Sunday, May 27, 2012

Khidmat

Cerpen Budi Saputra


MEREKALAH yang tunduk kepada para pendakwah yang berhati baik. Yang ijtihad, bersungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu yang membelit. Tiap hembusan napas, setan dan bala tentaranya memukul tabuh genderang perang kepada lawan abadinya sejak berada di tempat yang sangat-sangat jauh sebelum masehi. Sebelum adanya Habil dan Qabil, para nabi, kaum Tsamud, kaum Luth, bangsa Romawi dan Persia, bahkan para hobbit Flores yang dikemukakan oleh para ilmuwan. Dan merekalah, yang begitu tunduk pada makhluk yang sempurna dan utama yang diciptakan dari air mani yang busuk, dan berkesudahan kembali menjadi yang berbau busuk: bangkai dalam kubur.

Merekalah, yang dimaksud oleh Syekh Hasan pada para muridnya, adalah makhluk-makhluk yang senantiasa berzikir pada Tuhannya. Seperti halnya sayap burung yang mengepak di udara tanpa ada penghalang, sayap itu juga senantiasa berzikir mulai dari kobar matahari timur hingga terbenam di ufuk barat. Begitu jernih, begitu tampak nyala kesungguh-sungguhan  dari Syekh Hasan saat menyampaikan ceramah pencerah pada para muridnya. Dengan sorban putih, gamis putih, dan janggut putih, Syekh Hasan tampak berwibawa dan rendah hati. Hidup dengan kesederhanaan bercermin pada orang-orang terdahulu. Orang-orang suci yang senantiasa menghidupkan malam dengan penuh khusyuk pada Tuhannya.

Ilmu yang dikuasai Syekh Hasan adalah imu-ilmu yang baik. Baik sanad dan baik tujuannya. Syekh Hasan banyak menguasai kitab-kitab hadist dan kitab kuning. Pun butir-butir hikmah yang berisikan kisah-kisah pendakwah, begitu jernih, begitu tampak nyala kesungguh-sungguhan pada mata Syekh Hasan.

Butir-butir hikmah itu, memang, selalu ada rasa takjub tercipta. Antara percaya dan tak percaya. Bahwa dalam kisah-kisah tak sembarangan itu, memang ada keistimewaan di dalamnya. Apakah pada jin, iblis, ataupun pada hewan-hewan masuk surga? Ya, sungguh tak bisa mengatakan bahwa tak ada sangkut pautnya dengan mereka. Merekalah, atau pada mereka yang lain yang tak punya akal dan nafsu seperti manusia. Hanya sebagai makhluk Tuhan yang berkhidmat kepada manusia dan kepada para pendakwah yang berhati baik. Semacam karomah. Ya, karomah yang memang tak sembarangan orang yang mendapatkannya. Hanya orang-orang tertentu sebagai wali. Orang-orang yang bersih wajahnya, baik amalannya, dan selalu menjunjung surga dan neraka di kepalanya.

***

SUATU pagi di Amazon, dua orang pendakwah tampak mandi dan mencuci di sungai yang banyak ditumbuhi ikan-ikan pemakan daging. Mereka itu adalah pendakwah dari negeri jauh yang datang melihat para saudara mereka. Membawa bekal secukupnya, melihat dunia dengan sangat hati-hati. Sangat hati-hati dan tak panjang angan-angan. Sementara di jidatnya, tanda pengabdian itu, sangat jelas terlihat.

"Hah, kenapa mereka tak dimakan oleh ikan?" Dalam bahasa mereka, orang suku setempat seketika terheran melihat pendakwah yang mandi dan mencuci di sungai tulang itu. Sungai yang apabila ada burung yang jatuh dari pepohonan atau bangkai mamalia yang hanyut, maka seketika akan menjadi tulang. Daging-dagingnya ludes seketika di makan oleh piranha, hewan karnivora yang ganas di perairan Amazon.

Sungguh ajaib, pikir mereka. Tapi adalah bisa diterima oleh akal sehat. Amalan-amalan yang begitu ikhlas, membuat ikan-ikan buas itu khidmat kepada pendakwah itu. Sebagaimana halnya orang-orang yang berjalan di atas air saat berdakwah, tanah yang berubah menjadi burung, atau lahar panas yang diusir oleh seorang saleh dengan sorbannya pada zaman terdahulu. Sungguh kadang sulit dipercaya. Tapi begitulah keistimewaan yang didapat para pendakwah yang berhati baik dan menunaikan adab. Keistimewaan yang salah satunya pernah didapat Nabi Sulaiman yang menguasai bala tentaranya dari bangsa jin, manusia, angin, dan juga binatang. Atau pada keistimewaan dari seorang khalifah. Sungai Nil yang pernah suatu ketika tak mengalir, akhirnya kembali mengalir hanya dengan selembar surat yang membuat Sungai Nil taat dan patuh.

Sungguh ajaib. Pemandangan  yang mereka lihat itu, membuat mereka terpikat.

"Tuan, kami bersedia mengikuti amalan-amalan Tuan." Dalam bahasa mereka, orang suku setempat menyatakan ketertarikan dengan ajaran pendakwah itu. Dengan mendengar kebesaran-kebesaran Tuhan di bumi dan di langit, mereka begitu takjub dibuatnya.

"Kami amat bersyukur sekali. Semoga saudara sekalian selamat sampai tujuan sesungguhnya."

Maka, pendakwah itu dengan rasa syukur atas usahanya berbincang banyak hal dengan orang suku setempat. Berbaur dengan kerendahan hati. Selain bercerita tentang perjalanan dari negeri jauh dan tujuannya di daerah orang suku setempat (tujuan yang mulia di muka bumi yang fana, seperti orang-orang terdahulu yang begitu gigih meski harus korban harta benda, terluka, hingga mati sebagai pendakwah), tentu yang utama sekali mengajari mereka cara berpegang teguh kepada kebenaran. Membekali mereka dengan ilmu-ilmu yang baik sebagai bekal yang amat panjang.

Di suatu kesempatan, pendakwah itu juga bercerita tentang negeri jauh yang lain. Di sebuah celah bumi, di sebuah desa kecil di Jepang, pendakwah ini bertemu dengan seorang penduduk setempat. Awalnya, pendakwah ini tak heran saat dibawa menuju ke sebuah lahan. Namun, saat melihat dereta kuburan, maka bertanyalah mereka.

"Kenapa Tuan membawa kami ke sini?" Pendakwah ini heran saat dibawa ke kuburan. "Ini bukankah kuburan, Tuan. Orang-orang yang telah mati dan tak bisa diajak bicara lagi?"

"Tuan betul. Tapi begitulah, Tuan. Di sini ayah saya, ibu saya, dan saudara-saudara saya dikuburkan. Mereka mati sebelum Tuan datang. Tuan memang terlambat datang terlambat ke sini. Saat negara saya terus-menerus mengirim benda-benda teknologi ke negeri Tuan, seharusnya Tuan juga datang ke sini. Melihat saudara-saudara Tuan yang sama bumi dan sama langit ini. Tapi Tuan, meskipun begitu, saya sangat bersyukur sekali. Datang dari negeri jauh? Oh, sungguh tak terpikirkan oleh saya, Tuan. Jalan yang aneh. Jalan yang tentu sangat mulia bagi Tuan."

Ya, begitulah para pendakwah dengan mereka. Mereka dalam artian lain merupakan makhluk-makhluk yang memang diciptakan untuk khidmat pada manusia. Di muka bumi, bukankah manusia diciptakan untuk menjadi khalifah? Dulunya, gunung-gunung tak sanggup menerima amanah yang Tuhan ajukan pada mereka.

***

SYEKH Hasan, dengan cara sedemikian halus itu, mengajari para muridnya dengan butir-butir hikmah. Sehingga ceramah pencerah yang disampaikan memang menghujam dalam ke dalam dada para muridnya. Ceramah pencerah yang didengar dengan baik-baik. Tak ada saling berbisik, tak ada yang tidur-tiduran, ataupun memasang wajah seperti meremehkan. Semua begitu hormat mendengarkan sambil memandang wajah Syekh Hasan dengan penuh keseriusan. Karena begitulah adab. Adab yang apabila tak ditunaikan, maka ilmu pun hanya masuk dari telinga kiri dan keluar di telinga kanan. Berkah tak didapat, dan seolah tersisih dan berada di luar bongkahan cahaya terang benderang, yang terhubung dengan langit jauh yang paling jauh.

Dan selalu saja. Selalu saja butir-butir hikmah yang disampaikan Syekh Hasan membuat para muridnya mengucapkan kalimat-kalimat langit yang suci lagi mulia. Ada rasa takjub. Yang membuat hati mereka tertanam semangat yang melimpah-limpah hingga begitu membara. Begitu membara memerangi diri sendiri, hawa nafsu, dan musuh terkutuk sepanjang abad manusia.

Setiap Syekh Hasan memberikan ceramah pencerah pada para muridnya, maka tentang kisah-kisah karomah dan kisah lain yang seakan tak masuk akal memang kerap menjadi sebuah pemantik iman. Sebagaimana Syekh Hasan menceritakan tantang sebuah negeri yang diberkahi. Di negeri itu, penduduknya hanya sekali seminggu melaut. Tapi, meskipun hanya sehari melaut, hasil yang didapat bisa tahan selama seminggu. Konon, ikan-ikan di sana sangat patuh dan mendekat begitu saja untuk ditangkap karena kekuatan amalan-amalan yang ikhlas penduduk sana.

Memang, selain rasa takjub, terkadang kisah-kisah karomah dan kisah lain yang seakan tak masuk akal itu, membuat para murid Syekh Hasan ingin juga merasakan dan menyaksikan secara langsung bagaimana kisah itu terjadi. Sungguh mulianya manusia, pikir mereka. Derajat manusia yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lain yang diciptakan. Betapa di majelis itu. Di majelis yang selalu tumpah ruah dihadiri. Selalu kata-kata itu diucapkan berulang-ulang oleh Syekh Hasan. "Bicarakanlah kebesaran Allah. Bicarakanlah keagungan Allah. Karena itu akan membuat iman kalian menjadi naik."

Padang, 2012


Lampung Post, Minggu, 27 Mei 2012

Sunday, May 20, 2012

Mbah Mar

Cerpen Yulizar Fadli


ANGIN kalem. Mata Mbah Mar melek-merem. Kambing-kambing gembalaannya juga tampak ayem mengunyah rumput gemuk yang tumbuh di Balai Pertanian—para penduduk menyebutnya balitan. Balitan milik pemerintah itu terbentang luas dan ditanami beragam ubi, bunga, sampai padi berkualitas tinggi. Yang terang, sekeliling kawasan itu dipagari kawat berduri.

Dulu, hanya Mbah Mar dan Mbah Kirut yang boleh menggembalakan hewan ternak di tempat itu, karena pasangan suami-istri ini memang dekat dengan pimpinan Balai Pertanian. Misalnya saja Mbah Kirut, setiap bulan ia tak pernah absen membersihkan parit rumah dan kebun pribadi milik sang pimpinan. Kalau ada orang lain yang nekat atau diam-diam menggembalakan hewan ternak di sana, maka Pak Wayan, pimpinan balitan, bertubuh tambun, berkepala botak, dan berjenggot tebal, tak akan segan-segan membawa senapan burung untuk mengusir mereka semua. Satu orang yang pernah sial terkena pelor burung Pak Wayan, ditembak dari jarak sepuluh meter dan mengena tepat di bagian kanan kakinya. Orang itu blingsatan. Ia lari terbirit-birit membawa sabit sambil mencangklongkan karung plastik berisi rumput ke bahunya yang tinggal tulang.

Sejak setahun setelah kepala negara baru didapuk di negeri ini, Pak Wayan meninggal akibat kecelakaan beruntun. Opel Blazer yang ia kendarai hancur tak keruan. Ada sekitar tiga atau empat kendaraan yang beruntun bertabrakan. Tak tahu pasti menelan berapa korban, yang terang, Pak Wayan meninggal di tempat kejadian. Sejak itulah, orang-orang jadi merasa bebas menggembalakan atau mencarikan rumput untuk hewan ternaknya di balitan.

“Udah enggak ada lagi yang bawa senapan burung sambil berteriak lantang,” ujar penggembala kepada penggembala lainnya.

Tapi hal itu berbeda buat Mbah Mar. Mbah kesayanganku itu merasa kehilangan bosnya. Mbah Mar yang paling kencang menangis saat orang-orang datang melayat di rumah duka. Mbah memelukku waktu menangis. Saat itu, aku iseng mengintip dari celah ketiak Mbah, kulihat Bu Wayan dan Mas Agung menangis sewajarnya. Tak berlebihan seperti Mbah Mar. Ibuku juga biasa saja, menghapus air matanya dengan ujung kerudung tanpa suara. Padahal kalau dipikir-pikir, ibulah yang setiap hari tinggal di rumah itu. Sebab Ibu adalah seorang pembantu. Mbah Mar dipanggil hanya jika Pak Wayan atau istrinya minta dipijat atau dikerik.

Mbah adalah dukun pijat paling andal dan terkenal di kampungku. Ada yang menjulukinya dukun serbabisa. Malah Mbah pernah dipanggil sebagai pawang hujan waktu ada hajatan pernikahan. Mbah andal menyembuhkan kaki orang yang keseleo, tapi Mbah tak berdaya menghilangkan nyeri di kaki kiriku yang pincang ini. Tapi, walaupun begitu, aku tetap dibawa ke mana pun Mbah pergi. Meskipun jalanku lambat, Mbah tak pernah marah. Ia tetap menuntunku ke tempat orang yang minta diobati. Mbah lebih senang mendatangi daripada didatangi pasiennya.

Mengenai upah, Mbah tak pernah mematok harga. Ia terima berapa pun jumlahnya. Kalau tidak memberi uang, biasanya mereka memberi barang. Beras dan gula yang paling sering Mbah terima. Dulu, orang juga sering memberi sebungkus rokok kretek semasa Mbah Kirut hidup. Tapi sejak suami tercintanya itu meninggal karena penyakit asma, tak ada lagi sebungkus rokok yang Mbah Mar terima.

***

"REJEKI itu sudah ditaker, jadi enggak mungkin ketuker. Gusti Allah Mahaadil, Tin. Walaupun Mbah Kirut sudah meninggal, tapi buktinya Mbah tetap tegar. Ibumu juga begitu. Bu Wayan kan sudah pindah ke Yogya. Pimpinan pertanian juga sudah diganti. Mau tidak mau ibumu harus cari usaha sendiri," Mbah berkata panjang lebar sambil menghapus air mata di pipiku. Aku mendongak dan melihat wajah Mbah yang sudah keriput. Mbah tersenyum dengan bibirnya yang sumbing.

Aku tak boleh minder. Tak boleh marah dan tersinggung. Itu semua garisan takdir, Mbah menasihatiku waktu anak Pak Bawir mengejekku habis-habisan.

Aku memang cacat dari lahir. Aku tak mau sekolah lantaran teman-teman sekolah selalu menghinaku. Itu yang membuat sekolahku hanya bertahan sampai kelas III. Padahal sebenarnya aku ingin sekolah sampai tinggi seperti Mas Kandar. Dia sekolah di jurusan psikologi. Malah sudah sampai tingkat S-2. Aku dengar cerita itu dari Bapak Mas Kandar sendiri. Ia bercerita waktu dipijat oleh Mbah Mar. Pendengaranku masih baik, meskipun mulutku tak bisa bicara.

Aku tak tahu kenapa aku bisu. Dulu, waktu aku masih dalam perut ibu, kata Mbah Mar, ibuku pernah memukul ular sampai mati. Ibu kena tulah. Kena karma. Mana boleh perempuan hamil tua membunuh seekor ular!

Kupercayai mitos itu. Mitos yang menjadi sedemikian hidup di kepalaku. Aku jadi sangat percaya bahwa kecacatanku ini memang karena ulah ibu. Tapi, walaupun begitu, sedikit pun aku tak pernah membencinya.

Ibu juga mengajariku menembang Jawa, meski sebetulnya ia tahu aku tak bisa bicara. Kudengar suara ibu sangat merdu. Ia selalu menembangkan lagu Lingsir Wengi menjelang aku tidur. Aku mengangguk-angguk saja saat ibu mengajariku menembang—anggukan yang sama saat Mbak Manise mengajariku mengaji.

Ibu juga berkisah, sebelum menikah dulu, ia bergabung dengan salah satu kelompok campur sari bernama Ojo Dumeh. Di situlah ibu bertemu dan jatuh cinta dengan bapak. Bapak adalah pimpinan dalam kelompok itu. Ia yang mengajari ibu menembang. Katanya, suara bapak lebih merdu ketimbang ibu.

Kelompok mereka terkenal di seluruh kampung dan sering diundang kalau ada hajatan. Tapi sejak ada kelompok orkes baru di kampung itu, campur sari jadi terpinggir. Campur sari dilupakan. Mereka kehilangan periuk rezeki. Tapi untunglah, kata ibu, ia diminta jadi pembantu di rumah Bu Wayan—dan itu juga berkat Mbah Mar yang waktu itu diminta untuk mengeriknya.

Itulah sebabnya, kata Ibu, sejak usiaku tiga tahun, bapak memutuskan merantau ke tanah Jawa. Bapak tak pernah pulang. Tapi ibu terlihat sabar menunggu bapak pulang. Mungkin juga tidak, sama seperti aku yang merasa bahagia meskipun sebenarnya juga tidak. Bahagia tak bahagia tetap wajib berterima kasih pada yang memberi hidup, pesan ibu setiap ia selesai menembang.

Mbah sudah sering melarang ibu menyanyikan lagu itu. Katanya, kalau dinyanyikan di malam hari, lagu itu bisa mengundang hantu perempuan. Mbah menyebutnya kuntilanak. Tapi mitos itu seperti tak penting buat ibu. Tetap saja ia menembangkannya untukku tiap malam.

Aku tak tahu isi lagu itu. Ibu juga tak pernah bercerita tentang riwayatnya. Padahal aku ingin sekali melontarkan pertanyaan untuk sekadar tahu apa artinya. Tapi sayang, pertanyaanku itu tak dapat kulontarkan.

Ibu berhenti menembang saat usiaku 14 tahun. Tepat saat Bu Wayan kehilangan suaminya tercinta, bertepatan juga saat ibu harus kehilangan pekerjaannya. Karena pimpinan Balai Pertanian yang baru pasti mencari pembantu yang juga baru. Ibu harus mencari ranting rezeki lain. Gaji bulanan yang ia kumpulkan dari Bu Wayan menjadi modal berjualan di pasar. Dari jual tembakau, kue, sampai akhirnya menjual sayuran.

Masih di usia 14, saat kampungku sudah tak ramai membicangkan pemimpin baru di negeri ini, saat itu pulalah bapakku pulang dari Jawa. Aku lupa wajah bapakku. Aku baru tahu kalau ia bapakku setelah diberitahu oleh Mbah Mar dan ibuku. Aku kaku saat Bapak memelukku.

Bapak berperawakan kurus-tinggi. Pantas saja aku juga kurus seperti itu, pikirku dalam hati. Aku juga berpikir sekaligus ingin tahu, apa sebetulnya pekerjaan bapakku. Tapi sayang, aku tak sempat mendengar percakapan tentang pekerjaannya.

Oh ya, kata ibu, bapak yang memberiku nama Suprihatin. Tak tahu juga kenapa aku diberi nama itu. Kalau kata Mbah Mar, agar aku ini jadi perempuan yang penuh rasa prihatin, wajar, pandai bersyukur, dan tidak berlebihan dalam menjalani hidup. Ada-ada saja jawaban Mbah Mar.

Mbah Mar sendiri tidak memanggilku Suprihatin. Ia memanggilku, Gotin. Tak perlu kutanya kenapa. Karena aku suka dipanggil begitu.

Bapak tak lama tinggal di rumah. Mungkin hanya sepuluh hari. Setelah itu ia pamit pergi ke Jawa lagi. Aku sempat mendengar Bapak berjanji pada Ibu bahwa ia akan segera kembali. Bapak juga berpamitan padaku sambil menyentuh daguku setelah sebelumnya berpamitan dan mencium tangan Mbah Mar.      

***

RUMAH berfondasi bata merah kini hanya ditinggali tiga penghuni. Aku, Mas Nalis, dan Mbah Mar. Ibuku meninggal pertengahan April lalu. Aku dan Mbah menemukannya tergeletak di atas amben. Mulutnya berbuih. Kata Mbah Mar, ia minum racun serangga. Bapak tak pernah tahu kalau ibu sudah meninggal. Sama halnya aku, tak pernah tahu apa gerangan nasib bapakku, sebab ia tak sekalipun pulang setelah pamit pergi ke Jawa enam tahun lalu.

Aku tengah hamil tua. Usiaku 20 tahun sekarang. Aku membuka usaha menjahit setelah setahun sebelumnya mengikuti kursus di Penjahit Perintis. Di sanalah aku mendapat keahlian sekaligus bertemu dengan jodohku, Mas Nalis. Aku menikah di usia 19, dan Mas Nalis empat tahun lebih tua dariku. Meskipun pendengaranya tak berfungsi, ia adalah suami yang sabar dan penyayang. Kami dinikahkan di KUA. Tanpa pesta. Hanya ijab-kabul biasa. Aku bersyukur. Karena kehadiran Mas Nalis mengingatkanku pada ucapan Mbah Mar, rezeki sudah ditaker, jadi enggak mungkin ketuker.

***

SORE begini Mbah pasti sedang menggembalakan kambingnya di Balai Pertanian. Mas juga pasti belum akan pulang dari pasar, kataku dalam hati. Aku khawatir. Perutku mulai sakit. Ada yang menendang-nendang di dalam perut. Aku pergi ke dapur mengambil minum. Kupikir sakitnya berkurang kalau aku minum air.

Belum sempat sampai di dapur, aku melihat seekor ular di dekat pintu. Kontan saja aku takut. Aku melompat belakang. Berusaha menjerit, tapi tak bisa. Entah kenapa tiba-tiba aku mengambil sapu, kayu, atau apa saja yang ada di dekatku untuk memukul ular itu. Ular itu jadi melawan. Sebagian badannya tegak sempurna. Ia mencoba mematuk, aku menghindar. Aku memukul, ia menghindar. Akhirnya, dalam waktu yang tak lama, aku berhasil memukul kepalanya.

Setelah berkali-kali kupukuli, akhirnya ular itu mati. Kurasakan perutku semakin sakit. Aku tak kuat berjalan. Aku bersandar pada meja kayu di sebelahku, mencoba menarik napas panjang—kemudian duduk sambil memandangi ular yang sudah mati itu. Aku menunduk dan memohon pada Tuhan, agar mitos yang kupercaya itu tak menimpa bayi yang sedang kukandung ini.

Gunungterang, Mei 2012



Lampung Post, Minggu, 20 Mei 2012

Sunday, May 13, 2012

Tak Cukup Air Mata

Cerpen Benny Arnas dan Rachmat Budi M.



KESENDIRIANNYA di beranda telah membuat dadanya makin sesak. Perasaan tertekan dan gelisah berkecamuk. Disandarkannya tubuh ke punggung kursi, seolah berharap ketegangan di lehernya akan merenggang. Anak sulungnya lewat di hadapannya saat akan masuk rumah. Ia bertanya kepada gadis dua belas tahunan itu. Ya, ia bertanya, seolah bertanya dapat mengalihkan kegelisahannya.

"Kau bawa ke mana adik-adikmu, Num?"

"Ke rumah bude sebelah, Yah."

"Kau jaga mereka baik-baik. Jangan biarkan mereka ke mana-mana. Adikmu Nuke dibilangi, jangan merepotkan Budemu. O ya, mereka sudah makan?"

"Sudah, Ayah."

"Jangan sering-sering kau tinggal adik-adikmu."

"Nis minta diambilkan bonekanya, Yah."

"Mana Nel?"

"Masih sekolah, Yah."

Lalu ia terdiam. Numi sudah meranjak gadis rupanya hingga sigap sekali menjawab pertanyaannya. Ia kadang membenci dirinya sendiri yang tidak bisa hangat dan lembut kepada anak-anaknya, termasuk kepada Numi. Ia ingat sekali. Dulu, ketika baru lahir, kehadiran Numi bagai oasis di padang kehidupannya yang tandus. Sangat disayang, sangat dimanja, sangat dijaga, sangat diperhatikan. Namun lambat-laun semua berubah. Memudar, pias, bias, lalu nyaris amblas hanya menyisakan kebersamaan yang lempang.

Tentu saja bukan karena ia tidak menyukai keramaian di rumah. Ia sadar, istrinya tidak layak disalahkan. Disalahkan? Tidak ada yang salah, sebenarnya! Ia tahu kalau kehadiran Numi, Nely, Nisa, dan Nike, tentulah atas andilnya sebagai seorang suami. Ah, bodoh sekali memikirkan hal itu, pikirnya. Lalu. Ya, lalu ialah yang salah, kan? Sungguh, ia lelah berdebat dengan hati kecilnya. Ia selalu berkilah, bahwa memiliki anak laki-laki dan perempuan adalah perlambang keseimbangan; keseimbangan keluarga, juga kehidupan. Walau tak sekali-dua ia berpikir bahwa itu hanya dalih yang ia tak tahu dari mana berasal. Walau tak sekali-dua ia bertanya pada diri sendiri; mengapa ia tak mampu meredam keinginannya! Keinginan? O tidak, ini bukan keinginan. Ini tentang keberimbangan. Keberimbangan? Keberimbangan dari mana? Baiklah. Ia memang tak pernah berhasil mengalahkan nuraninya. Takkan pernah berhasil, sejatinya. Ini murni keinginanku! Puas?! Begitulah. Tidak salah, bukan? Hhhh... ia menghela napas seolah memberi tanda bahwa ia tak berniat melanjutkan pertikaian dengan hati kecilnya!

Numi masuk ke rumah setelah tidak ada lagi pertanyaan ayahnya yang harus ia jawab. Sesaat kemudian ia keluar lagi dengan membawa boneka beruang.

"Ayah mau ke klinik dulu. Kalau Nel pulang suruh dia saja menjaga adik-adiknya. Kau dapat mengurus rumah kan?"

Numi berhenti sebentar mengiyakan. Tak lupa ia mencium punggung tangan ayahnya. Sebelum pergi ke rumah bibinya, Numi masih sempat melempar tanya.

"Adik kami nanti laki-laki atau perempuan, Yah?"

Ia menoleh. "Laki-laki!"

***

DI klinik, ia kembali dengan kesendiriannya. Sendiri dengan kegelisahannya. Sendiri dalam penantiannya. Ia tiba-tiba merasa asing dengan tempat ini. Ah tidak, keempat anakku dilahirkan di sini, kok. Namun demikian, ia tak dapat menipu perasaannya yang seolah linglung dengan suasana sekitar. Klinik itu bagai dilalui alunan irama musik aneh yang datang dari tempat yang jauh. Ia merasa terpisah dari suasana kehidupannya sehari-hari: kegaduhan suara anak-anak bermain, tangis mereka yang berkelahi, teriakan ibu kepada anak-anak di dapur, dan segala macam suara berisik lainnya. Tiba-tiba ia merindukan suasana dalam rumah tangga, keluarga yang mempunyai anak sampai empat orang—o tidak, tapi empat orang putri—sepertinya. Ya, empat orang putri.

Aneh, bukan? Aneh? Benarkah?

Tiba-tiba ia memalingkan muka ke arah salah satu pintu kamar yang berjejer di klinik. Kamar itu masih juga tertutup rapat dan telinganya belum menangkap suara apa-apa dari sana. Kemudian ia meluruskan pandang seperti semula, melayangkannya jauh ke depan, ke tengah lapangan seberang klinik.

Seekor induk kambing dengan dua ekor anaknya yang masih kecil sedang mengulam di sana. Anak-anak kambing itu setiap sebentar melompat-lompat di atas kaki-kakinya yang mungil, dan suatu ketika tiba-tiba berlarian menyuruk ke bawah perut induknya, memagut susu induknya seperti berebutan sambil mengibas-ngibaskan ekor dengan nakal. Sang induk berdiri tenang membiarkan anak-anaknya mengelayuti kelenjar susunya.

Susu? Anak-anak? Anakku? Anakku?

Hhhh. Ia melenguh kesal. Ya, ia gagal lagi mengalihkan kegelisahannya.

Pikirannya masih ditawan oleh harapan dan kecemasan. Memang, menunggu istrinya melahirkan bukanlah hal baru baginya. Malahan penantian ini adalah kali kelima. Tapi arti setiap penantian itu tidak selalu sama baginya. Lebih-lebih setelah kelahiran anaknya yang ketiga. Ia harus menyambut bentuk kehadiran yang sama seperti yang dua kali sebelumnya: perempuan!

Ia meyakini, harapan dan kecemasan selalu muncul dengan kekuatan yang berimbang. Tapi sejak kelahiran anak perempuannya yang kedua—lalu diikuti yang ketiga dan keempat, harapan itu telah berkembang menjadi keinginan. Ia pun tak mengerti, bagaimana keinginan itu mengakar kuat sedemikian rupa hingga kehadiran seorang anak laki-laki dari kehidupannya seolah menjadi kemestian! Ya, mereka (dirinya, lebih tepatnya) menginginkan variasi yang memberi kelengkapan. Benarkah kehadiran anak laki-laki benar-benar melengkapi? Ia tidak pernah mengubur harapan. Bahkan sebaliknya, ia timbun harapan itu dengan iringan doa-doa yang berkubah dada.

***

IA merasa kali ini adalah haknya untuk merasakan kebenaran harapan itu!

Selama ini ia telah mendatangi banyak tabib, psikolog, hingga mendatangi dukun (walaupun ia tidak pernah memakai jasanya); ia telah menamatkan banyak buku kedokteran dan pengobatan tradisional; bahkan ia mempelajari kamasutra dari seorang temannya yang baru saja dikaruniai anak laki-laki setelah kelahiran yang kedelapan (Ia baru percaya kalau cara berhubungan memengaruhi keturunan)....

Kini, tibalah saatnya. Semua usaha akan berpusar pada hari ini. Hari kelahiran anak kelimanya! Ia hanya berserah kepada-Nya. Dan memang itu yang bisa dilakukan sesiapa dalam keadaan seperti ini. Kesendiriannya yang menggelisahkan itu diisinya dengan doa-doa permohonan dan penyerahan.

Lamat-lamat telinganya menangkap suara mengejan. Serta-merta ia melempar  pandang ke kamar yang tak jauh darinya. Istriku? Anakkku? Suara itu makin kerap dan keras. Sesekali seperti permulaan untuk mengerang. Ia membayangkan keadaan istrinya. Oh, ia pasti sedang meliuk-liuk dengan wajah meringis menahan sakit tak tertanggungkan.

Wajahnya makin tegang. Seketika segala doa dan harapannya hilang berganti dengan kecemasan. Semata-mata kecemasan. Ketika tiba-tiba kemudian ia menguasai dirinya kembali, ia segera memusatkan pikirannya dengan berdoa kembali bagi keselamatan istrinya. Ya, pikirannya kini lebih banyak tertuju kepada keselamatan istrinya. Rintihan-rintihan istrinya yang mencemaskan serta bayangannya pada keadaan istrinya yang kini sedang bertarung dengan rasa sakit, telah mengalihkan harapannya akan kelahiran yang sedang dinantikannya itu sendiri. Ingin rasanya ia menerobos pintu itu dan kemudian berbuat sesuatu yang ia tidak tahu apa, untuk meringankan penderitaan istrinya. Tapi itu tak ia lakukan, sama seperti ia tak ingin menganjurkan istrinya melakukan USG sejak bulan kelima kehamilannya.

Ia kemudian bangkit, mondar-mandir gelisah dengan gerakan-gerakan yang tak disadarinya. Ia melihat jam di tangan kirinya.

Sudah satu jam, pikirnya.

Kembali terdengar suara mengejan. Kini terdengar lebih keras. Lalu tiba-tiba melemah dan kemudian seperti sayup. Tiba-tiba ia mendengar suara itu. Tangis bayi! Seperti terlempar, ia membuat langkah panjang menuju pintu kamar. Tapi tangis itu segera lenyap ketika ia tiba di pintu. Dibukanya pelan-pelan pintu itu. Ia segera dapat melihat bidan sedang sibuk dengan bayi yang tergeletak di ranjang mungil, sedang seorang suster sibuk dengan istrinya yang tampaknya belum sadar. Ia segera melangkah bersijingkat ke dalam ruangan. Pandangannya melompat-lompat; berpindah-pindah dari bayi ke istrinya, dari istri ke bayinya.

Bidan  yang mengetahui kehadirannya, menghampirinya.

"Maaf Pak, kami sudah berusaha."

"Maksud, Bu Bidan?"

Bidan itu menunduk.

"Anak saya perempuan lagi?"

Bidan itu mendongak.

"Enggak papa, Bu. Asalkan anak dan istri saya selamat."

"Bukan, Pak." Bidan itu bersipandang dengan suster yang membantunya melakukan persalinan. "Bayi Bapak tidak dapat kami tolong. Maafkan kami, Pak. Ini di luar...."

Ia tidak dapat mendengar kelanjutan suara bidan itu lagi. Ia tiba-tiba jadi bingung dan tak tahu apa yang akan diperbuatnya. Kini ia merasa ruangan itu sedikit menjadi suram dan kebenderangan yang dirasakannya tadi mulai berkurang. Tangannya bergerak-gerak seperti ingin menyentuh bayi yang berada tak jauh dari istrinya. Ia berjalan pelan menuju ranjang bayi. Dipandangnya sang bayi dengan penuh saksama, lamat-lamat: dari rambut, mata, hidung, bibir, tangan, perut, pusar, dan ... oh, Tuhan.... Air matanya menetes begitu saja. Sungguh, ia tak ingin menangis tapi ia tak dapat mengendalikan dirinya. Ia tersedu-sedan.

Ia mundur pelan-pelan dan mendekati tempat istrinya berbaring. Ia melihat istrinya yang mulai siuman. Suster yang merawatnya istrinya beralih mengurus bayi. Ia duduk di tepi ranjang di samping istrinya, lalu membungkukkan badan mencium dahi istrinya. Ketika dia mengangkat mukanya kembali, pandangannya tertumbuk pada mata istrinya yang menanggung lelah yang sangat.

"Kau sudah lihat?" Suara istrinya bertanya lemah sekali.

Ia tersenyum. Matanya masih basah.

Istrinya menyeka air mata suaminya dengan gerakan tangan yang masih lemah. "Mas, kita punya anak laki-laki kok. Hanya saja sudah dipanggil Tuhan. Tapi kita tetap pernah punya kok, Mas." Istrinya mencoba tersenyum, tetapi suaranya yang serak tak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya yang mendalam. Istrinya pun tak mampu mencegah bulir-bulir hangat itu berebutan keluar dari kedua matanya yang redup.

Ia peluk istrinya. Mereka sama-sama menangis. Tiba-tiba ia merasa begitu bersalah. Kepada istrinya. Kepada anak-anaknya. Kepada dirinya.

Kepada Tuhan, tentu saja. n


Lampung Post, Minggu, 13 Mei 2012