Sunday, December 18, 2011

Awan Hitam Menghadang di Depan

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


ESOK adalah boxing-day dan Ray sudah menyiapkan rencana. Pagi-pagi benar, ketika gelap masih melingkupi putih salju, ia akan membawa kantung tidurnya ke pusat kota. Ia akan menyiapkan setermos teh panas dan menyelipkannya di kantung sisi ranselnya. Ia akan bersepeda dari rumah sewanya dan menempati tempat pertama di depan antrian pintu swalayan Fenwick.

Ray merasa senang dan tak sabar menunggu hari esok. Ini kali pertama ia peduli akan boxing-day. Ini kali pertama ia akan, seperti orang-orang yang lain, mengantri subuh-subuh sekali untuk dapat membeli barang-barang yang disukai. Ini, sekalinya ia menjilat ludahnya sendiri. Semua demi Cut Meutia dan Adriana.

Dulu, boxing-day, baginya, adalah perayaan konsumerisme. Sesuatu yang ia tidak sukai bahkan ia anggap konyol. Bagaimana tidak, keluar rumah di suhu minus enam atau delapan, berjam-jam ikut mengantri di depan toko-toko, dalam antrian sepanjang ular naga, hanya demi membeli barang-barang berpotongan harga. Ha! Sungguh hal ini membuat Ray menggeleng-gelengkan kepala.

Ray pun dulu berpendapat, boxing-day sungguh tidak manusiawi. Sehari itu para pemilik modal mempermainkan para pembeli. Mereka hanya memberi potongan harga besar-besaran dalam satu hari—hanya satu hari! Lalu dengan tenang menonton orang-orang yang bersusah payah sejak hari masih lagi gelap menunggu di depan toko mereka. Melihat orang-orang berebut, menyemut di lantai toko dan saling sikut demi mendapatkan sebuah barang –barang!—yang kadang, bukan sesuatu yang wah, macam tas atau dompet saja. Ini, dulu, bagi Ray sangat merendahkan kemanusiaan, amat memalukan dan tidak masuk di akal.

Namun, kemudian Ray tersadar, ia pun tak beda dengan orang-orang kebanyakan itu. Ia pun, demi Cut Meutia dan Adriana, ingin memberikan yang terbaik pada orang-orang yang ia sayangi, dan kerap kali yang terbaik itu diartikan sebagai termahal. Untuk ukuran dompetnya, potongan harga tujuh puluh lima persen atau lima puluh persen tentu sungguh membantu. Bagaimana tidak, tas yang ingin ia belikan untuk Cut Meutia harganya seribu dua ratus poundsterling, sementara boneka untuk Adriana tak kurang dari seratus.

Ray, yang akhirnya memutuskan untuk ikut menyemut dan merayakan kemenangan pemilik modal dan menyerahkan diri pada ketundukan pemujaan barang-barang, menghibur dirinya sendiri: ia melakukan semua ini untuk melihat kerlip di mata Cut Meutia dan Adriana. Ia melakukan semua ini untuk memberi kejutan istimewa dan memanjakan mereka. Ia ingin, ketika Cut Meutia dan Adriana menginjakkan kaki di negara dingin ini, kemewahan adalah hal pertama yang mereka rasa.

Ray berharap, jika sudah begitu, ketika ia kemudian mengajak mereka ke rumah sewanya, mereka tidak akan begitu kecewa. Semoga Cut Meutia dan Adriana akan tetap terfokus pada tas dan boneka hadiah, dan tak akan memerhatikan wallpaper yang mengelupas di sana-sini, karpet tua yang berlubang dan berbercak hitam, sofa yang bertambal, atap yang merembes air hujan, juga kamar mandi yang berjamur dan berbau tak sedap.

Semoga mereka tidak akan kecewa melihat sampah berterbangan tertiup angin di sisi jalan dan kantung-kantung pelastik yang tersangkut di pepohonan.

Bagaimanapun juga ini Inggris, dan di Inggris sudah seharusnya semua berkesan indah dan mewah. Apalagi bagi mereka yang baru saja datang dari Indonesia.

***

Sebelum libur Natal, berkali-kali Ray datangi Fenwick. Ia pergi ke bagian tas perempuan dan memastikan tas yang ia tuju masih terpajang di lemari kaca. Tas itu berwarna cokelat tua, terbuat dari kulit, bertali besi berbentuk gelang sambung menyambung dan berlogo H di bagian tengahnya. Ray membatin, Cut Meutia akan suka sekali pada tas itu.

Kemudian ia pergi ke bagian mainan anak-anak, dan memastikan boneka yang ia akan beli masih ada di deretan lemari soft toys. Diraihnya boneka itu, sebuah boneka beruang besar, berbulu cokelat yang sangat lembut, sebuah pita berwarna merah bertotol putih menyemat di balik sebelah telinga. Ray yakin, Adriana akan senang sekali mendapat boneka itu.

Betapa leganya Ray setiap kali mendapati kedua barang yang ia ingini masih berada di tempatnya. Betapa senangnya ia, karena sebentar lagi ia akan membawa tas dan boneka itu pulang dan akan membungkusnya dengan hati-hati. Ia akan membawa mereka ke bandara, ketika ia menjemput Cut Meutia dan Adriana, pada harinya nanti.

Sebentar lagi, batin Ray. Beberapa hari lagi, dan mereka akan tiba di sini. Hanya sekejap lagi, dan ia tak akan lagi sendiri. Hanya dalam hitungan hari, dan hari-hari penuh kerinduan dan penantian untuk kembali berkumpul akan lenyap, selamanya.

Setelah dua tahun berpisah! Dua tahun!

***

Di pagi Natal, menggunakan kartu telepon antarbangsa, Ray menelepon ke Indonesia. Ia mendapat kabar bahwa Cut Meutia dan Adriana telah tiba di Bandara Blang Bintang siang itu, waktu Indonesia. Mereka hendak berpamitan pada sanak saudara di sana, berpamitan dan mohon doa sebelum hendak berpergian jauh ke Inggris Raya.

"Adriana senang di Aceh, Nak?" tanya Ray.

"Eh-eh," jawab suara kecil di ujung telepon.

"Sampaikan salam Papa untuk nenek, nya'wa dan ayahwa ya. Papa tunggu Adriana di sini. Papa rindu sekali."

"Eh-eh," kembali suara Adriana terdengar.

"Sekarang Adriana panggilkan Mama ya. Tapi kasih cium dulu buat Papa."

"Mwah," Adriana berkata pelan. Lalu suara Cut Meutia terdengar, "Adriana senang sekali di sini. Tak henti bermain dengan sepupu-sepupunya. Dia senang melihat sawah dan kerbau. Adriana bilang ia tak ingin kembali ke Jakarta. Tak ingin pergi ke Inggris. Ia ingin selamanya di Aceh."

"Rayu Adriana, bilang padanya Papa punya kejutan untuknya di Inggris."

Ray mendengar Cut Meutia tertawa. “Aku rindu,” bisiknya.

"Sekejap lagi kita bertemu ya, sayang," Cut Meutia balas berbisik padanya.

Ray tersenyum bahagia, "Tak sabar rasanya."

"Hanya tinggal beberapa hari. Dua tahun pun Abang kuat menunggu," Cut Meutia tertawa.

Ray ikut tertawa, "Ya, tapi tidak jika hanya satu minggu. Apa rencana hari ini? Dan esok?"

"Kita makan besar siang ini, nya’wa masak lezat. Besok pagi, rencananya kita akan ke pantai."

"Nanti tiba di sini, akan aku masakan spaghetti. Aku sudah belajar dari kawan di sini."

"Wah, kedengarnya menggiurkan," Cut Meutia kembali tertawa.

"Aku sudah tak sabar," bisik Ray lagi.

Mereka bertukar cium dan dengan bahagia Ray menutup telepon.

Di luar box merah telepon umum, awan hitam menggantung, makin lama makin memekat. Awan hitam menghadang dan perlahan menelan birunya langit. Namun Ray tak peduli. Ray sungguh bahagia sekali.

***

Malam harinya, sebelum tidur, Ray memasang alarm pada telepon genggam. Jam empat tepat. Ray tak ingin terlambat.

Ray menyapukan pandangan ke sekeliling kamar, ia dapat melihat Cut Meutia dan Adriana di situ. Di luar jendela, pada jalan-jalan batu, Ray dapat membayangkan ia dan keluarganya bergandengan tangan, menyusuri jalan bersalju. Adriana akan senang sekali melihat salju, pikir Ray. Dan Cut Meutia tak akan bosan menunjuk gedung-gedung tua dan mengagumi bunga-bunga di musim semi nanti.

Ia sudah memasukkan termos tehnya di sisi ransel, dan sleeping bag ke dalamnya. Semua sudah siap, pikir Ray, esok ia akan membawa tas dan boneka itu pulang. Cut Meutia dan Adriana tentu akan senang sekali.

Ray membayangkan wajah istri dan anaknya terkejut menerima hadiah darinya nanti, senyuman melekat dibibirnya hingga ia jatuh tertidur.

Hampir pukul empat pagi, Ray dibangunkan oleh dering telepon genggamnya. Bukan alarm, pikir Ray, namun dering telepon. Dengan mengantuk, Ray menekan tombol bergambar telepon berwarna hijau.

"Ya?"

"Ray, Ray, ini ayah." Terburu-buru suara di seberang.

Ayahnya tak pernah menelepon untuk sesuatu yang tak penting, pikir Ray. Selama ia berkuliah di Inggris, ayahnya tak pernah meneleponnya sama sekali.

"Ayah, ada apa?"

"Ray harus kuatkan hati, harus tabah."

"Ayah, ada apa?" kali ini Ray duduk dari tidurnya.

"Tsunami di Aceh, Nak. Air bah besar dan gempa bumi. Tak ada yang bisa ayah hubungi. Belum tahu kabar Cut dan Adriana."

Ray ternganga. Ini hanya mimpi buruk, ini hanya mimpi buruk, riuh benaknya.

"Ray ... Ray ... kamu harus kuat, Nak. Banyak berzikir. Kami di Jakarta masih menunggu kabar."

Ray membisu. Matanya tertumpu pada foto berbingkai perak di sudut meja belajarnya. Foto terbaru Cut Meutia dan Adriana yang ia punya. Di foto itu Cut Meutia dan Adriana tersenyum bahagia. Ray memandangi rambut Adriana yang ikal hitam kepirangan, tangan kecilnya yang seolah menggapai padanya. Dan mata Cut Meutia yang biru keabu-abuan menatap padanya lembut.

"Ray, jika bisa akses internet, bukalah berita, Nak," suara ayahnya terdengar sangat jauh. Seolah tak nyata, bergema dari lorong yang gelap.

Ray menyentuh pipinya. Ia harus bercukur dan memangkas rambutnya yang gondrong. Ia harus terlihat rapi dan bersih ketika nanti menjemput Cut Meutia dan Adriana.

Ray berdehem, melenyapkan bisu dari tenggorokannya.

"Ayah, tak usah khawatir. Cut dan Adriana baik-baik saja. Mereka akan datang ke sini tak lama lagi. Hanya sekejap lagi."

Lamat-lamat Ray mendengar ayahnya menyebut-nyebut nama Allah. Dengan tubuh dan tangan gemetar, Ray mematikan sambungan telepon.

Sedetik kemudian telepon genggam di tangannya bergetar dan suara alarm terdengar. Ray menatap nanar pada layar telepon, membaca catatan yang tadi malam ia tuliskan: Berburu hadiah untuk Cut dan Adriana. Lekas pergi antri!

Ray menatap tas ransel yang telah ia siapkan, juga helm sepeda yang sudah ia letakkan tak jauh dari tasnya. Ini boxing-day, pikir Ray, hadiah untuk Cut Meutia dan Adriana telah menunggunya. Ia tak ingin terlambat, tak ingin kedahuluan orang-orang. Ray tahu, ia harus bersiap pergi saat itu juga. Bergegas ia berpakaian, lengkap dengan jaket hangat, topi dan sarung tangan. Kemudian ia menyambar tas dan helm sepedanya.

Ray tahu ia harus menembus pekat malam, dingin salju dan gigil angin, demi dan hanya demi Cut Meutia dan Adriana.

Lancaster, September 2011


Lampung Post, Minggu, 18 Desember 2011

Sunday, December 11, 2011

Sardi Kolot Gembel Kesohor

Cerpen Iwan Nurdaya-Djafar


JEJARING sosial, kata orang, bisa membuat kenangan masa kecil hadir kembali. Setidaknya ini terjadi tatkala sobatku Dahta menulis status di akun Facebook-nya, "Aku bukan anak Tanjungkarang. Aku anak Hajimena. Tapi aku sering nongkrong di Tanjungkarang saat SMA. Jadi aku tidak tahu siapa gerangan Sardi Kolot. Jika berkenan, ceritakanlah padaku tentang Sardi Kolot...."

Membaca status itu, aku serasa terlempar ke masa kanak yang jauh dan tergerak untuk menceritakannya. Sardi Kolot adalah gembel kesohor di Tanjungkarang sejak tahun 60-an hingga 90-an. Perawakannya gemuk-pendek, berkulit hitam, berambut rada ikal. Tingginya sekira 155 dengan bobot sekitar 60. Dia lelaki lemah akal, jika bukan setengah gila. Sardi dikaruniai umur panjang, tentu saja berikut kesintingannya yang panjang pula. Berdasarkan daftar cabut, nyawa Sardi diambil Tuhan pada usia 70-an.

Saban pagi Sardi ke luar dari rumah sederhananya di bilangan Empang, Lebakbudi. Diayunkannya langkah menuju Pasar Bambukuning yang tak jauh dari rumahnya. Ke mana pun Sardi berjalan, dia selalu menenteng batu di tangannya demi menjaga dirinya dari gangguan anak-anak nakal atau buat menimpuk orang yang tak mau memberinya sekadar uang recehan.

Kemunculan Sardi di tengah khalayak ramai selalu menimbulkan kepanikan. Dia tampil sebagai sosok yang mengancam. Berdekat-dekat dengan Sardi adalah sewujud kengerian. Berjauh-jauh dari Sardi adalah sebentuk rasa aman.

"Awas, ada Sardi Kolooooooot...," pekik seseorang begitu melihat Sardi melintasi kawasan pasar. Khalayak ramai pun segera menyingkir. Anak-anak berlari ketakutan. Saking ngerinya, terdengar jua ledakan tangis dari seorang anak yang penjirih dengan air muka pucat pasi yang tengah diburu oleh Sardi. Anak itu lari terbirit-birit bersama pekik ketakutannya. Bukan mustahil dia terkencing-kencing juga di celana.

"Tolong, toloooooonggg...," pekik anak itu seraya berlari menjauh.

Sardi terus mengejarnya. Anak itu berlari laksana kilat dan menghilang ke balik sebuah tikungan.

Demikianlah, Sardi kerap melancarkan serangan dengan mengejar dan menimpuki sesiapa saja yang berada di dalam jangkauan lemparan tangannya. Tanpa segan dia akan mengejar anak-anak nakal yang mengganggunya. Tanpa segan dia akan menimpuki orang yang ogah memberinya uang. Menariknya, dia tak pernah tampil memelas seperti lazimnya peminta-minta manakala dia meminta uang kepada siapapun saja. Dia justru tampil gagah perwira di dalam aksinya memalak orang. Jiwa preman benar-benar telah bersarang di dalam jiwanya yang sudah terganggu kelewat lama. Tanpa babibu, dia bisa mendadak mengejar serombongan remaja perempuan yang boleh jadi di dalam kesintingannya dirasakannya sebagai ancaman. Atau boleh jadi juga secara merahasia dia ingin mendapatkan perhatian dari jenis kelamin yang lain. Bagaimanapun jua, Sardi juga manusia, lengkap dengan nafsu syahwatnya. Sardi adalah seorang bujang lapuk, hidup sebatang kara, tanpa istri dan anak, namun tetap memiliki nafsu biologis agaknya. Sungguhpun begitu, tak terbetik cerita bahwa Sardi pernah terlibat kasus pemerkosaan atau merudapaksa perempuan. Dia tidak punya tampang pemerkosa atau seorang pedofilia.

Sebaliknya, ada kalanya pula justru Sardi yang menjadi bulan-bulanan karena dijadikan incaran gangguan oleh serombongan anak lelaki yang nakal. Merasa terusik, dia akan mengejar anak-anak itu sembari melesatkan batu-batu yang ada di tangannya. Khalayak ramai sudah mafhum atas perilaku aneh Sardi itu dan menganggapnya sebagai suatu kelaziman. Kelaziman nan zalim, mungkin.

Dari arah pasar, Sardi biasanya akan melanjutkan perjalanannya menuju Gedongdalam di bilangan Enggal. Dan itu berarti dia akan melintasi gang di sebelah rumahku. Aku hafal benar dengan jadwal Sardi melintasi gang itu, sekira pukul sembilan pagi. Aku yang sekolah siang dan masih duduk di kelas tiga sekolah dasar dan karenanya masih berada di rumah sepagi itu, sering mengintip Sardi melintas gang itu. Kemudian aku membuntutinya. Di Gedongdalam dia mendatangi rumah saudaranya, Pak Yusuf, untuk meminta sarapan. Kurang-lebih satu jam dia mampir di rumah saudaranya itu. Selepas makan, dia akan pulang melewati gang yang sama.

Kalau naluri kenakalanku dan kawan-kawan sedang kumat, dari balik dinding rumahku, kami akan mengintai kemunculan Sardi di gang sebelah rumahku itu. Dengan tangan menggenggam batu kami bersiap-siap untuk menimpuknya. Dunia tahu, timpukanku jarang meleset, dan karenanya acap tepat menghantam badannya yang gemuk lagi pendek itu. Karuan saja dia akan mengerang dan berang dan mengejar kami. Mulutnya menyerapah melontarkan kata-kata makian dalam bahasa Sunda yang kasar.

"Anjing siaaaa..." makinya dengan wajah membengis.

Mendengar makiannya kami tertawa belaka dan secepat kilat kami melesat ke arah Lapangan Enggal yang terletak persis di depan rumahku. Bagai anak panah lepas dari busurnya, tubuh kami melesat cepat, berlari terbirit-birit sekencang bisa. Seingatku, tak pernah barang sekali pun Sardi berhasil menangkap kami. Bahkan timpukannya pun tak bisa menjangkau kami yang berjarak di luar sepelemparan tangannya.

Untuk mengecohnya, biasanya kami berlari membelok ke Gang Melati yang tembus ke Jalan Raden Intan. Tubuh Sardi yang gemuk membuatnya tak bisa berlari dengan kencang. Beda benar dengan tubuh kami yang ramping sehingga laksana kawanan kuda kaki dengan gesit kami bisa berderap cepat. Dari kejauhan tampak Sardi ngos-ngosan kepayahan. Napasnya tersengal-sengal seolah mau putus diterkam ajal. Melihat hal itu tawa kami makin menjadi-jadi. Kadang terkekeh. Kadang terbahak. Ada kalanya sembari bergulingan di atas tanah tersebab tak kuat menahan sakit perut akibat tawa terpingkal-pingkal yang terus berderai.

Dari seorang warga kota aku mendengar kisah lain tentang Sardi. Pada suatu siang yang terik, tak jauh dari rumah gubuk Sardi, di Jalan Tamin di bilangan Empang, Lebakbudi, terjadi kemacetan luar biasa. Kendaraan berderet panjang dan riuh oleh bunyi klakson yang tiada putus-putusnya. Hiruk pikuk suasana dibuatnya. Kebisingan yang tak biasa benar-benar merajalela. Ada apakah gerangan? Ternyata Sardi dengan gagah tegak di tengah jalan sembari merentangkan kedua belah tangannya. Di dekat kakinya di atas jalan raya itu teronggok bongkahan-bongkahan batu-batu kerikil. Ada pula satu-dua yang berukuran besar, bahkan bata merah yang masih utuh. Bermodalkan batu-batu yang siap ditimpukannya dia menuntut agar kendaraan yang lewat mesti memberinya uang terlebih dulu. Tak pelak lagi, kali ini jiwa preman Sardi sebagai pemalak betul-betul tengah memuncak. Bukan betul sembarang betul, tapi betul, betul, betul—persis seperti sepasang lidah Upin-Ipin menuturkannya.

"Dasar sinting!" semprot sejumlah sopir.

"Sardi Kolot, gelo siaaahh!” damprat supir yang lain.

Di tengah sumpah serapah itu, toh Sardi tetap membatu. Teguh kukuh berlapis baja. Dia bertahan sejadi-jadinya di tengah jalan raya. Bentangan tangannya seolah menggarisbawahi perlawanannya yang degil tak terkira. Keringat yang mengucur di sekujur tubuhnya akibat sengatan matahari tiada dipedulikannya. Sardi tak pandang bulu, semua kendaraan yang lewat entah mobil atau motor bahkan sepeda sekalipun mesti membayar uang palakan. Sebuah sedan yang coba menyelonong begitu saja beroleh ganjaran yang keras dari Sardi. Dengan batu tajam di tangannya dia menggores badan mobil yang bercat mulus itu. Pengemudinya marah besar, tapi Sardi segera mengambil dua bongkah batu bata di dekat kakinya dan siap melemparkannya.

"Dasar gila!" semprot si pengemudi.

Hampir terjadi perdebatan sengit antara keduanya. Tapi Sardi tak melayaninya. Dia tetap bertahan meminta uang palakan. Akhirnya sang sopir mengalah. Tak ada untungnya berdebat dengan orang gila. Sardi yang sinting berada di luar jangakuan hukum. Tak ada sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Hukum justru dengan tegas memberi pengampunan bagi si gila apabila dia berbuat tindak pidana.

Maka, tiada pilihan lain bagi para pengemudi kendaraan selain memberi uang palakan kepada Sardi Kolot. Karuan saja, sesiang itu Sardi panen raya uang recehan yang menyesaki koceknya.

Aku mengenal Sardi sejak rambutnya hitam belaka hingga putih semua. Sepanjang tiga puluh warsa Sardi telah disapa dengan nama Sardi Kolot. Kolot berarti ‘tua’ dalam bahasa Sunda. Aku tak tahu apakah Sardi pernah muda. Tentu saja pernah karena demikianlah pertumbuhan anak manusia. Tapi Sardi tampaknya adalah suatu perkecualian. Suatu anomali. Boleh jadi, dia mengidap apa yang disebut orang Sunda sebagai kokoloteun, yaitu penyakit kulit pada wajah karena sering kepanasan atau memakai bedak murahan, kulit wajahnya menjadi hitam. Karena Sardi bukan seorang perempuan dan karenanya tak mengenakan bedak murahan, maka wajah hitamnya lebih disebabkan lantaran sering kepanasan. Faktanya adalah sehari-harinya dia memang keluyuran menggelandang di bawah matahari mencorong di Tanjungkarang. Jika demikian halnya, alih-alih awet ngora alias awet muda, dia justru awet kolot atawa awet tua! Sungguh sebuah anomali bagi seorang anak manusia, yang saat dikenal orang hingga dilupakan orang sudah berpenampilan dan berusia tua.

Sungguh berkebalikan dengan anak manusia yang berangkat menua, daerah Tanjungkarang dan daerah-daerah lain yang mana pun di dunia justru beranjak muda senantiasa. Terus meremaja. Saksikanlah, bangunan-bangunan lama entah bernilai sejarah entah tidak diruntuhkan dan digusur begitu saja untuk kemudian ditukar dengan gedung-gedung baru yang tumbuh menjulang dengan citra arsitekur masa depan. Jalanan mulus atau berlubang beserta jalan layang jalin-menjalin tak keruan menyusun aneka simpang-siur persis seperti spageti panas yang masih mengepul di atas pinggan. Perumahan berhamparan di sekeliling kota dan terus melesak memperlebar kota. Kota-kota mekar atas kemekarannya sendiri di luar rencana tanpa memberi ruang bagi cagar budaya. Tanjungkarang pun meneruskan detak kehidupannya. Kota yang pernah menyaksikan kehidupan dan penghidupan seorang gembel kesohor bernama Sardi Kolot. n


Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2011

Sunday, December 4, 2011

Kawin Siri

Cerpen Tita Tjindarbumi


INI bukan yang pertama. Entah sudah ke berapa. Mutia tak ingin menghitungnya. Ia tahu air mata tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalannya soal yang satu ini. Menikah dan menikah lagi. Ia tak menampik, kebutuhan biologis dan kebutuhan materi yang kian hari semakin menghimpit membuatnya tak punya pilihan lain, selain menerima lamaran lelaki itu.

Menikah? Tuhan, andai ada pilihan lain yang kau sodorkan, yang membuatku bisa lepas dari beban dan seluruh tanggung jawab yang harus kupikul, aku akan berpikir lagi. Status janda muda sungguh sangat berat. Apalagi dengan banyak lelaki yang datang seperti badai yang setiap saat dapat membobolkan pertahananku. Dan aku hanya perempuan biasa, yang membutuhkan bahu untuk bersandar dan dada bidang tempatku menganyam harapan.

Tuhan... aku salah?

Mutia tepekur. Masih dengan mukena menutupi tubuhnya yang sintal dan bersujud ia merasa ada hawa dingin mengalir ke sekujur tubuhnya. Di antara doa dan kegamangannya menghadapi hidup ia ingin Tuhan mendengarkan doanya. Menjawab semua tanya yang membuatnya bingung, serupa kapal yang terombang-ambing di tengah laut dengan gelombang pasang kian pasang.

Tanpa terasa bulir-bulir bening telah membasahi pipinya. Selalu saja begitu. Seakan tak ada lagi yang bisa diperbuatnya selain berdoa dan menangis sejadi-jadinya. Mutia masih saja merasa ia terjebak dalam permainan hati. Memercayai setiap kalimat manis yang diucapkan lelaki yang menginginkannya. Luluh dan merasa tetap bersyukur mendapat anak dari benih yang disebar lelaki yang menikahinya atas nama cinta.

Bukankah cinta begitu indah? Jika lahir anak dari perkawinannya dengan lelaki yang mencintai dan dicintainya, bukankah itu anugerah yang patut disyukuri? Dan Mutia selalu bersyukur dan menganggap anak adalah rezeki terbesar yang diberikan Tuhan kepadanya, meski pada akhirnya lelaki yang menikahnya penuh cinta itu menghilang dan meninggalkannya. Tanpa meninggalkan apa-apa selain anak.

Lalu adakah yang salah dari perkawinannya? Mutia bosan mencari jawabannya.

"Mungkin pernikahan siri yang kalian anut akan terus terasa indah jika tak ada anak yang lahir dari perkawinan suka-suka itu," ujar Alia setengah bergurau ketika Mutia mulai risau dengan sikap Tora, suami sirinya, yang menurutnya mulai jarang datang mengunjunginya.

"Apa artinya perkawinan jika kami tak punya anak?" Mutia membuka kerudung yang membalut kepala dan sebagian wajahnya. Ia terlihat begitu cantik dan memesona. Tak heran bila banyak lelaki yang ingin menyuntingnya.

"Tak ada seorang pun yang tak menginginkan anak dalam pernikahannya," kata Alia lagi, melakukan hal yang sama, membuka kerudung merah yang dipakainya. Kini keduanya memperlihatkan kemilau rambut mereka.

Mutia celingukan. Sebentar-sebentar matanya ditujukan ke luar kamar. Ia tak ingin ada lelaki yang melihatnya tanpa menutup rambut dan bagian dadanya yang menggunung.

"Tak usah khawatir, suamiku sedang ke luar kota," ujar Alia menenangkan Mutia yang risau. "Aku juga tak ingin suamiku melihatmu tanpa kerudung," tambah Alia berseloroh antara serius dan bercanda. Ujung matanya sempat berhenti di dada Mutia yang membukit. Ia tak akan rela melihat mata suaminya berhenti di area itu. Cemburu kadang tak kenal kompromi. Cerita sumbang tentang sahabat yang menikam dari belakang sudah sering ia dengar. Bahkan ia nyaris keracunan.

"Lalu apa masalahnya dengan pernikahanku?" Mutia menatap Alia dengan wajah serius.

"Mutia... kita memang perempuan modern, tetapi kita jangan naif," ujar Alia tak kalah serius. "Sudah terlalu sering kita dengar dan saksikan betapa banyak pernikahan normal yang tak bisa diselamatkan hanya karena alasan-alasan yang tidak kita pikirkan sebelumnya," tambah Alia tanpa bermaksud melukai perasaan sahabatnya.

"Apa kamu pikir pernikahanku tidak normal?" tanya Mutia dengan mata membulat. Ia mulai tak bisa menyembunyikan kilat kemarahan di matanya.

"Upss, maaf...bukan itu maksudku. Aku tak ingin memasukan gaya pernikahanmu ke dalam kelompok orang yang pernikahannya tidak normal."

"Lalu maksudmu?" nada suara Mutia meninggi.

"Aku tak akan menyimpulkan. Sebaiknya kamu pikirkan saja seperti apa perkawinanmu selama ini. Pengalaman mengapa tak kau jadikan pelajaran yang berguna?"

Alia masih berusaha bicara tenang. Sudah sering ia mendiskusikan soal perkawinan siri yang telah berkali-kali dilakukan Mutia. Dan semuanya berakhir dengan kegagalan. Menjadi perempuan dengan menggunakan busana muslimah memang tak bisa sebebas perempuan pada umumnya. Setiap gerak, tingkah, dan ucapan selalu harus dijaga jangan sampai menjadi nila bagi sebelanga susu. Meski sebagai perempuan, siapa pun, berjilbab atau pun tidak, tetap harus tampil sebaik mungkin dan harus menjaga kehormatan diri dan suami.

"Apakah kau berpikir aku perempuan yang tak tahan sendirian?" tiba-tiba Mutia bersuara lirih seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Ah, Tia... manusiawi jika kau sempat merasa seperti itu. Dengan persoalan yang datang silih berganti dan tanggung jawabmu terhadap anak-anak, siapa pun akan maklum jika kau butuh pendamping hidup. Itu juga ibadah, Sista," Alia mendekat dan merangkul Mutia.

"Lalu salahkah jika aku menikah lagi?" tanya Mutia dengan wajah kembali bersemi. Sepertinya Mutia sudah benar-benar lelah mengarungi hidup sendirian, bekerja pontang-panting, tetapi tetap saja merasa tak cukup untuk membiayai hidupnya dan anak-anak.

"Tak ada yang berani menyalahkanmu, Sista. Tetapi apakah salah jika banyak orang yang menyayangimu bertanya, apakah sudah kamu pikirkan matang-matang keputusanmu itu?"

Wajah Mutia menegang kembali. Senyum sumringah yang tadi sempat melukis senja mendadak ditelan awan hitam yang mulai menggugat senja.

Alia membiarkan sahabatnya mencerna kalimat yang baru saja diucapkannya. Meski ini bukan kali pertama ia mengingatkan Mutia, sebagai sahabat Alia merasa wajib untuk terus melakukan ini. Ia tak mau Mutia mengalami kegagalan lagi dalam perkawinan yang sepertinya sudah melekat dalam benak Mutia.

"Mutia... sebagai orang dewasa kadang kita hanya pikirkan kebutuhan-kebutuhan kita. Kita hanya inginkan apa yang kita lakukan dengan lelaki yang mencuri hati kita sah dari kacamata agama. Kita hanyut dan tak memikirkan dampak negatif dari langkah yang kita ambil," Alia memenggal kalimatnya, memperhatikan wajah Mutia yang semakin tegang. Tetapi Alia tak boleh mundur. Ia harus mengatakan perkawinan siri yang sudah sering kali terjadi dalam hidup sahabatnya, Mutia, tak bisa dibiarkan terulang.

Fakta sudah jelas di depan mata. Suami pertamanya pergi meninggalkannya dengan dua anak yang masih kecil. Mereka tak hanya kehilangan kasih sayang seorang ayah, tetapi juga mereka tak punya kekuatan apa-apa untuk menuntut apa-apa sebagaimana layaknya anak-anak yang lahir dari perkawinan yang selain telah memenuhi syariat agama Islam, tetapi juga dicatatkan sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang perkawinan yang berlaku di negeri ini.

"Aku sangat mendukung semua keputusanmu, jika memang itu yang menjadi kehendakmu. Meski pun aku sahabatmu, aku tak punya hak untuk melarang atau mencegah keinginanmu. Aku sayang padamu dan tak ingin pengalaman pahit yang kamu alami saat dengan suami-suami sirimu terulang lagi. Kasihan anak-anakmu. Bayangkan bagaimana perasaannya jika dalam kurun waktu yang cukup dekat kamu memberikan ayah baru pada mereka. Sementara bisa saja mereka masih merasakan luka yang kau rasa ketika melihat suamimu pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa."

Mutia menarik napas panjang. Wajahnya tetap tegang. Tanpa senyum ia masih menarik. Tetapi mengapa setiap lelaki yang awalnya memuja dan mengatakan mencintainya pergi meninggalkannya seperti membuang sampan di tengah laut dan tak pernah menengok lagi.

Alia sedih dan dapat merasakan luka hati Mutia. Namun ia heran, sepertinya Mutia tak pernah merasa kesedihan yang panjang. Ia tetap tesenyum pada banyak lelaki yang datang menggodanya. Seakan ia tetap percaya akan menemukan seorang lelaki yang benar-benar mencintainya dan akan terus mendampinginya sampai nyawa terenggut dari tubuhnya.

***

BULAN tertutup awan hitam. Ia tak percaya ini sebuah isyarat. Di antara awan dan bulan bukankah masih ada sebuah bintang yang berkerlip? Lalu mengapa tiba-tiba air mata langit turun menderas dalam sekejap?

Ya, Allah... aku tak dapat memaknai lukisan malam ini? Mutia tengadah. Air mata langit serupa tangis peri yang menyayat. Haruskah kumaknai lukisan malam ini sebagai pertanda Kau tak merestui kata hatiku yang tak bisa kujinakkan lagi dengan doa-doa?

Aku mencintainya? Mutia sangat yakin pada perasaannya. Ia tak bisa melewatkan hari tanpa mendengar suara Baron yang juga selalu membuat Mutia sangat yakin bahwa yang terjadi antara dirinya dengan lelaki yang bernama Baron itu adalah cinta sejati.

Lelaki itu seperti lelaki yang pernah ada dalam hidup Mutia di masa lalu. Yang membuat Mutia jatuh cinta setengah mati dan saling membutuhkan. Tanpa lelaki itu Mutia merasa kehilangan gairah melakukan apa pun. Tetapi ada tembok yang membuat Mutia harus mundur. Dan... Baron datang begitu saja. Ia dengan berbagai cara dapat meyakinkan Mutia bahwa cintanya adalah surga Mutia yang hilang. Dan lelaki itu, meski baru saja mengenalnya dalam hitungan bulan, memberikannya kepastian. Datang ke orang tua Mutia dan melamarnya.

Tuhan, aku memang mencintai lelaki lain. Tetapi aku tak mau Kau murka dengan membiarkan cinta ini membabi buta dan merusak perkawinan lelaki yang telah merampas seluruh rasaku. Dengan restu-Mu aku ingin menempatkan Baron di bagian lain hatiku yang kosong.

Tiba-tiba langit seperti terbelah. Kilat menyambar-nyambar diikuti suara geledek yang bersahut-sahutan.

"Bundaaaaa..." teriakan Nay anak sulungnya membuat Mutia melompat. Kedua anaknya berteriak ketakutan memanggilnya, berlari dan mendobrak pintu kamar Mutia yang tak dikunci.

"Bunda... adik takut. Nay dan adik mau tidur sama Bunda," ujar Nay menghambur ke pelukannya.

Mutia memandang ranjang yang sudah seminggu ini semakin terasa dingin. Sudah seminggu ini ia meminta ibunya menemani kedua anaknya di kamar mereka. Ia mulai membiasakan anak-anak tidak tidur bersamanya. Sebab ... dalam waktu dekat ia....

Ah, benarkah selama ini ranjangnya selalu dingin dan sepi? Ketika suami keduanya pergi meninggalkan ia dan anak-anaknya, kesedihan dan rasa dingin itu sempat ia rasakan. Tetapi kedua permata hatinya selalu bisa membuat hatinya hangat. Celoteh Nay yang super lucu dan adiknya Fia yang manja dan agak cengeng telah mampu membuatnya mengabaikan luka karena diperlakukan seperti perempuan persinggahan.

Lalu mengapa aku harus menyingkirkan kehadiran anak-anak di kamar ini dan membiarkan kedekatannya dengan anak-anak menuju titik beku? Apakah Baron akan mampu membuatnya tertawa setiap waktu?

"Bunda...," tiba-tiba Nay mendekapnya.

"Kami tak membutuhkan ayah. Kami hanya ingin terus bersama Bunda," kata Nay tanpa diduga. Dada Mutia seperti dihunjam pisau.

"Nay gak mau Bunda menangis terus. Nay akan bikin Bunda tertawa setiap hari. Nay akan rajin belajar supaya Bunda bangga. Nah, juga akan menjaga adik saat Bunda bekerja..."

Oh, My God! Tanpa terasa Mutia menangis. Ia terharu dan merasa Nay telah membuka hatinya. Ia tak percaya anak sekecil Nay cara berpikirnya dewasa dan begitu memikirkan kebahagiaannya.

"Bunda minta saja sama Tuhan kesehatan dan pekerjaan yang gajinya gede supaya Bunda gak usah kerja di banyak tempat," kata Nay lagi membuat air mata Mutia semakin menderas.

Mutia memeluk kedua anaknya. Mencium kepala mereka secara bergantian.

"Mulai malam ini kalian tidur di sini sama Bunda. Kalian boleh tidur bersama Bunda kapan saja kalian inginkan."

"Sungguh, Bunda?" mata Nay dan Fia menatapnya, seakan minta kepastian. Hmm, baru saja kemarin ia mengatur mereka agar tak tidur di kamarnya.

Mutia mengangguk tegas. Membaringkan kedua permata hatinya. Menyelimuti mereka dengan penuh kasih sayang. Lalu membuka mukena, melipat rapi dan meletakkan tak jauh dari ranjang tidurnya. Merebahkan tubuhnya di tengah kedua anaknya. Mutia ingin tidur nyenyak. Ia tak mau membawa kegelisahannya ke alam mimpi.

Mutia ingin segera melihat matahari. Ia ingin cepat-cepat menjawab lamaran Baron.

Mutia tersenyum. Ia juga ingin bertemu Alia sahabatnya dan mengabarkan keputusannya, membayangkan pelukan sahabatnya.

Ternyata selama ini ia memang hanya mementingkan urusannya saja. Membiarkan lelaki mengawininya secara siri bukan demi kelangsungan hidup kedua anaknya. Tetapi lebih karena alasan lain.... n


Lampung Post, Minggu, 4 Desember 2011