Sunday, February 6, 2011

Pintu Air Jagir

Cerpen Sungging Raga


"Karena yang kita lakukan selama ini tidaklah sia-sia."

SATU

Jadi, jika tubuhmu memang benar telah hanyut di sungai itu, bukan berarti tak ada lagi yang akan menunggumu di pengujung sore di sudut desa ini. Mungkin kau sadar, ketika keheningan yang kau cita-citakan itu mulai kau rasakan, ketika tubuhmu terbelit akar-akar dan daun rumput yang bergerak seragam, kau biarkan kehanyutan itu menjadi semacam doa yang melebihi waktu, kau tempuh kesunyian seperti tanpa beban, tanpa arah, dan hanya menitipkan pesan lewat celah remah dedaunan.

Sudah beberapa sore kutunggu kau kembali setelah badai membelah desa ini menjadi ribuan potongan kisah kecil. Kutatap lagi foto ini, sebuah foto tanpa bingkai yang pernah kau kirimkan beberapa tahun lalu. Seperti ucapan terima kasih yang masih terasa hangat di lengkung daun telingaku. Kau tak mendesah, kau tak berbisik, hanya telepon yang waktu itu menyaksikan suaramu hadir begitu saja, datar, lantas hanyut, dan lenyap seperti sesuatu yang begitu cepat menjadi baka.

Tetapi perjalanan memang telah mengirimkanku ke tempat ini, dengan kereta yang menghubungkan kota kita, dengan sedikit usaha untuk tiba di rumahmu yang masih harum bukit-bukit kehijauan, rumah di mana huruf demi huruf pernah kau kibaskan di atas kertas, atau ketika kau meruntuhkan pagi yang tumbuh di matamu dengan suara serak di ujung telepon itu. Teras, bunga mawar, pot kecil, dan sebatang pohon yang tumbuh melebihi pagar rumahmu, segalanya seperti rentang cerita yang kau titipkan lewat hari-hari kita yang berbatu, lewat rentang waktu yang menyekat setiap pintu.

"Karena cinta kita mendahului waktu." Begitu ucapmu bertahun-tahun lalu, ketika kita masih sepasang remaja yang biru, yang mencoba menerka-nerka adakah yang lebih indah dari perasaan yang terbahasakan. Tetapi kita memang terlalu cepat untuk melewati pijakan-pijakan yang tak kita ketahui terjal atau landainya.

Maka kita pun terbata-bata.

DUA

Sudahkah kau ingat kembali kejadian tak terduga itu? Sore temaram, sisa hujan, lembap, dingin, remang, basah, peluh, lenguh, rontok daun, suara kicau burung, dengung mesin, bau gas, cipratan air, dan segenap petikan alam yang membuatmu tersadar dari riuhnya kota ini. Kota yang tak lengang. Namun kita berawal dari sini, dari sebuah stasiun yang tak memberimu jalan keluar dari kenangan. Kita berjanji untuk bertemu di stasiun, berjalan perlahan dengan bergandengan tangan. Ah, aku memang tak melihat ketika kau melangkah perlahan memegang sepucuk surat yang pernah kukirimkan itu—yang pernah berjanji kubacakan kembali di hari ulang tahunmu, tetapi aku paham, kita berada pada satu titik rahasia, lebih rahasia dari keterlambatan kereta, yang tak boleh cepat diungkap lewat coretan pada dinding gerbong kereta.

Tetapi tiba-tiba kubayangkan kereta yang melintasi pintu air itu membuat waktu mulai mendahului kita. Di mana romansa, kata-kata mesra, dan ribuan janji kita untuk menempuh perjalanan yang paling sederhana, tanpa algoritma. Kau masih dengan pakaian putih bersih, dengan tas yang ikat talinya melingkar di tubuhmu. Kau bayangkan jam sejenak membatu. Bahkan ketika aku diam-diam memutar kembali kenangan seperti semacam film yang direkam secara bajakan, terputus-putus, miring, dan bergoyang-goyang, ingin kususun kembali bayanganku tentang sosokmu, ingin kubayangkan kau hanya lewat surat-surat dan telepon di hari-hari yang terkejut itu. Terkadang aku ingin terpejam dan tidur selamanya sebelum kereta terakhir mengantarmu pulang.

Barangkali kau juga pernah muncul dalam tidurku, dalam mimpi yang ketika itu di kepalaku hanya ada hingar-bingar perjalanan kereta, antara bersilang, disusul, dan tunggu aman. Kita pun begitu, mendadak kubayangkan kau berdiri di sepanjang rel, mengamati lenyapnya impianku yang lembut ditelan abu. Aku tahu, kau tak tumbuh dalam perjalanan itu, kau bukan wanita yang kutemui di sebuah kereta yang entah apa namanya dan entah tujuannya. Meski begitu kita pun paham, kita tidak muncul dalam suatu pertemuan acak, bahkan janji-janji itu bukan sekadar kalimat yang kau tulis begitu saja. Bahkan perjalanan ini semacam replika dari apa yang kusimpan sebelum badai itu mengguncang desamu. Bahkan stasiun itu berdampingan dengan pintu air yang aku tahu itu juga menuju rumahmu. Setiap kali kutatap pintu air itu, bendungan yang selalu mengukur debit air itu, seperti ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, terutama ketika suasana telah remang, di saat semua sinar bermunculan, lampu kota, merkuri, baliho, papan reklame, lampu lalu-lintas, ketika segala cahaya tiba di mata kita. Dan kubayangkan kita duduk di sebuah taman, saling menatap, sementara di belakang kita beberapa pemuda bermain skateboard, atau di taman tempat merpati beterbangan karena manusia mengganggu mereka yang sibuk mematuk biji-biji jagung. Ketika itulah kusampaikan gejolak paling rentan dari tubuhku. Kau tahu, tubuhku seperti karang yang kering-kerontang, tak ada desis ular air, capit kepiting, atau buih sungai yang berserakan. Tubuhku adalah rentetan karang di padang tandus, yang jauh dari air, atau mendung, atau hujan, atau apa saja yang membuat setiap kata-kata ini menjadi picisan. Tetapi badai itu tiba lebih cepat dari segalanya, mendahului waktu, mendahului kita, mendahului dirinya sendiri. Ketika desa menjadi serpihan yang tak seorangpun pernah membayangkan lewat sentuhan mata.

Aku tak menangis, kau tahu, meski terkadang aku duduk di depan rumah menatap jalan raya seperti menggelembung oleh timbunan air dari silang kendaraan demi kendaraan. meski terkadang kususuri kembali jejak-jejak yang pernah kita singgahi, meski badai itu tak terekam oleh tubuhmu yang hanyut di sungai itu.

Terkadang kau bertanya, mengapa pertemuan kita begitu terlambat dan jauh? Mengapa cinta kita bisa mendahului waktu tetapi tak bisa mendahului jarak? Bahkan ketika kau menangis lewat telepon itu, bisa kurasakan sungai deras yang mengalir di jantungmu, menelusuri setiap rongga tubuhmu yang mulai melemah. Aku tak tahu, yang pasti, setiap kali aku berkunjung ke rumahmu, tak pernah kuniatkan itu sebagai ziarah, melainkan menjadi penanda bahwa apa yang kita lakukan tidaklah sia-sia seperti yang kau ucapkan dahulu.

TIGA

Mungkin lebih baik kutunggu saja kau di pintu air ini, tempat beberapa anak sungai menyatu, membelah, dan mengalir seperti tunduk pada takdir. Entah dalam wujud apa. Tetapi di muara manakah kau akan terdampar? Ketika badai itu tiba, aku tak sedang duduk di depan cermin menunggu telepon seperti biasa. Bahkan aku tak membayangkan bahwa sungai yang sering kau ceritakan lewat telepon itu akan menjadi saksi berakhirnya biografi perasaan kita.

"Aku suka sungai, kadang aku melamun di tepinya, menulis puisi, seperti sebagian gadis-gadis zaman dahulu yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melamun, melamukan seorang pangeran akan tiba di bawah kepungan hujan, menjemputnya, dan membawanya ke suatu tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya."

Apakah kita sedang hidup dalam sebuah fiksi yang belum mati? Cinta ini, badai ini, desa ini, stasiun ini, mungkin semua hanya fiksi. Pernah pula kutuliskan kau dalam kisah-kisah pendek yang memalukan, kutulis dirimu di bawah lampu meja, ditemani musik blues yang mendengung pelan, suara nyamuk, dan kantuk yang menyengat. Meski tak bisa kubayangkan kau dalam seribu tokoh fiksi yang berbeda. Sebab kau bisa menjelma apa saja, kau bisa menjadi pohon yang tumbuh kekar di depan peron stasiun, kau tak bisa ditebang, kau tak bisa digusur dengan alasan tata kota. Kau tetap di sana karena kau tumbuh di sana, menungguku datang dengan cinta yang terbata-bata. kau meneteskan getah itu di tanganku, semacam penanda yang baik tentang hari baik, bahwa pertemuan kita sedianya akan abadi dalam rentang ingatan yang tak akan menjadi klasik.

EMPAT

Jadi, ketika kau dinyatakan hilang oleh orang-orang itu, aku tetap suka membayangkan diriku berada di pintu air dan berlayar mengarungi sungai di depan petak rumahmu yang kini benar-benar rata itu.

Sebab aku masih menerka, apakah benar yang kita lakukan selama ini memang tidak sia-sia.


Lampung Post, Minggu, 6 Februari 2011

No comments:

Post a Comment