Cerpen S.W. Teofani
KENAPA kau pergi, Guru. Bukankah pengetahuanmu belum genap kucecap. Ke mana engkau menjejakkan tapak. Tak ada tilasmu untuk kutuju, selain segenggam kenang atas seluruh kehilangan. Tak kau berikan tanda pun sasmita untuk sebuah perpisahan purna. Sepertinya engkau lupa telah mengasuhku sejak mengada.
Senja lengas itu kau biarkan seorang saja aku menggembala. Tak ada kekhawatiran selain ketakzimanku pada seluruhmu. Sungguh tak biasa kau biarkan aku sendiri menghalau ribuan domba itu, sedang srigala mengaum dari seribu penjuru.
Guru, tanganku tak sekukuh hastamu. Yang lempang mengarak langkah waktu. Jemariku tak sebanding telunjukmu, teguh mengarah peradaban debu. Lalu apa yang kau sisakan hingga tega meninggalkanku di padang tanpa rumput dengan beliung menderu.
Duh Guru, andai kutahu musabab kau meninggalkanku, kan kuluruhkan setiap denyar luka yang menyilaukanmu. Tapi tak kutemukan musabab pun maksud lesapmu. Tak ada yang kau pesankan selain kepergian itu.
Malam setelah gaibmu, kau bertandang antara nyata dan maya. Mengusap bahuku dengan kasih yang melebihi cinta. Aku tak sanggup menatapmu barang setegak benang. Kurasai jiwa itu merengkuh rindu. Tapi tak sanggup kugapai jubah putih, juga kakimu. Agar kusujudkan seluruh cemas yang kau sangsangkan di tengah siang.
Terlalu sarat kata ingin kusampaikan, tapi tak sedenting pun terucap.
Apakah kau masih menatapku, Guru. Aku sesengguk lurus dengan telapakmu, tanpa kutahu, apakah ujung kaki itu berpijak atau berjarak. Tapi kutahu, jiwamu merengkuh ibaku. Aku menjadi bayi yang merindu puting ibu. Menyecap setiap hikmah yang kau sematkan di padang waktu.
Tidakkah engkau rindu, Guru. Saat kau ajari aku manahan dahaga, meski kita kecukupan tirta. Lalu kau tunjuki aku dahaga sesungguhnya, yang tak tunai cawan anggur pun jernih telaga. Bukan sekadar air di tempayan rasa, melainkan laku suwungdi dasar sukma. Kau yakinkan aku ada kecukupan dalam kelaparan, ada kesegaran pada dahaga. Kau hidupkan kematian jiwa yang termanja benda-benda. Setiap tapakmu membekas pada jejak waktu yang disusun keping-keping pristiwa.
Lupakah engkau pada semua, Guru?
Saat kau usap penat beban di pundak batinku. Kau yakinkan bahwa hidup seringan cahaya yang dititipkan surya. Kau yakinkan pula tentang mahacahaya di balik seluruh benderang surya, juga jiwa. Aku diam, merasai keagungan jiwamu. Aku lenyap pada pengetahuan batinmu yang melebihi ketakziman biksu.
Adakah aku berbuat salah atas petuah pun titahmu? Kau kujunjung agung melebihi sesiapa yang pernah kusapa. Tak sesiluet pun kuberniat menitikkan kecewa pada hayatmu. Aku mencari pada setiap langit hari yang bermantel sunyi. Tidakkah kau merindukan cengkerama sukma kita yang melebihi kemansyukan sejoli?
Guru, tanpamu, bukan dahan-dahan hidupku yang patah, aku bagai tercerabut dari bumi. Seluruhku layu, diam, beku, melebihi kebisuan dini.
Denganmu aku sedamai bulir pisang yang tersemat pada tandan, terjaga pelepah, daun, dan batang. Aku tak mengkhawatirkan kawanan kera yang mengincarku. Tapi tanpamu, aku tak lebih seulir pisang pada tandan busuk di batang lanas. Kelelawar pun tak ragu mengabisi seluruhku. Duh, Guru, kau dengarkah semua dawai keluhku.
Saat kucoba mendongak, aku siaga pada kesadaran purna. Semua hanya mimpi yang tiba untuk mempertegas lenyapmu. Luruh hatiku semakin saja, tanpa tonggak pun harap penyangga.
Hari ini aku merasai gundah hati Rumi saat ditinggal Guru Samsyi. Kudekap gulana Musa kala Khidir pergi. Tapi aku manusia biasa, Guru. Tak ada gelar ulul azmi yang layak menjadi alasan untukku tegar kehilanganmu. Pun aku bukan guru sufi yang punya berlapis keimanan demi memagar hati. Aku tak mampu mengubah kehilanganku menjadi kasidah cinta juga masnawi.
Tahukah engkau Guru, setiap tilasmu menjadi makna bagiku. Taburan kebajikan yang kau ajarkan dalam diam, berubah ngiangyang menuntun laku. Kepergianmu menyisakan tanya pun duka yang melebihi kedalaman samudera.
***
ADAKAH kau tahu yang disebut guru, duhai Sahabatku? Tidakkah kita mengada dari mula takdir yang sama. Jika aku lebih tahu darimu, tak lebih karena terlahir sebelummu. Karena kucecap pekerti saat kau masih menyusu. Maka kutinggalkan dirimu duhai jiwa yang bercahaya melebihi seluruh pelita. Jika aku tetap bersamamu, siapa yang akan melihat terangmu yang tertutup pantulan hadirku. Tak mungkin ada dua matahari di semesta raya. Pasti satu akan menyelinap pada bayang yang lainnya. Maka kau akan menyala melebihi terangnya bagaskara tanpaku.
Usah kau tengok jalan kecil itu. Memang pernah kita lalui, tapi bukan untuk kita genapi. Dia hanya lintasan. Umpama lorong gelap menuju Tuhan. Maka tiada sesal pun utang yang kita titipkan pada jejaknya.
***
SEDASAWARSA tak cukup untuk mengubur kenang. Sepeninggalmu aku menyudahi petualangan. Terlalu banyak jalan yang tak kita hitung, begitu luas takdir tak terbendung. Manusia hanya bisa diam, menginsyafi kesementaraan atas rencana-rencana kehidupan. Maka aku mencoba tegak tanpamu. Menyisir sepi di batu-batu. Satu-satu kukumpulkan, kutumpuk menjadi bangunan. Kini aku berdiam, menyudahi segala pengembaraan. Entah karena duka atau lelah doa. Karena banyak rencana di luar rencana kita. Hatiku membaca banyak kemungkinan, tapi aku memilih tak mengungkapkan, biarlah rahasia menjadi hak-Nya untuk bersembunyi.
Bening itu darah, tak menentes pun mengental, yang menjadi sanksi kepergian.
Diam pada ketakziman ketentuan. Dan ketentuan hari ini berima dari keputusan masa lalu: keteguhanmu untuk meninggalkanku. Maka kukais apa-apa yang tersisa dari luka. Kukumpulkan yang terserak dari lara. Manjadilah ia kekuatan yang melampai apa-apa yang kita duga.
Sepeninggalmu Guru, kucoba merawat setiap yang kau sampaikan. Kuedarkan lagi pada orang-orang yang berkunjung pun menetap di kastilku. Semakin waktu, satu-satu manusia membunuh kesendirianku. Menjadi wasilah pekerti yang kau wariskan kepadaku. Kepada mereka kusampaikan, darimulah segala pengetahuan itu. Maka ikhlaskan semaua untuk kusebarkan, Guru.
Aku semakin mendapati jalanku, jalan yang lempang dengan kesendirian. Mungkin aku lelah mengharap hadirmu. Hingga kuhidupkan apa-apa yang pernah kau nyalakan di jiwa pun pikirku. Maka tak aka lagi kesendirian yang sesungguhnya, Guru. Kau menjelma pada jiwa-jiwa yang hadir menemaniku. Atau dengan malu aku mengaku kau mengejawantah pada diriku yang menyampaikan risalah pada jiwa-jiwa itu. Entahlah, tapi aku tak lagi sepi pun karenamu. Jika tak kau tunjuki aku jalan-jalan itu, bagaimana aku akan menyampaikan dua jalan yang harus kita pilih untuk sampai pada Sang Maha. Kini jiwa-jiwa itu merindumu meski tak pernah bersitatap dengan wujudmu. Para jiwa telah menerima apa-apa yang pernah kau pantulkan pada jiwaku. Maka, gema kehilanganku menjadi gaung di gua jiwa mereka.
***
"BOLEHKAH aku menimba pengetahuan padamu, Guru?"
"Apa yang akan kau ketahui? Aku belum pantas disebut guru, aku hanya membunuh sepi karena kerinduan pada guruku."
"Adakah kemasyuranmu akan pengetahuan dan kazuhudan kau tukar dengan frasa membunuh sepi?"
"Itulah yang senyatanya. Kau tahu, Tamuku, mataku buta karena air mata. Sepanjang malam, selama epuluh tahun, aku nyanyikan kehilangan atas manusia agung yang kusebut guru. Kecerdasannya mendekati Khidir, kezuhudannya sebanding sufi."
"Di manakah ia?"
"Aku tak tahu. Dia lenyap begitu rupa. Aku telah mencari di setiap penjuru yang kutahu, tapi sia-sia. Akhirnya aku diam, di sini, menyanyikan namanya pun seluruhnya pada orang-orang yang bertanya."
"Adakah yang bertanya tentang halnya?"
"Jiwa-jiwa yang merindu kebaikan akan memburu orang-orang terpilih. Maka gurulah yang menjadi pilihan nilai kebaikan. Kebaikan dan guruku menyatu menjadi nyanyian yang tak kuhentikan sebelum manusia pencari pengetahuan lelap."
"Apakah kau mengharapkan pertemuan dengan gurumu?"
"Aku telah mengikhlaskannya, pun kehendaknya untuk meninggalkanku. Aku hanya percaya, dia lakukan itu bukan tanpa rencana."
"Jika kau bertemu dengannya, adakah utang yang akan kau lunaskan?"
"Kami pernah berjanji untuk mengafani siapa yang lebih dulu menghadap Illahi."
"Kau ingat itu, dan aku datang menagih janji. Aku akan damai jika ajal tiba kau yang mengafani."
"Guruuuu......"
***
AKU tersungkur, dengan perasaan tak terukur. Meski mataku tak menatapnya, batinku melebur seluruhnya. Kurasakan dia memelukku, hingga aku tak merasakan apa pun.
Lamat-lamat kudengar tangis kehilangan. Tak ada yang lebih damai dari kepergian yang dihantarkan orang terkasih. Dia mengafaniku.
Lampung, Februari-Maret 2011
Lampung Post, 4 September 2011
No comments:
Post a Comment