Sunday, June 27, 2010

Nyonya Whittard dan Kanak-Kanak yang Hilang

Cerpen Rilda A. Oe. Taneko



SELAIN piknik di rerumputan taman, bersepeda, dan pergi ke pantai, ada satu hal lagi yang, bagiku, menyenangkan di setiap musim panas: menjemur pakaian di halaman.

Aku tinggal di sebuah rumah bata semi-detached yang dibangun tahun 1920. Rumahku dan rumah tetangga sebelah terlihat seperti sebuah wajah yang dibagi dua sisi dengan make-up yang berbeda -bingkai jendela rumah kami berwarna putih, milik tetangga berwarna cokelat dan begitu juga dengan pintu.

Penghuni sisi wajah yang lain adalah seorang Inggris tua bernama David. Ia berumur enam puluh tujuh, tinggal bersama anjingnya dan suka berkebun. Berwana-warni tulip tumbuh subur di tamannya musim semi lalu. Namun, seperti juga bunga-bunga musim semi yang lain-crocus, snowdrop, daffodil dan dandelion, tulip-tulip itu layu dan mulai berguguran di musim panas.

Hari ini setahun sudah aku pindah ke sisi rumah yang lain, tapi tak pernah satu kalipun aku melihat orang lain di rumah David. Tak pernah ada keluarga yang mengunjungi. Tak pernah pula aku berani menanyakan apakah ia berkeluarga atau apakah ia memiliki anak. Tentu saja aku selalu bertegur sapa dengannya jika bertemu, tentang cuaca ataupun penyakit tuanya. Hampir setiap belanja mingguan aku pun membelikannya sebungkus biskuit jahe yang kubeli di kota. David juga sering membantuku dengan urusan kebun. Namun, untuk bertanya urusan pribadi, tak ada beraniku untuk itu.

Pagi ini, tak seperti pagi-pagi yang lalu, musim panas benar-benar terasa, membolehkan aku menikmati kesempatan menjemur pakaian di halaman belakang rumah. Ketika asyik dengan jemuranku, terdengar suara menyapa.

"Halo."

Aku terkejut dan melihat sekeliling.

"Halo, aku di sini," terdengar kembali suara seorang perempuan. Kali ini aku tahu kalau suara itu datang dari balik pagar rumah David. Aku membalikkan badan dan melihat ke arah suara, mencoba melihat pemiliknya. Di antara celah pagar kayu bercat putih, aku melihat wajah seorang perempuan tua tersenyum padaku.

"Oh, halo," jawabku sambil melangkah mendekati pagar.

Di balik pagar, aku melihat seorang perempuan tua bertubuh mungil, rambut putihnya yang pendek berkilau diterpa matahari. Sama sepertiku, ia pun sedang menjemur pakaian.

"Aku adik perempuannya David," kata perempuan itu, mengulurkan tangan dari celah kayu.

"Senang bertemu Anda," jawabku, meraih uluran tangannya, "Maya."

"Donna. Donna Whittard," sambutnya, "David cerita tentang kamu dan biskuit jahemu. Terima kasih."

Aku tersenyum, "Bukan apa-apa. Hanya hadiah kecil. David juga selalu membantu kami."

Ia tersenyum.

Lalu aku lanjutkan, "Anda orang pertama yang saya lihat di rumah David."

Nyonya Whittard juga tersenyum, "Itu karena kami baru bertemu lagi."

"Pardon?" tanyaku, tak mengerti.

Nyonya Whittard tersenyum lebar. "Apakah kamu ada waktu senggang sore nanti?" tanyanya lagi.

"Aku tidak punya rencana apa-apa sore nanti."

"Kalau begitu, datanglah ke sini. Jam empat akan baik sekali."

Aku mengangguk.

Nyonya Whittard kembali membungkuk untuk mengambil sebuah baju dari dalam ember. Setelah merentangkan sehelai kemeja dengan bagian tangan menggantung ke bawah dan menjepitnya dengan jepitan kayu, Nyonya Whittard melambaikan tangan dan masuk ke dalam rumah.

"Aku datang dari Australia," kata Nyonya Whittard, setelah menuangkan teh untukku.

"Ah," kataku, "Jauh sekali. Dekat dengan Indonesia, negaraku."

Kutambahkan dua sendok gula dan sedikit susu ke dalam cangkirku, kemudian mengaduknya pelan. Kuhirup sedikit airnya dan kembali kuletakkan di meja kayu berbentuk oval.

Nyonya Whittard duduk di depanku, di sebuah kursi kayu yang tidak serasi dengan sofa yang aku duduki. Ruang keluarga ini tidak terlalu besar, karpet cokelatnya sudah mulai memudar dan kertas dinding yang bercorak tulip sudah terlihat tua.

"Apakah kamu rindu dengan negaramu?" tanya Nyonya Whittard, tersenyum sambil menyilangkan kakinya. Ia mengenakan blouse putih polos dengan rok biru bercorak bunga.

"Selalu," jawabku, membalas senyumnya.

"Aku mengerti perasaanmu," kata Nyonya Whittard.

Sejenak ia merapikan rambut putihnya ke belakang telinga, kemudian ia melanjutkan, "Kadang, ada saat aku juga sangat rindu Newcastle. Walaupun tak banyak kenanganku di kota ini, namun aku masih ingat satu hal: harum kayu cemara setiap kali ayahku merapikan halaman."

Aku tersenyum.

Nyonya Whittard terdiam. Pandangannya terlihat kosong dan jauh.

"Mengapa Anda pindah ke Australia?" tanyaku, memecah kebisuan.

Nyonya Whittard kembali tersenyum padaku. Ia merapihkan roknya dan kembali menyentuh rambut di belakang telinganya.

"Kalau aku tidak punya banyak pilihan," kataku lagi. "Aku datang dari negara dunia ketiga. Berbeda dengan orang-orang Inggris seperti Anda, warga negara kaya dan berkuasa, tanpa bekerja pun kalian bisa hidup layak di negeri sendiri. Tak perlu menjadi imigran. Kalian sangat beruntung."

"Itukah yang kamu pikir?" tanya Nyonya Whittard, tersenyum. "Bahwa orang Inggris, warga negara kaya selalu lebih beruntung dari dirimu? Tak perlu menjadi imigran?"

Aku mengangkat bahu, "Sepertinya memang seperti itu. Di sini kesehatan dan pendidikan tak bayar, dapat tunjangan bulanan pula. Semua ditanggung pemerintah. Kalian bisa hidup dengan tenang tanpa harus jauh dari keluarga."

"Apakah kamu rindu keluargamu?" tanya Nyonya Whittard, disodorkannya aku potongan timun, paprika, dan batang seledri yang ditata di nampan, lengkap dengan mangkuk perak untuk tempat saus asam. Bukan makanan ringan yang biasa disuguhkan untuk teh sore.

"Ya," jawabku, sambil menggeleng untuk penganan yang ia suguhkan dan mengucap 'thank you' tanpa suara.

"Apakah semua keluargamu tinggal di Indonesia?" tanyanya lagi, kali ini menyuguhkan semangkuk pistachio.

"Ya," jawabku sambil menjumput kacang yang ia tawarkan, "Ayahku telah lama meninggal. Tapi ibuku masih sehat dan bekerja di Indonesia."

"Apakah kamu rindu ibumu?"

"Sangat," jawabku lagi, terbayang wajah mama. "Baru kemarin ia berulang tahun."

Nyonya Whittard tersenyum.

"Aku pun rindu ibuku," kata Nyonya Whittard. "Terakhir kali aku bertemu ibu di sebuah tangga kantor polisi. Ia meminta saudara-saudaraku dan aku--aku punya empat saudara, dua laki-laki dan satu orang adik perempuan, David yang tertua-- untuk menunggu sekejap di sana. Ibuku bilang ia akan pergi membelikan kami es krim."

Aku mengerenyit, tak mengerti apa yang ia bicarakan.

"Apakan ibumu meninggal setelah itu?" tanyaku

"Aku tidak pernah tahu keberadaanya sampai saat ini. Setelah meninggalkan kami di tangga kantor polisi itu, ia tidak pernah kembali."

Aku kembali mengerenyitkan dahi.

Nyonya Whittard kembali tersenyum, menghirup tehnya lalu berkata, "Baru seminggu yang lalu aku mengetahui bahwa David masih ada. Bahwa aku masih punya saudara."

Aku mengerenyit, semakin dalam kali ini.

"Kami terpisah sewaktu kecil," Nyonya Whittard menjawab kernyitanku. "Ketika orang-orang menemukan kami menunggu ibu berjam-jam di tangga kantor polisi itu, mereka mulai mencari tahu keberadaan ibu dan juga ayah kami. Malam harinya kami dititipkan ke sebuah panti asuhan. Setelah tiga hari tidak ada kabar tentang keberadaan ibu dan juga ayah, kami dipisahkan. David dan kakakku yang lain ditempatkan di panti asuhan yang kami tinggali. Sementara mereka memindahkan aku dan adikku ke panti yang lain."

Aku tercengang mendengar cerita Nyonya Whittard.

"I am so sorry to hear that," kataku pelan.

Nyonya Whittard tersenyum dan mengibaskan tangannya. Lalu ia melanjutkan, "Tak lama, panti asuhan yang aku tinggali terpilih untuk ikut British Child Migrant Program. Aku bersama adikku dan ratusan anak-anak piatu yang lain pergi meninggalkan Inggris di tahun 1954. Kami pergi dengan kapal laut menuju Australia. Saat itu umurku baru enam tahun."

Perlahan Nyonya Whittard menarik napas panjang, menghirup tehnya dan kemudian melanjutkan: "Di Australia aku dipisahkan dengan adikku. Sejak itu aku tak pernah mendengar kabar tentangnya lagi. Aku ditempatkan di sebuah asrama. Di sana aku bertugas membersihkan gedung dan membantu di dapur, sementara anak-anak laki-laki harus bekerja di ladang. Di sana aku kerap mengalami kekerasan dan pelecehan. Umur sebelas tahun, aku mencoba bunuh diri."

"Oh, I am really sorry to hear that," kataku, menggeleng dan menutup mulutku dengan sebelah tangan.

"Itu pasti berat sekali untukmu," ucapku lagi.

Nyonya Whittard kembali mengibaskan tangan, "Kamu tak perlu merasa sorry untukku."

Ia tersenyum dan menyelupkan potongan timun di mangkuk saus sebelum menggigitnya sedikit demi sedikit.

"Aku bahagia sekarang. Aku punya tujuh anak dan seorang suami yang baik," katanya. "Lagipula sudah terlalu banyak sorry yang aku dapat. Tahun kemarin, Perdana Menteri Australia datang ke rumahku untuk teh sore dan ia mengatakan sorry. Tahun ini, Perdana Menteri Inggris akan mengucapkan sorry bagi semua orang yang ikut dalam Child Migrant Program. Setiap orang yang bertemu denganku selalu mengatan sorry. Sebenarnya yang aku butuh adalah ucapan selamat. Bahwa aku telah berhasil berjuang mengalahkan traumaku."

"Sorry," kataku pelan.

Nyonya Whittard tertawa kecil.

Ia kibaskan kembali tangannya dan kembali merapikan rambutnya ke belakang telinga. "Aku merasa sorry untuk David. Ia tak pernah keluar dari kenangan akan perpisahan kami. Tak berani ia menikah apalagi memiliki anak, ia selalu takut bila masa ia tak dapat melindungi dan memertahankan keluarganya. Seperti yang terjadi pada kami dulu," tuturnya. Lalu ia mendesah dalam, "Aku merasa sorry untuknya karena ia selalu merasa bersalah."

Saat Nyonya Whittard berkata itu, kunci pintu rumah terdengar diputar. David masuk bersama anjingnya. Ia tersenyum melihatku.

"Hai, David," sapaku.

Saat David telah berlalu ke halaman belakang, Nyonya Whittard bertanya padaku, "Apakah sekarang kamu masih berpikir bahwa kami adalah orang-orang yang beruntung?"

Aku terdiam.

Nyonya Whittard tersenyum.

"Sorry," kataku pelan, membuat Nyonya Whittard kembali tertawa kecil.

"Saatnya kamu pulang," katanya.

"Aku akan menyiapkan makan malam untuk David dan aku. Banyak hal yang ingin kami ceritakan. Terlalu lama kami terpisah."

Aku bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu depan yang telah dibuka oleh Nyonya Whittard.

Di depan pintu, aku kembali membalikkan badan, "Sungguh, aku sangat sangat merasa sorry untukmu dan David. Aku berharap kebahagiaan untuk kalian berdua," kataku lagi, tak tahu harus berkata apa.

Nyonya Whittard kembali tertawa, "Kamu tak perlu merasa begitu. Aku sudah melupakan semuanya."

Ia terdiam. Kemudian ia berkata pelan, "Kecuali satu hal."

"Kalau aku boleh tahu, apakah itu?" tanyaku.

"Orang-orang menyebut kami sebagai kanak-kanak yang hilang dan aku juga berharap bahwa ia --aku ketika anak-anak itu benar hilang dan aku sekaranglah yang terlahir baru. Namun, aku tahu bahwa ia selalu ada. Entah mengendap di bagian mana di dalam diriku. Kerap kali aku merasa, aku sedang menunggu es krim yang dijanjikan Ibu."

Selesai berkata itu, Nyonya Whittard tersenyum sendu.

Ia melambaikan tangannya padaku dan menutup pintu.

Meninggalkan aku bersama kelopak-kelopak tulip yang berguguran jatuh.


Newcastle upon Tyne, Mei 2010




Lampung Post, Minggu, 27 Juni 2010

Sunday, June 20, 2010

Para Gila

Cerpen Fakhrunnas M.A. Jabbar



MAU merasakan jadi orang gila? Bacalah cerita ini. Seekor musang di siang tegak bercintaan dengan seekor rama-rama di pokok murbai di halaman belakang tempat tinggal kami. Musang jantan mencumbui rama-rama betina begitu seronok. Sampai-sampai menitik air liurnya. Mereka saling berkecupan. Saling birahi. Daun-daun murbai yang rindang itu sambil berguncang-guncang padahal angin tak bertiup sedikit pun. Pada mulanya hanya aku yang melihat kejadian itu. Tapi secara sengaja kukabarkan pada teman-teman yang lain. Tak peduli lelaki atau perempuan. Selang setengah jam kemudian, kami jadi beramai-ramai menyaksikan percintaan yang luar biasa itu.

Saking birahinya, saat musang jantan menindih tubuh rama-rama betinia, daun-daun murbai berjatuhan. Dan, tanpa sengaja, musang yang berbulu lebat kehitaman itu terpeleset jatuh ke rerimbunan di bawahnya. Serempak dengan kejatuhan musang, dari balik rerimbunan daun bunga dan rumputan terdengar jerit yang tergesa-gesa.

"Ampun... kiamat. Ada apa nih..!" Rama-rama betina merasa malu lalu terbang menjauh.

Rerimbunan bunga dan rerumputan itu terus saja bergoyang-goyang. Bagaikan induk musang yang bermain-main bersama anaknya. Kami berusaha memelototkan bola mata agar lebih jelas melihat apa yang terdedah di depan. Sejenak muncul punggung seorang lelaki setengah baya berbaju putih. Sekelabat tampak pula seorang perempuan muda juga berbaju putih. Tapi yang pasti, baju keduanya sudah kusut masai karena saling menindih. Benar, mereka sedang melakukan percintaan gelap di siang tegak. Mereka saling berkecupan. Saling birahi. Dan saling memadu kegairahan yang telah lama padam.

Maaf, aku jadi menerawang. Ceritaku di bagian awal tadi sebenarnya melukiskan kemesraan sepasang anak manusia yang sedang memadu kasih di bawah matahari siang. Jadi, bukan kisah musang yang bercinta dengan rama-rama. Kalaupun kisah itu ada tentu tak seberahi percintaan sepasang anak manusia yang baru kuceritakan.

Mau tahu, siapa sepasang anak manusia tadi? Ampun, di luar dugaan. Ternyata lelaki berkaca mata bening dan bertubuh ceking tinggi itu tak lain oknum -boleh ya, kupakai kata 'oknum' agar tak dituduh macam-macam- kepala RSJ sendiri. Para penghuni RSJ memanggilnya akrab dengan Pak Kepala saja. Dan sang perempuan juga tak lain Suster Mainar, suster muda yang tercantik di antara belasan suster yang merawat kami.

Alamak, aku jadi ingat kembali. Benar, memang benar percintaan musang dan rama-rama ternyata lebih birahi dibanding percintaan oknum Pak Kepala dengan Suster Mainar. Ah, bangsat! Sudahlah, sebenarnya bagiku tak penting percintaan siapa yang paling birahi. Sebab, aku sendiri tak pernah tahu bagaimana seorang perempuan muda seperti aku bisa birahi. Padahal usiaku sudah 27 tahun. Aku tak pernah merasakan percintaan walaupun menurut semua orang aku cantik-molek. Memesona. Menawan. Dan senyumku bisa menghanyutkan ratusan lelaki-lelaki di sungai birahi mereka.

Kami terus menyaksikan percintaan gelap Pak Kepala dengan Suster Mainar yang berdelau. Mereka saling tindih. Saling kecup. Saling birahi. Berjam-jam peristiwa itu berlangsung disaksikan matahari siang. Menjelang petang, Pak Kepala berdiri sambil mengibas-ngibaskan baju putihnya yang kumal. Masya Allah, tak hanya kumal. Tapi baju putih itu berlumuran darah. Mulutnya juga berdarah-darah. Ia melangkah terhuyung-huyung ke kamar kerjanya. Kami serempak bersembunyi. Semula tertawa geli. Sekarang tak. Kami jadi gusar dan waswas. Jangan-jangan lelaki jangkung itu telah membunuh Suster Mainar.

"Heh, apa yang telah kalian perbuat sampai berkumpul ramai-ramai di sini?" suara seseorang mengejutkan kami. Kami serempak menoleh. Ampun, ada Suster Mainar yang molek. Tersenyum ramah dan bergairah. Kuamati baju putihnya. Mana tahu juga ditemukan bercak darah seperti yang dialami Pak Kepala. Ternyata tidak. Baju Suster Mainar tetap utuh dan rapi. Aku dan teman-teman menatap perempuan cantik itu penuh keheranan.

Aku mewakili teman-teman menceritakan semua apa yang kami saksikan di rimbunan semak di siang tegak tadi. Suster Mainar jadi tertarik. Marahnya mulai reda. Senyuman di bibirnya mulai mengembang. Ternyata ia menikmati ceritaku sebagai sebuah kelakar yang menggelikan.

"Tapi ini fakta, Sus. Kalau tak percaya, mari kita lihat bersama," ajakku yang diikuti Suster Mainar.

Aku bersama teman-teman mengiringi langkah Suster berbaju putih bersih itu ke rimbunan semak yang dipenuhi kebun bunga dan rerumputan. Persis di dekat pokok murbai. Memang ditemukan ada sebagian semak itu yang merunduk bagai diimpit. Ada pula percik darah yang banyak. Dan nyaris serempak kami menemukan sesosok musang hitam terkapar mengenaskan.

Suster Mainar mengerutkan dahi menyaksikan pemandangan aneh itu.

"Jadi, apa yang kalian saksikan tadi di sini?" Suster Mainar langsung menatapku dan meminta penjelasan.

"Ya, kami tadi menyaksikan pergumulan Pak Kepala dengan Suster di sini. Begitu seru. Begitu menegangkan," ucapku perlahan dan hati-hati.

"Aku? Kalian bilang aku bersama Pak Kepala berduaan di sini?"

"Iya, Sus. Aku berani sumpah," kataku dibenarkan teman-teman yang lain.

Suster Mainar terdiam sejenak. Pikirannya tampak menerawang sambil mengingat-ingat apa yang dilakukannya sejak pagi tadi hingga petang ini.

"Suster, tak apa-apa, kan? Sebab, kami menyaksikan tadi Pak Kepala mengempas-empaskan Suster sampai berdarah-darah. Sadis ya, Sus?" ungkapku lagi.

Kulihat Suster makin bingung. Kemudian tertawa geli. Tertawa sejadi-jadinya. Kami juga jadi ikut-ikutan tertawa bersama.

"Terus. Apa yang terjadi selanjutnya?" desak Suster Mainar lagi.

"Ya, Pak Kepala lari ke ruang kerjanya dengan berlumuran darah."

"Ah, masak? Pak Kepala berlumuran darah?"

"Pasti, Sus. Kalau tak percaya, mari kita lihat bersama," ajakku.

"Hep! Jangan..jangan! Biar aku yang menjumpai beliau. Sekarang, kalian bubar. Dan masuk ke kamar masing-masing."

Suster Mainar langsung berlalu. Langkahnya bergegas menuju ruang kerja Pak Kepala. Tampak perempuan itu mengetuk pintu hati-hati. Pintu terbuka. Ia pun langsung menyelinap ke dalam.

Suster Mainar menemukan Pak Kepala duduk di tempatnya. Pak Kepala tampak gugup. Wajahnya agak pucat. Suster Mainar merasa agak heran sebab Pak Kepala tidak lagi mengenakan baju kerja, tetapi baju kaos santai. Padahal, pagi tadi, Pak Kepala datang ke kantor dengan baju kerja putih-putih.

"Ada yang aneh, Sus?" sambut Pak Kepala memulai pembicaraan sambil mencairkan kebekuan suasana.

Sejenak Suster Mainar tertunduk. Ia merasa gugup sekali.

"Begini, Pak. Bapak jangan marah kalau hal ini saya tanyakan. Penghuni di sini merasa melihat saya dengan Bapak berkencan siang hari di rimbunan bunga sana. Kata mereka, hubungan itu sangat sadis. Sampai-sampai Bapak berlumuran darah." Suster Mainar berbicara hati-hati.

Pak Kepala sempat memegang dahi dan menghembuskan napasnya dalam-dalam. Ada beban berat menggelayut di benaknya.

"Ya, saya tak habis pikir. Kenapa bisa hal ini terjadi. Tapi, mohon soal ini jangan diceritakan kepada siapa pun. Ini rahasia. Sejak pagi, kepala saya agak pusing. Pandangan saya pun agak nanar. Seketika bagai ada suatu dorongan yang menggiring saya ke kawasan semak itu. Waktu itu, saya merasa bersama kamu, Sus. Kemudian, terjadilah hubungan yang tak pantas. Anehnya, dalam pergumulan itu aku sampai membunuh kamu sehingga darah muncrat."

"Bapak tak sadar waktu itu?" desak Suster Mainar.

"Kalau sadar, mengapa aku harus melakukannya."

"Lantas?"

"Sewaktu saya kembali ke ruang kerja ini, saya tiba-tiba tersadar. Saya temukan diri saya dalam keadaan tak wajar. Semua baju putih saya berlumuran darah. Entah apa sebenarnya yang saya lakukan." Pak Kepala menggeleng beberapa kali menyimpan rasa malu.

"Mau tahu, apa yang telah Bapak lakukan?" tanya Suster Mainar mulai tertawa geli.

"Ya, kenapa? Apa sebenarnya yang terjadi?" Pak Kepala tercengang dan penuh ingin tahu.

"Bapak telah membunuh seekor musang," tutur Suster Mainar.

"Ah, masak?! Waktu itu, saya merasa berkencan denganmu. Tapi akhirnya, saya membunuhmu."

Sejak pertemuan itu, aku melihat hubungan Suster Mainar dan Pak Kepala kian dekat. Sebentar-sebentar, Pak Kepala memanggil Suster Mainar ke ruangannya. Bahkan berjam-jam, suster cantik itu berkurung di kamar itu. Meski aku disebut-sebut sebagai orang gila, tapi hati kecilku masih curiga kalau Pak Kepala dan Suster Mainar benar-benar main gila di sana. Siapa tahu? Ruangan itu selalu terkunci rapat. Tak seorang pun yang bisa tahu.

Pernah beberapa kali kucoba untuk mengintip dengan berjingkat di tingkap depan ruangan Pak Kepala, Satpam itu cepat-cepat mengusirku. Malah ia menghardik keras dan bertanya :

"Hah..jangan-jangan Pak Satpam juga ikut-ikutan main gila, ya?" ucapku masih cengengesan dan tersenyum-sipu. Jemariku menunjuk lemas ke arah satpam yang pemarah itu.

Ajaib, satpam itu jadi ikut tersipu. Aku jadi tertawa benaran. Terbahak-bahak. Terkekeh-kekeh. Tawa kami bersahutan. Suasana jadi gaduh seketika. Sampai-sampai Pak Kepala tergesa-gesa membuka pintu.

Aku dan satpam jadi tertawa besar lagi begitu kami lihat Pak Kepala muncul hanya dengan kaus singlet dan bercelana pendek. Rambutnya kusut masai seperti orang baru saja bergumul di tempat tidur. Tak lama kemudian, Suster Mainar menyusul di pintu. Luar biasa. Pakaiannya sangat minim. Hanya memakai BH warna putih.

Aku memandang Pak Kepala dan Suster Mainar sambil tertawa cekikikan hingga membuat semua pegawai kantor dan penghuni rumah sakit jiwa itu berhamburan ke luar.

"Benar kan...? Benar-benar sudah gila. Pak Kepala secara ceroboh main gila dengan bawahannya, Suster Mainar. Siapa yang gila sebenarnya? Aku? Kami? Atau, siapa?" suaraku kedengaran lantang sambil tertawa-tawa panjang.

"Siapa yang lebih gila? Segila-gila orang gila seperti kami tak pernah terpikir main gila sesama kami. Kami tahu... kami ini orang gila. Tapi sudahlah...di zaman gila ini semakin sulit membedakan orang gila dengan orang bukan gila."

Lepas berteriak lantang bagaikan seorang demonstran, aku meninggalkan kerumunan itu. Aku hanya menyaksikan tiga orang polisi tergesa-gesa menuju kerumunan. Tentu, Pak Kepala dan Suster Mainar mereka seret ke kantor polisi terdekat. Sementara aku tiba-tiba ingin pulang ke rumah. Aku tiba-tiba merasa rindu rumah. Rindu pada suami, Rustam, dan tiga anakku yang masih kecil serta emakku yang sudah renta.

Aku tiba-tiba merasa tenang. Tak ada lagi pikiran macam-macam bergelayut di benakku. Aku sudah merasa bukan gila lagi. Ah, mungkin ini metamorfosis belaka. Aku jadi gila dalam kesementaraan saja.

Dalam perjalanan pulang, aku merasa jernih mengenang detik per detik yang akhirnya mengantarkanku sampai di RSJ itu. Ya, aku masih ingat, Rustamlah yang membawaku ke sana. Sebab, aku baru saja membanting Rukmini, anak kami, yang paling bungsu. Aku marah besar padanya sampai hilang kendali. Itulah biang bala yang mengukuhkan diriku benar-benar gila. Tapi sebelum itu, sebenarnya, aku sempat pula mengejar-ngejar Rustam dengan pisau hanya karena Rustam mengingkatkanku agar salat magrib. Tapi Rustam masih sabar.

Pantas Rustam dan emak menerima kedatanganku dengan ragu-ragu. Wajah mereka menyembulkan kegamangan.

"Alisa? Kau melarikan dari RSJ? Kenapa?" pertanyaan Rustam bertubi-tubi saat melihat kehadiranku di depan pintu beranda petang itu.

Aku berusaha tersenyum. Tapi Rustam diam terpekur. Ketiga anak kami memang tak muncul waktu itu. Sebab, Hilda dan Sukri pasti bersekolah sore hari. Sedang Rukmini masih tertidur pulas siang hari.

"Bang Rustam....Aku sudah tak gila lagi. Sungguh..." Aku berusaha memperlihatkan kesadaran seutuhnya. Aku berusaha bersikap wajar layaknya bukan orang gila.

"Syukur Alhamdulillah, Bang. Allah masih menyayangiku..menyayangi kita semua..Maafkan aku....!" ucapku terbata-bata.

Aku baru saja mendapat kabar dari beberapa suster RSJ, ternyata Pak Kepala ditengarai sakit jiwa. Jadi, perbuatan halusinasi yang pernah kusaksikan di RSJ itu semata-mata proses inkubasi kelainan jiwanya itu. Masya Allah, Pak Kepala sekarang sudah benar-benar gila.

Pekanbaru, 0310



Lampung Post, Minggu, 20 Juni 2010

Sunday, June 13, 2010

Pangeran Air

Cerpen Hary B. Kori'un



AKU tahu, kau suka gerimis. Hujan yang tak terlalu deras. Kau pernah mengatakan itu bertahun-tahun lalu ketika kita kedinginan setelah hujan membasahkan kita.

"Aku lahir dari hujan," katamu. "Dalam tubuhku mengalir segala air..."

"Apakah setiap hujan melahirkan orang-orang sepertimu? Aku ingin dilahirkan lebih banyak, biar setiap diriku itu bertemu dengan dirimu yang lain itu...," kataku.

"Tidak, akulah satu-satunya anak hujan," kamu menjawab.

Kemudian kau menghilang di tikungan dalam hujan yang masih membasahkan kota. Kau memang selalu muncul di hadapanku saat hujan tiba. Itulah kenapa kemudian aku selalu mengharapkan hujan datang setiap saat dan kau akan datang kepadaku. Aku akan tersiksa jika musim kemarau tiba dan hujan tak pernah datang yang membuat dirimu juga tak pernah datang kepadaku lagi. Aku kehilangan udara yang menghidupkanku, kehilangan air yang menghilangkan dahagaku, kehilangan cahaya yang menerangi langkahku, kehilangan nadi yang mendenyutkan jantungku. Dan aku akan mati...

"Jangan mati...," katamu suatu saat.

"Jika tak ingin aku mati, tetaplah berada di dekatku..."

"Aku tak bisa selalu dekat denganmu... Musim selalu berganti, dan itulah hukum alam..."

"Mengapa?"

"Ada api dalam hati dan pikiranmu, dan itu akan membunuhku..."

"Api selalu ada di hati dan pikiran siapa pun," kataku.

"Tapi tidak dalam hati dan pikiranku. Sebab jika ada api, aku akan mati..."

"Seperti dongeng H.C. Andersson tentang Putri Air dan Pangeran Api?"

"Hemm... bukan, aku adalah Pangeran Air..."

"Dan aku Putri Api? Tidak, aku Putri Air, aku mencintai hujan..."

***

AKU berjumpa pertama kali dengannya ketika berhari-hari hujan membasahkan kotaku. Kotaku dibangun tidak dengan perencanaan yang baik, dari kaum urban yang selalu datang dan tiba-tiba kota mungilku berubah menjadi kota raksasa yang siap memakan siapa dan apa saja. Drainase yang buruk membuat danau muncul di mana-mana saat hujan tiba. Lucu, kadang aku melihat kotaku mirip danau dengan rumah dan gedung-gedung terlihat di atasnya.

Dia muncul ketika itu seperti keluar dari salah satu danau itu dengan segalanya yang basah pada dirinya: celana jinsnya, kaus oblong hitamnya, rambut gondrong sebahunya. Tepat di depan jendelaku dia berdiri. Aku mengamatinya dan sesaat agak terpana.

"Apakah aku mengenalmu?" tanyaku.

Dia menggeleng pelan. Air pada rambutnya ikut bergerak seperti gambar slow motion di televisi. Aku sedang menikmati hujan yang sudah dalam bentuk gerimis saat itu.

"Lalu, mengapa kau tiba-tiba ada di sini dan seolah kau mengenalku?"

"Aku selalu datang kepada setiap gadis yang menikmati hujan," kata dia, seolah tahu apa yang kulakukan.

"Setiap gadis?"

"Ya..."

"Banyak gadis yang menyukai hujan..."

"Tapi tak banyak yang mencintainya, menikmatinya... Kamu melakukan itu..."

"Hujan akan menenggelamkan kotaku..."

"Jangan salahkan hujan."

"Kadang hujan membuatku putus asa dan marah karena banyak yang mati karenanya. Tapi aku tetap menunggunya, mencintainya..."

"Jangan salahkan hujan..." suaranya terdengar lunak, seperti memelas.

"Seluruh anggota keluargaku mati karena hujan berhari-hari menjebol tanggul sebuah waduk. Sialnya, ketika aku pindah ke kota ini, aku masih tetap mencintai hujan..."

"Oh, aku ikut berduka."

Beberapa saat kemudian gerimis sudah mulai berhenti dan cahaya matahari hampir setengah hari tertutup mendung, mulai terlihat. Dia kemudian pamit untuk pergi, dia takut kepanasan katanya. Kulitnya akan mengelupas kalau terkena sinar matahari. Setengah bercanda kukatakan apakah dia sebangsa drakula, dan dia hanya tersenyum amat manis.

"Aku belum tahu namamu...," kataku kemudian.

"Aku akan selalu datang di saat kau menikmati hujan, kau tak perlu namaku seperti aku juga tak perlu namamu. Tetap cintailah hujan..."

Dia kemudian berjalan ke kiri jendela dan hilang dari pandanganku karena terhalang tembok.

***

BERTAHUN-tahun kemudian, musim kemarau datang berbulan-bulan hingga hitungan tahun. Banyak hutan terbakar, lahan terbakar, kota terbakar, hati terbakar...Kabut dan asap datang dari segala penjuru mata angin, dari setiap celah tanah. Kotaku, juga daerah lainnya, dikepung asap dan jerebu. Banyak anak sakit, bahkan mati. Rumah sakit tak bisa lagi menampung jumlah mereka. Kejadian ini seperti wabah. Dan aku selalu merindukan lelaki itu, yang selalu datang dengan segala basahnya. Tetapi dia tak pernah datang lagi. Aku maklum, karena dia akan datang bersama hujan, seperti di setiap musim hujan.

Di sebuah senja, seseorang, entah siapa, datang dan tanpa kata-kata memberikan sebuah surat kepadaku. Surat bersampul muram, warna putih kekuning-kuningan.

"Untukku?" tanyaku.

Dia mengangguk.

"Dari siapa?" kubertanya lagi.

Dia menggeleng, kemudian pergi menembus kabut.

Aku menangis dua hari tiga malam setelah membaca surat itu. Katanya: "Maafkan aku. Aku tak bisa menemuimu hampir setahun ini saat kemarau yang membuat kotamu dikepung kabut dan jerebu. Aku ingin sekali menemuimu, ingin sekali melihat matamu, rambutmu, dan ketulusan hatimu, tetapi aku akan mati jika memaksakan diri. Aku akan mati oleh panas dan jerebu. Aku tak mau mati karena itu, sebab jika aku mati, aku tak akan bisa menemuimu lagi. Aku sedang mencari negeri di mana hujan bisa turun di sana, karena di sanalah aku bisa hidup. Aku berjanji akan datang kepadamu saat hujan kembali datang ke kotamu..."

Namun, hingga bertahun-tahun kemudian, hujan tak pernah turun lagi di kotaku. Wabah kelaparan di mana-mana, hutan-hutan habis terbakar, sungai-sungai mengering kehilangan sumber air, angin yang membawa hawa panas datang setiap hari. Kematian menjadi kabar yang terlalu biasa di setiap waktu. Tiba-tiba, aku kini sudah berubah menjadi tua dan keriput, namun herannya, berpuluh-puluh tahun kemudian, bahkan beratus tahun, aku tak mati-mati. Aku tetap hidup, dan melihat dunia berubah dengan segala bentuknya.

Aku sangat ingin mati. Tetapi jika aku mati, pasti aku tak akan bisa bertemu denganmu saat hujan datang. Aku sangat rindu... n


---------------
Hary B. Kori'un, jurnalis. Menulis cerpen yang tersebar di berbagai media dan dibukukan dalam berbagai antalogi. Enam novelnya sudah terbit, yang terbaru Nyanyian Kemarau (2009).




Lampung Post, Minggu, 13 Juni 2010

Sunday, June 6, 2010

Sebuah Rahasia dari Lilin Buatan Ibu dan Kisah Gelap

Cerpen F. Moses


KATA Ibu, ini lilin lain dari yang lain. Tak seperti terjual di warung-warung umumnya, kecuali bentuknya yang sama. Kelak kamu tahu ini bukan sembarang lilin, sebab tak akan habis saat kamu mulai membakarnya. Melumer tapi tak bisa habis. Bukan lantaran bentuknya jauh lebih besar dari umum, melainkan memang kualitas lilin ini yang luar biasa.

Bermula setelah malam kudus beberapa waktu lalu, aku bersitegang dengan kakak paling besar di atasku, bahkan tanpa dugaan ia sempat melesatkan tinjuan dan tendangan ke arahku. Gaduh. Keributan bermuasal karena masalah lilin yang pernah Ibu berikan kepadaku saat memasuki gereja, waktu itu.

Setelah Ibu datang, situasi pun mereda.

Rupanya kakak masih menyimpan dendam kesumat; selalu berniat mencuri lilin yang ada padaku ini. Sementara aku menyimpan penasaran. Menyimpan tanya saban malam tiap selesai berdoa, sebab lilin yang aku bakar ini tak kunjung habis. Padahal melumer.

***

Tiap malam tiap waktu, sejak dulu Ibu memang selalu mengajari kami agar senantiasa berdoa.

"Kenapa mesti berdoa, Bu?"

"Supaya masuk Surga."

"Memang Ibu pernah ke Surga?"

Itu dulu--pertanyaan naif selalu aku bilang kepadanya. Jawabnya tak lain begitu melulu. Dan setiap mengotot agar ia memerincikan, selalu saja dialihkannya ke persoalan lain.

Berbeda dengan Bapak, meski berjuluk si pemabuk, masih selalu ingat Tuhan--bahkan ia masih ingat benar kesepuluh perintah Musa; buktinya, sejak dulu aku kanak-kanak ia selalu bilang kalau surga itu ada di telapak kaki Ibu. Dan segala larangan yang mesti tak boleh dilakukan manusia.

"Surga itu rumahnya Tuhan, jadi jangan macam-macam, dosa," katanya sambil terkekeh. Bercampur sendawa seperti orang kurang minum air putih. Atau bahkan kebanyakan arak?

Lalu biasanya setelah mendengar begitu aku pun segera berlari mencari ibu. Hanya untuk mengecek telapak kakinya. Apakah benar ada sorga ditelapaknya.

Aku tak melihat apa-apa, kecuali warna sawo kecoklatan bercampur daki dari telapak kakinya. Setelah begitu, biasanya aku langsung menuju kamar bertanya-jawab seorang diri�yang kadang-kadang bergumam seperti monolog di muka cermin.

Setiap hari selalu begitu, simpan tanya. Aku menyimpan tanya seorang diri seperti pemurung, tentang surga dan terlebih lilin dari Ibu yang tak pernah habis ini. Lilin yang sungguh lain dari lainnya.

***

Hari ke hari, aku makin dikitari rasa takut; hasrat kakak yang ingin sekali memiliki lilin yang luar biasa ini�sebab bermacam rencana pernah ia beritahukan kepadaku bahwa suatu ketika harus memilikinya.

Dalam kesekian-kalinya aku di kamar, ketakutanku terhadapnya makin berlebih. Tak lama kemudian benar juga dugaanku; darah hasrat untuk memiliki lilin oleh kakak sudah di ujung kepalanya. Sebab sungguh jauh seperti hari-hari sebelum seperti biasanya Kakak mengetuk pintu kamarku. Ini kali ia tampak begitu emosi. Dan inilah saat paling gawat ia berulah di muka pintu.

"Semi, Sem.., Sem! buka pintu!" katanya perlahan berangsur keras. Terdengar begitu geram.

O, Kakak, sekian-kalinya ia memaksaku agar memberikan lilin ini. Ah, aku tak sudi, mending kubiarkan saja pintu terkunci, kataku membatin. Kuatir ia kembali meninju dan menendangku kembali.

Suara pintu terus terdengar makin keras oleh tendangan kuatnya. Beruntung pintu terbuat dari campuran kayu jati. Setidaknya cukup melecetkan saja. Sedikit ringsek tapi tak jebol.

Dari dapur aku mendengar panci terbanting, disusul derap langkah terburu Ibu menyambang ke arah kamarku.

"Jon, kau sinting, apa-apaan pintu kamar adikmu itu kau tendang?"

Jon tak acuh. Ya, sepertinya ia memang tak menggubris. Seperti psikopat tak bertelinga, ia terus saja menendang kamarku sembari sesekali mengambil beberapa langkah untuk menendang pintu. Semacam ambil kuda-kuda dalam ilmu bela diri. Sontak Ibu langsung menarik kausnya hingga sobek. Kemudian menamparnya. Darah di kepala Ibu mendidih.

Aku keluar dari kamar. Dan tak lama berselang Bapak datang. Aku kaget, tak seperti biasanya Bapak bersikap ini kali. Bapak memang melerai, namun bukan untuk aku dari serangan kakak, melainkan letupan emosi Ibu kepada kakak yang dilerainya secara kasar. Sembari melotot nyalang ke arah Ibu. Terdengar gemeretak gemas dari giginya.

Aku melihat bapak rona memerah.

Sikap Bapak terhadapnya membuatku tak percaya bahwa ia pernah bilang kalau sorga ada di telapak kaki Ibu. Bapak bersikap kasar.

Ibu berkali-kali merintih dijambak Bapak. Bapak berkali-kali pula menamparnya. Aku melihat Ibu tertelungkup. Lalu Bapak menyeretnya ke arah dapur. Aku tak kuasa melihat kejadian itu. Entah apa dilakukan Bapak selanjutnya.

Yang terdengar olehku hanya suara Bapak. Sesekali bunyi benturan ke tembok.

"Semi anak jadah, anak tak jelas dari mana kau jadikan, masih saja kau membelanya."

"Bukan! Semi bukan anak jadah. Ia anakmu, darah dari dagingmu sendiri. Kau tak akan pernah tahu. Sebab bukankah kau tak sadar pula waktu menjadikannya?"

"Perempuan jahanam!"

Bapak dan ibu bertengkar cukup lama, aku mendengar semua yang mereka saling katakan. Tak tahan mendengar suara gebukkan Bapak ke tubuh Ibu, apalagi bunyi benturan itu. Aku hanya meringkuk di dalam kamar. "Tuhan, kirimi aku pistol sekarang juga," jeritku.

***

Suatu ketika, rupanya Bapak memang makin bersikap sepihak, ia makin paham apa yang sebenarnya diinginkan oleh Jon. Gawat, ia akan membantunya untuk mendapatkan lilin yang pernah Ibu berikan kepadaku. Meski taruhannya tak segan membunuhku bila tak memberikannya.

Entah mengapa makin akut begini. Semata hanya persoalan lilin yang pernah Ibu berikan kepadaku. Segalanya sudah dipersiapkan oleh Ibu. Ya, Ibu memang hanya memberikannya kepadaku agar senantiasa menyimpannya. Sebab tatkala lilin ini aku bakar, tak pernah bisa habis meski melumer.

O, lilin ini, sesuatu yang ternyata sudah direncanakan sejak aku dikandungnya. Seperti rahasia ajaib dari Ibu kepadaku.

Aku selalu bertanya kepada Ibu mengapa lilin ini tak bisa habis meski berkali-kali melumer tiap aku membakarya, tapi Ibu hanya menjawab bahwa kelak aku akan tahu mengapa lilin ini tak bisa habis-habis. Itu saja.

Itu sebabnya pula, aku tak habis pikir saban malam untuk memikirkan lilin ini yang tak pernah habis tiap kali membakarnya.

Pernah juga, dari fenomenalnya lilin ini, saat dulu aku kemping bersama teman-teman sekolah ke daerah Curug Nangka, kami tak perlu membawa lampu patromak, senter, atau pun beberapa bungkus lilin yang biasa terjual di warung-warung. Melainkan cukup membawa satu lilin dariku; lilin buatan Ibu. Membuat malam kami nyaman tanpa rasa takut gelap di alam petualangan ini.

"Dari mana sih bisa dapat lilin kayak begini, aku mau dong, Sem."

"Unik sekali lilin ini. Benar-benar kayak lilin modern saja. Tak habis-habis, pun terang-benderang cahayanya."

"Besok-besok kalau di rumahku mati lampu, aku pinjam lilinnya Semi, ah.."

"Sayang, besok kalau kita menikah, bercintanya ditemani cahaya lilin ini aja. Jadi aku tak perlu takut mati lampu," kata kekasihku berbisik.

***

Di malam dingin lain dari lainnya, tatkala kebetulan hanya aku dan Ibu, ia memanggilku. Wajahnya begitu muram. Begitu sepi. Semacam penuh kesedihan yang sulit untuk aku deskripsikan seperti apa. Ia selalu bilang agar aku senantiasa memertahankan lilin ini supaya menyimpannya baik-baik. Ingatlah selalu bahwa Ibu adalah lilin itu sendiri, katanya. Bagaimana mungkin aku menganggap lilin ini adalah Ibu itu sendiri? kataku membatin.

"Pokoknya kau harus selalu menjaganya, Semi. Dan..."

Aku lupa Ibu mengatakan apa selanjutnya, pokoknya banyak sekali percakapan malam sepi itu yang Ibu bilang kepadaku. Dan pokoknya lagi, cukup lama bagi Ibu membuatkan lilin ini untukku. Tepatnya sejak menikah dengan Bapak. Cerita Ibu membuatku bergidik.

Seingatku, katanya lagi, Ibu menikah tanpa cinta dengan Bapak.

Persetan dengan cinta, tahi kucing kering dengan cinta, begitu kata bapak yang masih terngiang ditelinga Ibu sampai saat ini. Mungkin bisa dibayangkan, bahwa sebenarnya Ibu tak akan menikah dengan Bapakmu kalau bukan karena diperkosa sebelumnya, katanya lagi. Sebelum akhirnya isak tangis Ibu menghentikan pembicaraannya kepadaku, ia bilang kalau Bapak berprinsip gila: menikah itu hanya pewangi status sosial dan berhubungan badan tak lain tujuan utamanya.

Ibu begitu tersedu. Tak mampu berlanjut, menangis tak berhenti. Sekali lagi, tiap mendengar begitu, aku hanya mampu meringkuk di kamar. Membatin bertanya-jawab sendirian.

Sampai detik ini masih menyimpan tanya mendalam olehku: mengapa lilin ini tak bisa habis-habis? Padahal melumer.

***

Sudah 39 tahun berlalu tak terasa, selalu aku ingat Ibu atas ketabahannya. Ia sudah tiada. Bahkan bagiku ia sudah di Sorga. Juga selalu aku ingat Bapak dan kakakku atas perlakuannya yang begitu�entah di mana mereka sekarang, aku tak tahu, sejak lama pula kami saling meninggalkan. Memilukkan bercampur menyakitkan yang sekiranya tak perlu lagi aku ceritakan kepadamu. Bagiku mereka tak lain adalah bekas luka jahitan dalam ingatan ini.

Lilin dari Ibu masih kusimpan dengan baik. Masih selalu kupergunakan saat gelap datang.

"Pah, di mana ada lilin seperti Papah ceritakan kayak waktu itu, lilin yang nggak pernah habis-habis," kata anakku sembari terus-menerus menarik lenganku.

Maklum, aku memang selalu menjanjikannya tiap selesai bercerita, semata agar ia tak bermain hal lain yang sebenarnya aku tak suka. Dalam niatku yang juga selalu merahasiakannya dengan mengelak.

"Lilinnya sudah habis, kok, sayang," kataku coba mengelak. Sebab aku tak ingin saban waktu ia hanya menanyakan lilin yang tak pernah bisa habis-habis itu.

Sepertinya anakku yang kedua ini memang perayu ulung, dan ini kali memaksa sebelum akhirnya ia bersaksi atas mimpinya semalam.

"Ayah, semalam aku mimpi ketemu Nenek. Wuih, Nenek tampak cantik banget. Bergaun putih dikelilingi bidadari. Pokoknya bercahaya banget."

"Terus bilang apa kepadamu?" kataku sambil menyeruput kopi panas. Sesekali mengisap sebatang rokok kretek yang sebentar lagi habis.

"Hmm, Nenek bilang sambil bercerita, hmm, bahwa kalau lilin yang tak pernah habis itu adalah air mata dari Nenek yang sebenarnya sampai hari masih menangis."

Seketika kopi aku letakkan. Aku bergegas ke luar. Mesin mobil aku hidupkan, bergegas ke rumahnya; mengurung dalam-dalam atas niatanku untuk memiliki yang lain. Darinya yang semalam merayuku untuk menjadi istri gelapku.

Barangkali itulah sebabnya, lilin itu adalah Ibu dan air matanya sendiri. Makanya tak bisa habis. Semacam kesedihan yang belum selesai. Dan tugaskulah menyelesaikannya.

"Papah, kok, terburu-buru, sih? Tak pamit kepadaku seperti biasanya?" kata istriku. Aku tak menjawabnya.

Telukbetung, Gg. Manyar, 2010

-----------------

F. Moses
, lahir di Jakarta, 8 Februari. Menulis puisi dan cerpen di beberapa media cetak. Tinggal dan bekerja di Telukbetung, Bandar Lampung.



Lampung Post, Minggu, 6 Juni 2010