Sunday, April 13, 2014

Matu

Cerpen Elly Dharmawanti


Jika kamu berkunjung ke kotaku, kamu harus tahu hal-hal apa yang dianggap tabu.

UDARA subuh menyelimuti seisi pekon, angin barat bertiup kencang membuat kebanyakan orang enggan meninggalkan kamar yang hangat dan nyaman. Tapi, tidak di rumah Lekok. Semenjak azan subuh belum berkumandang, Mandok, istrinya, sudah sibuk di dapur, menyalakan tungku, menjerang air, masak dengan lauk seadanya. Lantas menyiapkan kopi dan sarapan sederhana untuk suaminya bekerja.

Lekok terkadang merasa iba melihat kondisi istrinya. Semakin hari tubuhnya terlihat semakin kurus. Virus tuberkulosis yang menggerogoti paru-parunya sudah merenggut kemolekan tubuh perempuan yang sangat ia cintai itu. Meski sudah delapan tahun usia perkawinan mereka belum juga dikaruniai keturunan, Lekok tak pernah mengeluh. Baginya dengan atau tanpa seorang anak, asal setiap hari ia bisa melihat istrinya tersenyum, itu lebih dari cukup.

Lekok bukan lelaki kaya. Meski ia anak satu-satunya, keluarganya hidup dalam kekurangan. Ibunya hanya buruh tani, yang hanya  mendapat pekerjaan ketika musim tanam atau panen dimulai. Sedangkan ayahnya hanya seorang pencari sarang walet yang menghabiskan harinya menyusuri goa-goa yang tersebar di sepanjang pantai Pesisir Barat ini. Pekerjaan yang sangat berisiko dan tidak sesuai dengan penghasilan yang didapat, meski sering ia mendengar kabar dari  mulut ke mulut bahwa sarang walet sangat digemari para cukong di kota bahkan luar negeri dengan harga yang selangit.

***

Beberapa tahun terakhir ini Lekok mulai mengikuti jejak ayahnya menyusuri goa-goa batu sepanjang garis pantai, mencoba mengais rezeki dari liur yang dikumpulkan para burung berbulu hitam tersebut. Ia ingin sekali mengumpulkan uang dan membawa istrinya, Mandok ke rumah sakit besar di kota provinsi. Ia ingin istrinya kembali sehat dan bugar seperti ketika pertama kali mereka bertemu. Lekok tahu, mesti tidak pernah mengeluh, istrinya merasakan sakit yang teramat sangat. Apalagi kala dingin menyerang  di rumah mereka yang sederhana, suara batuk istrinya seakan menikam jantung Lekok. Perih.

Pagi-pagi sekali, setelah menyantap hidangan yang disediakan istrinya, Lekok mengambil peralatan yang biasa ia gunakan menyusuri goa—baterai, tali, pisau, golok, dan tangga bambu, juga galah yang biasa ia manfaatkan untuk menjangkau sarang-sarang walet yang ada di tempat yang lebih tinggi.

Meski berat dan sangat ingin menghentikan langkah suaminya untuk berburu sarang walet pagi ini, Mandok tetap memperhatikan suaminya dalam diam, berdoa agak suaminya kembali pulang dalam keadaan sehat.

*** 

Sendirian, Lekok mulai menyusuri pantai. Jarak goa yang ia tuju sangat jauh. Kalau tidak ingin ketinggalan dengan rombongan yang lain, ia harus berangkat lebih awal dari biasanya. Meski peralatan yang mereka gunakan sangat sederhana, pekerjaan ini membutuhkan kerja sama dan risiko yang sangat berat. Sudah banyak Lekok menyaksikan teman-teman seprofesinya meninggal secara tragis ketika sedang bekerja. Dinding-dinding goa yang licin, pengap, dan gelap, sangat menyulitkan mereka menggapai sarang walet yang umumnya menempel di langit-langit goa. Toh, semua itu tidak menyurutkan niat Lekok. Di setiap langkahnya yang terbayang hanyalah wajah kuyu istrinya, menahan sakit berkepanjangan, ia ingin istrinya segera sembuh.

Bagi Lekok, menyusuri tiap  goa di sepanjang pantai pesisir ini, memberikan banyak kisah, banyak ketakutan dan kekhawatiran yang mengendap di dadanya, terutama ketika ia menatap di kedalaman goa yang gelap. Ada perasaan asing dan aneh yang mistis ketika ia mulai melangkahkan kaki memasuki goa.

Banyak cerita, banyak kisah yang ia dengar dari kecil mengenai keberadaan goa-goa yang ada di bibir pantai, terutama kisah tentang pemilik goa tersebut yang diyakini masyarakat sebagai matu, sebuah kerajaan yang teramat besar di alam gaib yang dipimpin oleh seorang putri cantik, yang menurut kepercayaan sebagian masyarakat merupakan pemilik sah dari liur-liur yang di hasilkan walet. Karena itu, setiap hendak memasuki suatu goa, Lekok dan rombongan terlebih dahulu melakukan ritual, permohonan kepada penunggu goa sehingga mereka bisa melakukan aktivitas dengan tenang dan selamat.

***

Percaya atau tidak, matu begitu mengakar dalam setiap langkah para pencari sarang walet sehingga adakalanya ketika mereka mendapatkan kesialan, mereka sengaja atau tidak menghubung-hubungkan semua peristiwa dengan kemarahan sang matu. “Barang kali ada yang tidak matu suka dari kita, atau ada di antara kita yang berpikiran jelek ketika di dalam goa," seperti itulah yang ada di kepala setiap anggota rombongan.

Konon, menurut cerita yang didengar Lekok dan telah dikisahkan turun-temurun para orang tua kepada anak-anak mereka di pekon, matu tidak hanya sekadar penguasa goa-goa walet, tetapi mereka juga penguasa lautan. Mereka memiliki kerajaan terbesar di alam gaib yang hanya orang-orang tertentu saja bisa melihat dan mengunjunginya.

Matu bukan makhluk jahat. Ia malah dipercaya sebagai pelindung dan pemberi berkah, terutama bagi mereka yang memiliki kaul. Karena itu, untuk menjembatani hubungan antara manusia dan matu peran juru kunci sangatlah utama.

Lekok sendiri pernah beberapa kali melihat penampakan dari kalangan mereka ketika tengah berada di atas ketinggian berusaha menggapai sarang walet dengan tangannya. Dalam penglihatan Lekok, makhluk yang disebut matu itu nyaris memiliki aktivitas sama dengan manusia, mereka memiliki perkampungan-perkampungan dengan aktivitas yang padat. Dan, Lekok selalu ketakutan bila melihat itu. Tapi, ia selalu diam sambil melanjutkan pekerjaannya.

***  

Ketika berangkat tadi, langkah kaki Lekok terasa sangat berat. Rasanya sulit meninggalkan rumah, meninggalkan istrinya yang sedang sakit. Tapi Lekok tak ada pilihan lain. Masa panen di pekon belum dimulai. Itu artinya tidak ada lagi tempat bekerja kecuali mengikuti rombongan menyelusuri goa-goa di sepanjang pantai.

Matahari sudah menampakkan sinarnya ketika Lekok dan rombongan tiba di mulut goa, meraba-raba jalan di antara bebatuan licin tanpa penerangan memadai, Dari aroma kotoran walet yang tercium tajam bercampur pengapnya udara pagi lekok bisa menebak bahwa di dalam sana banyak walet walet yang menetap dan tentunya banyak juga sarang yang mereka buat. Membayangkan itu semua anggota rombongan makin bersemangat makin dalam menapaki lorong-lorong goa. Dan, Lekok tidak bisa menepis ingatan akan  istrinya. Ia begitu bersemangat memanjat dinding-dinding goa hingga tidak menghiraukan betapa licin dan berlumutnya bebatuan yang ia pijak. Tangannya terus menggapai di ketinggian hingga ia merasa semakin tinggi, tinggi di awan. Tiba-tiba ia merasa dihempas hingga ke dasar bumi. Meski samar ia masih sempat menangkap jeritan panik teman-temannya, ia hanya bisa memejamkan mata semua menjadi gelap.

***

Seperti biasa Mandok melakukan pekerjaan sehari-hari. Dengan tubuh yang lemah, ia membereskan rumah memasak nasi dan lauk sekedarnya. Ia kemudian segera membersihkan diri, mengenakan pakaian terbagus yang ia miliki. Hari ini Lekok suaminya pulang setelah perjalanan jauh  menyelusuri gua-gua di bibir pantai. Mandok ingin menyambut kepulangan suaminya dengan dandanan yang paling cantik. Perempuan itu tersenyum sambil menyisir rambut hitamnya.

Hari menjelang senja, Mandok tidak mengalihkan pandangannya dari jalan di ujung pekon. Ia melihat rombongan yang sama ketika hari keberangkatan suaminya. Ia bisa mengenali mereka satu per satu, ada Jarwo, Marto, Mardi, dan beberapa anggota rombongan di belakangannya. Mereka membawa sesuatu seperti mengusung sesuatu di atas tandu.

Mandok tidak memperhatikan mereka semua. Ia sibuk mencari-cari sosok suaminya. Kenapa suaminya tidak terlihat di antara rombongan? Ke mana ia? Apa ia sengaja berada di belakang rombongan hingga tak terlihat? Berbagai pertanyaann muncul di benak Mandok. Hingga rombongan sampai di halaman rumahnya. Mandok masih saja sibuk mencari-cari.

Beberapa orang itu pun menurunkan sesuatu dari atas tandu tepat di hadapan Mandok. Mandok terpaku. Matanya membelak dengan tubuh kaku. n


Lampung Post, Minggu,13 April 2014


No comments:

Post a Comment