Sunday, October 21, 2012

Kunang-kunang di Penantian

Cerpen Tita Tjindarbumi


DARAH! Bercak-bercak merah semburat di lantai kamar mandi. Ada bekas jejak kaki seukuran kakiku. Darah yang masih basah dan kini menempel di kakiku. Bau anyir mendominasi penciumanku. Kepalaku mendadak seperti mau pecah. Perutku seperti dikocok-kocok. Isi perutku tanpa bisa kutahan berhamburan bercampur dengan bercak-bercak merah. Begitu banyak kunang-kunang beterbangan. Kunang-kunang dari kuku mayat. Janinku.

MASIH terasa irisan berdarah di dada akibat pertengkaran semalam. Berawal dari sejumlah foto dan pesan singkat yang kutemukan di ponsel Mike. Bertahun-tahun kami hidup bersama belum pernah kulihat tingkah Mike seaneh sekarang. Meskipun sebenarnya bukan aku tak tahu, di belakangku Mike masih sering menebar pesona kepada banyak perempuan. Bahkan, ada beberapa di antaranya adalah teman-temanku.

Sudah berulang kali kutanyakan soal mereka padanya. Ia selalu memberikan jawaban yang cukup bisa diterima oleh akal sehat.

?Mereka hanya teman. Tak lebih.? Jawabnya tegas sambil menatapku. Seperti ingin meyakinkanku dengan tatap matanya. Lebih tepat ingin menjinakkan kemarahanku.

Dan aku?

Aku luluh dan tak ingin memperpanjang pertengkaran. Sebab, aku tahu, ia akan mengeluarkan kalimat yang pada akhirnya akan membuatku diam.

?Mama tak usah kuatir. Hanya ada Ma di hati ini. Hubungan Papa dengan mereka hanya sebatas sahabat. Bukankah mereka juga teman Mama.? Ujarnya lagi dengan kedua tangan telah melingkar di dadaku.

Aku luluh. Larut dalam pesona Mike yang luar biasa. Ia telah membuatku kembali percaya padanya. Kembali pada kegilaanku mencintainya.

Hanya ada Ma di hati ini?

Oh, God! Aku terperangkap dalam buai kalimatnya. Terlelap kelembutan jemarinya. Tak lagi kupedulikan ulah Mike yang menyakitkan hati. Terutama, saat bibirnya memagut bibirku dan hanya desah yang ada di kesenyapan kamar kami yang mendingin lebih sering dihuni gigil, bagiku Mike adalah lelaki yang akan terus kubutuhkan.

Begitulah. Nyaris kuabaikan kesakitan yang kian menebar hampir ke seluruh organ tubuhku. Demi sebentuk dekapan dan kehangatan sesaat, aku berusaha berkompromi dengan apa pun yang terjadi di antara kami.

Bahkan banyak pertanyaan yang mengganggu pikiranku, tetap memenuhi benakku. Tak akan kulontarkan jika akhirnya akan berbuntut perdebatan dan keributan yang ujung-ujungnya hanya akan menambah luka di hati semakin menganga.

***

ADA banyak nama. Ada banyak aroma yang melekat di kemeja atau Polo-Shirt Mike setiap kali ia pulang dari bepergian. Semua tak lepas dari penciumanku. Aku tak pernah bertanya. Hanya mengamati dan semakin mempertajam penciumanku. Setidaknya dengan begitu aku tahu bahwa dengan banyaknya aroma parfum, maka banyak pula perempuan yang singgah di pelukan Mike. Bagiku itu masih lebih baik dari pada Mike pulang ke rumah dengan membawa aroma parfum yang sama dari semua kepergiannya.

Meskipun begitu, tetap saja hatiku sakit. Tetapi merasa tak berdaya. Merasa dipermainkan?

Ah, aku tak boleh menunjukkan sikap sebagaimana perempuan yang sedang dipermainkan oleh lelaki. Aku harus tetap enjoy. Bersikap biasa seolah apa yang ia lakukan bukan hal penting.

Pada saat di kantor, aku akan bersikap profesional sebagai bosnya. Jika kami sedang menghadiri jamuan klien, aku akan tetap memperlakukan dirinya sebagai staf ahli yang membantuku dalam urusan teknis. Jika sedang berada di lingkungan kerabat dan keluarga, tentu aku akan bersikap aku adalah isteri yang mengabdi pada suami. Bagaimanapun mereka tak boleh tahu seperti apa hubungan kami yang sebenarnya.

Begitupun jika di rumah. Aku menyiapkan apa saja yang ia butuhkan. Menyiapkan makanan, pakaian, dan juga kebutuhan seksnya jika ia menginginkan. Dan yang terakhir itu membuatku melayang. Membuatku merasa dicintai dan dibutuhkan! Meskipun kadang aku merasakan Mike melakukan itu bukan karena dorongan rasa kasih.

Lalu karena apa? Cinta?

Aku tak berani berandai-andai. Banyak hal yang tak akan bisa kuraih jika bermimpi tentang cinta. Walaupun aku sangat menginginkan suatu hari nanti ia berada di sampingku bukan karena secara finansial aku mampu memberikan segala yang ia butuhkan. Tetapi karena ia betul-betul punya rasa itu. Cinta. Meskipun hanya secuil.

***

JUMAT adalah hari yang membuatku senewen. Pagi tadi sebelum berangkat ke kantor Mike masih pulas. Sejak Rabu ia seperti karyawan teladan. Menyelesaikan semua pekerjaan sesempurna mungkin. Pulang ke rumah dengan wajah lelah langsung membuka laptop dan tenggelam di dunia maya. Wajah lelahnya berubah ceria saat ia berada di depan layar laptopnya. Sering aku mencuri-curi melihat apa yang membuat Mike begitu antusias.

Ia menulis cerita. Puisi dan menulis komen-komen romantis di note seseorang. Yah, bukan aku tak tahu, belakangan ini setiap kali ia pulang ke rumah aroma parfum yang tercium hidungku selalu aroma yang sama. Gelisah menghantuiku setiap saat. Aku tak mau Mike bersama seseorang yang sama di saat ia tak bersamaku.

Aku menyelidiki dengan siapa lelaki yang kusebut suamiku itu bepergian. Ke mana mereka pergi dan bersama siapa? Mike sepertinya tahu aku mencari tahu siapa perempuan yang membuatnya tak lagi pergi dengan perempuan lain selain dengan perempuan yang kutahu bernama Andin. Perempuan sederhana tetapi begitu istimewa di mata Mike.

Ya, kukira Mike begitu kagum pada Andin. Perempuan multitalenta yang sering kali disebut-sebut sebagai guru kehidupan oleh Mike. Sungguh aku merasa seperti perempuan yang tak berarti apa-apa di mata Mike. Aku tak pernah mendengar ia memujiku. Mike hanya ?manis? jika ia sedang menginginkan sesuatu dariku.

Dan itu cara jitu Mike untuk mendapatkan semua keinginannya dariku.

Dan aku? Tak peduli apakah hanya untuk mendapatkan keuntungan ia melakukan itu. Bagiku, cintaku padanya tak bersyarat. Aku mencintainya apa adanya. Tak hanya kebaikannya saja. Seluruh keburukannya kukunyah dan kutelan dengan kerelaan. Kebaikan dan keburukannya kumasukan ke sebuah cawan cinta yang selalu kujaga agar tidak retak apalagi sampai pecah.

***

?Aku ingin refreshing ke luar kota, week end ini, Pa,? kataku suatu pagi dengan hati-hati sekali.

Semalam, entah karena apa, Mike memperlakukanku hangat sekali. Kami menyatu dalam batas bibir yang melenyap. Ia membuatku merasa menjadi perempuan yang paling dicinta.

?Ya? kenapa tidak. Pergilah? enggak bagus juga kerja terus,? jawabnya setelah membalik tubuhnya. Memunggungi cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang tirainya kubuka.

?Ma ingin pergi bersama Papa.? Kataku lagi sambil memeluknya dari belakang. Nuansa indah semalam masih pekat dan meninggalkan getar yang luar biasa.

?Pa enggak bisa, Ma. Ajak saja teman supaya ada yang temani.?

Mike tak membuka matanya. Seakan ajakanku untuk pergi bersama bukan hal yang istimewa. Kekecewaan membuat mataku memanas.

?Ma kan tahu? setiap Jumat Pa sudah ada jadwal tetap. Kita sudah komitmen, Ma boleh ajak Pa ke mana saja dan kapan saja asal tidak saat week end!?

?Apakah setiap week end Pa selalu tak punya waktu untuk Ma?? tanyaku lagi, masih berharap Mike berubah pikiran.

?Maaf, Ma? enggak bisa,? jawabnya tegas masih dengan mata terpejam.

?Apakah karena dia Pa selalu mencari-cari alasan untuk tak bersama Ma di saat week end?? Tanyaku lirih dan tak membutuhkan jawaban. Sebab aku sudah tahu, sekali pun ia mengatakan tidak, itu hanya untuk meredam suasana. Dan jika aku mendesak, sanggupkah aku menerima kenyataan jika Mike akhirnya mengaku ia memang bersama perempuan itu di setiap akhir pekan!

Oh? buah simalakama.

***

RUMAH perempuan itu sederhana sekali. Jauh bila dibandingkan dengan apartemen yang kutempati bersama Mike. Di apartemen itu semua kebutuhan Mike kupenuhi. Demi untuk membuatnya betah hidup bersamaku. Kami memang hanya tinggal bersama. Tak ada yang dapat menahan jika Mike tiba-tiba saja ingin pergi dari Apartemen itu. Itu sebabnya, aku berusaha agar ia tetap kembali meskipun kutahu ia menghabiskan akhir pekan bersama perempuan itu.

Mike memang selalu kusebut suamiku. Demi untuk mencegah gosip dan ribetnya pertanyaan keluargaku. Untuk itu, kami membuat surat nikah palsu hanya untuk mempermudah urusan administrasi dengan pengurus di lingkungan Apartemen. Kami tak pernah menikah meskipun Mike dan aku memakai cincin kawin. Hidup di Jakarta membuat kami harus melakukan itu. Banyak kamuflase, termasuk sandiwara cinta.

Sudah berapa kali aku mengikuti jejak Mike. Ia selalu pergi ke rumah sederhana itu. Ia akrab dengan tetangga yang bersebelahan dengan rumah itu. Akrab dengan keluarga yang berada di rumah itu. Bahkan mataku melihat dengan jelas betapa mesranya ia dengan perempuan yang bernama Andin. Dan perempuan itu... ia begitu cantik dengan perutnya yang membuncit.

Andin hamil? Janin Mike kah?

Oh, pasti. Jika tidak? Mana mungin Mike terlihat begitu bahagia saat mencium perut perempuan itu. Bahkan dari jauh aku bisa melihat kerlip bahagia di mata Mike saat mencium kening Andin.

Aku tergugu. Marah?

Yahh? Aku merasa dikhianati oleh Mike. Dipecundangi lelaki yang selalu baik padaku. Yang hanya pura-pura perhatian padaku. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa bertahan bersamaku selama bertahun-tahun. Selalu kembali padaku setelah menclok ke banyak perempuan.

Lalu? Apakah Andin juga salah satu korbannya? Lalu bagaimana nasib perempuan lainnya? Apakah mereka ditinggal begitu saja begitu layu setelah dipetik Mike? Bukankah meskipun jelas ia telah membuat perut Andin buncit, toh setiap Minggu malam ia selalu kembali ke Apartemen dan bersikap sebagaimana biasanya padaku. Meskipun aku ilfill setiap kali ia baru berkunjung ke rumah Andin.

***

MALAM ini aku sendirian. Aku tak mau memikirkan Mike. Aku tahu ia sedang bersama Andin. Kupastikan ia sedang mengelus-elus jabang bayi yang ada di perut Andin. Menghadiahkan kecupan mesra di kening lalu turun ke mata, kening dan berlama-lama di bibir perempuan itu. Sama persis seperti yang ia lakukan padaku sebelum ia lebih banyak memilih menghabiskan akhir pekannya bersama Andin dan janin itu.

Tanpa terasa air mata sudah mengalir. Tetesnya satu-satu membasahi majalah yang berada di pangkuanku. Aku ingin memendam rasa ini sendiri. Apalagi aku akhirnya tahu mereka telah menikah secara diam-diam.

Sementara aku? Bertahun-tahun aku hidup bersamanya, Mike tak pernah tertarik mendiskusikan tentang pernikahan. Meskipun setuju saja saat aku mengusulkan untuk membuat semacam surat kawin palsu. Apalah artinya sebuah surat nikah palsu? Bukan kebahagiaan yang kurasa, malah aku tak tenang, bagaimanapun pemalsuan surat adalah tindakan kriminal, Kucoba menghubungi ponsel Mike. Tanpa menunggu lama, suaranya terdengar renyah di telingaku.

?Ya, Ma??

?Papa baik-baik saja kan?? Kudengar ia menjawab dengan santai. Di belakang suaranya kudengar suara musik slow. Romantis sekali. Hatiku teriris. Tersayat-sayat.

?Oke? jangan lupa makan, Pa.? kataku langsung memutuskan hubungan telepon.

Aku tak akan kuat mendengar jika Mike menjawab ia sudah makan dan bla... bla... bla... yang kesemuanya menggambarkan kebahagiaannya saat berada di rumah itu. Bersama perempuan dan calon anaknya yang membuat Mike seperti menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Aku tak ingin mengusik kebahagiaan Mike. Aku juga tak akan pernah bisa berbuat apa-apa jika Mike melepas dan meninggalkanku begitu saja. Aku bukan istri sahnya. Tak bisa memberi anak meskipun rasa cintaku padanya tak pernah pudar. Sekalipun dalam kesakitan yang tak berujung.

Bayangan bercak merah yang berhamburan di kamar mandi selalu membuatku merasa seperti perempuan yang tak berguna. Aku selalu bilang bercak itu adalah janinku. Janin Mike. Padahal dokter telah memvonisku. Mandul.

Ah, aku tahu bukan karena tak bisa punya anak, Mike meninggalkanku. Bertahun-tahun hidup bersama ia tak juga mampu menumbuhkan benih cinta di hatinya untukku. Kemewahan memang tak selalu dapat memerangkap cinta. Keburukan Mike pun tak dapat membunuh cintaku padanya. Kebahagiaan Mike adalah segalanya. Aku akan membiarkannya merajut kasih dengan perempuan itu. Musuh abadiku.

Mungkin dengan berpura-pura tidak tahu soal rumah itu. Aku akan tetap bisa berharap Mike selalu kembali ke Apartemenku. Ke pelukanku. Seperti kunang-kunang di penantian.

(Thanks for ME, inspirasi kisah ini.)


Lampung Post, Minggu, 21 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment