Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
ANGIN malam berkesiur tak henti. Ia memaksa pokok-pokok maple tanpa daun, di sudut Wyresdale Road, untuk bertepuk-tepuk tangan. Jari-jari maple berderak-derak.
Pagar-pagar kayu berdebam rubuh, lantaran tak sanggup menahan derasnya dorongan angin. 82 mil per jam, sungguh angin yang tak sabar.
Hujan pun tak sudah-sudah membasahi jendela sejak pagi. Menguyupkan lampu jalanan, yang senantiasa menunduk, bagai sedang berdoa agar hujan segera reda. Begitupun dengan sampah dalam bin daur-ulang, yang penutupnya telah tersingkap oleh angin, menyisakan timbunan koran, kardus-kardus basah dan kaleng-kaleng tergenang air.
Lalu, seluruh lampu serentak padam!
Bia dan Akan, penghuni rumah di sudut Wyresdale Road, mendadak diam dan berhenti saling memaki. Dari rumah-rumah tetangga dan rumah mereka sendiri, alarm berbunyi, bersahut-sahutan memekik, bersaing-saing dengan lolongan angin.
Di kota itu, selama puluhan tahun tak pernah sedetik pun listrik padam. Maka, padam lampu menjadi sesuatu yang sangat tidak diduga, juga tak diharapkan. Apalagi saat itu, Bia dan Akan sedang berkelahi. Dan, kalimat cerai sebanyak tiga kali menjadi ungkapan terakhir dari mulut Akan.
Dalam gelap, Bia dan Akan terdiam.
***
SEBAGAIMANA listrik yang jarang mati, Bia dan Akan juga tidak sering berkelahi. Akan, lelaki tampan berpendidikan strata dua dengan pekerjaan yang mapan. Bia, cantik alami, telah lulus S-3 dengan derajat terpuji. Semua orang yang mengenal mereka berpendapat sama: Bia dan Akan pasangan serasi.
Namun, orang-orang itu juga tahu, hubungan Akan dan Bia menyimpan potensi untuk meledak sewaktu-waktu!
Akan, yang sudah lama tinggal di kota Z, selalu menjadi ?tokoh? di mata orang-orang Indonesia lainnya, yang kebanyakan datang ke kota kecil dekat perbatasan Inggris-Scotland itu, sekadar untuk berkuliah. Sementara para pelajar selalu datang dan pulang, Akanlah yang menjadi tempat bertanya. Tak jarang pula Akan diminta bantuan oleh mereka yang hendak atau baru saja datang. Akan, yang senang menolong, tak pernah menolak apa pun yang diminta darinya. Sebagai gantinya, Akan menikmati posisi seorang ?tetua?: dihormati dan didengar oleh hampir semua orang Indonesia yang tinggal di kota Z. Hampir semua karena ada satu orang yang tak segan-segan menyanggah pendapat Akan.
Dan, orang itu adalah Bia!
Dalam setiap ajang diskusi, Bia berperangai bukan seperti istri. Sesuai kebiasaan, yang disebut istri, umumnya mendukung pendapat suami. Atau bahkan, biasanya, istri kerap menjadi corong penyampaian pendapat para suaminya. Istri, sehingganya, sesuai kebiasaan pula, sering tidak punya pendapat sendiri. Dan, Bia tidak bersikap seperti istri.
Bia selalu punya pendapat sendiri. Sesungguhnya ini bukan hal yang luar biasa. Bia yang seorang doktor tentu punya pandangan dan pikiran sendiri. Namun, lagi-lagi karena kebiasaan suami-istri, tiap kali Bia berbeda pendapat dengan Akan, dan ia mengutarakan pendapatnya dengan tegas, orang-orang menjadi sungkan mendengarnya. Mereka jadi berpura-pura tidak serius mendengar. Meskipun sesungguhnya mereka tahu pendapat Bia lah yang benar. Mereka juga kerap membicarakan bahwa sesungguhnya Bia lebih cerdas dari Akan.
Akan bukan tidak menyadari kerikuhan dan omongan orang-orang di belakangnya. Bahkan sesungguhnya Akan kerap merasa dipermalukan. Akan ingin meminta atau jika bisa, memerintah Bia untuk berhenti tidak sependapat dengannya. Tapi Akan sadar, itu akan terdengar sangat konyol. Selain akan merendahkan kecerdasan Bia, ia juga akan mengkhianati kecerdasannya sendiri.
Selama ini Akan memutuskan untuk diam. Diterimanya sanggahan Bia di tiap forum diskusi. Tapi, Akan tidak bisa lagi hanya diam dan pasrah. Tidak semenjak perempuan itu datang!
***
PEREMPUAN itu masih muda. Ia datang ke kota Z untuk kuliah S-1. Perempuan cantik yang selalu menatap Akan dengan mata penuh binar kagum. Saat perkenalan mahasiswa baru, perempuan itu tak sungkan bertanya, ?Kak Akan ini anaknya Bapak X, pejabat di Jakarta kan? Wah, Kak Akan hebat ya. Keluarga sukses dan Kak Akan juga sukses. Saya Miranda.?
Wajah Akan memerah.
Semua yang mendengar ikut salah tingkah. Tentu mereka tahu siapa ayah Akan. Tapi, sampai saat itu tak ada yang dengan polos bertanya langsung pada Akan. Orang-orang tahu, jika bertanya, itu berarti mereka mengakui bahwa mereka tahu siapa ayah Akan, dan itu hanya akan membuat hubungan menjadi kaku.
Bagaimana tidak? Jika mereka berbaik-baik pada Akan, mereka khawatir dipandang mencari muka. Lagi pula, di luar negeri, semua orang sama derajatnya, sama-sama perantau yang kerap rindu saudara satu negara, tak peduli berasal dari keluarga kaya atau keluarga biasa-biasa saja.
Tapi Miranda tak segan menunjukkan kekagumannya pada Akan. Bahkan di setiap diskusi PPI, ia selalu membenarkan apa saja pendapat Akan. Walaupun pendapat itu disangkal oleh Bia. Walaupun semua orang tahu bahwa pendapat Bialah yang benar. Meskipun Bia adalah istri Akan, Miranda tak ragu menyanggah Bia demi membela Akan.
Bia, lama-kelamaan, menjadi kesal!
***
MALAM itu, ketika angin bertiup kencang dan lampu menjadi padam, Akan dan Bia baru kembali dari sebuah forum diskusi PPI. Akan merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu, tanpa sedikit pun melihat wajah Bia. Bia pun begitu. Tanpa melepas jas hangat dan menggantungkannya pada gantungan jas di lorong rumah, seperti yang biasa ia lakukan, Bia naik ke kamar.
Tapi Akan, akhirnya tak mampu terus diam. Ia turut ke kamar dan mulai merancau.
?Bikin malu saja. Malah berkelahi di forum diskusi. Tak bisakah sedikit dewasa?? sungut Akan.
Bia, yang hendak mengganti bajunya dengan piyama, menjadi marah,
?Malu? Perempuanmu itu yang tak tahu malu!?
?Dia hanya anak kecil, masih belajar. Kau yang sudah doktor mau juga layani dia.?
?Aku paling kesal melihat orang yang suka mencari pembenaran. Suruh selesai saja dulu sarjana perempuanmu itu, baru diskusi denganku.?
?Berhenti bilang dia perempuanku!?
Bia mencibir dan menirukan gaya bicara Miranda, ?Kak Akan hebat ya. Kak Akan selalu benar. Kak Akan ... Kak Akan. Dasar perempuan bodoh!?
?Jangan kaubilang dia bodoh! Setidaknya dia selalu membelaku. Bukan mempermalukan aku di depan teman-teman.?
?Ha! Sudah berani pula kau bela dia di depanku. Aku selalu bikin kau malu, Akan?! Yang benar saja!?
?Ya, kau dan segala perangai sok pintarmu. Kau dengan segala gelar doktormu! Aku pikir pendapat Akan masih bisa diperbaiki. Aku pikir pendapat Akan tidak benar. Aku pikir ... aku pikir. Apa kau pikir hanya kau yang berpikir di dunia ini??
?Lalu, kau mau apa, Akan? Sementara semua orang hanya mengangguk-angguk, apa aku juga harus diam dan membiarkan pendapat bodohmu??
Saat itulah, Akan berteriak, ?Sungguh muak aku padamu. Kuceraikan engkau, Bia. Kuceraikan engkau, Bia. Kuceraikan engkau, Bia!?
Kamar mereka menjadi gelap gulita.
***
LIMA belas menit berlalu sejak lampu padam. Satu per satu lengking alarm telah dimatikan. Hanya tinggal satu alarm yang masih berbunyi. Alarm dari rumah Akan dan Bia.
Di antara riuh hujan dan kesiur angin, Akan dan Bia mendengar ketukan di pintu depan. ?Pergilah turun,? Bia berkata, ?Mungkin itu tetangga yang hendak meminta kita mematikan alarm.?
Akan mendehem, ?Di mana senter??
?Kita tidak pernah punya senter.?
Pelan-pelan Bia meraba arah menuju jendela, dibukanya tirai. Dengan bantuan sinar bulan, Bia menemukan tasnya di atas meja. Ia mengeluarkan telepon genggam dan menyerahkannya pada Akan, ?Pakai cahaya dari handphone ini.?
Ketukan pintu telah lenyap. Sebelum ketukan yang lain terdengar Akan tahu ia sebaiknya turun dan mematikan alarm. Namun, ia hanya mematung diam. Bia paham, Akan takut gelap.
?Berapa kode alarmnya? Biar aku yang turun dan matikan,? kata Bia.
Akan menggeleng, ?Biar aku saja.?
Akan tak juga beringsut.
Bia menghela napas, ?Turunlah. Aku temani.?
Perlahan-lahan Akan menuruni tangga kayu berkarpet merah, memasuki lorong rumah dan membuka pintu ruang tamu. Di pojok dinding dekat meja telepon dan pemanas, kotak pengatur alarm diletakkan. Saat Akan mengetikkan kode alarm, Bia membuka tirai jendela. Lalu, Bia duduk di sofa, mengamati pendar bulan yang mengubah warna biru sofa menjadi ungu. Bia mendengarkan gemuruh angin melewati cerobong asap. Suara angin dan derak reranting maple menyatu dengan suara titik hujan pada kaca jendela.
Bia teringat perkataan terakhir Akan sebelum lampu padam. Dan Bia menjadi sedih.
Bia menutupi mukanya, tersedu. Akan terkejut, Bia bukan perempuan yang suka menangis. Bahkan, Akan ingat, ini baru kali ketiga ia melihat Bia menangis. Pertama saat mereka menikah, kedua ketika Bia dikukuhkan menjadi doktor, dan saat ini. Hatinya menjadi hangat dan kemarahannya luluh. Perlahan Akan duduk di samping Bia. Perlahan pula Akan meraih pundak Bia, memeluknya.
Cukup lama mereka berpelukan, dalam biru pendar bulan, ditemani siulan angin dari perapian. Tiba-tiba, seolah tersadar, Bia melepaskan pelukan Akan.
?Bukankah kau sudah menceraikan aku?? tanya Bia, suaranya tercekat.
Akan terpana.
?Kau sudah mengucapkan kata cerai sebanyak tiga kali!? teriak Bia, sambil melompat berdiri dari sofa.
?Tak mungkin,? jawab Akan, cemas.
?Tidak sah kalimat cerai itu kalau bercampur emosi. Untuk bercerai tentu butuh saksi, dan keputusan pengadilan,? jelas Akan.
?Berdasarkan ayat, sunnah, atau hukum apa itu?? tanya Bia, tak percaya.
Akan diam. Bia berkacak pinggang, ?Sampai kau tahu hukum perceraian itu, jangan kau sentuh aku!?
Bia tergesa naik ke lantai atas, membawa telepon genggamnya dan mendebamkan kakinya kuat-kuat di setiap anak tangga.
Akan tertinggal di sofa.
Angin berpusar, mengelilingi dan menyentuh lembut tubuh Akan, membuat ia menggigil. Lalu, melalui cerobong asap berbentuk benteng catur, angin berhembus ke luar rumah. Melewati sampah-sampah basah, dan terus berkesiur ke arah pokok-pokok maple yang berjajar di sudut Wyresdale Road. Angin itu bercerita pada maple, tentang seorang manusia yang duduk gelisah di sebuah ruang, diliputi ketakutan akan gelap dan terus memaki dirinya sendiri. Maple pun menderak-derakkan reranting tuanya, bertepuk-tepuk tangan.
Lancaster, Maret 2011
1) 82 mil per jam = 132 km per jam.
2) PPI = Persatuan Pelajar Indonesia
Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012
ANGIN malam berkesiur tak henti. Ia memaksa pokok-pokok maple tanpa daun, di sudut Wyresdale Road, untuk bertepuk-tepuk tangan. Jari-jari maple berderak-derak.
Pagar-pagar kayu berdebam rubuh, lantaran tak sanggup menahan derasnya dorongan angin. 82 mil per jam, sungguh angin yang tak sabar.
Hujan pun tak sudah-sudah membasahi jendela sejak pagi. Menguyupkan lampu jalanan, yang senantiasa menunduk, bagai sedang berdoa agar hujan segera reda. Begitupun dengan sampah dalam bin daur-ulang, yang penutupnya telah tersingkap oleh angin, menyisakan timbunan koran, kardus-kardus basah dan kaleng-kaleng tergenang air.
Lalu, seluruh lampu serentak padam!
Bia dan Akan, penghuni rumah di sudut Wyresdale Road, mendadak diam dan berhenti saling memaki. Dari rumah-rumah tetangga dan rumah mereka sendiri, alarm berbunyi, bersahut-sahutan memekik, bersaing-saing dengan lolongan angin.
Di kota itu, selama puluhan tahun tak pernah sedetik pun listrik padam. Maka, padam lampu menjadi sesuatu yang sangat tidak diduga, juga tak diharapkan. Apalagi saat itu, Bia dan Akan sedang berkelahi. Dan, kalimat cerai sebanyak tiga kali menjadi ungkapan terakhir dari mulut Akan.
Dalam gelap, Bia dan Akan terdiam.
***
SEBAGAIMANA listrik yang jarang mati, Bia dan Akan juga tidak sering berkelahi. Akan, lelaki tampan berpendidikan strata dua dengan pekerjaan yang mapan. Bia, cantik alami, telah lulus S-3 dengan derajat terpuji. Semua orang yang mengenal mereka berpendapat sama: Bia dan Akan pasangan serasi.
Namun, orang-orang itu juga tahu, hubungan Akan dan Bia menyimpan potensi untuk meledak sewaktu-waktu!
Akan, yang sudah lama tinggal di kota Z, selalu menjadi ?tokoh? di mata orang-orang Indonesia lainnya, yang kebanyakan datang ke kota kecil dekat perbatasan Inggris-Scotland itu, sekadar untuk berkuliah. Sementara para pelajar selalu datang dan pulang, Akanlah yang menjadi tempat bertanya. Tak jarang pula Akan diminta bantuan oleh mereka yang hendak atau baru saja datang. Akan, yang senang menolong, tak pernah menolak apa pun yang diminta darinya. Sebagai gantinya, Akan menikmati posisi seorang ?tetua?: dihormati dan didengar oleh hampir semua orang Indonesia yang tinggal di kota Z. Hampir semua karena ada satu orang yang tak segan-segan menyanggah pendapat Akan.
Dan, orang itu adalah Bia!
Dalam setiap ajang diskusi, Bia berperangai bukan seperti istri. Sesuai kebiasaan, yang disebut istri, umumnya mendukung pendapat suami. Atau bahkan, biasanya, istri kerap menjadi corong penyampaian pendapat para suaminya. Istri, sehingganya, sesuai kebiasaan pula, sering tidak punya pendapat sendiri. Dan, Bia tidak bersikap seperti istri.
Bia selalu punya pendapat sendiri. Sesungguhnya ini bukan hal yang luar biasa. Bia yang seorang doktor tentu punya pandangan dan pikiran sendiri. Namun, lagi-lagi karena kebiasaan suami-istri, tiap kali Bia berbeda pendapat dengan Akan, dan ia mengutarakan pendapatnya dengan tegas, orang-orang menjadi sungkan mendengarnya. Mereka jadi berpura-pura tidak serius mendengar. Meskipun sesungguhnya mereka tahu pendapat Bia lah yang benar. Mereka juga kerap membicarakan bahwa sesungguhnya Bia lebih cerdas dari Akan.
Akan bukan tidak menyadari kerikuhan dan omongan orang-orang di belakangnya. Bahkan sesungguhnya Akan kerap merasa dipermalukan. Akan ingin meminta atau jika bisa, memerintah Bia untuk berhenti tidak sependapat dengannya. Tapi Akan sadar, itu akan terdengar sangat konyol. Selain akan merendahkan kecerdasan Bia, ia juga akan mengkhianati kecerdasannya sendiri.
Selama ini Akan memutuskan untuk diam. Diterimanya sanggahan Bia di tiap forum diskusi. Tapi, Akan tidak bisa lagi hanya diam dan pasrah. Tidak semenjak perempuan itu datang!
***
PEREMPUAN itu masih muda. Ia datang ke kota Z untuk kuliah S-1. Perempuan cantik yang selalu menatap Akan dengan mata penuh binar kagum. Saat perkenalan mahasiswa baru, perempuan itu tak sungkan bertanya, ?Kak Akan ini anaknya Bapak X, pejabat di Jakarta kan? Wah, Kak Akan hebat ya. Keluarga sukses dan Kak Akan juga sukses. Saya Miranda.?
Wajah Akan memerah.
Semua yang mendengar ikut salah tingkah. Tentu mereka tahu siapa ayah Akan. Tapi, sampai saat itu tak ada yang dengan polos bertanya langsung pada Akan. Orang-orang tahu, jika bertanya, itu berarti mereka mengakui bahwa mereka tahu siapa ayah Akan, dan itu hanya akan membuat hubungan menjadi kaku.
Bagaimana tidak? Jika mereka berbaik-baik pada Akan, mereka khawatir dipandang mencari muka. Lagi pula, di luar negeri, semua orang sama derajatnya, sama-sama perantau yang kerap rindu saudara satu negara, tak peduli berasal dari keluarga kaya atau keluarga biasa-biasa saja.
Tapi Miranda tak segan menunjukkan kekagumannya pada Akan. Bahkan di setiap diskusi PPI, ia selalu membenarkan apa saja pendapat Akan. Walaupun pendapat itu disangkal oleh Bia. Walaupun semua orang tahu bahwa pendapat Bialah yang benar. Meskipun Bia adalah istri Akan, Miranda tak ragu menyanggah Bia demi membela Akan.
Bia, lama-kelamaan, menjadi kesal!
***
MALAM itu, ketika angin bertiup kencang dan lampu menjadi padam, Akan dan Bia baru kembali dari sebuah forum diskusi PPI. Akan merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu, tanpa sedikit pun melihat wajah Bia. Bia pun begitu. Tanpa melepas jas hangat dan menggantungkannya pada gantungan jas di lorong rumah, seperti yang biasa ia lakukan, Bia naik ke kamar.
Tapi Akan, akhirnya tak mampu terus diam. Ia turut ke kamar dan mulai merancau.
?Bikin malu saja. Malah berkelahi di forum diskusi. Tak bisakah sedikit dewasa?? sungut Akan.
Bia, yang hendak mengganti bajunya dengan piyama, menjadi marah,
?Malu? Perempuanmu itu yang tak tahu malu!?
?Dia hanya anak kecil, masih belajar. Kau yang sudah doktor mau juga layani dia.?
?Aku paling kesal melihat orang yang suka mencari pembenaran. Suruh selesai saja dulu sarjana perempuanmu itu, baru diskusi denganku.?
?Berhenti bilang dia perempuanku!?
Bia mencibir dan menirukan gaya bicara Miranda, ?Kak Akan hebat ya. Kak Akan selalu benar. Kak Akan ... Kak Akan. Dasar perempuan bodoh!?
?Jangan kaubilang dia bodoh! Setidaknya dia selalu membelaku. Bukan mempermalukan aku di depan teman-teman.?
?Ha! Sudah berani pula kau bela dia di depanku. Aku selalu bikin kau malu, Akan?! Yang benar saja!?
?Ya, kau dan segala perangai sok pintarmu. Kau dengan segala gelar doktormu! Aku pikir pendapat Akan masih bisa diperbaiki. Aku pikir pendapat Akan tidak benar. Aku pikir ... aku pikir. Apa kau pikir hanya kau yang berpikir di dunia ini??
?Lalu, kau mau apa, Akan? Sementara semua orang hanya mengangguk-angguk, apa aku juga harus diam dan membiarkan pendapat bodohmu??
Saat itulah, Akan berteriak, ?Sungguh muak aku padamu. Kuceraikan engkau, Bia. Kuceraikan engkau, Bia. Kuceraikan engkau, Bia!?
Kamar mereka menjadi gelap gulita.
***
LIMA belas menit berlalu sejak lampu padam. Satu per satu lengking alarm telah dimatikan. Hanya tinggal satu alarm yang masih berbunyi. Alarm dari rumah Akan dan Bia.
Di antara riuh hujan dan kesiur angin, Akan dan Bia mendengar ketukan di pintu depan. ?Pergilah turun,? Bia berkata, ?Mungkin itu tetangga yang hendak meminta kita mematikan alarm.?
Akan mendehem, ?Di mana senter??
?Kita tidak pernah punya senter.?
Pelan-pelan Bia meraba arah menuju jendela, dibukanya tirai. Dengan bantuan sinar bulan, Bia menemukan tasnya di atas meja. Ia mengeluarkan telepon genggam dan menyerahkannya pada Akan, ?Pakai cahaya dari handphone ini.?
Ketukan pintu telah lenyap. Sebelum ketukan yang lain terdengar Akan tahu ia sebaiknya turun dan mematikan alarm. Namun, ia hanya mematung diam. Bia paham, Akan takut gelap.
?Berapa kode alarmnya? Biar aku yang turun dan matikan,? kata Bia.
Akan menggeleng, ?Biar aku saja.?
Akan tak juga beringsut.
Bia menghela napas, ?Turunlah. Aku temani.?
Perlahan-lahan Akan menuruni tangga kayu berkarpet merah, memasuki lorong rumah dan membuka pintu ruang tamu. Di pojok dinding dekat meja telepon dan pemanas, kotak pengatur alarm diletakkan. Saat Akan mengetikkan kode alarm, Bia membuka tirai jendela. Lalu, Bia duduk di sofa, mengamati pendar bulan yang mengubah warna biru sofa menjadi ungu. Bia mendengarkan gemuruh angin melewati cerobong asap. Suara angin dan derak reranting maple menyatu dengan suara titik hujan pada kaca jendela.
Bia teringat perkataan terakhir Akan sebelum lampu padam. Dan Bia menjadi sedih.
Bia menutupi mukanya, tersedu. Akan terkejut, Bia bukan perempuan yang suka menangis. Bahkan, Akan ingat, ini baru kali ketiga ia melihat Bia menangis. Pertama saat mereka menikah, kedua ketika Bia dikukuhkan menjadi doktor, dan saat ini. Hatinya menjadi hangat dan kemarahannya luluh. Perlahan Akan duduk di samping Bia. Perlahan pula Akan meraih pundak Bia, memeluknya.
Cukup lama mereka berpelukan, dalam biru pendar bulan, ditemani siulan angin dari perapian. Tiba-tiba, seolah tersadar, Bia melepaskan pelukan Akan.
?Bukankah kau sudah menceraikan aku?? tanya Bia, suaranya tercekat.
Akan terpana.
?Kau sudah mengucapkan kata cerai sebanyak tiga kali!? teriak Bia, sambil melompat berdiri dari sofa.
?Tak mungkin,? jawab Akan, cemas.
?Tidak sah kalimat cerai itu kalau bercampur emosi. Untuk bercerai tentu butuh saksi, dan keputusan pengadilan,? jelas Akan.
?Berdasarkan ayat, sunnah, atau hukum apa itu?? tanya Bia, tak percaya.
Akan diam. Bia berkacak pinggang, ?Sampai kau tahu hukum perceraian itu, jangan kau sentuh aku!?
Bia tergesa naik ke lantai atas, membawa telepon genggamnya dan mendebamkan kakinya kuat-kuat di setiap anak tangga.
Akan tertinggal di sofa.
Angin berpusar, mengelilingi dan menyentuh lembut tubuh Akan, membuat ia menggigil. Lalu, melalui cerobong asap berbentuk benteng catur, angin berhembus ke luar rumah. Melewati sampah-sampah basah, dan terus berkesiur ke arah pokok-pokok maple yang berjajar di sudut Wyresdale Road. Angin itu bercerita pada maple, tentang seorang manusia yang duduk gelisah di sebuah ruang, diliputi ketakutan akan gelap dan terus memaki dirinya sendiri. Maple pun menderak-derakkan reranting tuanya, bertepuk-tepuk tangan.
Lancaster, Maret 2011
1) 82 mil per jam = 132 km per jam.
2) PPI = Persatuan Pelajar Indonesia
Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment