Cerpen Husen Arifin
KEHENDAK hewani sering mengerumuni tubuh Surnan yang tegap. Mata seterang harimau dan tangan siap menerkam bila perlu, kini Surnan telah menjelma lelaki ganas bertongkat api. Di dadanya sudah mengubah diri dari kebiasaan. Gemerutuk giginya sesekali terdengar jelas. Surnan tidak segan-segan mengelupas segala kekhawatirannya di setiap sisi.
Harta yang berbicara kepada Surnan. Emas berkeping-keping. Luas pematang berhektare-hektare. Sedangkan rumahnya sudah mentereng laiknya istana. Surnan terus-menerus mewujudkan diri sebagai lelaki yang mudah membeli apa yang diinginkannya. Termasuk hasrat nafsunya. Ah, Surnan yang raja di atas raja.
Kemudian Sum datang kepadanya. Sum, si gadis yang putus sekolah, meminta kerja seadanya. “Untuk makan ibuku, Pak!” keluhnya. Surnan tak berpikir panjang. Ia pun memberinya lahan untuk dikerjakan Sum.
Kini tahun ketiganya Sum bekerja dengan Surnan, Sum bisa menghidupi ibunya yang sendirian di rumah, ibu yang menderita penglihatan.
Kehidupan Surnan masihlah purbawi. Sesekali ia membayang tentang Sum, ia ingin melumat dan menyeka betis Sum nan halus. Surnan membusung diri bahwa ia mampu bertanggung jawab kepada Sum. Paras Sum yang cokelat dan tingkahnya yang pemalu seperti menggigit nafsu Surnan.
Surnan sang pengusaha desa. Lelaki empat puluh tahun yang perokok. Ia hidup sendiri di rumah mewahnya. Tapi ia tak lantas menyendiri. Ia mengundang siapa pun untuk singgah, atau menemaninya minum kopi. Ia mesti tak pernah kesepian.
Teman-temannya menjuluki Si Kepala Batu. Karena watak Surnan yang keras, sekeras batu atas nafsunya itu. Meski Surnan tak menyadari atas tingkahnya yang berpola begitu. Surnan mengakrabi semua teman-temannya, termasuk wanita-wanita di sekelilingnya.
Hidup Surnan adalah kemewahan yang tak terhingga. Sampai ia congkak sekarang. Surnan angkuh pada apa-apa yang dipunyainya. Kecongkakan sudah kokoh di dada Surnan.
***
LEPAS dari sore yang memerah. Guntur langit tiba-tiba merekah. Sum takut pada amarah Surnan apabila ia tak segera membereskan rerumputan di pepadi yang tertanam di sawah. Kiranya Sum membayang wajah Surnan, ah, ia nyaris terluka di semilir hari ini.
Betapa kekurangajaran Surnan sungguh-sungguh mengerubung ke dada Sum. Dengan tangan yang gemetaran Sum terus menyabit rumput. Walau hujan segera mendaras tanah dan tubuhnya bakal menggigil tak henti-henti.
Telah tertanam rasa sesal Sum apabila mengingat Surnan seperti lelaki berkepala babi. Sum yang sedang menonton televisi di latar rumah, bibirnya sesekali mengunyah camilan keripik, Sum tak sadar jika ia terawasi oleh Surnan dari belakang.
“Kamu tak pernah mengingat gejala kesetanan itu!” Sum mengulangi kalimat dari televisi. “Dan di setiap tubuhmu tersimpan mawar yang tak lagi mekar.” Bibir Sum mengulangi lagi. Sum baru menyadari bahwa kini ia telah di kasur ditimpa tubuh kekar Surnan.
“Bila kau mengadu, kuteriaki kau maling,” ucap Surnan sambil tangannya menutup bibir Sum yang megap-megap. Dan Surnan pun jumpalitan malam itu. Ia menyisir tubuh Sum begitu beringasnya. Pecahlah mimpi Sum yang ranum.
***
TAK sampai-sampai Surnan melakukan reka ulang bagaimana ia mendorong Sum ke sumur yang tua. Sementara orang-orang sudah meneriakinya sebagai Lelaki Batu. Bahkan beberapa terdengar menanggapinya dengan miring.
“Mirip setan kelakuannya. Benar-benar tak dapat diampuni.” ujar Bambang, bujang yang sedang nyantri di pondok pesantren.
“Hukuman matikah yang akan diterima Surnan?” perempuan yang tampak berkaca-kaca ke halaman yang disesaki orang-orang adalah Ibu kandung dari Sum.
“Kita pasrah pada keputusan hakim saja, Bu!” lelaki tua menimpalinya.
“Surnan pantas dihakimi Tuhan.” Ibu Sum seperti menggenggam kebayanya erat-erat.
Surnan masih melakukan reka adegan di sumur tua, ia yang telah menyorong Sum ke dalam sumur. Lima tahun setelah Sum menjadi pekerja kasar untuk tanah-tanahnya. Lima bulan setelah Sum benar-benar mengandung calon anak dari Surnan.
Surnan telah mengarak awan gelap ke atas kepalanya siang ini. Sedangkan orang-orang meneriakinya dengan sumpah serapah. Di desa yang menjunjung adab santun, Surnan seperti menodai orang-orang di sekitarnya. Dan Surnan kian dibenci lantaran membungkus tubuhnya tiap malam ke tubuh Sum diam-diam.
***
SURNAN mendatangi rumah Sum untuk melamarnya. Rasa yakin Surnan seratus persen diterima oleh Ibu Sum. Surnan sudah berkeyakinan dan ia segera menjadi lelaki yang sempurna. Walaupun kasta antara Sum dan Surnan berbeda. Surnan tak memandang derajatnya Sum yang di bawah, tetapi kehadiran Sum telah membuka rasa cintanya terbuka lebar. Surnan pun mencium tangan Ibu Sum di ruang tamu.
“Aku hadir untuk mencari takdir, Bu!” Surnan mengawalinya dengan tenang. Sedangkan Ibu Sum yang tak mampu melihat Surnan atas wajahnya yang rupawan hanyalah mengangguk sambil menyerutu.
“Ibu, kedatanganku untuk menjadi pilihan terbaik Sum.”
“Seperti itukah niatmu?”
“Betul, Bu!”
Ibu Sum terus menyerutu. Bola matanya berkilau diterpa senja menyapa. Meski ia tak akan pernah tahu sosok Surnan yang kaya.
“Rumahmu menghadap ke mana, Surnan?” Ibu Sum lantas bertanya serius.
“Barat daya, Bu!”
“Mestinya kamu sadari itu, Surnan. Selalu ada hal yang bertentangan dengan nasibmu karena rumah yang menghadap ke barat daya.”
“Mengapa demikian, Bu? Aku tetap ingin menikahi Sum. Aku mencintainya.”
“Tidak. Tak ada restu dariku.”
“Bantu aku mendapatkan restumu, Bu!”
“Tidak. Tak ada restu dariku.”
Dan Surnan melipat tangan. Kemudian ia tinggalkan Ibu Sum di ruang tamu, ia berpulang dengan kehampaan. Wajahnya nyaris ditelan malam dan rembulan.
***
SUM masihlah gadis yang amis. Sesekali ia dijuluki camar yang mawar. Pula disebut burung yang murung. Tetapi Surnan keburu mengucurkan lendir ke dada Sum. Surnan trengginas melibas mimpi indah Sum. Apalagi Surnan adalah lelaki berkepala batu, ia bisa kapan pun menikmati malam yang muram dengan Sum yang merasa tersungkur ketakutan. Sesudah malam, kadang pagi, lalu sore. Sum terus dibuat Surnan menjadi pendampingnya dalam suasana yang kelam.
“Yang terus kuinginkan adalah kamu tetap bekerja denganku.” Suatu hari Surnan mengucapkan demikian.
“Aku ingin pulang dahulu, Pak! Ibuku mesti tahu kabar ini.” Sum sudah kangen ibunya. Dari matanya ia merasa terbayang-bayang pada cerutu ibunya yang terus-menerus sepanjang hari. Dan Surnan mengangguk dengan tenang.
Surnan sepagi harinya bepergian ke Kota Jombang, ia ingin bertemu Paman. Surnan merasa perlu bantuan. Dari hatinya yang terdalam ia sudah ceritakan kepada Paman sebagai pengantar kepada Ibu Sum yang menolaknya dengan mentah-mentah.
“Dari situ aku nyaris patah semangat. Aku mencintai Sum dengan niat kunikahinya.” Surnan mengucapkannya penuh keharuan.
“Baiklah. Kubantu dengan semampuku ya. Kamu adalah lelaki kaya, tak mungkin ada penolakan dari ibu si perempuan. Aku coba. Biar kudatangi esok hari.” Paman Surnan pun ingin membantu Surnan.
“Tidak sekadar itu saja.”
“Apa lagi?”
“Sum telah hamil lima bulan.”
“Astaga... ya sudah. Kamu harus melangkah dengan caramu. Aku hanya akan membantumu. Sekadarnya saja, Surnan.”
Surnan sengaja meminta pertolongan pamannya agar mudah mendapatkan restu dari Ibu Sum. Demikian Surnan melakukan segala caranya karena ia segera ingin mendapat jawaban.
Dada Surnan menjadi dag-dig-dug tak keruan. Ia mengharap akan terjadi mukjizat yang mampu meluluhkan hati Ibu Sum.
***
“TIDAK. Tak ada restu dariku. Begitulah jawaban Ibu Sum kepadaku, Surnan.” Paman Surnan mencoba memahami alasan Ibu Sum menolak keinginan Surnan meminang Sum.
“Tapi paman aku sangat mencintai Sum.”
“Cintamu tidak bisa melawan ketetapan Ibu Sum.”
“Lantas mengapa gara-gara rumah menghadap ke barat daya, Ibu Sum menolak niat pinanganku?”
“Ingatlah di mana kamu tinggal. Karena di sini menjunjung keyakinan leluhur.”
“Tidak adakah sedikit perubahan? Aku yakin perkara rumah menghadap ke penjuru mana, tapi karena cinta adalah takdir Tuhan.”
“Kamulah yang menghendaki itu. Aku cukup membantu sampai di sini.”
“Baiklah Paman. Aku hendak pulang.”
Terasa sekali sakit yang mengguncang hati Surnan. Sakit yang melilit segala luka dalam rasa. Harapan yang sirna. Mimpi yang tak lagi menelaga. Surnan pun pulang dengan tangan hampa. Di dadanya sesak tak beranjak. Di jantungnya terasa hidup tak lagi berdetak.
***
SEBELUM Surnan digelandang dengan arak-arak orang kampung yang lantang hingga polisi menetapkan Surnan sebagai dalang kematian Sum di dalam sumur.
Surnan menyudahi malam hari bermandi bersama Sum. Sebab, malam itu Sum telah sempurna menjadi perempuan yang hamil lima bulan dan Surnan berpikir bahwa cintanya tak mungkin ia resmikan di pelaminan. Lantaran tak ada restu Ibu Sum.
Kali ini yang dirasakan Surnan adalah penyesalan. Meski sesal Surnan terus dilontarkan kepada Tuhan dalam detik batinnya. Rasanya tak mungkin lagi waktu terulang walaupun Surnan ingin mengembalikan awal pertama cinta tumbuh kepada Sum. n
Sanggar Pena, Maret 2013
Lampung Post, Minggu, 10 November 2013
KEHENDAK hewani sering mengerumuni tubuh Surnan yang tegap. Mata seterang harimau dan tangan siap menerkam bila perlu, kini Surnan telah menjelma lelaki ganas bertongkat api. Di dadanya sudah mengubah diri dari kebiasaan. Gemerutuk giginya sesekali terdengar jelas. Surnan tidak segan-segan mengelupas segala kekhawatirannya di setiap sisi.
Harta yang berbicara kepada Surnan. Emas berkeping-keping. Luas pematang berhektare-hektare. Sedangkan rumahnya sudah mentereng laiknya istana. Surnan terus-menerus mewujudkan diri sebagai lelaki yang mudah membeli apa yang diinginkannya. Termasuk hasrat nafsunya. Ah, Surnan yang raja di atas raja.
Kemudian Sum datang kepadanya. Sum, si gadis yang putus sekolah, meminta kerja seadanya. “Untuk makan ibuku, Pak!” keluhnya. Surnan tak berpikir panjang. Ia pun memberinya lahan untuk dikerjakan Sum.
Kini tahun ketiganya Sum bekerja dengan Surnan, Sum bisa menghidupi ibunya yang sendirian di rumah, ibu yang menderita penglihatan.
Kehidupan Surnan masihlah purbawi. Sesekali ia membayang tentang Sum, ia ingin melumat dan menyeka betis Sum nan halus. Surnan membusung diri bahwa ia mampu bertanggung jawab kepada Sum. Paras Sum yang cokelat dan tingkahnya yang pemalu seperti menggigit nafsu Surnan.
Surnan sang pengusaha desa. Lelaki empat puluh tahun yang perokok. Ia hidup sendiri di rumah mewahnya. Tapi ia tak lantas menyendiri. Ia mengundang siapa pun untuk singgah, atau menemaninya minum kopi. Ia mesti tak pernah kesepian.
Teman-temannya menjuluki Si Kepala Batu. Karena watak Surnan yang keras, sekeras batu atas nafsunya itu. Meski Surnan tak menyadari atas tingkahnya yang berpola begitu. Surnan mengakrabi semua teman-temannya, termasuk wanita-wanita di sekelilingnya.
Hidup Surnan adalah kemewahan yang tak terhingga. Sampai ia congkak sekarang. Surnan angkuh pada apa-apa yang dipunyainya. Kecongkakan sudah kokoh di dada Surnan.
***
LEPAS dari sore yang memerah. Guntur langit tiba-tiba merekah. Sum takut pada amarah Surnan apabila ia tak segera membereskan rerumputan di pepadi yang tertanam di sawah. Kiranya Sum membayang wajah Surnan, ah, ia nyaris terluka di semilir hari ini.
Betapa kekurangajaran Surnan sungguh-sungguh mengerubung ke dada Sum. Dengan tangan yang gemetaran Sum terus menyabit rumput. Walau hujan segera mendaras tanah dan tubuhnya bakal menggigil tak henti-henti.
Telah tertanam rasa sesal Sum apabila mengingat Surnan seperti lelaki berkepala babi. Sum yang sedang menonton televisi di latar rumah, bibirnya sesekali mengunyah camilan keripik, Sum tak sadar jika ia terawasi oleh Surnan dari belakang.
“Kamu tak pernah mengingat gejala kesetanan itu!” Sum mengulangi kalimat dari televisi. “Dan di setiap tubuhmu tersimpan mawar yang tak lagi mekar.” Bibir Sum mengulangi lagi. Sum baru menyadari bahwa kini ia telah di kasur ditimpa tubuh kekar Surnan.
“Bila kau mengadu, kuteriaki kau maling,” ucap Surnan sambil tangannya menutup bibir Sum yang megap-megap. Dan Surnan pun jumpalitan malam itu. Ia menyisir tubuh Sum begitu beringasnya. Pecahlah mimpi Sum yang ranum.
***
TAK sampai-sampai Surnan melakukan reka ulang bagaimana ia mendorong Sum ke sumur yang tua. Sementara orang-orang sudah meneriakinya sebagai Lelaki Batu. Bahkan beberapa terdengar menanggapinya dengan miring.
“Mirip setan kelakuannya. Benar-benar tak dapat diampuni.” ujar Bambang, bujang yang sedang nyantri di pondok pesantren.
“Hukuman matikah yang akan diterima Surnan?” perempuan yang tampak berkaca-kaca ke halaman yang disesaki orang-orang adalah Ibu kandung dari Sum.
“Kita pasrah pada keputusan hakim saja, Bu!” lelaki tua menimpalinya.
“Surnan pantas dihakimi Tuhan.” Ibu Sum seperti menggenggam kebayanya erat-erat.
Surnan masih melakukan reka adegan di sumur tua, ia yang telah menyorong Sum ke dalam sumur. Lima tahun setelah Sum menjadi pekerja kasar untuk tanah-tanahnya. Lima bulan setelah Sum benar-benar mengandung calon anak dari Surnan.
Surnan telah mengarak awan gelap ke atas kepalanya siang ini. Sedangkan orang-orang meneriakinya dengan sumpah serapah. Di desa yang menjunjung adab santun, Surnan seperti menodai orang-orang di sekitarnya. Dan Surnan kian dibenci lantaran membungkus tubuhnya tiap malam ke tubuh Sum diam-diam.
***
SURNAN mendatangi rumah Sum untuk melamarnya. Rasa yakin Surnan seratus persen diterima oleh Ibu Sum. Surnan sudah berkeyakinan dan ia segera menjadi lelaki yang sempurna. Walaupun kasta antara Sum dan Surnan berbeda. Surnan tak memandang derajatnya Sum yang di bawah, tetapi kehadiran Sum telah membuka rasa cintanya terbuka lebar. Surnan pun mencium tangan Ibu Sum di ruang tamu.
“Aku hadir untuk mencari takdir, Bu!” Surnan mengawalinya dengan tenang. Sedangkan Ibu Sum yang tak mampu melihat Surnan atas wajahnya yang rupawan hanyalah mengangguk sambil menyerutu.
“Ibu, kedatanganku untuk menjadi pilihan terbaik Sum.”
“Seperti itukah niatmu?”
“Betul, Bu!”
Ibu Sum terus menyerutu. Bola matanya berkilau diterpa senja menyapa. Meski ia tak akan pernah tahu sosok Surnan yang kaya.
“Rumahmu menghadap ke mana, Surnan?” Ibu Sum lantas bertanya serius.
“Barat daya, Bu!”
“Mestinya kamu sadari itu, Surnan. Selalu ada hal yang bertentangan dengan nasibmu karena rumah yang menghadap ke barat daya.”
“Mengapa demikian, Bu? Aku tetap ingin menikahi Sum. Aku mencintainya.”
“Tidak. Tak ada restu dariku.”
“Bantu aku mendapatkan restumu, Bu!”
“Tidak. Tak ada restu dariku.”
Dan Surnan melipat tangan. Kemudian ia tinggalkan Ibu Sum di ruang tamu, ia berpulang dengan kehampaan. Wajahnya nyaris ditelan malam dan rembulan.
***
SUM masihlah gadis yang amis. Sesekali ia dijuluki camar yang mawar. Pula disebut burung yang murung. Tetapi Surnan keburu mengucurkan lendir ke dada Sum. Surnan trengginas melibas mimpi indah Sum. Apalagi Surnan adalah lelaki berkepala batu, ia bisa kapan pun menikmati malam yang muram dengan Sum yang merasa tersungkur ketakutan. Sesudah malam, kadang pagi, lalu sore. Sum terus dibuat Surnan menjadi pendampingnya dalam suasana yang kelam.
“Yang terus kuinginkan adalah kamu tetap bekerja denganku.” Suatu hari Surnan mengucapkan demikian.
“Aku ingin pulang dahulu, Pak! Ibuku mesti tahu kabar ini.” Sum sudah kangen ibunya. Dari matanya ia merasa terbayang-bayang pada cerutu ibunya yang terus-menerus sepanjang hari. Dan Surnan mengangguk dengan tenang.
Surnan sepagi harinya bepergian ke Kota Jombang, ia ingin bertemu Paman. Surnan merasa perlu bantuan. Dari hatinya yang terdalam ia sudah ceritakan kepada Paman sebagai pengantar kepada Ibu Sum yang menolaknya dengan mentah-mentah.
“Dari situ aku nyaris patah semangat. Aku mencintai Sum dengan niat kunikahinya.” Surnan mengucapkannya penuh keharuan.
“Baiklah. Kubantu dengan semampuku ya. Kamu adalah lelaki kaya, tak mungkin ada penolakan dari ibu si perempuan. Aku coba. Biar kudatangi esok hari.” Paman Surnan pun ingin membantu Surnan.
“Tidak sekadar itu saja.”
“Apa lagi?”
“Sum telah hamil lima bulan.”
“Astaga... ya sudah. Kamu harus melangkah dengan caramu. Aku hanya akan membantumu. Sekadarnya saja, Surnan.”
Surnan sengaja meminta pertolongan pamannya agar mudah mendapatkan restu dari Ibu Sum. Demikian Surnan melakukan segala caranya karena ia segera ingin mendapat jawaban.
Dada Surnan menjadi dag-dig-dug tak keruan. Ia mengharap akan terjadi mukjizat yang mampu meluluhkan hati Ibu Sum.
***
“TIDAK. Tak ada restu dariku. Begitulah jawaban Ibu Sum kepadaku, Surnan.” Paman Surnan mencoba memahami alasan Ibu Sum menolak keinginan Surnan meminang Sum.
“Tapi paman aku sangat mencintai Sum.”
“Cintamu tidak bisa melawan ketetapan Ibu Sum.”
“Lantas mengapa gara-gara rumah menghadap ke barat daya, Ibu Sum menolak niat pinanganku?”
“Ingatlah di mana kamu tinggal. Karena di sini menjunjung keyakinan leluhur.”
“Tidak adakah sedikit perubahan? Aku yakin perkara rumah menghadap ke penjuru mana, tapi karena cinta adalah takdir Tuhan.”
“Kamulah yang menghendaki itu. Aku cukup membantu sampai di sini.”
“Baiklah Paman. Aku hendak pulang.”
Terasa sekali sakit yang mengguncang hati Surnan. Sakit yang melilit segala luka dalam rasa. Harapan yang sirna. Mimpi yang tak lagi menelaga. Surnan pun pulang dengan tangan hampa. Di dadanya sesak tak beranjak. Di jantungnya terasa hidup tak lagi berdetak.
***
SEBELUM Surnan digelandang dengan arak-arak orang kampung yang lantang hingga polisi menetapkan Surnan sebagai dalang kematian Sum di dalam sumur.
Surnan menyudahi malam hari bermandi bersama Sum. Sebab, malam itu Sum telah sempurna menjadi perempuan yang hamil lima bulan dan Surnan berpikir bahwa cintanya tak mungkin ia resmikan di pelaminan. Lantaran tak ada restu Ibu Sum.
Kali ini yang dirasakan Surnan adalah penyesalan. Meski sesal Surnan terus dilontarkan kepada Tuhan dalam detik batinnya. Rasanya tak mungkin lagi waktu terulang walaupun Surnan ingin mengembalikan awal pertama cinta tumbuh kepada Sum. n
Sanggar Pena, Maret 2013
Lampung Post, Minggu, 10 November 2013
No comments:
Post a Comment