Sunday, November 4, 2012

Selawat Kelahiran

Cerpen S.W. Teofani


KAU makna tak terkata yang hadir pada musim umbi bertunas. Menguncupkan harapan penghuni bentala yang mulai lelah pada kemarau. Hadirmu berbarengan dengan rintik hujan pertama yang menghidupkan kembali bumi yang mati. Semoga begitu pulalah artimu bagi kehidupan, sebagai yang dinanti, yang diharap.

Sebelum kututupkan sehelai benang pun pada tubuhmu, ingin aku bersyahadah pada pesan Ilahiyat yang menyertaimu. Begitu polosnya kau bermula, penuh dengan magis ketuhanan, kuharap begitulah kembalimu. Ada percik cemburu karena waktu telah menggulungku dan melolosi kefitrahan yang dititipkan Yang Satu. Adalah titik demi titik suci itu terpercik nokhtah, hingga putihnya tak menjadi pendar lagi.

Kini warna itu semakin kusam. Setiap kucoba menyucikannya, terciprat lembar-lembar hidupku oleh percikan air suci yang beradu debu. Akankah kukembali seperti saat kubermula? Semoga kau jalan lurus yang menuntunku kembali pada awal yang bening. Hingga kutemui jalan kembali pada Mahahening pada suatu masa yang pasti.

Sebelum kusematkan sebentuk penanda pada seluruhmu. Aku tak ingin menghapus tanda abadi yang dianugerahkan Penguasa Tanda. Dia yang telah memberimu seluruh kasih dengan tanda cinta yang diabadikan pada binar matamu pun senyum yang akan kau tebarkan pada setiap makhluk. Sebagai penyampai dari rekah hatimu yang lebih lapang dari sahara. Lalu kau akan piawai membaca setiap tanda yang ada pada dirimu pun semesta. Dan tak perlu lagi kutambahkan tanda selain sebentuk nama.

Kelak kau yang akan menjadikan tanda itu mewangi atau tak lebih sebuah panggilan. Pada lakumu, penanda itu akan menjadi abadi atau sekejab melintas bumi. Adalah nama-nama yang dipanggil begitu lama, bahkan hingga jasadnya tak lagi ada. Tapi tak sedikit pula nama yang hanya berkelebat seumur hanyat, lalu padam bersama jasad.

Hari ini kau adalah keajaiban mungil dengan makna tak tepermanai. Hadirmu menyesap seluruh keluh yang tercipta mengiringi kau mengada. Kau penebus segala letih dan perih-yang tak untuk diratapi. Sakit itu, keluh itu, serupa biru muda merah jambu yang mengharu-birukan penyambutan untukmu. Sebab, memeluk alam rahim menjadi kebahagiaan yang disangsangkan Pencipta pada tiap-tiap ibu. Sebentuk amanah yang tak dipercayakan pada keperkasaan pun kegagahan, tapi kesabaran dan ketabahan yang panjang.

Aku tak menghamparkan permadani pun singgasana untukmu, hanyalah sehelai kain cinta yang tak pernah habis meski segala benang di bumi tak dipintal lagi. Aku tak menyiapkan upacara agung pada hadirmu, yang disaksikan para resi pun para ratu, hanya senarai doa yang tak bisa digantikan meski kau wasilahkan pada para wali.

Kau tak lahir dari perempuan nariswari yang membuatmu beruntung menjadi raja di setiap bumi yang kau huni. Kau juga tak ditakdirkan hadir dari trah kekuasaan yang membuat jarimu berharga sebelum mengerti arti harga. Dengan itu, semoga kau tahu makna menjadi, kau paham arti bersungguh, pun kesabaran yang hanya disangsangkan pada ketekunan panjang. Aku perempuan biasa yang menempa setiap yang mungkin dengan godam juang, maka kau yang akan menjadikanku nariswari atau kesahajaan abadi. Tapi Cintaku, tak ada yang kupinta darimu, hadirmu adalah segala yang disebut pinta. Kau melampaui ingin pun puja yang kutitipkan pada desau kemarau.

Muhyal Qulubku?, sesahaja apa pun perempuan yang melahirkamu, adalah keinginnan untuk menghantarkanmu pada tempat terbaik. Hari ini masih bisa kuhangatkan tubuhmu dengan peluk yang lebih hangat dari sinar mentari pagi. Tapi esok, kau adalah busur dengan lesap tak tertangkap pandangku. Maka kan kujaga gandewa waktu yang akan menghantarkamu pada zaman yang tak sama. Suatu hari akan kuhantarkan dirimu pada tangan yang lebih suci. Tangan-tangan teguh yang mampu menempa busur-busur zaman pada tumpu yang seharusnya. Hingga kau tak menjadi anak panah yang terpelanting pada tempat yang tak dikehendaki.

Suatu ketika, kan kupertemukan dirimu pada para penjaga. Manusia yang dipilih Sang Maha untuk merawikan kalam-Nya. Mereka para pemelihara yang dijaga lembar-lembar suci. Aku akan menyerahkan dengan rela pada saat bulan sabit belum menjadi purnama. Bukan karena kulelah menjagamu. Jika karena itu, tak lagi pantas manusia menyebutku ibu.

Semesta ini begitu luas, Sayang. Aku tak sanggup menuntunmu dari satu benua ke samudera lainnya. Adalah manusia lain yang jauh lebih tahu dariku. Kepadanyalah harus kau cecap pengetahuan itu. Sedang gugusan ilmu melampai luas buana, pengetahuanku tak sejumput pun dari adanya. Maka kutitipkan dirimu pada mutiara yang lebih nyala, pada padi yang lebih bernas. Dan kepada para penjaga kalam-Nya, kan kau temui nyala cahaya abadi yang lebih pendar dari purnama.

Suatu ketika kau akan kembali, merindui sosok yang tak muda lagi. Tapi kasihku selalu muda, cintaku selalu baru. Aku akan menanyaimu, adakah kau rasa cukup dengan ilmu yang dapat? Dan kuharap kau gelengkan kepala, karena ilmu begitu luas, dan waktu manusia hanya sejumput kesempatan yang tak cukup untuk mewadahinya.

Qulubku?sebelum kau mendaki gunung, adalah tapak yang satu. Sebelum tapak itu, adalah kau terjatuh, adalah rangkak juga tangismu sebagai penanda sebelum kau mengenal kata pun sanggup mengucapkannya. Dan tangis itu akan menyertai setiap hidup manusia. Dia adalah penyampai pesan Ilahiah yang hanya pecah pada kekalahan pun ketakberdayaan. Maka menangislah, dia adalah suara kejujuran yang memanggil hati semesta pada massa kau ditimang. Tapi tinggalkan tangis itu, saat Tuhan memberimu kemampuan lain padamu.

Kita bukan manusia-manusia yang termaktub dalam Kalam. Hanya sisa-sisa zaman yang coba mengais rida Tuhan. Maka jalan bukanlah jalur lempang tanpa tikungan. Kita akan melampauinya, dengan jerih yang masih tersisa. Maka masih ada asa untuk belajar pada ketabahan Siti Hajar saat seorang saja di padang pasir mengharap mata air. Karena kita dipercaya mengada sebagai penanda ada harapan di sana, untuk kembali dengan muka yang berseri. Maka teruslah kau baca Kalam itu, yang akan menunjungmu apa-apa yang tak kau tahu.

Hari ini, sebelum kukeringkan darah pada tubuhku pun tubuhmu, dengarkan panggilan yang lebih merdu dari requiem di kastil-kastil purba. Bersaksilah sebelum kau saksikan kesaksian yang lain. Adalah yang Mahabesar yang akan menaungi seluruh waktu kita. Dia yang menguasai hidup dan mati manusia. Dari-Nya kita bermula, dan kepada-Nya kita akan menyerahkan kembali seluruh yang diberikannya-Nya. Tiadalah selain Dia yang mengatur hidup kita, yang menguasai alam raya, juga tiap-tiap hewan melata yang ada di ceruk maya pada. Sempurnakan kesaksianmu duhai, Cintaku. Jaga kesaksian itu hingga tak lagi ada denyut di nadimu.

Tak akan kuangkat kau dari tempat tibamu. Dengarkanlah suara itu, yang mengajakmu bersyahadah pada manusia agung yang menjadi pilihan Rabb-mu. Dia manusia yang termaktub pada lembar suci, yang akan memberi pertolongan pada pengikutnya di hari saat manusia tak bisa saling menolong. Maka ikutilah dia, yang membawamu pada keselamatan.

Duhai makhluk suci? Ikutilah ajakan untuk menyembah Tuhanmu. Ajakan yang akan bergaung pada seluruh waktu yang dipinjamkan padamu. Maka kan kau tuai kemenangan dalam hidupmu. Anakku, itulah suara kesaksian pertama yang kau dengar dari laki-laki muasalmu. Jadikan pewarna darah yang mengalir di tubuhmu, hadirkan pada setiap tarikan nafasmu.

Kini kusimak tangismu, penanda kehidupan, pecah menembus hening malam. Aku tahu, kau belum mengenal irama, tapi rima yang kau perdengarkan melampaui pesona canang. Aku tak akan memeluk untuk mendiamkanmu, hingga kau redakan suara magismu. Kan kusimak baik-baik rautmu yang penuh keajaiban, dengan pesona Ilahiyat tak terbantah. Perlahan tangis itu reda, hingga kau diam gematar. Tangan mungilmu membuka genggam dengan sangat pelan. Matamu mencari cahaya. Bibirmu memanggil sumber kehidupan. Adalah aku tak sabar merengkuhmu, mendekapmu pada detak jantung yang akan selalu mengeja namamu. n


Lampung Post, Minggu, 4 November 2012

No comments:

Post a Comment