Cerpen Tita Tjindarbumi
TELAH bertahun-tahun aku menunggu kesempatan ini. Pulang kampung, menghirup udara segar tanah kelahiran yang bau tanahnya tak pernah hilang dari penciumanku. Bahkan telah pula kususun dengan detail agenda selama berada di negeri beraroma lada. Dulu, ketika orang tuaku masih kaya, hampir sebulan sekali aku dan adik-adikku diajaknya ke kampung.
Di kampung ayahku selalu bilang, ”Ini tanah leluhur kita. Tidak akan habis tujuh turunan meski dibagi dengan anak cucu kalian kelak.” Waktu itu aku tidak begitu peduli apa yang diucapkannya. Yang kuperhatikan adalah kembang cengkih yang muncul di ketiak daun.
Bentuk bunga cengkih sungguh aneh namun indah. Aku suka sekali harum aromanya yang khas. Apalagi jika telah dipetik dan dijemur. Bunga cengkih itu telah menjadi kering dan kata ayahku harganya mahal sekali. Petani di kampungku makan dari upah memetik cengkih.
Selain melihat kebun keluarga, ayah juga memberi tahu letak tanah keluarga yang sama sekali tak menarik bagiku. Entah berapa hektare luasnya, yang kuingat ayahku pernah bilang, ”Di mana letak tanah yang kau suka, Imah. Jika kau suka laut, ambil yang paling dekat dengan pantai. Jika kau pilih yang belakang, nanti tertutup dengan bangunan lain.”
Aku diam. Tak begitu paham. Buat apa aku tanah? Aku memang suka laut. Debur ombaknya selalu membuat imajinasiku menari-nari. Tetapi tak terpikir olehku tinggal di tepi pantai. Selain sepi, aku ingin pergi merantau. Lepas dari urusan keluarga yang menurutku ruwet dengan berbagai urusan silsilah, adat istiadat. Lagi pula aku tak bermimpi bersuamikan lelaki asli daerah ini. Bukan tak cinta pada daerah, tetapi aku tak suka dengan adat istiadat yang ribet.
Aku suka kesederhanaan. Cinta bagiku adalah urusan perasaan. Bukan transaksi antara dua keluarga besar yang mengedepankan derajat keturunan atau gelar-gelar. Bahkan, jujur, aku tak mengerti apa yang mereka sebut “adok”. Bagiku ketika hatiku bergetar saat bertemu lelaki yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya, itulah cinta yang sebenarnya. Tak peduli ia dari keluarga keturunan ningrat atau orang biasa.
Siapa yang mampu menampik rasa cinta? Tak perlu bicara adat, sebab adat tak selalu bisa menyelesaikan persoalan hati. Mungkin adat hanya tepat mengurus soal waris dan bukan soal hati. “Kamu bisa minta apa saja dari ayah, tetapi tidak restu menikah dengan lelaki yang tak jelas asal usulnya!” Begitu ucap ayah saat kukatakan bahwa Lanang, lelaki berdarah Jawa itu akan datang untuk meminangku.
Suara ayah tidak keras tetapi sangat tegas seperti tak bisa ditawar. Darahku serasa bergerak cepat naik ke kepala. Aku perempuan Lampung yang mewarisi kekerasan hati keluarga, tak bisa diperlakukan sewenang-wenang. Ini urusan hati. Bukan urusan warisan yang sudah ada aturan tetapi masih tetap ada kompromi.
“Ayah, saya tidak meminta apa-apa, hanya restu. Dan saya sudah menentukan pilihan hidup saya. Apa pun risikonya, akan saya terima,” kataku tenang meski darah telah bergejolak. Aku ingin berteriak, tetapi percuma. Aku tahu persis siapa ayahku. Ia tak akan menggadaikan martabatnya hanya untuk sebuah restu. Bagi ayah memberi restu sama saja mempermalukan diri dan keluarga. Selain itu, ternyata ayah telah menjodohkanku dengan anak kerabatnya yang turunan ningrat, kaya raya, dan tanahnya berhektare-hektare ada di mana-mana.
Aku tahu, menjadi pembangkang terlalu besar risikonya. Tetapi aku tak akan pernah mundur. Meski begitu, aku juga tak mau bersikap konyol. Aku harus mendiskusikan pada Lanang. Aku butuh dukungan Lanang. Terutama keberanian Lanang agar apa yang sudah kupikirkan tidak hanya keinginan aku semata. Lanang harus punya keberanian dan nyali yang kuat jika ia memang mencintaiku. Dan aku tak begitu yakin soal itu.
“Kita harus bertemu,” kataku pada Lanang lewat telepon. Tegas. Aku tak ingin menangis meski hatiku galau. Darah Lampung, piil (gengsi)-nya terlalu tinggi. “Ya, tentu. Bisakah menunggu sampai selesai jam kantor?” jawab Lanang dengan suaranya yang tenang. Sama sekali tak terkesan ia mengkhawatirkanku. Inikah lelaki yang membuatku jatuh cinta? Bahkan seperti manusia tanpa logika?
“Tidak! Aku mau sekarang kamu datang menemuiku,” kataku memaksa. Lalu aku menyebutkan nama sebuah tempat di mana kami sering ke sana memandang laut, ombak yang bergulung-gulung dan pantai yang seksi. Di sanalah aku pertama kali merasakan getar cinta itu. Entahlah... jatuh cinta karena keindahan laut yang menghipnosis sehingga membuat Lanang terlihat sebagai lelaki yang hebat? Atau karena Lanang memang lelaki yang hebat dibandingkan lelaki lain yang mengejarku dengan modus yang mudah sekali kutebak. Karena aku pewaris tunggal kekayaan orang tuaku.
Hari itu aku menunggu Lanang sampai senja. Aku duduk sendirian memandang debur ombak yang bergulung-gulung. Biasanya aku selalu tersenyum setiap melihat ombak yang berkejaran menuju bibir pantai. Tetapi tidak saat itu. Hatiku cemas. Sebentar-sebentar aku menarik ujung lengan jaket yang menutupi lenganku hanya untuk melihat jam. Berkali-kali kucoba menelepon Lanang, tetapi ponselnya tidak aktif. Pesan singkat yang kukirim tak ada satu pun yang ia jawab.
Ke mana Lanang. Orang kantornya yang menerima teleponku mengatakan Lanang sudah keluar kantor beberapa jam yang lalu. Ke mana? Hingga menjelang mangrib Lanang tak muncul. Aku pulang dengan seribu tanya dan hati tak menentu.
Tak ada yang tahu Lanang ke mana. Bahkan tak satu pun teman kami mengetahui keberadaan Lanang. Seminggu tak ada kabar tentang Lanang, bagiku sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Lanang memang tidak akan muncul dan mewujudkan impianku untuk terus bersamanya dalam kapal yang sama. Lanang hanya sebuah lukisan buram masa laluku.
Berbulan-bulan aku menyendiri. Mengurung diri di kamar. Tak ingin bicara pada siapa pun bahkan seperti manusia dungu yang patah arang karena cinta yang kuimpikan begitu indah hanyalah fatamorgana.
***
Tak mudah melupakan Lanang. Ia lelaki baik. Lembut dan selalu saja penuh perhatian dan pengertian. Aku masih penasaran mengapa hari itu ia tak datang bahkan tak ada kabarnya. Setelah bertahun meninggalkan tanah Lampung, tak satu pun lelaki dapat menggantikan posisi Lanang di hatiku. Bagiku, rasanya aku masih mempunyai utang janji: janji untuk menikah dengannya. Aku tak peduli usiaku kian bertambah. Aku ingin tahu pasti mengapa Lanang tak datang hari itu. Jika saja ia bilang bahwa ia tak bisa menikahiku karena sesuatu alasan tentu, aku tidak akan sepenasaran ini. Bahkan, mungkin aku telah bisa membuka pintu hatiku untuk lelaki lain.
Upaya ayah dan ibu untuk memintaku kembali tak sedikit. Aku belum ingin kembali dengan luka yang masih basah. Aku butuh penjelasan. Sampai berita terakhir soal ibuku yang sakit-sakitan. Terbayang wajah ibuku yang lembut, ah rasanya aku sudah menjadi anak durhaka yang egois. Lari dari rumah hanya karena sepotong hati yang patah. Padahal ibuku tak pernah berhenti mengkhawatirkanku. Lalu kubiarkan ayahku mengirim orangnya untuk menjemputku. Aku memilih naik darat meski sebetulnya naik pesawat lebih menghemat waktu. Tetapi aku punya alasan yang tak bisa ditawar. Aku ingin berhenti di tempat aku dan Lanang memandang keindahan alam. Pantai Batu Serampok yang juga dikenal dengan nama Tikungan Patah Hati.
Hmm... aku baru sadar mengapa tempat itu disebut tikungan patah hati. Pantai itu kini tak seindah dulu. Sekarang berisik dengan suara mesin pemecah batubara. Lautnya yang dulu indah kini tak terlihat lagi. Tetapi aku tetap ingin duduk sejenak di tempat itu. Setidaknya....
“Hai... sudah sore sebaiknya jangan sendirian di tempat seperti ini,” tiba-tiba saja teguran itu membuatku menoleh. Dan suara itu seperti tidak asing. “Ka...mu?” Aku terbata-bata begitu melihat lelaki dengan kemeja kotak-kotak dan celana jins berwarna biru pekat berdiri tak jauh dari posisi dudukku.
Lelaki itu tersenyum tipis. Matanya memandang ke arah lain, seperti tak berani membalas tatap mataku yang tak lepas dari sosoknya. Aku ingin memeluknya, tetapi lelaki itu seperti tak ingin aku mendekatinya. “Pulanglah, Imah. Jangan lama-lama di sini. Sudah magrib,” katanya lagi seakan mengusirku.
Aku diam. Tak peduli pada kata-katanya. Aku ingin bicara banyak hal, termasuk bertanya mengapa ia tak datang. “Lanang... ke mana saja kamu selama ini?” tanyaku. ”Mengapa kamu tak menepati janjimu?” kataku setengah berteriak. “Kamu jahat! Aku kecewa padamu!” aku terus berteriak kencang lalu mendekatinya dan memukuli tubuh Lanang yang hanya diam. Pasrah.
“Pulanglah, Imah. Sudah gelap nanti kamu sakit. Udara malam di pantai ini tak baik untuk kesehatanmu,” kata Lanang lagi lalu membimbingku, setengah memaksaku turun dari bebatuan.
“Kamu harus ikut aku ke rumah. Dan katakan pada ayahku bahwa kita akan menikah!” kataku lagi memaksa Lanang untuk ikut pulang bersamaku. Lanang diam saja. Ia menuntunku, memegang erat lenganku seakan takut aku terjatuh. Oh, ternyata Lanang masih perhatian padaku. Ia masih mencintaiku.
***
Mobil yang membawaku berhenti di depan rumah keluarga. Bangunan itu masih seperti dulu, terawat dan tetap hijau. Ibuku penyuka tanaman. Seseorang membangunkanku. “Ke mana Lanang?” tanyaku cepat ketika melihat tak ada Lanang di dalam mobil selain pegawai ayahku. “Siapa Lanang?” tanya Udin, sopir ayahku.
“Temanku yang menuntunku ke mobil!” kataku cepat dengan mata nyalang mencari Lanang ke setiap sudut di dalam mobil. Mereka yang masih berada di dekat mobil berpandangan. Aku bingung. Ada apa? “Maaf, Non. Tadi Non masuk mobil sempoyongan. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa!”
Alamak! Jadi yang kutemui di pantai Batu Serampok tadi siapa? Tanpa sadar air mataku langsung bercucuran. Itukah jawabannya mengapa Lanang tak datang hari itu? Lalu mengapa ia tak tahu kabar buruk itu? Apa penyebabnya? Rasanya kakiku tak memijak tanah. Bumi berputar lebih kencang dari putaran gasing. n
Lampung Post, Minggu, 6 April 2014
TELAH bertahun-tahun aku menunggu kesempatan ini. Pulang kampung, menghirup udara segar tanah kelahiran yang bau tanahnya tak pernah hilang dari penciumanku. Bahkan telah pula kususun dengan detail agenda selama berada di negeri beraroma lada. Dulu, ketika orang tuaku masih kaya, hampir sebulan sekali aku dan adik-adikku diajaknya ke kampung.
Di kampung ayahku selalu bilang, ”Ini tanah leluhur kita. Tidak akan habis tujuh turunan meski dibagi dengan anak cucu kalian kelak.” Waktu itu aku tidak begitu peduli apa yang diucapkannya. Yang kuperhatikan adalah kembang cengkih yang muncul di ketiak daun.
Bentuk bunga cengkih sungguh aneh namun indah. Aku suka sekali harum aromanya yang khas. Apalagi jika telah dipetik dan dijemur. Bunga cengkih itu telah menjadi kering dan kata ayahku harganya mahal sekali. Petani di kampungku makan dari upah memetik cengkih.
Selain melihat kebun keluarga, ayah juga memberi tahu letak tanah keluarga yang sama sekali tak menarik bagiku. Entah berapa hektare luasnya, yang kuingat ayahku pernah bilang, ”Di mana letak tanah yang kau suka, Imah. Jika kau suka laut, ambil yang paling dekat dengan pantai. Jika kau pilih yang belakang, nanti tertutup dengan bangunan lain.”
Aku diam. Tak begitu paham. Buat apa aku tanah? Aku memang suka laut. Debur ombaknya selalu membuat imajinasiku menari-nari. Tetapi tak terpikir olehku tinggal di tepi pantai. Selain sepi, aku ingin pergi merantau. Lepas dari urusan keluarga yang menurutku ruwet dengan berbagai urusan silsilah, adat istiadat. Lagi pula aku tak bermimpi bersuamikan lelaki asli daerah ini. Bukan tak cinta pada daerah, tetapi aku tak suka dengan adat istiadat yang ribet.
Aku suka kesederhanaan. Cinta bagiku adalah urusan perasaan. Bukan transaksi antara dua keluarga besar yang mengedepankan derajat keturunan atau gelar-gelar. Bahkan, jujur, aku tak mengerti apa yang mereka sebut “adok”. Bagiku ketika hatiku bergetar saat bertemu lelaki yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya, itulah cinta yang sebenarnya. Tak peduli ia dari keluarga keturunan ningrat atau orang biasa.
Siapa yang mampu menampik rasa cinta? Tak perlu bicara adat, sebab adat tak selalu bisa menyelesaikan persoalan hati. Mungkin adat hanya tepat mengurus soal waris dan bukan soal hati. “Kamu bisa minta apa saja dari ayah, tetapi tidak restu menikah dengan lelaki yang tak jelas asal usulnya!” Begitu ucap ayah saat kukatakan bahwa Lanang, lelaki berdarah Jawa itu akan datang untuk meminangku.
Suara ayah tidak keras tetapi sangat tegas seperti tak bisa ditawar. Darahku serasa bergerak cepat naik ke kepala. Aku perempuan Lampung yang mewarisi kekerasan hati keluarga, tak bisa diperlakukan sewenang-wenang. Ini urusan hati. Bukan urusan warisan yang sudah ada aturan tetapi masih tetap ada kompromi.
“Ayah, saya tidak meminta apa-apa, hanya restu. Dan saya sudah menentukan pilihan hidup saya. Apa pun risikonya, akan saya terima,” kataku tenang meski darah telah bergejolak. Aku ingin berteriak, tetapi percuma. Aku tahu persis siapa ayahku. Ia tak akan menggadaikan martabatnya hanya untuk sebuah restu. Bagi ayah memberi restu sama saja mempermalukan diri dan keluarga. Selain itu, ternyata ayah telah menjodohkanku dengan anak kerabatnya yang turunan ningrat, kaya raya, dan tanahnya berhektare-hektare ada di mana-mana.
Aku tahu, menjadi pembangkang terlalu besar risikonya. Tetapi aku tak akan pernah mundur. Meski begitu, aku juga tak mau bersikap konyol. Aku harus mendiskusikan pada Lanang. Aku butuh dukungan Lanang. Terutama keberanian Lanang agar apa yang sudah kupikirkan tidak hanya keinginan aku semata. Lanang harus punya keberanian dan nyali yang kuat jika ia memang mencintaiku. Dan aku tak begitu yakin soal itu.
“Kita harus bertemu,” kataku pada Lanang lewat telepon. Tegas. Aku tak ingin menangis meski hatiku galau. Darah Lampung, piil (gengsi)-nya terlalu tinggi. “Ya, tentu. Bisakah menunggu sampai selesai jam kantor?” jawab Lanang dengan suaranya yang tenang. Sama sekali tak terkesan ia mengkhawatirkanku. Inikah lelaki yang membuatku jatuh cinta? Bahkan seperti manusia tanpa logika?
“Tidak! Aku mau sekarang kamu datang menemuiku,” kataku memaksa. Lalu aku menyebutkan nama sebuah tempat di mana kami sering ke sana memandang laut, ombak yang bergulung-gulung dan pantai yang seksi. Di sanalah aku pertama kali merasakan getar cinta itu. Entahlah... jatuh cinta karena keindahan laut yang menghipnosis sehingga membuat Lanang terlihat sebagai lelaki yang hebat? Atau karena Lanang memang lelaki yang hebat dibandingkan lelaki lain yang mengejarku dengan modus yang mudah sekali kutebak. Karena aku pewaris tunggal kekayaan orang tuaku.
Hari itu aku menunggu Lanang sampai senja. Aku duduk sendirian memandang debur ombak yang bergulung-gulung. Biasanya aku selalu tersenyum setiap melihat ombak yang berkejaran menuju bibir pantai. Tetapi tidak saat itu. Hatiku cemas. Sebentar-sebentar aku menarik ujung lengan jaket yang menutupi lenganku hanya untuk melihat jam. Berkali-kali kucoba menelepon Lanang, tetapi ponselnya tidak aktif. Pesan singkat yang kukirim tak ada satu pun yang ia jawab.
Ke mana Lanang. Orang kantornya yang menerima teleponku mengatakan Lanang sudah keluar kantor beberapa jam yang lalu. Ke mana? Hingga menjelang mangrib Lanang tak muncul. Aku pulang dengan seribu tanya dan hati tak menentu.
Tak ada yang tahu Lanang ke mana. Bahkan tak satu pun teman kami mengetahui keberadaan Lanang. Seminggu tak ada kabar tentang Lanang, bagiku sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Lanang memang tidak akan muncul dan mewujudkan impianku untuk terus bersamanya dalam kapal yang sama. Lanang hanya sebuah lukisan buram masa laluku.
Berbulan-bulan aku menyendiri. Mengurung diri di kamar. Tak ingin bicara pada siapa pun bahkan seperti manusia dungu yang patah arang karena cinta yang kuimpikan begitu indah hanyalah fatamorgana.
***
Tak mudah melupakan Lanang. Ia lelaki baik. Lembut dan selalu saja penuh perhatian dan pengertian. Aku masih penasaran mengapa hari itu ia tak datang bahkan tak ada kabarnya. Setelah bertahun meninggalkan tanah Lampung, tak satu pun lelaki dapat menggantikan posisi Lanang di hatiku. Bagiku, rasanya aku masih mempunyai utang janji: janji untuk menikah dengannya. Aku tak peduli usiaku kian bertambah. Aku ingin tahu pasti mengapa Lanang tak datang hari itu. Jika saja ia bilang bahwa ia tak bisa menikahiku karena sesuatu alasan tentu, aku tidak akan sepenasaran ini. Bahkan, mungkin aku telah bisa membuka pintu hatiku untuk lelaki lain.
Upaya ayah dan ibu untuk memintaku kembali tak sedikit. Aku belum ingin kembali dengan luka yang masih basah. Aku butuh penjelasan. Sampai berita terakhir soal ibuku yang sakit-sakitan. Terbayang wajah ibuku yang lembut, ah rasanya aku sudah menjadi anak durhaka yang egois. Lari dari rumah hanya karena sepotong hati yang patah. Padahal ibuku tak pernah berhenti mengkhawatirkanku. Lalu kubiarkan ayahku mengirim orangnya untuk menjemputku. Aku memilih naik darat meski sebetulnya naik pesawat lebih menghemat waktu. Tetapi aku punya alasan yang tak bisa ditawar. Aku ingin berhenti di tempat aku dan Lanang memandang keindahan alam. Pantai Batu Serampok yang juga dikenal dengan nama Tikungan Patah Hati.
Hmm... aku baru sadar mengapa tempat itu disebut tikungan patah hati. Pantai itu kini tak seindah dulu. Sekarang berisik dengan suara mesin pemecah batubara. Lautnya yang dulu indah kini tak terlihat lagi. Tetapi aku tetap ingin duduk sejenak di tempat itu. Setidaknya....
“Hai... sudah sore sebaiknya jangan sendirian di tempat seperti ini,” tiba-tiba saja teguran itu membuatku menoleh. Dan suara itu seperti tidak asing. “Ka...mu?” Aku terbata-bata begitu melihat lelaki dengan kemeja kotak-kotak dan celana jins berwarna biru pekat berdiri tak jauh dari posisi dudukku.
Lelaki itu tersenyum tipis. Matanya memandang ke arah lain, seperti tak berani membalas tatap mataku yang tak lepas dari sosoknya. Aku ingin memeluknya, tetapi lelaki itu seperti tak ingin aku mendekatinya. “Pulanglah, Imah. Jangan lama-lama di sini. Sudah magrib,” katanya lagi seakan mengusirku.
Aku diam. Tak peduli pada kata-katanya. Aku ingin bicara banyak hal, termasuk bertanya mengapa ia tak datang. “Lanang... ke mana saja kamu selama ini?” tanyaku. ”Mengapa kamu tak menepati janjimu?” kataku setengah berteriak. “Kamu jahat! Aku kecewa padamu!” aku terus berteriak kencang lalu mendekatinya dan memukuli tubuh Lanang yang hanya diam. Pasrah.
“Pulanglah, Imah. Sudah gelap nanti kamu sakit. Udara malam di pantai ini tak baik untuk kesehatanmu,” kata Lanang lagi lalu membimbingku, setengah memaksaku turun dari bebatuan.
“Kamu harus ikut aku ke rumah. Dan katakan pada ayahku bahwa kita akan menikah!” kataku lagi memaksa Lanang untuk ikut pulang bersamaku. Lanang diam saja. Ia menuntunku, memegang erat lenganku seakan takut aku terjatuh. Oh, ternyata Lanang masih perhatian padaku. Ia masih mencintaiku.
***
Mobil yang membawaku berhenti di depan rumah keluarga. Bangunan itu masih seperti dulu, terawat dan tetap hijau. Ibuku penyuka tanaman. Seseorang membangunkanku. “Ke mana Lanang?” tanyaku cepat ketika melihat tak ada Lanang di dalam mobil selain pegawai ayahku. “Siapa Lanang?” tanya Udin, sopir ayahku.
“Temanku yang menuntunku ke mobil!” kataku cepat dengan mata nyalang mencari Lanang ke setiap sudut di dalam mobil. Mereka yang masih berada di dekat mobil berpandangan. Aku bingung. Ada apa? “Maaf, Non. Tadi Non masuk mobil sempoyongan. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa!”
Alamak! Jadi yang kutemui di pantai Batu Serampok tadi siapa? Tanpa sadar air mataku langsung bercucuran. Itukah jawabannya mengapa Lanang tak datang hari itu? Lalu mengapa ia tak tahu kabar buruk itu? Apa penyebabnya? Rasanya kakiku tak memijak tanah. Bumi berputar lebih kencang dari putaran gasing. n
Lampung Post, Minggu, 6 April 2014
No comments:
Post a Comment