Sunday, October 28, 2012

Sepucuk Mimpi Gila

Cerpen Tova Zen


SUMININGSIH adalah wanita berwajah manis yang buta huruf. Jangankan mengeja namanya, bahkan dia tak tahu apa itu huruf dalam tatanan alphabet. Hal yang selalu menjadi nilai lebih adalah dia pintar mengaji tapi tidak bisa membaca huruf-huruf Hijaiyah. Dia hanya menghafal surat-surat Alquran, bacaan salat dan hafalan selawat Al-Barzanji. Memang aneh, harusnya orang zaman sekarang bisa menulis dan membaca.

Suminingsih merasa beruntung memiliki suami yang baik padanya. "Suamiku bekerja serabutan sebagai ahli gambar," kata dia, bermonolog di depan meja rias sambil menyisir rambut panjang lurusnya.

Pria yang menjadi suaminya adalah seorang arsitek bangunan. Pria yang dulunya adalah seorang kuli bangunan kini memiliki kepercayaan penuh menjadi arsitek. Bukan tanpa sebab dari seorang kuli bisa menjadi tukang gambar desain bangunan, karena suaminya telah belasan tahun tinggal di kota itu dan ditugasi menyalin gambar-gambar struktur dari mandor bangunan. Suaminya adalah pria yang mau belajar secara autodidak, tanpa harus mengenyam bangku kuliahan. Buat apa? Toh suaminya tetaplah seorang kuli bangunan serabutan yang kelebihanya hanya pandai menggambar sketsa.

Suaminya sangat malu memiliki istri yang buta huruf. Berkali-kali Suminingsih diajarkan menghafal huruf, mengeja kata, dan menulis dalam buku huruf-huruf yang dihafalnya. Tapi suaminya selalu merasa kecewa karena sia-sia belaka mengajarkan membaca pada istrinya yang bebal. "Aduh! Suminingku sayang, kenapa sulit sekali mengajarkanmu membaca, bahkan lebih sulit ketimbang mengajarkan bocah TK," suaminya geleng-geleng kepala.

Suminingsih hanya tersenyum hambar melihat ekspresi kecewa suaminya setiap kali diajarkan menulis dan membaca.

Suminingsih selalu acuh dan tak peduli dengan gerutu suaminya. "Apa gunanya aku belajar membaca, Mas Rahman. Toh, tugasku sebagai istrimu cukup melayanimu dan berbakti padamu. Apa aku kurang pintar memasak? Kurang pintar merawat rumah kita? Aku selalu ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik untukmu, suamiku sayang."

"Ughh! Suminingku, aku tahu kamu pintar mengurus rumah tangga, tapi apakah kamu tidak merasa malu jika kamu tak bisa membaca?"

"Buat apa malu, toh aku bisa menjalani hidup meskipun aku tak bisa membaca dan yang terpenting aku bisa berbakti padamu," katanya simpel, lalu memeluk suaminya erat sekali, ada perasaan takut dalam dadanya jika suaminya tidak mencintainya karena kebodohannya membaca dan menulis.

"Pokoknya aku ingin kamu bisa menulis dan membaca, aku akan senang sekali jika kamu mau belajar. Tak ada kata terlambat Suminingku, Sayang. Percayalah kamu bisa melakukannya," rayu suaminya penuh sayang sambil membelai wajah manis istrinya dan mengelus mesra kepala berjilbabnya.

"Aku ada pengajian besok pagi, jadi harus tidur cepat. Oh ya, jika Mas Rahman belum tidur dan sedang sibuk menggambar, tolong bangunkan aku tengah malam untuk salat tahajud." Suaminya hanya mengangguk.

Suaminya sangat sibuk dan tak punya kesempatan untuk mengajari istrinya membaca dan menulis. Payah sekali istrinya itu jika harus belajar mengeja huruf-huruf. Dia hanya menggeleng-geleng kepala dan tak mau meladeni istrinya yang kepayahan dalam belajar. Seakan dia berkata, ?Sumining.. Sumining... andaikan kamu bisa menulis dan membaca alangkah bahagianya aku, paling tidak aku akan merasa tenang karena kamu tak dibodohi orang-orang zaman sekarang di pasar,? Batin suaminya dengan mulut bungkam dan mata menyipit sedih.

Malam kian larut saja, tapi Rahman begitu rajin dan ulet bekerja hingga hampir tengah malam dia terus menggambar sketsa milik klien majikannya. Secara tak terduga dia mendengar jeritan lengking yang keras berarah dari kamar di mana Suminingsih tidur. Panik membuatnya berlari menuju kamar untuk menengok apa gerangan yang terjadi.

Dilihatnya Suminingsih mendelik, kalut, dan carut-marut wajahnya. Rahman berlari sigap menuju dapur yang letaknya di sebelah kanan kamar. Mengambilkan air putih untuk menenangkan istrinya yang panik. "Sumining! Apa kamu mimpi buruk barusan? Tenanglah sayangku. Ini minumlah agar kamu tenang dan tenggorkanmu tidak lagi tercekat."

Setelah minum air putih beberapa teguk, serta merta Sumining menyerudukkan kepalanya ke perut suaminya sambil memeluknya erat. Seperti seorang bocah yang dicekam rasa takut. Tangisanya mulai mengembik-embik pilu. Dan Rahman mengelus-elus rambutnya untuk memberikan ketenangan. ?Jika kamu sudah tenang ceritakan apa yang terjadi,? kata suaminya penuh sayang.

Alunan napas Suminingsih perlahan-lahan mulai kembali normal, dia berhasil menemukan ketenangan dari sesuatu yang dirasanmya mencekam. Dengan tutur yang lemah dan sedikit banyak air mata yang masih berurai, Suminingsih dengan terbata menceritakan mimpi gilanya.

"Aku melihatmu Mas Rahman. Dengan jelas aku melihatmu di musala itu. Wajahmu pucat sekali. Seakan aku tak mengenalimu. Kamu terus mengikutiku terus-menerus, dan entah mengapa aku tak bisa mengenalimu. Oh, bukan! Maksudku aku belum menikah denganmu...," urai Sumining tentang apa yang dialami dalam mimpinya kepada suaminya.

"Itu hanya mimpi sayangku, bunga tidur. Jadi kamu tak perlu merasa takut," ucap Rahman menenangkan istrinya.

"Aku sangat ketakutan, sungguh Mas Rahman. Bayanganmu selalu datang dan mengikutiku. Saat aku hendak mengaji ke mushola, aku melihatmu menungguku di teras rumah orang tuaku. Menungguku dengan penuh rasa sedih dari wajahmu yang begitu pucat. Oh, aku belum mengenalmu. Dan aku membiarkan saja dirimu. Kamu terus-menerus mengikutiku, menungguku, melihatku, menantiku dan berharap terus menontonku. Aku tahu dan aku beranikan diri untuk menghampirimu, tapi kamu seperti asap yang melayang dan menghilang saat aku mencoba mendekatimu."

"Lalu apa yang terjadi selanjutnya, Sumining," kini Rahman menjadi penasaran.

"Aku bisa membaca Alquran yang huruf-hurufnya rumit itu, Mas. Ya, aku bisa membaca dan menulis. Kamu melihatku merapalkan surah, mendengarkanku membaca qiroatul Quran. Aku sempat mengintipmu dalam jeda menarik napas saat akan menyambung bacaan qiro. Aku melihat air matamu berleleran di pipi pucatmu, bibirmu gemetar dan matamu memerah. Aku takut dan kasihan melihatmu. Setelah selesai membaca aku melihatmu terbakar. Apakah kamu sedang menjerit? Apakah kamu berteriak minta tolong? Apakah itu kenyataan yang terjadi. Aku berlari menghampirimu tapi hanya debu yang terhempas angin. Aku sangat takut sekali Mas Rahman."

Rahman ikut gemetar mendengar penuturan tentang mimpi istrinya. Sebuah mimpi yang penuh kegilaan. Seperti sepucuk mimpi yang membawa pesan. Sampai-sampai Rahman berujar dalam hati, "Dosa apa yang aku lakukan ya Robb! Hingga Engkau kirim sepucuk mimpi yang mengganggu istriku hingga nyaris gila dalam ketakutan."

Suminingsih mengambil wudu dan melakukan salat tahajudnya dengan khusyuk. Malam yang temaram hingga pagi yang buta datang. Rahman terus memikirkan mimpi istrinya. "Oh! Ini hanya mimpi, hanya bunga tidur belaka, jangan sampai aku percaya pada hal-hal khurafat yang bisa menipiskan imanku."

Rahman terus berandai-andai yang membawanya pada kilas balik tabiatnya juga tabiat istrinya. Sepucuk mimpi gila yang istrinya alami semalam ingin dia tafsirkan maknanya. Angannya yang tumpul mencoba berangan-angan, pikirannya yang bodoh mulai membual, maka dia ingatlah tentang mimpi Ibrahim yang dulu dituturkan guru ngajinya di sanggar. "Ibrahim bermimpi meyembelih anaknya, karena bisikan dalam mimpi yang diyakini itu datangnya dari Allah untuk menguji keimanannya. Lalu apa arti mimpi istriku semalam yang melihatku terbakar saat dia sedang membaca qiroatul Quran?" bisik Rahman dalam hati yang bergemuruh.

Suminingsih yang lembut dan baik hati mulai berusaha melupakan mimpinya itu. Sekarang dia fokus melayani suaminya, seperti hari-hari biasa. Dan Rahman yang posesif tentang keinginannya untuk mengajari istrinya membaca dan menulis terus-menerus memberikan buku-buku ejaan, poster huruf-huruf alfabet yang mudahkan otak untuk mengingat. Namun, Suminingsih hanya menyimpan buku-buku itu, saat suaminya sibuk dan tidak bisa mengajarkan padanya. "Biarkan saja buku-buku itu kusimpan, siapa tahu bermanfaat untuk anak kami kelak," pikirnya dalam hati.

Saat hendak berdandan di meja rias Sumining melihat buku Juz Amma. Baunya dilapisi parfum khas, wewangian yang membuatnya curiga. Buku itu dibuka dengan seksama, tapi dia tak bisa membaca kerumitan huruf-huruf itu. Rasa ingin tahunya menguat bersamaan sepucuk mimpi yang kembali dikenangnya. "Ya, aku ingat huruf-huruf seperti ini yang aku baca saat mimpi membaca Alquran. Ya, aku ingat sekali, meskipun aku tak bisa membacanya?" Suminingsih tiba-tiba menangis lirih dan ada keinginan yang begitu kuat untuk bisa membaca Alquran.

Dengan penuh rasa perhatian yang besar Rahman membimbing istrinya belajar Iqro, belajar mengeja huruf-huruf Hijaiah, mengeja gandengan-gandengan huruf dan perlahan Suminingsih mulai bisa mengeja dasar-dasar bacaan. Kurang lebih setengah tahun belajar dari suami dan juga tempatnya mengaji, Sumining mulai lancar membaca Alquran. Lalu dia membaca surat yang pernah dia ingat dalam mimpinya, dan tak lain adalah surat Al Ahqaf Ayat 29-31. Surat yang bertutur tentang Jin beriman setelah mendengar kalam Allah yang dibacakan Rasulullah ketika salat, tapi pada Hadis lain justru menjelaskan bahwa ketika setan di kalangan jin mendengar kalam Allah dibaca umat muslim ketika salat justru bukannya beriman dan mendapatkan hidayah melainkan malah tidak peduli dengan ayat yang dibaca tetapi malah menggoda manusia hingga lupa salat. Mereka lari ketika dikumandangkan azan dan ikamat lalu datang dan menggoda ketika salat.

Rahman dan Suminingsih berurai air mata setelah menterjemahkan surat itu. ?Mas, ini adalah hidayah kita. Mimpi itu tentang keinginanmu untuk mendapat perlindungan saat aku membaca dengan tartil dalam mimpiku. Saat aku berhenti kamu pergi dan hanya meninggalkan abu sisa pembakaranmu.?

"Ya, sepucuk mimpi gila. Dan aku sungguh merasa bersyukur. Kamu jangan takut lagi ya Sayang, Alloh mencintai hamba-Nya. Dan mimpimu anggap saja sebagai pengingat. Sekarang kamu harus belajar alfabet Latin agar kamu bisa membaca terjemahannya."

"Aku akan belajar Mas, demi kamu dan demi mengajarkan ilmu pada anak kita kelak. Wajahmu kenapa menjadi pucat sekali, Mas."

"Aku bahagia mendengarkannya. Selalu berdoa untukku ya, Suminingsih."

Tiba-tiba Suminingsih tergagap, dilihatnya sekitar kamar tidurnya. Seorang balita lelaki berusia dua setengah tahun ada di sampingnya. Rahman telah meninggal dua tahun lalu. Sebelum kematian suaminya, Suminingsih sudah bisa membaca dan menulis Latin serta Arab. Semua itu Rahman yang mengajarkannya dengan tekun. Mungkin sakit fisiknya akibat keletihan kerja membuat Rahman harus bertaruh nyawa. Sungguh tak disangka Rahman meninggalkan Suminingsih sejumlah tabungan yang sengaja dikumpulkan untuk membangun usaha warung makan istrinya.

Dikecupnya balita itu dengan sayang yang luar biasa. Sedikit basah matanya dan berbisik di cuping anaknya, "Mas Rahman, aku akan mendoakanmu, menjadikan titisanmu seorang anak yang saleh. Semoga kamu tenang disisi-Nya. Seperti dirimu yang sayang padaku, menjadi suami terbaikku dan selalu mengajariku membaca dan menulis. Bahkan hingga malam ini aku masih memimpikanmu. Bukan sepucuk mimpi gila yang takut kurasakan, tapi sebuah mimpi indah yang hadir sebagai bunga tidurku."

Suminingsih bangun, mengambil air wudu lalu bertahajud, dilanjutkan zikir malam dan membaca Alquran dengan khidmad. Wajah bersinar putih di luar jendela menatap sambil terseyum ke arah Suminingsih yang sedang mebaca kalam Allah. Sesekali dari sudut mata Suminingsih melihat orang bermuka pucat itu dari jendela kamar. "Bukan, itu bukan Mas Rahman. Itu jin yang beriman yang datang untuk mendengarkan kalam Tuhan. Ya! Aku tidak sedang tidur, tidak sedang bermimpi dan aku tidak gila melihat sosok penuh pendar cahaya pucat di luar jendela." Suminingsih tersenyum dan kembali mendoakan mendiang suaminya.


Lampung Post, Minggu, 28 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment