Sunday, April 27, 2014

Cerita Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri

Cerpen Dadang Ari Murtono


BILA ia benar bunuh diri—entah dengan cara apa—mungkin orang-orang yang tahu hari-hari terakhirnya akan meyakini bahwa dia bunuh diri karena jatuh gila. Dan bagi yang mengenalnya di masa jauh sebelum saat ini, barangkali akan lebih percaya kalau dia bunuh diri karena patah hati. “Dia lelaki yang dikutuk cinta. Dua kali dia jatuh cinta. Dan dua kali itu pula jatuh cintanya salah. Jatuh cinta kepada perempuan yang telah bersuami dan cintanya berujung malang. Dia pasti salah jatuh cinta lagi dan tak kuat menahan sakit lalu bunuh diri.”

Tapi baiklah, kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ini memang berhubungan dengan cinta. Berhubungan pula dengan gila. Cinta memang selalu gila, bukan? Tapi kali ini dia tidak jatuh cinta kepada perempuan. Dia jatuh cinta kepada cerita-cerita. Cinta yang membuatnya meninggalkan pekerjaan mapannya di perusahaaan telekomunikasi dan dibenci keluarganya yang sebenarnya bermaksud baik dan menghendaki ia hidup seperti kebanyakan orang, “hidup yang normal,” kata keluarganya. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan. Cinta bekerja dengan cara tersendiri yang terkadang tidak masuk akal. Dan ia telah membuat keputusan.

Dia banyak menulis. Namun, sekali waktu, ketika harapan masa depan yang lebih cerah terbit di dadanya, beberapa orang menuduhnya pencuri. Padahal ia pencinta teguh. Dan bagaimana orang yang mencintai sanggup mencuri sesuatu dari apa yang dicintainya? Yang terjadi sesungguhnya adalah ketika ia mencoba sampai sebatas apa cerita itu bisa dibikin, para penuduh itu menyalahpahaminya. Orang-orang itu seperti tahu semua hal tentang cerita. Tapi mereka hanya tahu apa yang sudah ada atau pernah dibuat oleh orang.

Merekalah sepandai-pandai penjaga kemapanan, bukan pendorong perubahan, atau penemu hal baru. Dan ia menulis sesuatu yang belum pernah ada (barangkali pernah ada, tetapi tidak sepenuhnya seperti yang ia lakukan). Menulis nyaris sama dengan tulisan orang lain, tetapi pada beberapa bagian memelencengkannya. “Bagaimanapun juga, sekalipun ia telah memberi keterangan bahwa apa yang dibikinnya berdasarkan cerita orang lain, tetap saja dia pencuri!” teriak para penuduh itu. Lalu segenap orang, seluruh semesta, seakan berbalik arah melawannya, memusuhinya. Ia merasa menjadi korban fitnah. Dan sengaja dibunuh pelan-pelan dalam sepi di dunia yang dicintainya.

Lalu tak ada lagi satu pun apa yang ia bikin yang terbit. Dan teman-temannya—karena malu berteman dengan pencuri—meninggalkannya satu-satu. “Dia pernah menulis cerita berjudul Lelaki Sepi. Dan kini, benar-benar sepilah dia. Salahnya sendiri ngawur membikin cerita. Apa dia tidak tahu kalau cerita itu seperti doa? Seperti nama, bukan?” simpul salah satu temannya dalam sebuah perbincangan di warung kopi.

Sedang makian, terus saja datang dalam rombongan besar kepadanya. Sungguh, ia merasa lebih baik ditusuk pisau daripada diperlakukan seperti itu. Dalam sepi yang begitu purba, ia memutuskan berteman dengan benda-benda. Ia mulai bicara pada komputer, pada piring, pada batu, pada tembok, pada bulan, dan sebagainya.

Tapi semua tidak lantas selesai begitu saja. Sebagaimana semua orang yang hidup, ia juga butuh makan, minum, sabun, odol, dan perkara-perkara lain yang hanya bisa selesai bila ada uang. Ia percaya seseorang harus melakukan sesuatu dilandasi cinta. Bukan keterpaksaan. Dan karena tak ada pekerjaan yang dicintainya selain menulis, dia terus menulis. Terus dan terus. Dan terus pula berupaya agar ada yang berkenan menerbitkan tulisannya. Selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun, i a menulis. Telah berapa ribu cerita ia tulis? Tapi apa yang pernah dialaminya, fitnah itu, tak cukup menumbuhkan—paling tidak—rasa kasihan bagi orang-orang di koran dan penerbit untuk meluluskan permintaannya. Sekali waktu, ada sebuah koran yang memuat tulisannya, dan hanya dalam hitungan menit, ribuan hujatan dialamatkan ke koran tersebut. Siapa bilang pengarang telah mati dan hanya karya yang bicara ketika tulisan itu telah selesai dibuat? Omong kosong.

Lalu seperti Akutagawa, penulis yang ceritanya pernah ia garap ulang dan menyebabkan ia mengalami nasib buruk sedemikian panjang, ia sepenuhnya menyadari dirinya menjadi gila. Barangkali bila persoalannya adalah sekadar menjadi gila, maka akan lebih mudah menanggungkannya. Tapi yang ia alami adalah menyadari sepenuhnya bahwa ia tengah dalam proses menjadi gila. Dan sungguh, itu sangat menyakitkan. Seandainya Akutagawa masih hidup, kau bisa bertanya kepadanya bagaimana rasa yang sedemikian itu. Bukan hanya sepi yang membikin seseorang menjadi gila, melainkan juga lapar dan perasaan tidak dihargai. Dan pada suatu malam, ia didatangi oleh makhluk-makhluk yang tidak ada dalam dunia nyata, makhluk-makhluk yang ia yakini juga mendatangi Akutagawa menjelang kematian sang pengarang itu karena bunuh diri pada usia 35 tahun. Makhluk-makhluk yang disebut Akutagawa Kappa dalam sebuah novelet dengan judul Kappa. Makhluk setinggi 1 meter dengan tangan dan kaki berselaput dan tengah puncak kepalanya berbentuk oval, cekung seperti piring.

Dan ia mulai melupakan benda-benda. Benda-benda tidak bisa diajak berbincang, apalagi berdiskusi. Ia telah mencoba menceritakan hal paling remeh kepada benda-benda itu, semisal, “hari ini hujan, aku kedinginan, apakah kau juga kedinginan?” Tetapi benda-benda tetap saja diam. Dengan para Kappa, ia bisa berbincang dan berdiskusi. Apalagi ada dari Kappa itu yang berprofesi sebagai filsuf, penyair, pegawai bank, gubernur, bahkan sampai pemabuk dan pengangguran. Ia bisa bicara banyak. Di mana-mana, selalu saja ada Kappa yang menemaninya. Dan di mana-mana itu pula, ia berbincang dengan asyik. Keasyikan yang membuatnya lupa mandi, lupa ganti baju, lupa cukur rambut, dan potong kuku.

“Awalnya ia bicara dengan benda-benda, sekarang malah dengan sesuatu yang tak ada,” ia tidak menghiraukan ucapan orang semacam itu.

“Dasar pengarang gila. Ia merasa tengah berbicara dengan Kappa. Itu pasti karma karena dia pernah mencuri karya Akutagawa. Biar saja dia gila seperti itu. Sebentar lagi dia pasti akan mati,” sahut orang yang lain.

Di antara semua Kappa, ada satu yang paling disukainya. Nama Kappa itu tidaklah penting benar. Yang jelas, Kappa itu adalah penyair. Ia merasa melihat pantulan dirinya di cermin pada diri Kappa itu. Penyair yang telah menulis ribuan puisi tapi tak satu pun yang menganggap puisi sang Kappa bagus. Kappa itu hidup dalam keprihatinan yang sangat. Bahkan, sering, ketika lapar telah terlalu, mengais makanan sisa dari tong sampah. Beberapa kali, sang Kappa berpura-pura gila agar bisa kencing di celana dan makan gratis di warung. Kappa itu juga tak jarang melakukan hal-hal tidak masuk akal yang menurutnya dikerjakan untuk memperoleh pengalaman baru sebagai bahan tulisannya. Ketika punya uang, Kappa berambut kusut itu pernah menelan sepuluh butir obat sakit kepala hingga nyawanya nyaris lepas. “Agar aku tahu bagaimana rasanya sekarat,” terang si Kappa.

“Dunia benar-benar sudah miring!” kata si Kappa pada suatu kali. Tapi yang sesungguhnya terjadi adalah si Kappa penyair yang jalannya miring. Segenap dunia masih pada posisinya yang wajar. “Aku telah menulis puisi terhebat. Yang terhebat dari semua yang pernah aku tulis. Dan kalau orang-orang tetap saja mengejekku, aku akan bunuh diri. Aku tidak sudi hidup di dunia yang miring. Hanya orang-orang miring yang akan meremehkan apa yang telah kubuat ini,” kata si Kappa suatu sore. Dan ia menjawab perkataan si Kappa dengan kalimat yang mungkin sekali akan terus disesalinya. “Barangkali dunia tidak membutuhkan puisi-puisimu. Bahkan mungkin, dunia juga tidak membutuhkanmu. Dan tak akan ada bedanya kau hidup atau mati,” katanya meski sesungguhnya kalimat yang diucapkannya sembari menundukkan wajah itu lebih ia peruntukkan bagi dirinya sendiri.

Sore itu adalah sore terakhir ia bertemu sang Kappa penyair. Seminggu ia tidak bertemu sebab sang Kappa bilang butuh waktu untuk menyempurnakan puisi tersebut. Dan pada hari kedelapan, ia mendengar dari Kappa filsuf—Kappa yang paling sering mengatakan alangkah buruk dan tidak bermutunya karya Kappa penyair dan bahwa hanya orang-orang idiot yang mau membaca tulisan si Kappa penyair itu—bahwa Kappa penyair mati di kamarnya gantung diri. Ia terkejut mendengar berita itu. Ia berduka. Ia teringat apa yang diucapkan si Kappa pada pertemuan terakhir mereka. Dan ia semakin terkejut ketika Kappa filsuf itu berkata lirih, “Barangkali setelah ini, karya-karya yang ia tinggalkan akan lebih bernilai. Bukankah bahkan dalam duniamu sendiri, banyak pengarang yang jadi penting setelah menuntaskan hidupnya yang tragis dengan cara yang juga tragis?”

Malam itu, ia menulis sebuah cerita tentang dirinya sendiri. Sebuah Cerita Kenapa Dadang Ingin Bunuh Diri judulnya.

Ah, seandainya kau membaca cerita itu, mungkin kau akan keheranan bagaimana seseorang bisa meneguhi sesuatu yang seperti begitu sia-sia. Tapi bila kau pernah membaca Myte Sysiphus-nya Camus, mungkin kau akan menggumam: “Haruslah dibayangkan Dadang bahagia!”

Dan apakah Dadang benar-benar jadi bunuh diri? Entahlah. Tapi bila benar ia bunuh diri, pastilah ia akan didapati mati sambil membawa sebilah pisau (Ia yakin genggaman yang kuat akan membawa pisau itu turut bersama rohnya). Untuk apa? Sekali waktu, ia pernah berkata, “kelak di akhirat, bila Tuhan membungkam dari pertanyaanku kenapa takdir sebegini buruk yang ditimpakan kepadaku, aku akan menikamnya. Aku benci Tuhan yang bisu.” n


Lampung Post, Minggu, 27 April 2014

No comments:

Post a Comment