jauh terpental beberapa meter. Akibat tak sempat mobil itu menginjak rem. Seketika suasana menjadi ramai.
Tapi anehnya, sopir sedan yang menabrak Nurdin tak buru-buru melepas bajunya. Jangankan itu, untuk keluar dari mobilnya pun tak. Orang-orang langsung mengerubungi tubuh Nurdin yang terkapar. Dan mobil sedan yang menabrak itu, terlihat membanting setir. Menginjak gas dalam-dalam dan meluncur lagi di jalanan yang basah oleh hujan. Orang-orang berteriak histeris.
"Tabrak lari. Tabrak lari. Kejar-kejar. Pelakunya melarikan diri."
Nurdin kini tak lagi perlu merisaukan kucing yang ke empat ditemuinya. Sebab kucing itu sudah tak ada lagi. Ia melesat terkejut ketika mendengar suara tubuh begitu keras tertabrak mobil tepat di depan kedua matanya. n
Karang Tineung, 2010
* Salah satu bait bagian dari sajak Khoer Jurzani yang berjudul Kucing.
---------
Faisal Syahreza, lahir 3 Mei 1987 di Cianjur, sedang belajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Kini bergiat di ASAS UPI. Puisi, esai, dan cerpennya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment