Sunday, August 5, 2012

Satu Senja dan Hujan yang Pecah

Cerpen Yetti A.KA

DARI kemarin hujan turun lebat. Ah, tidak. Sejak berbulan-bulan lalu hujan sering turun di pagi, siang, juga malam hari. Itu yang paling mendekati kebenaran, kata Bi Tah, pembantu rumah ini, seorang janda lima puluh tahun yang senang menemaniku di meja makan sambil bercerita macam-macam. Dari dua puluh empat jam waktu dalam sehari, setengahnya milik hujan, ujarnya lagi bernada serius. Aku maklum. Ia sedang kesal karena rumput gajah di halaman cepat sekali tinggi dalam cuaca yang selalu lembab begini dan itu membuat ia mesti memanggil tukang potong rumput dua kali dalam sebulan.

Kedatanganku ke rumah ini atas tawaran seorang sahabat yang kebetulan bepergian ke Brighton untuk melanjutkan studi doktoral, dan ia ‘memberikan’ rumah mungil bercat purple kesayangannya untuk beberapa waktu. Kau bisa menulis novel dengan tenang di rumah, bujuk temanku itu sebulan sebelum keberangkatannya. Tidak akan ada yang mengganggumu. Kau bahkan bisa mengurung diri di kamar, berminggu-minggu, tanpa harus merasa cemas dianggap asosial.

Sekarang aku paham. Sejak kemarin, aku tak menemukan satu orang pun yang sengaja keluar rumah untuk sekadar menyapa tetangga. Oh, bukan. Bukan. Sudah sejak lima tahun lalu, saat pertama kali perumahan orang-orang kaya ini dibangun, lalu dihuni satu demi satu, mereka tak pernah saling berkenalan. Mereka orang sibuk. Berangkat pagi, pulang sore atau malam. Tidak ada waktu untuk hal-hal di luar itu, sanggah Bi Tah.

Aku menghabiskan sisa teh melati di cangkir, memandang Bi Tah sekilas, tersenyum canggung.

***

DI kamar lantai dua, aku banyak membaca buku, selain tentu saja menulis. Benar kata Bi Tah, kota ini selalu diguyur hujan, berhari-hari, yang membuatku lebih sering menutup jendela kamar rapat-rapat. Dan setelah dua minggu di sini, aku belum keluar rumah sama sekali. Semua sudah diurus Bi Tah. Kalau ada kebutuhan lain, aku tinggal bilang Bi Tah dan ia dengan senang membantu.

Hanya saja, ada yang terlupa oleh Bi Tah saat bercerita padaku di meja makan. Bisa jadi ini tidak terlalu penting, selain, mungkin saja, Bi Tah memang tidak tahu-menahu soal itu. Namun, bagiku ini rasanya seperti menonton pentas tari atau teater atau melihat pameran lukisan yang luar biasa. Aku terdiam lama. Lama sekali. Bibirku sedikit kugigit untuk memastikan kalau semua yang kulihat itu bukan halusinasi. Hari ini memang pertama kalinya aku membiarkan jendela terbuka sampai senja. Tanpa disangka aku menemukan karya yang indah di balik butiran hujan. Dan aku telah terhisap di dalamnya. Mirip sobekan kertas yang tak sengaja tersedot penghisap debu.

***

PAGI-PAGI Bi Tah sudah mengetuk pintu kamar. Aku membuka pintu dengan malas. Kenapa tidak turun untuk sarapan? tanya Bi Tah. Aku bilang semalaman nyaris tidak tidur dan masih mengantuk. "Kau terlalu banyak baca buku," Bi Tah berkomentar. Aku dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Bi Tah. Ia pasti mengira betapa tololnya seorang gadis usia tiga puluhan tahun yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku dan mengabaikan kesempatan bertemu seseorang yang siapa tahu bisa menjadi pacar atau bahkan melaju pada tingkat yang lebih serius. Sebenarnya aku ingin bilang pada Bi Tah: “Sekarang ini banyak gadis merasa nyaman dengan usia di atas tiga puluh, malah ada yang malas menikah seumur hidup. Ah, aku tidak tega melihat mata Bi Tah terbelalak, kebingungan.

Bi Tah meletakkan nampan berisi secangkir teh melati dan sepiring kecil singkong goreng yang sengaja kupesan—mengingat menu itu cocok sekali untuk mengusir rasa dingin—di atas meja Oshin yang hampir sesak oleh buku-buku, majalah, koran, laptop, juga kertas yang kucoret-coret dengan tinta berwarna-warni. Saat makan siang kau harus turun, ujar Bi Tah sambil berlalu. Itu seakan perintah yang mesti aku turuti dari seorang ibu. Aku tersenyum, memandangi punggung Bi Tah yang kubayangkan betapa hangat jika aku menempelkan tubuh di sana. Aku tahu ia mulai kesepian. Bisa jadi Bi Tah pelan-pelan terbiasa dengan kehadiranku di meja makan yang akhirnya membuat ia tidak tahan jika aku absen sekali saja.  Atau ia punya cerita baru yang mesti kudengar untuk melengkapi cerita-cerita darinya sebelum ini.

Kemarin Bi Tah sudah bercerita soal arisan para pembantu yang mereka lakukan sebulan sekali, juga mengikutsertakan tukang sayur dan tukang potong rumput yang biasa datang ke kompleks. Setengah menyesal Bi Tah menyayangkan para majikan, terutama kaum ibu-ibu, tidak melakukan hal yang sama; berusaha menghidupkan suasana kompleks dengan mengadakan acara kumpul-kumpul juga, semisal arisan, senam bersama satu hari dalam seminggu, pengajian atau yang paling sederhana ngobrol di pinggir jalan depan rumah pada sore hari di saat cuaca bagus.

"Apa orang yang kerja kantor itu benar-benar sibuk?" tanya Bi Tah bersungut.

Aku tidak menjawab, tapi mengangguk-angguk sembari menahan tawa. Aku ingat sahabatku, pemilik rumah ini, yang mungkin saja sedang disindir Bi Tah. Kukira, jika saja aku salah seorang pemilik rumah di kompleks ini, walaupun aku tidak kerja di kantor, aku akan sama saja dengan sahabatku itu atau orang-orang yang tinggal di sini. Kami sedang ingin melaju, itu alasannya. Kami mesti menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk, berkejar-kejaran dengan waktu. Waktu tidak pernah menunggu orang yang lambat, Bi Tah, kataku dalam hati.

"Apa menurutmu kami tidak kalah sibuk dari mereka?" Bi Tah merasa belum puas. Dalam kalimat Bi Tah itu aku seolah mendengar suara lain: Sama saja, kami juga sedang ingin melaju, tapi kami masih bisa menyempatkan diri agar tetap menjadi manusia.

Aku nyaris menumpahkan teh di dalam cangkir ketika itu. Mendadak bayangan orang-orang serupa patung kayu berseliweran di depan mataku. Pagi-pagi, sepasang anak berpakaian seragam sekolah dengan cepat melompat ke dalam mobil, membuatku tidak benar-benar tahu jenis seragam sekolah tingkat apa yang mereka kenakan, apalagi pandanganku juga dihalangi hujan. Begitu juga ayah dan ibu mereka, dengan ketergesaan yang sama menutup pintu mobil. Mereka pun segera menghilang dari halaman rumah itu, untuk seharian. Tanpa meninggalkan bekas yang bisa diingat, kecuali betapa mereka benar-benar tergesa, sehingga sama sekali tidak ada satu alasan saja yang membuat orang berpikir kalau mereka keluarga yang hangat.

Hampir semua penghuni perumahan ini sama saja. Aku tidak pernah melihat mereka tersenyum satu sama lain saat secara kebetulan mereka keluar dari pintu rumah. Kalau saja aku bisa melihat tubuh kaku mereka dari dekat, aku pasti dapat mengenali serat-serat halus serupa serat kayu di wajah, kulit tangan atau kaki mereka yang membuat mereka benar-benar mirip dengan patung kayu koleksi kakekku. Bagaimana bisa orang hidup sedingin itu? Demikian yang dirisaukan Bi Tah. Dan entah karena terbawa suasana hati Bi Tah, aku ikut-ikutan gelisah pagi itu.

"Tapi tenang saja. Jangan khawatir. Keadaan di sini tidak seburuk yang kaulihat. Seperti kataku, kami—para pembantu di sini—selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu di tengah kesibukan kami mengurus rumah." Bi Tah sudah tersenyum meskipun aku tahu hatinya belum lega. Sampai kapan pun, menurut perhitunganku, Bi Tah tidak akan pernah lega lagi karena kehidupan sudah melemparkannya ke tempat dan waktu sudah berbeda dari yang ia pikirkan mengenai seharusnya orang-orang yang hidup berdampingan.

Tentang para pembantu yang dimaksudkan Bi Tah itu, tentu aku sudah mengetahuinya sejak hari pertama kedatanganku. Setelah majikan berangkat kerja, anak-anak pergi sekolah dan hujan perlahan berhenti turun, mereka akan berkumpul ramai-ramai mengelilingi gerobak tukang sayur. Tidak jarang kikik mereka terdengar olehku yang duduk di ruang tengah, yang diam-diam memerhatikan semua situasi di lingkungan baru ini. Aku seorang novelis, terbiasa ‘membaca’ apa-apa yang ada di sekelilingku, itu yang tidak Bi Tah tahu. Seandainya pun kukatakan, ia tidak akan sepenuhnya mengerti pekerjaan macam apa itu. Yang Bi Tah tahu aku teman baik majikannya yang akan tinggal di sini selama temanku itu pergi ke luar negeri. Atau paling tidak sampai aku merasa harus pergi lagi.

Tapi, sekali lagi, ada yang terlewat dari perhatianku selama ini. Sebab itu, sungguh, aku tidak sabar menunggu senja datang, sembari berharap hujan terus turun. Aku ingin kembali merasakan bagai duduk di bangku penonton atau berdiri di hadapan lukisan yang besar, lalu aku terhisap ke dalamnya.

***

INILAH senja yang kutunggu itu. Hujan masih turun, cukup deras. Aku duduk menghadap jendela kaca yang kubiarkan terbuka dari pagi tadi. Dadaku cukup berdebar. Debar yang sama persis saat aku menunggu-nunggu cahaya lampu muncul di atas panggung, tanda pertunjukan siap dimulai.

Kemudian lampu itu pun menyala bersamaan dengan terbukanya jendela besar di lantai dua rumah seberang sana. Tiga orang anggota keluarga segera berdiri sejajar di depan jendela itu. Salah seorang dari mereka, seorang anak laki-laki, melongokkan kepala sedikit keluar dari kusen jendela, sementara dengan antusias tangannya berusaha menangkap butir-butir hujan seolah itu baru pertama dilakukannya. Aku mengusap mata. Aku bergumam tak jelas, berkali-kali.

Dengan cepat lampu-lampu lain ikut menyala. Aku kian berdebar. Sungguh. Ini sempurna sekali. Sekarang aku bisa melihat di kanan-kiri rumah, juga di barisan depan—barisan yang demikian panjang—semua jendela sudah terbuka, dan orang-orang dengan sukacita menikmati hujan. Mereka tertawa, sesekali tangan mereka saling melambai pada tetangga.  Juga ada yang saling bicara dengan orang di rumah sebelah, sedikit berteriak, mengingat suara hujan cukup keras. Wajah mereka, yang kutangkap samar-samar, memancarkan kegembiaraan dan kehangatan yang masih sedikit kuragukan bahwa semua ini nyata (sebab bukankah mereka itu patung kayu?). Ya. Orang-orang menikmati hujan dari jendela. Bukan tiga atau empat orang, melainkan puluhan atau mungkin saja ratusan. Semua ini bagai sebuah dunia dalam fiksi. Bagai tak benar-benar ada, tapi semuanya sedang terjadi tepat di depan mataku. Dan... oh! Sekarang orang-orang itu tidak saja duduk atau berdiri di dekat jendela seperti kulihat senja kemarin, melainkan satu demi satu keluar dari jendela itu seakan tubuh mereka seringan kapas. Mereka terus melangkah, saling menuju secara terburu. Setelah bertemu dengan cepat mereka menabrakkan diri satu sama lain (bayangkan saja adegan laron yang menabrak cahaya, begitulah cara mereka melakukannya). Tubuh-tubuh yang bertabrakan itu segera menjadi pecahan-pecahan hujan yang sangat tipis dan hilang perlahan—menyisakan malam yang makin hitam.

Aku tidak tahan. Cepat kuambil handphone. Kucari nomor sahabatku secara terburu.

"Hello, Tita...," sambut Mauri terdengar gembira.

"Senja ini aku sedang menghadap jendela, Mau, dan aku melihat...."

Mauri tertawa renyah. Tawa yang lama-lama membuatku merinding, ngeri. Membuatku tak kuasa berkata apa-apa lagi, bahkan saat kudengar ia mengatakan sesuatu, lalu memanggil namaku dua kali dengan nada seru.

Setengah berlari aku turun ke lantai bawah. Bi Tah kutemukan menonton televisi di ruang keluarga, tengah tertawa-tawa sendirian, tidak menoleh saat kupanggil berulang-ulang. Perasaanku makin tidak keruan. Dengan cepat aku menuju pintu utama yang terbuka, dan—di halaman  rumah barisan depan—mataku segera membentur mata merah senja—mata para pembantu yang menatap amat licik.

Tidak menunggu lama, tubuhku sudah menjadi patung kayu. n

Sumatera, 11-12


Lampung Post, Minggu, 5 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment