Sunday, February 27, 2011

Sahabat Lama

Cerpen Rilda A. Oe. Taneko


SEBUTLAH Fajri, ia sahabatku sejak kuliah dulu. Ketika aku pulang kampung, empat tahun yang lalu, ia tergeletak lemah di rumah sakit.

"Berlebihan," sunggut Tante Min, ibunya Fajri.

Aku diam. Beringsut dari ujung tempat tidur ke arah Fajri. Membantunya membetulkan selang infus yang melibat di tiang gantungnya.

"Zaman sekarang, mana ada orang menolak uang," Tante Min kembali menyumpah.

Sambil ia punguti remah-remah kue yang tercecer di tikar, Tante Min mendelik padaku, "Kau, Badu, kau kan sahabatnya, nasihatilah dia."

Tante Min melempar kertas, berisi remah kue yang ia kumpulkan, ke keranjang sampah di sudut ruang.

"Ibu ke ruang administrasi dulu, urus askes. Tak bosannya kau buat ibumu ini susah, Fajri. Sudahlah kau menganggur lama, setelah dapat kerja kau malah sok suci. Pakai sakit segala."

Sebelum Tante Min menutup pintu, ia kembali mendelik padaku, "Nasihati sahabatmu itu, Badu!"

Pintu kamar berdebam, aku terdiam, melirik pada Fajri yang tergolek lemah di sampingku.

"Sakit sekali, Du. Tiba-tiba saja perutku terasa keram. Lalu melilit-lilit. Sakit yang sangat," Fajri berkata lemah.

"Sabarlah," hiburku.

"Tubuhku menolak, Du. Aku tahu itu. Semua ini karena uang haram yang aku makan."

"Tiap hari kami berbagi hasil jarahan. Kadang ada orang yang sengaja menyuap. Lebih sering kami yang meminta. Lalu hasilnya kami kumpulkan dan setor ke kepala kantor. Sore hari uang itu dibagi-bagi."

Aku diam dan mendengarkan.

"Jangan kau salahkan aku, Du. Seperti kau menyalahkan koruptor-koruptor itu, waktu kita berdemo dulu. Tak mampu aku menolak uang itu, Du. Teman-teman kantorku bilang, kalau aku tolak, semua akan membenciku. Aku akan dikucilkan dan diasingkan."

Fajri terdiam dan menatap langit-langit kamar dalam nanar.

"Sakit sekali, Du. Tiba-tiba saja perutku terasa keram. Lalu melilit-lilit. Sakit yang sangat," Fajri berkata lemah.

"Sabarlah," hiburku lagi.

"Tubuhku menolak, Du. Aku tahu itu. Semua ini karena uang haram yang aku makan."

"Uang haram apa? Tak ada itu uang haram. Uang ya uang. Bisa untuk bayar makan. Untuk beli pakaian. Itu biasa saja. Janganlah menjadi berlebihan," Tante Min yang masuk ke kamar tiba-tiba menyambar.

Fajri terbungkam. Aku pun diam.

***

TIGA hari dari hari itu, Fajri dibolehkan pulang ke rumah. Dua hari berselang, aku menjenguk ke rumahnya.

Tante Min membukakan pintu, digaris-gariskannya telunjuk di dahi. "Sahabatmu sudah begini," katanya kesal.

"Sudah sinting-gila-miring," tambah Tante Min.

Di kamarnya, Fajri duduk di kepala tempat tidur, bersandar pada bantal. Matanya tertutup dan mulutnya komat-kamit. Di jempol dan telunjuk tangan kananya, butiran tasbih bergulir pelan.

Di luar kebiasaannya, hari ini kulihat Fajri mengenakan kopiah haji berwarna putih, lengkap dengan abaya putih menyentuh mata kaki.

Dari radio kecil di meja samping tempat tidurnya, berkumandang ayat-ayat suci.

"Jri," panggilku membangunkan kekhusukannya.

Tante Min, yang mengikutiku ke kamar, berkata, "Pergi sana ke luar, Jri. Jangan mengurung diri saja di kamar. Hirup udara segar. Biar otakmu jalan."

Dengan enggan Fajri bangkit dan berjalan keluar rumah. Aku mengikutinya dari belakang.

"Apa kau mau pakai pakaian itu keluar, Fajri?" cemas Tante Min bertanya.

Fajri mengangguk dan mengajakku masuk ke mobilnya yang tua. Sebuah Daihatsu biru yang berkarat.

Sambil mendengar nasyid dari radio mobil, Fajri mengendarai mobilnya pelan.

"Mau ke mana, Du?"

Aku mengangkat bahu, "Terserah saja."

Di sebuah perempatan, mobil Fajri terbatuk. Tepat di tengah perempatan itu, mobil berhenti total. Sambil mengisyaratkan padaku untuk mengambil alih kemudi, Fajri keluar mobil. Sekuat tenaga ia mendorong dari belakang.

Aku menoleh ke kiri dan kanan, tak ada orang yang turun membantu. Semua hanya membunyikan klakson bersahut-sahutan. Beberapa orang menumpahkan cacian. Keringat dinginku bercucuran. Mukaku merah karena malu.

Beberapa pengendara sepeda motor menginjak gasnya, melalui celah antara mobil, ngebut melalui Fajri. Seorang berteriak, "Makanya jangan pakai daster, Pak." Lalu ia terbahak.

Akhirnya ada beberapa orang yang membantu Fajri menepikan mobil. Fajri dan aku mengucapkan terima kasih. Sambil terkekeh, orang yang membantu menggaruk kepala, "Rokoknya dong, Bang. Makasih aja mah enggak buat kenyang."

***

SELAMA aku berlibur di kampungku, kelakuan Fajri yang selalu bertasbih dan berabaya menjadi bahan percakapan orang. Bekali-kali bapak menepuk pundakku. "Untunglah kau tidak seperti dia, Badu. Untunglah kau ini tidak aneh-aneh. Mampu bekerja di luar negeri dan buat bangga bapakmu ini."

Ketika hari kepergianku tiba, aku menolak keinginan Fajri untuk mengantarku ke bandara.

"Tak usah repot-repot, Jri. Aku bisa naik taksi."

Fajri diam dan memperhatikan wajahku.

"Malukah kamu berteman denganku, Du?" tanyanya sendu.

"Tentu saja tidak," jawabku, menghindari tatapan matanya.

Fajri telihat sangat terluka. Dengan menunduk lesu dan murung, lunglai ia berpamitan, "Sampai ketemu lagi, Du."

***

TAHUN ini aku pun berencana pulang ke kampungku. Di surat elektronik yang ia kirimkan, Fajri berkeras untuk menjemputku di bandara. Berkali-kali aku menolaknya, berkali-kali itu pula ia meminta jadwal penerbanganku. Akhirnya aku menyerah.

Terbayang olehku Fajri yang menjemput dengan tasbih dan abayanya. Juga terbayang mobil Daihatsunya yang akan kembali mogok di tengah jalan. Terbayang orang-orang yang menatap aneh dan menyemoohnya.

Aku menghela napas. Ah, sepertinya harus bersiap menahan malu pulang nanti.

Di luar dugaanku, Fajri menjemput dengan pakaian dinasnya. Tubuhnya jauh lebih berisi dari empat tahun yang lalu. Tanda pangkat yang menempel di bajunya berkilat-kilat. Tak seperti para penunggu yang memenuhi area penjemputan, Fajri tersenyum lebar di dekat petugas imigrasi yang menemaninya di pintu kedatangan. Dipeluknya aku kuat. Lalu begegas ia mengandengku keluar, melewati antrean panjang di bagian imigrasi. Ia menyerahkan pasporku untuk dicap oleh petugas dan dengan melenggang kami keluar.

"Orang penting sepertimu tak pantas mengantre," kata Fajri terkekeh.

Beberapa pasang mata pengantre mendelik ke arah kami. Beberapa terlihat iri. Aku merasa penting dan dadaku dipenuhi kebanggaan.

Aku mencari Daihatsu butut milik Fajri di lapangan parkir bandara. Fajri telihat bersemangat berjalan di depanku. Ia terlihat jauh lebih tinggi dari empat tahun yang lalu. Di depan Toyota Fortuner hitam ia menghidupkan pengendali jarak jauh mobil. Mobil hitam itu berkedip.

"Ayo masuk," Fajri menyeringai lebar, puas menyaksikan aku yang terpana diam.

Duduk di dalam mobil Fajri, jalanan di kampungku ini terasa lain. Rasanya semua lebih indah. Rasanya semua jadi ringan. Fajri berceloteh riang. Tentang proyek miliaran yang ia kerjakan. Ia banyak tertawa. Membuatku pun ikut tertawa. Rasanya senang. Rasanya sangat berkuasa.

Sampai di rumah, bapakku memuji-muji Fajri, ditepuk-tepuknya pundak Fajri sambil berkata, "Hebat, Nak Fajri sekarang. Tahu tidak kau, Badu? Fajri membangun masjid dan stadion olahraga di kampung kita ini. Semua warga senang dan gembira menyambutnya."

Fajri tersenyum dan tak lama ia berpamitan.

Bapak mengantar Fajri sampai debu jalanan yang diterbangkan mobilnya menghilang. Masih dengan kagum, bapak berkata padaku, "Hebat sahabatmu itu. Rumah ibunya sudah ia bangun. Lengkap dengan kolam renang. Ibunya pun dihadiahi banyak perhiasan emas. Tak perlulah berkerja sampai jauh ke luar negeri, Badu. Sudah selama ini berkerja, tak ada satu pun cangklong emas kau belikan bapakmu ini."

***

SELAMA aku berlibur di kampungku, Fajri menjadi selebritas. Semua orang membicarakannya, memuji setinggi-tingginya. Walaupun Fajri masih suka mengenakan abaya dan menjinjing tasbih, semua orang ingin menjadi temannya. Bahkan warga menyebutnya sehebat sufi.

Tante Min pun selalu terlihat senang. Senyuman tak lepas dari bibirnya yang bergincu ungu. Saban minggu ia berceramah di surau-surau, menjalankan tugasnya kebagai ketua pengajian.

Fajri selalu menjemputku untuk pergi bersamanya. Di setiap perjalanan, ia selalu menraktirku. Kadang hanya sekadar makan di restoran termahal. Atau minum-minum di hotel berbintang lima. Kadang diajaknya pula aku bergabung bersama teman-temannya berkaraoke. Ketika aku menyebutkan teman-teman Fajri, yang aku maksudkan bukanlah sembarangan teman. Teman-temannya di karaoke adalah orang-orang kelas atas. Orang-orang yang kerap menghiasi layar televisi. Ada pejabat pemerintahan, polisi, jaksa, dan pengusaha ternama.

Fajri banyak tertawa. Teman-temannya pun senang tertawa. Aku pun bangga bisa ikut tertawa bersama mereka. Bersama perempuan-perempuan muda yang cantik, yang entah dari mana dan namanya siapa, kami bernyanyi riang. Sampai larut malam kami menari.

***

KETIKA hari kepergianku tiba, Fajri mengantarkan aku sampai ruang tunggu bandara. Tak seperti pengantar lain yang tertahan di lobi luar, Fajri dengan bebas masuk ke dalam.

Tak seperti biasanya, belakangan ini Fajri lebih banyak diam. Ketika pesawatku telah mendarat dan belalai dari bandara telah disambungkan ke pintu pesawat, lalu panggilan untuk penumpang telah dikumadangkan, Fajri memelukku erat.

Ia berikan aku sebuah koran. "Jangan sampai kau lupa baca koran ini, Du," pintanya, lalu ia menghela nafas.

Dengan murung dan sendu ia berkata, "Sampai ketemu lagi, Du."

***

SELESAI makan, aku membuka koran yang Fajri beri. Di halaman dalam, ada lembar yang seperti sengaja dilipat. Coretan sepidol berwarna biru melingkari sebuah berita. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah sahabatku di berita itu. "Fajri bin Mindar (33 tahun) tersangka kasus korupsi" tertulis di bawah foto Fajri.

Aku tercenung. Fajri korupsi, semua orang tentu tahu itu. Namun kalau sampai diusut, sungguh sial sahabatku itu.

Tiba-tiba saja, perutku terasa keram. Lalu melilit-lilit. Aku merasai sakit yang sangat.

Setelah permisi ke penumpang di sebelahku, aku bergegas menuju toilet di tengah badan pesawat. Namun apa yang sudah kubuang tak juga membuat sakit di perutku mereda. Masih duduk di toilet, aku meremas-remas perutku, tubuhku melipat, menahan sakit luar biasa. Aku ingin berteriak, namun suaraku tercekat.

"Tolong," rintihku pelan. Tak ada seorangpun datang. Aku putarkan mataku di sekeliling bilik toilet. Di sudut dekat jamban, ada tombol alarm. Sekuat tenaga aku menekannya.

Tak lama, suara orang terdengar ramai di luar toilet. Aku mengerang.

"Jangan cemas, kami segera mengeluarkan Anda," dalam bahasa Inggris, sebuah suara terdengar.

Dalam hitungan detik, pintu toilet terbuka. Seorang petugas pesawat berusaha membantuku berdiri. Lalu pekikan suara perempuan terdengar. Samar aku melihat, orang-orang yang menutupi mata atau hidung mereka.

Aku baru tersadar. Jamban yang belum lagi aku siram. Juga, celana yang belum aku pasang.

Lancaster, Januari 2011


-----------
Rilda A.Oe. Taneko, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 1980. Lulusan Universitas Lampung dan Institute of Social Studies, Belanda. Sekarang menetap di Lancaster, Inggris. Buku kumpulan cerpennya, Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010).


Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

Sunday, February 20, 2011

Cermin

Cerpen Maghriza Novita Syahti


Perempuan 1 dan Cermin


Ratih masih berdiri tegak di depan lemarinya. Diambilnya baju berwarna merah dengan motif bunga-bunga emas. Dipandanginya pula baju itu dari kerah hingga pinggir bawahnya. Disentuhnya payet-payet berwarna emas berbentuk bunga itu. Diperiksanya satu per satu. Entah ada yang rusak entah ada yang lepas.

Lalu dibawanya baju itu ke cermin. Dilekatkannya baju itu ke tubuhnya, lalu diputar-putarnya tubuhnya. Dicampakkannya baju itu ke ranjangnya. Dibawanya tubuhnya menuju tape recorder. Ditekannya tombolnya, lalu terdengar dentingan piano. Entah musik siapa.

Kini duduk ia di depan cermin. Disentuhnya kulit wajahnya yang mulai bergaris-garis halus. Kulit wajah yang polos tanpa hiasan bahan-bahan kosmetik seperti biasanya. Kini diambilnya pelembab wajah dan digosokkannya ke wajahnya yang hampir menua itu. Kemudian, foundation dioleskannya sembari tersenyum pada cermin yang tahu benar siapa ia. Lalu eye liner, lalu eye shadow, lalu pensil alis, lipstik, perona pipi, dan seterusnya.

Hingga berpuluh menit kemudian, jadilah wajah yang ia inginkan. Diperhatikannya lagi wajahnya di cermin. Rasa-rasanya masih ada yang kurang. Dioleskannya lagi perona pipi membikin pipinya semakin merah. Lalu diraihnya lip gloss, dioleskannya ke bibir tipisnya itu. Mengernyit dahinya menatap cermin. Seakan bingung dengan riasan wajahnya kali ini.

"Hmm, apa lagi ya yang kurang?"

Dilihatnya alat kosmetik yang berjejeran rapi di meja riasnya. Dari kanan ke kiri lalu ke kanan lagi.

"Semuanya sudah. Tapi, kok rasanya masih ada yang kurang ya?" gumamnya.

Dioleskannya eye shadow entah sudah yang keberapa kalinya. Empat puluh lima menit sudah ia berdandan di depan cermin itu. Sepasang matanya yang sudah indah dengan bulu mata yang lentik itu menyapu seisi kamarnya. Ditekannya tombol off pada tape recorder yang telah menemaninya berdandan. Lalu ditutupnya pintu kamar dengan pelan.

"Nak, Mama pergi ke pasar ya. Jaga rumah baik-baik," ujarnya setengah berteriak.

***

Aku memang kurang puas dengan dandanan yang sederhana. Pernah sekali anak perempuannya bilang, cermin di kamar mama itu terlalu berlebihan. Hingga membikin dandanan mama seperti badut. Semasa itu, perempuan paruh baya itu marah sekali pada anaknya. Tertawa-tawa cemas aku dari dalam kamar mendengarnya. Anak kecil itu sudah mulai pintar sekarang. Dia sudah pandai menuduhku.

Perempuan tua itu, selalu saja bertanya. Apa yang kurang? Apa yang kurang? Aku tak pernah menjawab, tapi aku selalu memberikan jawaban padanya hingga ia memoles wajahnya berulang kali.

Kuberitahu padamu, sebenarnya ia memang pantas berdandan berlebihan. Lihat saja, wajahnya penuh garis-garis halus, kantung mata membikin matanya layu, bibirnya sudah tak merah jambu lagi.

Baju yang dikenakannya pun, jika biasa-biasa saja tak akan membikin perempuan itu dilihat orang. Lihat baju yang dikenakannya kini. Warnanya merah dengan payet-payet yang berkilauan. Membikin silau orang-orang yang melihatnya. Setidaknya, dengan pakaiannya kini, ia akan dilihat oleh orang-orang di pasar.

***

Perempuan 2 dan Cermin


Suatu pagi yang gerimis tampak seorang anak perempuan berseragam putih biru berjalan pelan. Diayunkannya tangan kanannya mengiringi langkah kakinya. Sedangkan tangan kirinya memegang kuat payung berwarna merah muda. Angin dingin membelai lembut helaian rambut hitamnya. Sesekali ia tersenyum pada kaca-kaca jendela rumah tetangga-tetangganya. Beberapa wajah tampak tersenyum dari balik jendela.

Agak terheran-heran ia pagi ini. Entah apa sebabnya tetangga-tetangganya melihat ia pergi ke sekolah sampai sebegitunya. Mengernyit dahinya sambil sesekali membalas senyum dari rumah ke rumah.

Tak habis pikir ia. Entah apa yang menyebabkan setiap orang yang ia temui memandangnya lama. Anak SMP itu hanya bisa tersenyum. Hingga sampai ia di sekolahnya. Setiap teman yang ia temui selalu menertawainya. Menertawai dengan segan. Lalu berbisik pelan pada teman di sebelahnya. Semakin terheran-heran ia dibuatnya.

"Eh, kamu kok jadi centil gitu hari ini? Lihat, lipstik menor begini. Merah pekat. Mirip tante-tante," tanya seorang teman yang kebetulan rumahnya satu kompleks dengannya.

"Jangan meniru mamamu. Nanti kamu juga digosipin sama ibu-ibu kompleks. Mamamu kan sudah jadi hot gosip sekarang," lanjutnya.

Terbingung-bingung ia. Ia tak merasa mengenakan lipstik berwarna merah. Tadi pagi ia hanya mengenakan lip ice. Lalu, apa benar Mama digosipkan oleh orang? Berputar keras otaknya. Apa benar ada yang aneh pada cermin di kamar mama?

***

Anak remaja itu kini sudah mulai penasaran denganku. Pagi-pagi sekali mengendap-endap ia masuk ke kamar ibunya. Membawa bedak dan lip ice miliknya. Pelan-pelan ia duduk di depanku. Menghadapkan wajahnya padaku. Sesekali diliriknya ibunya yang masih tertidur pulas dengan wajah polos tanpa kosmetik. Ibunya memang tak pernah sekalipun menampakkan wajahnya tanpa kosmetik pada siapa pun, kecuali pada anaknya dan cermin. Entah apa sebabnya.

Didekatkannya wajahnya padaku. Dirabanya aku dengan jari telunjuk kanannya dari atas lalu ke pinggir kanan hingga ke bawah. Lalu diraihnya kotak bedak miliknya. Disapukannya bedak itu ke wajahnya yang masih belia. Lalu bibirnya dengan lip ice.

Duduk manis ia di depanku. Diarahkannya pandangannya pada ibunya yang masih berada di balik selimut. Bertanya ia padaku. Apa yang kurang? Apa yang kurang? Aku tak pernah menjawab, tapi aku selalu memberikan jawaban padanya hingga ia mengoleskan lip ice-nya berkali-kali entah berapa kali. Hingga merah pekat bibirnya pagi itu. Lalu tersenyum gadis belia itu. "Pas!" Tersenyum ia padaku. Kurasakan percaya dirinya semasa itu.

Beranjak ia dari hadapanku lalu diciuminya pipi ibunya yang keriput itu. Ditutupnya pelan pintu kamar ibunya.

***

Perempuan-Perempuan

Matahari mulai tinggi. Ia berjalan sembari menebar senyum kepada tetangga-tetangga yang sedang berada di halaman rumah mereka. Bibir merahnya merekah sempurna ketika tersenyum.

"Wah, cantik sekali Bu Ratih. Mau ke mana?" tanya tetangganya.

"Terima kasih, Bu Desi. Ini mau ke pasar," jawabnya ramah.

Bu Desi hanya melempar senyum padanya. Sepasang matanya mengikuti langkah Bu Ratih hingga menjauh lalu lenyap dari pandangan. Bergegas ia mendekat pada ibu-ibu tetangga lain yang juga sedang membersihkan halaman rumahnya. Mengobrol mempergunjingkan Ratih. Hingga saat ini, topiknya belum juga berubah, selalu masalah dandanan Ratih yang berlebihan.

"Lihat itu, ke pasar saja sudah seperti kondangan," ujar salah seorang ibu.

"Kalau jadi undangan sih enggak apa, Bu. Tapi ini malah jadi topeng monyetnya," lanjut ibu yang lain diiringi gelak tawa dari ibu-ibu lainnya.

Ratih tak jarang menjadi bahan gunjingan di kompleks rumahnya, entah dalam rangka apa. Arisan, pengajian, atau pun sekadar bersua di jalan. Setidaknya, menjadi topik yang paling menarik untuk dibahas. Ratih memang tak pernah punya waktu untuk ikut berkumpul bersama ibu-ibu lainnya, kecuali ketika arisan.

Pernah pula, pada suatu pagi yang dingin, perempuan-perempuan di kompleks itu tanpa sengaja bergegas keluar rumah mereka. "Anak Bu Ratih!" Serentak mereka menyebutnya dari balik tembok dinding rumah mereka.

Seorang ibu yang mengenakan sweater berwarna gelap memulai percakapan.

"Eh, Bu. Anaknya Bu Ratih sekarang sudah mulai mirip ibunya ya. Sudah mulai menor enggak jelas. Padahal baru SMP."

"Iya, tuh. Bu Ratih apa enggak pernah bercermin ya? Atau enggak punya cermin di rumahnya? Kapan-kapan kalau arisan di rumahnya kita cari tahu, yuk!"

"Segitu miskinnya ya dia? Beli cermin pun enggak sanggup. Bulan depan kalau dia dapat arisan, kita sarankan beli cermin dulu aja daripada beli baju dan make up. Bu RT, jangan jualan make up dulu deh arisan bulan depan, ya!"

"Eh, tapi anaknya ini baru tadi pagi loh. Sebelumnya kan anaknya biasa-biasa aja."

"Iya, sekarang sudah dapat pelajaran kecentilan dari ibunya."

"Sebenarnya, mereka itu enggak pe-de kalau keluar rumah tanpa make up. Takut kelihatan jeleknya. Makanya make up- nya berlapis-lapis. Hihi."

"Ingin jadi artis kompleks ini mungkin, ya?"

"Ah, sekarang saja sudah jadi artis kompleks kok. Maklum lah, Bu. Namanya juga janda. Jadi harus tebar pesona. Hihi."

***

Perempuan dan Cermin

Bergegas ia sepulang sekolah. Terngiang-ngiang di telinganya gosip-gosip ibu-ibu kompleks yang disampaikan temannya pagi tadi. Tak sabar ingin bertanya pada ibunya tentang cermin di kamar ibunya itu. Berkata-kata ia dalam hati. Kalau dugaanku selama ini benar tentang cermin itu, tak akan kumaafkan cermin sialan itu.

Berlarian hingga tersengal-sengal napasnya sesampai di rumah. Pandangan matanya menyapu seisi rumah, mencari-cari keberadaan ibunya. Hingga didapatinya Mama di depan cermin di kamarnya sedang bersolek.

"Ma, Mama harus percaya ini. Percayalah padaku. Cermin ini aneh. Baiknya kita buang saja dia. Nanti kita beli cermin yang baru untuk Mama. Cermin ini membikin dandanan kita seperti badut, Ma. Aku sudah pernah bilang pada Mama," ujarnya terengah-engah.

Perempuan paruh baya itu tergelak.

"Kamu bilang cermin ini aneh? Bukannya kamu yang aneh? Apa mungkin cermin saja bisa aneh? Cermin ini cuma benda mati, sayang," jawab mama sambil tersenyum.

"Ma, percayalah. Kita itu sudah menjadi bahan gunjingan gara-gara cermin ini. Aku juga ditertawai satu sekolah gara-gara cermin ini. Sudahlah, buang saja cerminnya," kini remaja perempuan itu mulai memelas.

Perempuan paruh baya itu masih berpikir keras dengan permintaan anaknya itu.

"Apa Mama enggak sadar kalau dandanan Mama itu berlebihan? Orang-orang di luar sana menertawai kita, Ma."

"Mama rasa dandanan Mama biasa saja. Kan sudah bercermin sebelum pergi," jawab ibunya.

"Nah, sekarang cermin itu masalahnya, Ma. Cermin itu yang membuat kita ingin terus berdandan hingga wajah kita seperti badut!"

"Kalian sendiri yang ingin seperti badut! Kalian tidak mau kan menampilkan wajah asli kalian, terutama perempuan tua ini! Aku hanya membantu supaya orang-orang tak tahu garis wajahmu, bintik hitam yang ada di wajahmu, kantong mata itu, dan kerutan lainnya. Aku hanya membantu!"

Dua perempuan di kamar itu ternganga. Mematung di tempat. Seakan tak percaya mereka bahwa cermin ini berbicara. Lalu saling lirik ibu dan anak itu. Tanpa pikir panjang, anak perempuan itu melempari cermin itu berkali-kali hingga pecah ia berkeping-keping. Ibunya masih berdiri mematung merenung.

Pecahan cermin kini berserakan di pinggir jalan. Seorang perempuan memungutnya, lalu melihat wajahnya di cermin itu. Dirogohnya isi tasnya, mencari-cari keberadaan lipstik. Di pinggir jalan itu dioleskannya lipstik oranye itu pada bibirnya.

Di tempat lain, seorang perempuan lain terheran-heran dengan pecahan cermin di jalanan. Dipungutnya cermin itu hendak ia buang ke tong sampah. Namun, diurungkannya niatnya setelah ia melihat wajahnya di cermin tersebut. Diambilkan kotak bedak dari dalam tasnya.

Dan di tempat yang lain pula, perempuan lain pula menemukan pecahan cermin itu dan mencari-cari alat kosmetiknya.

Padang, 4 Juli 2010


-----
Maghriza Novita Syahti
, lahir di Padang, 5 November 1989. Masih kuliah di Program Studi Psikologi Universitas Negeri Padang. Ia belajar menulis sastra dan jurnalistik di Sanggar Sastra Pelangi Yayasan Citra Budaya Indonesia di Padang dari tahun 2007.


Lampung Post, Minggu, 20 Februari 2011

Sunday, February 13, 2011

Valentine Biru

Cerpen Tita Tjindarbumi


MALAM itu, malam yang tak pernah bisa kulupakan. Meski tak ingat jatuh di angka berapa di bulan Januari. Atau Februari? Ya, sebelum malam kasih sayang.

Yang kuingat hanya secuil dari sekian banyak hal-hal manis yang akhirnya terus mengisi hari-hariku yang penuh masalah.

Akun yang memulai menuai kegelisahan ini. Dari percakapan kecil yang serbabasa-basi, serbakebetulan dan hanya iseng.

Dari situlah awal bermuaranya rasa itu. Rasa ingin berbagi, rasa ingin memperhatikan dan diperhatikan. Dari hal yang terkecil itu pula akhirnya aku mendapatkan sesuatu yang sangat besar dan sangat berarti. Sebagian rasa itu membuatku hariku berbunga. Selebihnya banyak duri bertebaran.

Dari chat ringan di inbox akhirnya terasa menjadi suatu kebutuhan.

Meski belum pernah kulihat wajahnya, membayangkan dia seperti apa saja sudah membuatku blingsatan. Memang seperti itulah, jika otak mulai terangsang sesuatu yang bisa begitu cepat menggetarkan tubuh dan diam-diam meracuni jiwa.

Ini memang sangat berbahaya. Setidaknya untuk seorang lajang yang selalu dilanda rasa sepi yang kerap kali mengganggu. Khususnya di malam hari yang semakin terasa panjang. Singkat cerita, aku merasa kian terpedaya oleh kalimat-kalimat indahnya. Puisinya yang bak penyair kondang dan ilmu jurnalistiknya yang membuatku seperti mahasiswa baru yang haus akan ilmu-ilmu ajaib itu.

Kami saling berbagi cerita. Banyak hal yang kami bahas.

Sejak itu aku menjadi makhluk bodoh yang suka bertanya-tanya pada tembok, pada langit-langit kamar. Bahkan pada dedaunan di bawah jendela kamarku pun kerap kuajak bicara .

Ih, sangatlah bodoh dan naif ketika aku menyadari aku tak punya nyali untuk bertanya langsung padanya. Sampai suatu sore, entah apa yang membuatku memulai percakapan tentang: letih. Tanpa diduga ia merespons dengan memberikan kejutan padaku : mengajak ketemuan.

Aku memikirkan pertemuan itu semalaman. Kuingat, malam jumat itu kuisi pikiranku dengan memikirkan semua kalimat-kalimatnya yang menyimpan misteri. Aku ingin mengenalnya namun begitu sulit kucerna semuanya. Aku mengisi malam dengan lamunan panjang tentang dia, tentang siapa dia, dan tentang siapa perempuan dia. Oh…sebegitu jauhkah aku menaruh harapan padanya?

Mungkin, ya. Mungkin....

Dan waktu yang dinanti pun datang. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Aih, ada apa ini?

Kupikir ini terlalu pagi untuk mendapatkan jawabannya. Tak biasanya kurasakan perasaan yang sulit kujabarkan dalam kata. Ada gamang terlebih rasa penasaran. Ingin segera kulihat hidungnya yang mancung. Ingin kubuktikan kebenaran berita tentangnya yang berhidung mancung dan rambut ikal nyaris kribo.

Tersenyumku membayangkan pikiranku melantur ke mana-mana. Ini bukan bagian dari profesiku. Aku bisa merumuskan dengan mudah jika itu berkaitan dengan pekerjaanku. Bahkan aku tak pernah merasa segugup ini bertemu orang baru.

Tapi Ikha?

Dia teman baru yang namanya sudah begitu akrab di memori otakku. Dia tak asing bagi hampir di semua manusia yang bergelut dalam dunia media. Ia terbilang punya nama besar. Huh, tapi kenapa aku blank tentang dia?

Aku mulai membuka file-file dalam memori otakku.

Ikha.. dia bukan orang baru di media. Curiculum vitae di Facebook-nya menyebutkan dia pernah berkutat di majalah fiksi remaja sebagai penulis cerpen. Kemudian di masa kuliah ia bekerja di sebuah majalah remaja di mana aku pernah menulis cerpen beberapa kali di media itu. Dan yang paling aku ingat adalah cerpen-cerpen cintanya yang selalu manis dan menghanyutkan setiap remaja putri. Berbeda dengan cerpenku yang lebih suka menulis tentang cewek tomboi, aktivis kampus, dan tentang kesedihan.

Kupikir aku mulai menemukan topik pembicaraan jika kami bertemu nanti. Tetapi apakah membahas cerpen, bahasan yang mengasyikkan mana kala kini kami lebih banyak bergelut dalam dunia yang lain.

Ouf…bukankah ia masih menggeluti media? Dan sepertinya kami akan seru dengan topik media.

Hm....

Aku menggeleng. Rasanya tidak pas. Sebab, kubaca di profil singkatnya ia selalu berada di dunia yang harum beraroma parfum perempuan. Ia selalu berada di tengah para perempuan yang menjadi kolega dan sumber beritanya.

Sementara diriku?

Aku berkubang sekaligus tenggelam dalam dunia media yang keras. Sumber beritaku mereka yang sarat konflik. Berita yang kutulis selalu mengundang protes bahkan teror. Sumber beritaku polisi. Jaksa, hakim, politikus bahkan mafia dan koruptor berada begitu dekat dengan langkahku.

Aku beringsut. Betapa kasarnya duniaku. Sementara dia? Mungkin jari jemarinya lebih halus dari jari jemariku. Mungkin bahasanya, tutur katanya lebih halus dari bahasaku.

Aku ragu. Tak yakin mampu melewati pertemuan ini dengan mulus. Aku merasa begitu menyesal mengapa tak pernah berpikir memilih media perempuan saja waktu itu. Pernah sih berpikir, tetapi teman-teman selalu menertawaiku,

"Bagaimana bisa kamu bekerja di media perempuan, berlaku sebagaimana perempuan saja kamu ngoceh berkepanjangan," ujar Tineke suatu hari ketika pikiran manis itu menggangguku.

"Menjadi reporter media cewek tuh harus cantik ala perempuan," ujar Tineke tanpa peduli wajahku yang mulai masam.

"Kupikir tak selalu harus begitu."

"Jelas harus begitu."

Tineke melirik ke Rene reporter dari majalah wanita yang kebetulan bertemu dalam liputan seminar tentang reproduksi wanita. Cantik, bersih, pakaiannya keren, dan wangi. Sementara aku begitu setia dengan jins belel-ku.. Sejak itu surut keinginanku masuk di jajaran media wanita. Ngeper. Keder. Hiks!

***

Ikha. Aku mengeja namanya seperti saat pertama kali kukenal abjad dalam hidupku. Lalu mulai kubuka lagi inbox Facebook-ku. Ada beberapa pesan berkelanjutan darinya. Lalu pesan singkat darinya di ponselku masih lengkap.

Sekali lagi kutertawakan diriku yang berprilaku seperti ABG.

"Cerpenmu bagus sekali. Apakah kita bisa menjadi ABG seperti kisah dalam cerpenmu itu?"

Begitu salah satu sms-nya yang mengharu biru perasaanku. Secara, sudah lama sekali perasaan ini seperti beku. Tak ada yang memuji. Tak ada yang menyapaku dengan kata-kata bersayap, seperti rayuan gombal cinta ala remaja.

Bahkan tak ada seorang pun yang mampu membuat perasaanku bergetar seperti dawai dipetik. Seperti getar yang kurasa saat Ikha memuji cerpen-cerpenku. Oh, rasanya begitu indah membuat mabuk kepayang.

Kubayangkan bagaimana mimik wajahnya saat menulis pesan singkat itu. Tersenyum-senyum membayangkan diriku? Atau ia menulis dengan wajah datar tanpa pernah berpikir bagaimana diriku. Apalagi membayangkan bagaimana bentuk wajahku?

Duh, persetan dengan semua itu!

Buatku yang terpenting adalah membiarkan cahaya itu berpendar dalam hatiku. Energi itu terus membakar jiwaku. Membuat dahagaku akan masa-masa yang penuh bintang terhapus. Ia bagai setetes air di padang tandus. Begitu melambung aku membayangkannya.

***

Jumat bagiku biasanya hari yang berjalan begitu cepat. Beberapa pekerjaan rutin sudah antre di meja kerjaku. Setumpuk berkas sudah minta diperhatikan. Semua harus dibaca dengan teliti. Beberapa buku pintar juga memenuhi meja. Semua nyaris membuatku panik. Membuat otakku seperti berhenti bekerja. Tak ada pekerjaan yang bakalan beres hari ini. Sebab, sekujur tubuhku sudah dialiri getar asing itu. Grogi sejak pagi sudah terasa. Apa yang ingin kukerjakan rasanya membuat otakku penat.

"Kita atur pertemuan kita tepat di hari kasih sayang," ujar Ikha dengan suaranya yang memilin rasaku. Duh rasanya waktu berjalan sangat lambat waktu ia berujar tentang pertemuan.

"Mengapa harus di Hari Valentine?" Rasa ingin tahuku membeludak. Pecah begitu saja di bibirku.

"Tentu karena banyak orang yang menganggap saat itu adalah hari yang sangat istimewa."

Oh, mengapa ia menyebut "banyak orang"? Apakah ia tak anggap Valentine Day adalah hari yang istimewa?

"Bagi mereka yang sedang dilanda cinta akan terasa sekali betapa khususnya hari itu," tambahnya lagi menyadari keheningan saat kata-kata membeku di benakku.

Tak bagimu, Ikha?

Aku menenangkan gemuruh di dadaku. Betapa sulitnya. Apalagi bagi aku yang sudah terlalu lama dalam kebekuan. Mencintai Bara mungkin anugerah bagiku. Lelaki itu telah dengan sabar mengajariku bagaimana mencintai dengan ketulusan untuk menerima dan memberi, seperti halnya yang ia lakukan terhadapku.

Mencintai Bara juga telah membuahkan kepedihan yang begitu dalam. Ia yang semula kupikirkan akan menjadi teman sejatiku dalam suka dan duka, tiba-tiba menjadi lelaki yang tak berdaya. Ia harus menikah dengan perempuan yang dipilihkan keluarganya. Anehnya ia tak dapat menolak dan mempertahankan cintanya, yang dia selalu bilang hanya padaku.

Semua menjadi beku dengan tiba-tiba. Aku tak dapat lagi menandai rasa cinta di dalam dada ini. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya. Dan ini sangat menyiksa juga manakala bayangan masa lalu itu mengintai.

“Suka atau tidak aku ingin kita bertemu pada hari itu.”

“What?” aku mendekatkan bibirku ke ponsel. Ia harus dengar ucapanku. Aku juga ingin mendengar dengan jelas jawabannya. Maka kuaktifkan speaker ponselku. Aku tersenyum menyadari kekonyolanku. Seorang yang lewat di depanku menoleh, mungkin merasa aneh melihat sikapku.

Halah!

"Saya akan datang menjemputmu di hari bernuansa pink itu."

Waduh! Pink? Sudah berapa lama ia tak menggubris warna perlambang kasih itu? Membiarkan waktu berlalu tanpa harus memburu pernik, boneka, atau cokelat untuk Bara.

Oh. Mengapa Bara? Bukankah kini aku sedang mencoba menyambung rasa dengan lelaki bernama Ikha?

Dan sore itu aku tak bisa mengelak ketika lelaki itu berdiri di depanku.Lututku mendadak lemas begitu melihat sosoknya. Inikah Ikha?

Ya, Tuhan, bukankah ia salah seorang teman Bara?

Aku masih ingat tentang lelaki ini. Aku pernah melihat lelaki ini berada di kampus yang sama dengan Bara. Waktu itu hujan rintik di sore yang menghitam. Bara pamit meninggalkannya. Ia bilang hanya sebentar. Ada kakak angkatannya yang mencarinya. Aku hanya melihat dari kejauhan mereka bercakap-cakap serius. Kemudian Bara cepat-cepat mengajakku meninggalkan kampus.

Bara tak banyak bercerita. Tetapi dari caranya mengamit lenganku, seperti ada yang membuatnya bersikap aneh. Aku tak banyak tanya. Terlalu banyak teman Bara yang bersikap misterius.

Bara hanya bicara sambil lewat.”Aku tak suka kamu dekat-dekat dia.”

Hm. Aku tak bertanya tetapi akhirnya aku tahu lelaki itu play boy kampus.

Dan malam ini ia berdiri di depanku. Aku ingat ucapan Bara. Gemuruh di dadaku lenyap entah kemana.

"Hai apa kabar?"

Kuterima uluran tangannya.

"Lama ya menunggu," ujarnya sangat tenang.

"Malam yang indah. Malam penuh kasih sayang kata sebagian besar orang," katanya lagi lalu duduk di kursi rotan yang berada di teras paviliun kontrakanku.

"Sebetulnya setiap malam bisa menjadi malam yang indah," kataku santai saja. Menarik kursi di seberang meja kecil pemisah kursi yang sedang didudukinya.

Lelaki itu tersenyum. Giginya berderet putih menyembul. Bersih dan rapih.

Oh, no. Aku tak boleh tergoda dengan pesonanya.

"Begitu ya?"

Mata kami sempat bersirobok. Dengan cepat kukeluarkan sebatang rokok dan menyalakan korek api.

"Apa acaramu malam ini?"

Aku tersenyum. Jerat sudah dia pasang.

"Beberapa teman mengajakku pergi."

"Sayang sekali..." Tak ada kesan kecewa. Wajahnya datar saja.

"Abang bisa bergabung jika berkenan," kataku menawarkan.

"Aku ingin kita berdua saja."

"Maaf... sepertinya terlalu pagi untuk bisa seperti itu. Kita baru saja saling mengenal."

Ikha tertawa. Aku melihat rambut kribonya tak ada lagi. Rambutnya tertata rapih. Uang dengan mudah merubah penampilan. Tetapi tak selalu mudah merubah karakter.

Kubiarkan Ikha diam dengan asap rokok yang mengepul di depan wajahnya. Aku teringat Bara yang pernah mengatakan : yang kita lihat di permukaan tak selalu sama dengan yang ada di dalamnya.

Bara pernah meminta maaf untuk hari kasih sayang yang sepi. Waktu itu ia meliput ke sebuah pulau terpencil. Tak ada sinyal dan untuk mencapai wartel harus ditempuh dalam tiga jam.

Tak ada pernik-pernik berwarna pink. Dua hari setelah itu, ia datang dengan setangkai anggrek biru.

"Terimalah, biru perlambang damai. Tak selamanya Valentine bernuansa pink, Honey. Kali ini ia berwarna biru." Lalu serta merta ia memelukku. Mendaratkan kecupan di keningku. Cair segala rasaku.

Melihat Ikha aku kembali ingat Bara. Meski sudah lama pergi dari hidupku, kenangan bersamanya kadang masih mengganggu pikiranku. Aku tak bisa gantikan sosok Bara dengan lelaki lain. Ikha sekali pun. Biar saja Valentineku biru. Aku trauma dengan julukan play boy kampus.


Lampung Post, Minggu, 13 Februari 2011

Sunday, February 6, 2011

Pintu Air Jagir

Cerpen Sungging Raga


"Karena yang kita lakukan selama ini tidaklah sia-sia."

SATU

Jadi, jika tubuhmu memang benar telah hanyut di sungai itu, bukan berarti tak ada lagi yang akan menunggumu di pengujung sore di sudut desa ini. Mungkin kau sadar, ketika keheningan yang kau cita-citakan itu mulai kau rasakan, ketika tubuhmu terbelit akar-akar dan daun rumput yang bergerak seragam, kau biarkan kehanyutan itu menjadi semacam doa yang melebihi waktu, kau tempuh kesunyian seperti tanpa beban, tanpa arah, dan hanya menitipkan pesan lewat celah remah dedaunan.

Sudah beberapa sore kutunggu kau kembali setelah badai membelah desa ini menjadi ribuan potongan kisah kecil. Kutatap lagi foto ini, sebuah foto tanpa bingkai yang pernah kau kirimkan beberapa tahun lalu. Seperti ucapan terima kasih yang masih terasa hangat di lengkung daun telingaku. Kau tak mendesah, kau tak berbisik, hanya telepon yang waktu itu menyaksikan suaramu hadir begitu saja, datar, lantas hanyut, dan lenyap seperti sesuatu yang begitu cepat menjadi baka.

Tetapi perjalanan memang telah mengirimkanku ke tempat ini, dengan kereta yang menghubungkan kota kita, dengan sedikit usaha untuk tiba di rumahmu yang masih harum bukit-bukit kehijauan, rumah di mana huruf demi huruf pernah kau kibaskan di atas kertas, atau ketika kau meruntuhkan pagi yang tumbuh di matamu dengan suara serak di ujung telepon itu. Teras, bunga mawar, pot kecil, dan sebatang pohon yang tumbuh melebihi pagar rumahmu, segalanya seperti rentang cerita yang kau titipkan lewat hari-hari kita yang berbatu, lewat rentang waktu yang menyekat setiap pintu.

"Karena cinta kita mendahului waktu." Begitu ucapmu bertahun-tahun lalu, ketika kita masih sepasang remaja yang biru, yang mencoba menerka-nerka adakah yang lebih indah dari perasaan yang terbahasakan. Tetapi kita memang terlalu cepat untuk melewati pijakan-pijakan yang tak kita ketahui terjal atau landainya.

Maka kita pun terbata-bata.

DUA

Sudahkah kau ingat kembali kejadian tak terduga itu? Sore temaram, sisa hujan, lembap, dingin, remang, basah, peluh, lenguh, rontok daun, suara kicau burung, dengung mesin, bau gas, cipratan air, dan segenap petikan alam yang membuatmu tersadar dari riuhnya kota ini. Kota yang tak lengang. Namun kita berawal dari sini, dari sebuah stasiun yang tak memberimu jalan keluar dari kenangan. Kita berjanji untuk bertemu di stasiun, berjalan perlahan dengan bergandengan tangan. Ah, aku memang tak melihat ketika kau melangkah perlahan memegang sepucuk surat yang pernah kukirimkan itu—yang pernah berjanji kubacakan kembali di hari ulang tahunmu, tetapi aku paham, kita berada pada satu titik rahasia, lebih rahasia dari keterlambatan kereta, yang tak boleh cepat diungkap lewat coretan pada dinding gerbong kereta.

Tetapi tiba-tiba kubayangkan kereta yang melintasi pintu air itu membuat waktu mulai mendahului kita. Di mana romansa, kata-kata mesra, dan ribuan janji kita untuk menempuh perjalanan yang paling sederhana, tanpa algoritma. Kau masih dengan pakaian putih bersih, dengan tas yang ikat talinya melingkar di tubuhmu. Kau bayangkan jam sejenak membatu. Bahkan ketika aku diam-diam memutar kembali kenangan seperti semacam film yang direkam secara bajakan, terputus-putus, miring, dan bergoyang-goyang, ingin kususun kembali bayanganku tentang sosokmu, ingin kubayangkan kau hanya lewat surat-surat dan telepon di hari-hari yang terkejut itu. Terkadang aku ingin terpejam dan tidur selamanya sebelum kereta terakhir mengantarmu pulang.

Barangkali kau juga pernah muncul dalam tidurku, dalam mimpi yang ketika itu di kepalaku hanya ada hingar-bingar perjalanan kereta, antara bersilang, disusul, dan tunggu aman. Kita pun begitu, mendadak kubayangkan kau berdiri di sepanjang rel, mengamati lenyapnya impianku yang lembut ditelan abu. Aku tahu, kau tak tumbuh dalam perjalanan itu, kau bukan wanita yang kutemui di sebuah kereta yang entah apa namanya dan entah tujuannya. Meski begitu kita pun paham, kita tidak muncul dalam suatu pertemuan acak, bahkan janji-janji itu bukan sekadar kalimat yang kau tulis begitu saja. Bahkan perjalanan ini semacam replika dari apa yang kusimpan sebelum badai itu mengguncang desamu. Bahkan stasiun itu berdampingan dengan pintu air yang aku tahu itu juga menuju rumahmu. Setiap kali kutatap pintu air itu, bendungan yang selalu mengukur debit air itu, seperti ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, terutama ketika suasana telah remang, di saat semua sinar bermunculan, lampu kota, merkuri, baliho, papan reklame, lampu lalu-lintas, ketika segala cahaya tiba di mata kita. Dan kubayangkan kita duduk di sebuah taman, saling menatap, sementara di belakang kita beberapa pemuda bermain skateboard, atau di taman tempat merpati beterbangan karena manusia mengganggu mereka yang sibuk mematuk biji-biji jagung. Ketika itulah kusampaikan gejolak paling rentan dari tubuhku. Kau tahu, tubuhku seperti karang yang kering-kerontang, tak ada desis ular air, capit kepiting, atau buih sungai yang berserakan. Tubuhku adalah rentetan karang di padang tandus, yang jauh dari air, atau mendung, atau hujan, atau apa saja yang membuat setiap kata-kata ini menjadi picisan. Tetapi badai itu tiba lebih cepat dari segalanya, mendahului waktu, mendahului kita, mendahului dirinya sendiri. Ketika desa menjadi serpihan yang tak seorangpun pernah membayangkan lewat sentuhan mata.

Aku tak menangis, kau tahu, meski terkadang aku duduk di depan rumah menatap jalan raya seperti menggelembung oleh timbunan air dari silang kendaraan demi kendaraan. meski terkadang kususuri kembali jejak-jejak yang pernah kita singgahi, meski badai itu tak terekam oleh tubuhmu yang hanyut di sungai itu.

Terkadang kau bertanya, mengapa pertemuan kita begitu terlambat dan jauh? Mengapa cinta kita bisa mendahului waktu tetapi tak bisa mendahului jarak? Bahkan ketika kau menangis lewat telepon itu, bisa kurasakan sungai deras yang mengalir di jantungmu, menelusuri setiap rongga tubuhmu yang mulai melemah. Aku tak tahu, yang pasti, setiap kali aku berkunjung ke rumahmu, tak pernah kuniatkan itu sebagai ziarah, melainkan menjadi penanda bahwa apa yang kita lakukan tidaklah sia-sia seperti yang kau ucapkan dahulu.

TIGA

Mungkin lebih baik kutunggu saja kau di pintu air ini, tempat beberapa anak sungai menyatu, membelah, dan mengalir seperti tunduk pada takdir. Entah dalam wujud apa. Tetapi di muara manakah kau akan terdampar? Ketika badai itu tiba, aku tak sedang duduk di depan cermin menunggu telepon seperti biasa. Bahkan aku tak membayangkan bahwa sungai yang sering kau ceritakan lewat telepon itu akan menjadi saksi berakhirnya biografi perasaan kita.

"Aku suka sungai, kadang aku melamun di tepinya, menulis puisi, seperti sebagian gadis-gadis zaman dahulu yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melamun, melamukan seorang pangeran akan tiba di bawah kepungan hujan, menjemputnya, dan membawanya ke suatu tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya."

Apakah kita sedang hidup dalam sebuah fiksi yang belum mati? Cinta ini, badai ini, desa ini, stasiun ini, mungkin semua hanya fiksi. Pernah pula kutuliskan kau dalam kisah-kisah pendek yang memalukan, kutulis dirimu di bawah lampu meja, ditemani musik blues yang mendengung pelan, suara nyamuk, dan kantuk yang menyengat. Meski tak bisa kubayangkan kau dalam seribu tokoh fiksi yang berbeda. Sebab kau bisa menjelma apa saja, kau bisa menjadi pohon yang tumbuh kekar di depan peron stasiun, kau tak bisa ditebang, kau tak bisa digusur dengan alasan tata kota. Kau tetap di sana karena kau tumbuh di sana, menungguku datang dengan cinta yang terbata-bata. kau meneteskan getah itu di tanganku, semacam penanda yang baik tentang hari baik, bahwa pertemuan kita sedianya akan abadi dalam rentang ingatan yang tak akan menjadi klasik.

EMPAT

Jadi, ketika kau dinyatakan hilang oleh orang-orang itu, aku tetap suka membayangkan diriku berada di pintu air dan berlayar mengarungi sungai di depan petak rumahmu yang kini benar-benar rata itu.

Sebab aku masih menerka, apakah benar yang kita lakukan selama ini memang tidak sia-sia.


Lampung Post, Minggu, 6 Februari 2011