Sunday, April 12, 2015

Karma Suci

Cerpen Teguh Affandi


BARULAH sekarang aku menyadari, karma dan pembalasan perbuatan salah tak perlu menunggu lama. Pembalasan bisa terjadi sesaat pasca-perbuatan merugikan. Sepertinya, Tuhan tanpa ragu menurunkan kegelisahan yang merajam perasaan. Ini pencurian pertamaku. Perut melilit bukan hanya membuat muka mengernyit lantaran lapar, tapi juga menyempitkan pikiran. Dalam kelaparan, rumah papan berlubang tiba-tiba dingin. Hayati lebih suka diam.

Hayati mengusulkan agar menjual rumah untuk menutup semua utang. Kulihat noktah ragu di wajah Hayati. Sebagai suami, aku terenyuh dan merasa gagal membahagiakannya. Tapi, bila rumah papan ini dijual, lantas akan tinggal di mana? Lebih susah mencari tempat tinggal daripada mencari uang. Hayati memakai daster, lehernya kurus, tulang belikat membentuk cekungan mirip tempat sabun.

Hayati mendesahkan putus asa. Utang terus menumpuk, berurusan dengan lintah darat berarti bermusuhan dengan waktu. Aku menyunggingkan senyum mencoba menenangkannya. Aku janji akan mencari pekerjaan di pasar meski aku sendiri tidak yakin. Rematik di pangkal pinggang menyiksa pedih dan hampir memensiunkanku sebagai kuli panggul.

Hayati bangkit dari tempat duduk menuju dapur, Hayati merebus daun singkong yang dipetik di pagar hidup kebun tetangga. Rebusan daun singkong itu akan kami makan dengan sambal dan nasi tak seberapa. Sambal? Apa pantas disebut sambal bila Hayati hanya menghaluskan cabai, garam, dan dua bawang merah?

“Aku pergi dulu.” Hayati di dapur tidak menyahut. Usai masak, Hayati akan ke rumah Bu Lurah, menawarkan bantuan apa saja. Bu Lurah sering menyuruh Hayati memasak, mencuci pakaian, bahkan menanam bunga di pekarangan. Apa saja asal halal, kata Hayati. Karena halal atau tidak halal sangat berefek besar.

Kondisi ekonomi semakin terjatuh ketika aku terjerat utang dengan Tarman si lintah darat. Entah bagaimana mulanya aku tertarik meminjam uang dengannya. Seingatku bermula saat masa masuk sekolah anakku. Aku membutuhkan uang untuk seragam dan segala kebutuhan sekolah. Tarman menawari uang enam ratus ribu dengan bunga nol persen.

Kuterima. Kubelanjakan. Tiga bulan berselang, aku berhasil menutup lubang utang itu. Tapi keberhasilan melewati lubang jarum lintah justru menjadi jurus pamungkas Tarman untuk terus menawariku utang. Tanpa disadari, setahun kemudian, aku tiba-tiba memiliki utang dalam jumlah yang begitu besar. Rasa-rasanya andai aku membungkuk di pasar, menjadi kuli panggul, berbulan-bulan sekali pun takkan berhasil menutup utang.

“Salimun, kamu kukasih tenggat sebulan lagi. Semua utang plus bunga harus lunas. Kalau tidak, rumahmu bisa kusita,” Tarman mengancamku kemarin.

Perkataan Tarman terus saja membayang di pikiran dan menggedor sanubari. Rasanya ingin terbang dan protes kepada Tuhan, memeras keringat hingga kering, membanting tulang hingga remuk kalau perlu. Banyak hal menjerat hingga aku seperti lelaki tanpa daya.
               
***

Pasar masih jauh di sana. Kakiku lemas. Tremor karena belum sarapan. Rematik merepotkan jalan. Keringatku sebesar biji jagung di sekujur badan. Ketiakku lengket dan bau. Apakah Tuhan mengerem roda kehidupanku hingga mandek di bagian bawah?

Aku duduk istirahat di bangku pinggir jalan. Bangku kayu di bawah pohon angsana. Riuh pasar terlihat, namun tampak begitu jauh dan susah dijangkau. Angin sepoi berdesir, terasa dingin saat membelai keringat. Kurasakan tenggorokan kering. Aku menoleh mencari sesuatu yang bisa membasahi dahaga tanpa harus membeli. Masjid! Rupa-rupanya aku duduk di depan masjid.

Biasanya ada galon air gratis yang disediakan takmir di serambi masjid. Atau kalau tidak aku bisa minum air keran. Jalanku tertatih.

Tak ada galon air gratis di serambi. Aku celingak-celinguk mencari. Mungkin takmir menempatkan galon minum gratis di tempat lain. Setelah kucari-cari tidak ada. Memang di masjid tidak menyediakan galon minum gratis. Apakah takmir masjid tak tahu ada orang dahaga yang butuh air minum?

Suasana masjid sepi di pagi hari. Hanya embusan dingin yang jauh lebih segar daripada suhu panas di luar bangunan masjid. Terpaksa aku menuju keran wudhu. Aku bisa minum sepuas dan sebanyak perut mampu menampung. Keran kuputar lancar. Air bersih deras mengalir. Tangan kubasuh, dinginnya air merasuk hingga ke dalam kulit. Begitu tenang. Wajah kusapu dengan air. Sejuk terasa. Kuisap air keran dalam-dalam. Tak kupedulikan air mentah, asal mampu mengusir dahaga dan memulihkan tenaga yang menguap sepanjang perjalanan dari rumah menuju pasar.

Setelah kenyang minum air keran, aku leyeh-leyeh di serambi masjid. Kulihat wanita beriasan tebal memboncengkan anak berseragam sekolah dengan motor matic. Aku ingat Hayati yang seharusnya hidup enak dan dimuliakan sebagai orang. Tapi lagi-lagi miskin lebih kejam menghajar dan membuatku menjadi orang penggerutu dan pengeluh nomor satu.

Kelebatan pikiran merasuk diam-diam. Mataku tertuju pada kotak amal dekat pintu. Kotak beroda tampak begitu memikat. Terasa ada panggilan dari dalam kotak tersebut. Tutupnya hanya diamankan dengan gembok tak dikunci. Gemboknya terbuka. Cat kayunya lusuh dan tampak tulisan ‘Mohon Diedarkan’ warna putih. Aku menangkap isyarat bahwa Tuhan menggiringku ke masjid ini untuk mengambil uang sedekah jamaah.

Aku mendekati kotak amal. Tanganku gemetar, tapi kuyakinkan bahwa semua takdir telah diatur Tuhan. Tuhan menjadikanku haus dan berhenti di bangku bawah angsana depan masjid, minum air keran, dan menerima sedekah orang di dalam kotak amal ini. Kotak amal ini diakadkan sebagai sedekah.

Kubuka gembok dan tutup kotak segera terbuka. Beberapa lembar uang rapi terlipat, sisanya seperti gundukan kertas tak beraturan. Mataku menangkap lembar warna merah dan biru, pecahan terbesar. Kubayangkan uang ini akan menyumpal mulut Tarman agar tidak lagi meneror keluargaku.

Tanganku tak lagi kikuk. Ada kepercayaan yang tumbuh dalam dada bahwa uang sedekah ini memang untuk orang-orang membutuhkan sepertiku. Tidak perlu terus-terusan uang sedekah masjid untuk mempercantik masjid yang memang sudah indah. Orang miskin punya hak atas setumpuk uang sedekah jamaah. Senyumku mengembang. Tanganku meraih semua isi uang dalam kotak amal. Kutata dan kuurutkan berdasarkan besar pecahan. Ada lima ratus ribu lebih sedikit. Ternyata jamaah masjid sekitar sini cukup loyal. Kumasukkan saku celana. Suasana masjid masih sepi, seperti memang dihadirkan untukku seorang.

Barulah ketika berdiri, segerombol ragu ramai-ramai berdemo di dadaku. Banyak suara mencemooh. Di antara banyak suara yang riuh mendengung di telinga, tiba-tiba seekor cicak jatuh tepat di kepalaku. “Plak!”

“Ya Robbi!” aku berteriak kaget. Seekor cicak melompat dari kepalaku ke lantai keramik dan seketika kabur di balik pintu.

Aku gegas pergi. Suara cemoohan makin kencang terdengar. Aku sudah terlanjur yakin bahwa ini jalan Tuhan menolongku. Saku celana penuh uang kotak amal. Di tepian pagar, aku sempat menoleh masjid dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan.

“Sebaiknya aku ke pasar membeli makanan untuk Hayati dan anakku. Selanjutnya kukasih sisanya untuk Tarman, setidaknya bisa membuatnya adem.” Aku bergumam perlahan. Mataku membayangkan aneka penganan yang diam-diam kurindukan. Tiba-tiba seorang remaja naik motor yang knalpotnya dimodifikasi hingga menghasilan suara berisik hampir menabrakku.

“Hati-hati, Pak! Mau mati?”

Mati? Tidak mau aku mati sebelum aku memberi makan Hayati dengan makanan enak.

“Salimun, apa kamu mau mati sesaat setelah mencuri?” sebuah suara bertanya dekat telinga. Suaranya jelas terdengar, serupa narator sandiwara radio. Tak tampak orangnya namun begitu hidup di ruang dengar penyimak.

“Aku tidak mencuri. Ini pertolongan Tuhan,” jawabku.

“Salimun, Salimun! Tetaplah mencuri namanya bila mengambil tanpa izin,” suara gaib itu bernada semakin tinggi.

“Ini milik Tuhan. Dan ada di rumah Tuhan,” jawabku penuh pembenaran. “Aku hamba Tuhan yang membutuhkan pertolongan.” Sejujurnya aku mulai gelisah.

“Apa kamu sudah bicara kepada Tuhan, Salimun?”

Aku diam. Aku belum izin kepada Tuhan. Belum sempat kujelaskan, kulihat keributan dekat penjual buah di depan pasar. Beberapa orang mengeroyok pemuda bertato naga di lengan kiri.

“Ada apa, Bu?” tanyaku kepada seorang wanita yang membawa tas belanjaan penuh sayur dan dua butir kelapa utuh.

“Ada copet tertangkap. Biasa, Pak! Kalau penjahat tertangkap ada dua nasib menunggunya,” wanita itu memasukkan sekantung ayam potong ke dalam tas yang hampir muntah kepenuhan.

“Maksudnya?”

“Kalau tidak di penjara, ya mati dibakar massa. Untung ada polisi patroli. Kalau tidak, sudah mati dibakar itu copet!”

Sekonyong-konyong keringatku menderas. Tanganku gemetar.

“Kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya wanita itu.

“Tidak apa-apa. Hanya masuk angin,” aku gegas pergi.

Pembalasan Tuhan sudah digelar. Aku diserang ketakutan paling menakutkan. Cicak jatuh di kepala, hampir ditabrak motor, kemudian ada suara protes di kepala. Tanda Tuhan terhampar. Tidak masalah aku tidak punya uang asal aku tidak mati terpanggang massa.

Aku kembali ke masjid mengembalikan uang kotak amal. Sepanjang perjalananku yang sedikit tergesa, aku menderas ampun.

Aku berada di halaman masjid. Debar perasaanku berdentum lebih keras daripada saat aku mencuri. Sekarang kurasakan semua mata tertuju kepadaku, melemparkan curiga, dan siap menerkam.

Aku berdiri di dekat pintu, kotak amal masih berada pada posisi sebelumnya. Kubuka dan kuletakkan semua uang ke dalam kotak seperti semula.

“Mohon ampun, ya Tuhan!”

Saat kututup kotak amal, tiba-tiba lelaki berbadan tinggi menyapaku mengagetkan.

“Kamu mau apa? Mencuri? Kamu pasti yang menguras kotak amal!”

Suaranya bagai halilintar menghentakkan telinga. Badannya begitu besar dan tampak begitu seram. Dia berjalan begitu pongah seperti harimau lapar mendekatiku yang kuyup oleh rasa takut. n


Lampung Post, Minggu, 12 April 2015

Sunday, April 5, 2015

Anak-anak Serigala

Cerpen Adam Yudhistira


DESAS-DESUS itu merebak di Desa Yeleniskoye, Desina Kruizseva melahirkan anak-anak serigala. Ia merayap seperti asap dan terisap masyarakat menjadi mitos yang bernuansa gelap. Kata mereka, sudah tak terhitung anak-anak serigala yang lahir dari rahim Desina. Bahkan desas-desus itu menjalar—sejak kerap terdengar lolong serigala pada malam-malam purnama yang memecah keheningan Desa Yeleniskoye. Masyarakat percaya, lolongan itu adalah anak-anak Desina yang beralih rupa menjadi serigala.

Konon, Desina Kruizseva dikutuk karena menjalin cinta dengan Major Rudolf Sauerbrei—seorang perwira muda dari serdadu Nazi. Masyarakat Desa Yeleniskoye mengusir Desina saat diketahui gadis itu mengandung benih Major Rudolf Sauerbrei. Dan kutukan itu menjadi semacam teror bagiku berpuluh tahun setelahnya—sebab entah benar atau tidak—kurasa aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka.

Aku mendapatkan pengalaman ini dari Vasilly. Ia lelaki setengah baya bertubuh gemuk, warga Yeleniskoye. Aku mengenalnya saat bekerja di Oblast, Chelyabinsk-Soviet, di penghujung tahun ‘80-an. Vasilly salah satu pekerja di proyek yang sama-sama kami tangani. Sampai kini aku masih sulit percaya jika mengingat cerita yang dituturkannya.

“Dia (maksudnya Desina) sedang berada di Kota Stalingrad,” ucap Vasilly memulai kisahnya.

Aku dan Vasilly berbincang di sebuah bar kumuh di sudut Desa Yeleniskoye. Langit gelap, hujan turun sangat deras, suasana bar begitu sepi. Hanya ada aku, Vasilly, dan pria tua pemilik Bar. Cuaca buruk itu membuat kami terjebak dan itulah titik mula kisah musykil ini kudengar.

“Lalu bagaimana dia bisa mempunyai anak dari Major Rudolf?” tanyaku sembari menenggak seteguk vodka untuk menghangatkan darahku yang membeku.

“Dia sukarelawan perang di sana.”

Aku memandang keheranan, “Setahuku saat perang di tepi Sungai Volga itu, serdadu Nazi dan Tentara Merah sama-sama sulit, rasanya tak mungkin dua kubu ini bisa bertemu dalam keadaan damai, apalagi untuk urusan cinta. Sungguh tak masuk akal, Kawan.”

“Dia sukarelawan perang, dia tidak memihak siapa pun.” Vasilly  memantik korek dan menyalakan sebatang rokok. “Desina mengaku jika janin yang dikandungnya adalah anak Major Rudolf, tapi bukan berarti mereka miliki ikatan cinta.”

“Kau pernah bertemu Desina?”

“Ehmm... tidak, aku dapat cerita ini dari kakekku.”

“Ah...” keluhku kecewa. “Lalu bagaimana cerita selanjutnya?”

“Desina Kruizseva terjebak di reruntuhan gedung.” Vasilly menggaruk hidungnya yang besar sebentar. “Dia memberi perawatan medis untuk Tentara Merah yang terluka di garis belakang, saat itulah dia diculik dan dibawa ke kubu Jerman.”

Kureguk lagi setegukan vodka di dalam gelas, lantas kuajukan analisisku, “Aneh sekali, setahuku juga, petugas medis adalah para pria, jarang ada wanita yang bertugas langsung di titik pertempuran seperti dalam ceritamu itu.”

“Jadi kau tidak percaya padaku, Bramantyo?” ucapnya sambil menunjukan raut wajah meradang.

Aku mahfum, tipikal lelaki Rusia memang mudah sekali naik darah. Aku tertawa, “Aku percaya, aku percaya. Sudahlah, lanjutkan saja ceritamu, aku masih ingin mendengarnya.”

“Oke,” katanya sambil mengisap rokoknya terlebih dulu. “Percayakah kau jika kukatakan, anak-anak yang lahir dari rahim Desina menjelma serigala?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Vasilly benar-benar pandai memancing rasa penasaranku. Aku mengangguk dan kucondongkan tubuhku sedikit ke arahnya. Ceritanya mulai menarik, sebab tak hanya di Indonesia saja ada hal-hal berbau klenik begini, ternyata di negara sebesar dan semaju Rusia ada juga cerita seperti itu. Hitung-hitung mengobati rasa rinduku pada Tanah Air, lantas kuteruskan pertanyaan-pertanyaanku.

“Menurut kakekku, Desina tidak sendirian menerima kutukan itu.”

“Maksudmu?”

Belum sempat Vassily menjawab pertanyaanku, tiba-tiba pria tua yang duduk di sudut bar menunjuk ke muka Vassily sambil berkata, “Eta lozh!”

“Zatknyis! Ya cibya nakazhu!” bentak Vasilly. Pria tua itu sontak terdiam, kemudian menunduk ketakutan. Aku tak mengerti apa yang mereka katakan, sepertinya Vasilly mengancam pria itu hingga dia ketakutan. Pria tua itu kembali mengacuhkan kami, tapi sesekali masih kudengar gumaman dari mulutnya.

“Iya, maksudku banyak perempuan lain yang menerima kutukan sama seperti dirinya. Diusir dan melahirkan anak-anak serigala.”

“Kenapa bisa seperti itu?”

“Karena benih yang ditanamkan serdadu-serdadu Nazi itu adalah benih-benih iblis. Dan perempuan yang menerima benih itu—apa pun alasannya—pasti akan menerima kutukan yang serupa.”

Aku mengangkat tangan dan mengisyaratkan pada pria tua penjaga bar untuk menambahkan vodka ke dalam gelasku. Pria tua itu mengangguk, dengan cekatan ia menuang cairan beraroma menyengat itu ke dalam gelas. Ia mendengus saat melirik Vasilly, melihat itu, aku tersenyum geli. Vasilly sendiri tak memedulikan keberadaan pria tua itu.

“Maksudku begini, bagaimana bisa serdadu Nazi menanamkan benihnya pada perempuan Soviet pada masa genting seperti itu?”

“Kau kritis sekali, tapi kau terlalu lugu untuk menguak fakta-fakta sejarah yang tidak sempat tertulis.” Vasilly menyeringai, di sela-sela giginya yang kuning, terselip beberapa pecahan daun tembakau.

“Aku tidak mengerti,” ucapku jujur. Aku sungguh tertarik mendengar kisah itu, tapi Vasilly menjadikan rasa ketertarikanku menjadi sebuah “siksaan” yang mengasyikkan. Rasa penasaranku ditarik-ulur olehnya. Itu membuatku mulai jengkel dan merasa sedang dipermainkan.

“Dulu...” katanya melanjutkan ceritanya lagi, “banyak perempuan Soviet yang menjadi budak seks serdadu Nazi.”

Aku mengangguk-angguk. Sejarah yang dicelotehkan lelaki itu tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Aku mulai merasa lelaki bertubuh tambun yang menguarkan aroma bawang ini cuma terobsesi dengan kisah-kisah hantu picisan.
“Seperti lazimnya negeri-negeri yang disinggahi bala tentara iblis, negeri kami juga pernah merasakan masa-masa suram itu,” lanjutnya sambil menghembuskan gumpalan asap rokok tepat ke wajahku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang perih terkena hembusan asap rokoknya. Kutegakkan posisi dudukku dan menjauh. Bukan cuma itu, sebenarnya cerita lelaki ini mulai menjurus pada kegilaan terstruktur dalam lisannya sendiri. Aku pesimistis ceritanya mengandung kebenaran.
Dia—kurasa—lelaki yang memiliki ketidaknormalan dan terobsesi kompulsif pada teori-teori konspirasi atau kisah-kisah menyeramkan tentang Nazi. Aku menduga pemikiran Vasilly sudah terjangkiti semacam paham kebencian pada mitos ras yang sempat didengung-dengungkan Jerman pada periode Perang Dunia II. Kebencian itu termanifestasikan dalam bualan kosongnya tentang anak-anak serigala—yang di telingaku tak ubahnya semacam caci-maki paling konyol yang pernah kudengar.

Aku mereguk vodka di dalam gelas yang isinya tinggal setengah. “Mengapa kau mengira jika serdadu-serdadu itu bala tentara Iblis?” tanyaku mengerutkan alis.

Vasilly terkekeh memamerkan deretan gigi-gigi keroposnya, “Kenyataannya memang seperti itu. Kau tahu? Hanya serdadu-serdadu iblis yang bisa melakukan kejahatan dan berambisi menguasai umat manusia dalam satu kekuasaan.”

“Aku tidak mengerti...”

Lelaki itu mendekat dan berbisik, “Dari kakekku pula aku tahu jika Hitler itu jelmaan Lucifer,” katanya mengangguk meyakinkanku.

Aku mendengus, “Kurasa ceritamu sudah melantur jauh dari kisah Desina Kruizseva. Sebaiknya kita kembali ke cerita tentang perempuan itu saja,” ucapku mengingatkannya.

Vasilly mengangkat dua tangannya seperti lagak orang yang menyerah, “Oke, oke...” katanya mengalah.

“Nah lanjutkan, mulailah dengan kisah tentang Major Rudolf, mengapa ia memilih Desina Kruizseva?” tanyaku sembari meraih gelas vodkaku dan mereguk isinya hingga tandas.

“Ah, itu memang sudah menjadi agenda terselubung, Bram.”

“Oh ya?”

“Iya! Aku bisa menjamin itu!” katanya menepuk meja. Matanya menyorot yakin. “Nazi mencetak serdadu-serdadunya dengan menanamkan benih iblis dalam kantong-kantong sperma mereka, untuk nanti dibuahkan pada perempuan yang negerinya menjadi target penaklukan. Desina adalah perempuan kuat dan pemberani, ia adalah perempuan yang tepat untuk program itu.”

“Wow!” seruku terkagum-kagum. “Maksudmu itu semua adalah konspirasi?”

“Tepat sekali!” jawabnya tertawa. “Kelak benih-benih itu akan lahir di negeri-negeri taklukan dan menjadi bala tentara iblis yang dikoordinasikan untuk tujuan Nazi di masa datang.”

“Tujuan apa?”

“Tujuan menguasai seluruh dunia.” Vassily tersenyum puas melihat ketakberdayaanku.
“Luar biasa,” sahutku menggeleng kagum. Sebenarnya aku kagum pada kepiawaiannya mendeskripsikan cerita sampah yang sarat omong kosong itu. Aku ingin terbahak, tapi takut ia tersinggung.

Hening sejenak, Vasilly tampak melamun. “Aku tahu kau tidak percaya pada ceritaku ini, Bramantyo,” ucapnya mengagetkanku.

“Oh tentu saja aku percaya, Kawan,” tangkisku cepat-cepat. “Tadi kau bilang mendapat cerita ini dari kakekmu, bukan?”

Vasilly mengangguk, kali ini wajahnya berubah datar. Bahkan sangat datar. Suhu di dalam ruangan bar yang tak seberapa luas itu mendadak menjadi lebih dingin. Aku menatap matanya, hatiku berdenyar.

“Lalu dari mana kakekmu bisa mendapatkan cerita menakutkan itu? Eng ... maksudku bagaimana cerita itu bisa sampai pada kakekmu dan sampai pula padamu?”

Vasilly menyeringai. Dia menatap mataku lekat-lekat dan bola matanya yang biru keruh itu menyala. Dengan nada suara penuh penekanan dan terdengar mistis, dia berkata, “Kakekku adalah Major Rudolf Sauerbrei dan nenekku adalah Desina Kruizseva.”

Vasilly menggeram, suaranya—entah kenapa—kudengar sangat mirip geram serigala dan aku terdiam dalam cekaman rasa takut yang sulit kuilustrasikan. n

Catatan:
Eta lozh! : Itu bohong!
Zatknyis! Ya cibya nakazhu! : Diamlah! Kupukul kau nanti!


Lampung Post
, Minggu, 5 April 2015