Sunday, March 31, 2013

Pertaruhan Sederhana

Cerpen Tjak S. Parlan


AKU berjalan-jalan di pinggir jalan.

Orang-orang berkendara entah menuju entah pulang kemana. Tentu belum malam, dan aku sedang senang-senangnya menjalani pagi dengan perasaan bahagia sewajarnya. Masih kuingat, karena empat kali misscall aku beranjak dari ladang kapuk kecilku yang di sekililingnya tembok-tembok dengan gantungan dikerumuni baju-baju kotor dari waktu ke waktu. Ya, empat kali misscall ditambah dengan sekian kali dengung kecil nyamuk biadab menyengat cuping telinga, mengakhiri mimpiku dengan sad ending.

Happy Ending.

Untuk sementara, kesalahan yang paling fatal di tiap-tiap pagi adalah ketika ada yang datang  terlalu cepat. Membangunkanku dengan suaranya yang tanpa sengaja —tapi nyaring—memenuhi seluruh ruangan tanpa kedap suara itu. Dan, ketika tubuhnya mulai mendekat, aku mencium aroma itu; aroma terapi pagi. Ada secangkir kopi dengan tatanan yang cukup formal. Dibelai dengan tangan lembut, diperhalus dengan creamer, seonggok asbak bersih, sebungkus rokok dan koran pagi yang tak pernah sekalipun mendukung cita-citaku, pun jika itu datang dari dunia mimpi. Itu semua membuatku tiba pada satu kenyataan: aku terbangun dengan mulut asam cuka dan rasa nyeri di dada yang dari pagi ke pagi  belum juga mau pergi.

Detik berikutnya aku mulai mengingat mimpiku. Orang-orang baik itu semalam satu persatu menyembul dari balik bantalku lantas menyuguhkan kebrutalan fisik: menari erotis di depanku. Aku tiba-tiba saja membuat kesepakatan untuk menerima sebuah ajakan. ”Oke, kalau begitu maumu. Aku setuju bercinta denganmu.”  Lalu kami menjadi porak poranda, kacau balau oleh irama alur yang tak pernah teratur, kadang serba prematur hingga aku lelah dalam kesia-siaan. Sial benar mimpiku hari ini, batinku.

Tetapi belaian tangan lembut yang diperhalus dengan creamer, seonggok asbak bersih, sebungkus rokok dan koran pagi yang tak pernah sekalipun mendukung cita-citaku bahkan jika itu datang dari dunia mimpi sekalipun itu, akhirnya membuat dua puluh empat jamku terasa tak begitu berat. Setidaknya aku merasa bahagia karena aku masih merasa ada.

Ketika aku sedang bangga-bangganya merasakan yang seperti itu, misscall  bertambah satu lagi. Cericit dari HP butut itu merayakan hari kebangkitanku. Selamat pagi, selamat pagi. Nomor-nomor yang kukenal dan selalu memiliki peluang untuk mendapatkan rezeki. Bagaimana aku tak bahagia? Belum berakhir, tapi setidaknya aku bisa menyebutnya dengan: happy ending. Ah, alangkah sederhananya sebuah kebahagiaan.

Anjing-Anjing itu Menatapku Penuh Curiga.

Aku terus saja berjalan-jalan di pinggir jalan. Membiarkan para pengendara memenuhi tubuh jalanan di pagi itu. Sekilas-kilas satu dua tanya menyeruak dalam benak: orang-orang sedang menuju atau tengah kembali? Atau, dalam buntalan daging mereka sudahkah mengendap sari-sari empat sehat lima sempurna, yang dengan gigih didapatkan dari tetesan keringat: pemenuhan hidup yang tak habis-habisnya.

Atau, mereka telah melupakan ritual ”menyantap”  di pagi hari untuk menandai bahwa hari itu tips-tips jitu yang tersirat dalam deretan daftar menu bukan lagi sesuatu yang langka untuk didapatkan dengan sebuah pekerjaan. Atau, sekali waktu, mereka tetap selapar aku?

Membayangkan aroma terapi pagi yang menentramkan sembari memuja Sang Pencipta dengan menyerap serangkum firman: ”Hai Anakku bangunlah, sambutlah rizki dari Rab-mu dan janganlah kamu tergolong orang-orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagi Rizki manusia antara terbitnya fajar menjelang terbitnya Matahari.”1]

Ya, aku seperti mendengar kata itu. Entah, mungkin dalam sebuah obrolan menjelang subuh di sebuah surau yang aku sendiri sudah lupa di mana. Tapi benar, aku masih mengingat itu dan seringkali menyaman-nyamankan perasaanku tentang harapan sepotong dua rezeki yang akan turun pagi ini.

Matahari sudah tinggi, aku segera melupakan aroma terapi pagi yang disemprotkan secara samar dalam jiwa dan ragaku. Apalah artinya tubuh ini yang terus menandai gerak, sementara ada sisa kebekuan yang terus diam jauh di palung jiwa sana. Sekali waktu terasa apek, menyengat atau sama sekali tak terasa. Dan pagi itu telah tumbuh menjadi perpaduan keduanya: aku bergerak dalam kediaman jiwaku yang tak sanggup bergerak. Aku hanya berderak-derak.

Maka seperti gemeretak tulang-tulang yang memburai dari buntalan dagingku sendiri, langkahku menggenapi kehidupan pagi. Di tengah orang-orang yang saling berteguran secara mekanis, para pekerja atau pengabdi robotik, sisa detail yang kuperhatikan adalah segerombolan anjing kumal di tikungan jalan. Keruh matanya mendahului usia yang sebenarnya.

Di depan pure, di dekat mesjid,  dua tiga anjing itu menatapku dengan mata cengang. Bukan tatapan mengagumi, tapi lebih ke arah iba dan keheranan. Sekejap kemudian—ketika aku merasa harus diam sedetik dua—air liurnya mulai menetes. Aku segera mencium bau busuk bangkai. Tulang-tulang yang saban hari menabung bibit-bibit osteoporosis itu teraniaya diantara serpihan daging. Darah beku, warnanya hitam nyaris kelabu. Tidak ada yang lebih mendominasi  stimulan bayangan buruk itu selain taring-taring runcing yang haus akan darah, daging dan tulang renyah ini. Aku merasa jijik, spontan meludah: sebuah improvisasi penolakan. Dan kepada mereka —anjing-anjing itu— kuberikan tatapan permakluman bahwa aku bukan mangsa yang pantas di pagi yang sederhana ini. Aku segera meninggalkan wilayah kengerian itu, berjalan lagi,  membawa tubuh yang minus empat sehat lima sempurna ini berlalu menuju siang.

Angin Ribut di Tikungan.

Aku bertaruh. Aku berjudi untuk siang yang pecah dan gerah ini. Lempengan aspal yang membujur panjang ini akan menjadi saksi. Mungkin sekitar sepuluh hasta ke depan, di jalan menikung sedikit dekat jembatan, ia akan lewat. Menyapaku dengan samar, sekilas senyuman, sedikit tolehan. Lalu seperti biasa, aku akan sedikit telat memberikan respon. Setelah semua berlalu, bayangannya lenyap di tikungan yang lain, energi kesadaranku kembali terbangun, utuh dan percaya bahwa yang baru saja terjadi itu adalah perjumpaan. Sekilas interaksi. Satu tegur sapa pendek yang menjadikanku ada.

Aku berjalan saja. Berjalan terus, sampai aku melihat beberapa kejadian yang pernah kulihat sebelumnya. Tempatnya persis, pelakunya sama tapi waktunya berbeda. (Sebab aku tak bisa menandai kapan tepatnya itu terjadi).

Punggung jembatan itu kini sudah di pelupuk mata. Aku bisa mencium anyir sungai sampah meruap  oleh angin dari bawahnya. Empat ekor anjing mengibaskan ekornya. Moncongnya runduk di himpitan kertas nasi. Seseorang di sebelahnya, yang tubuhnya ringkih dan tua  memindai ladang kotoran di depan matanya. Kotoran mekanis, botol-botol minuman dari air mineral yang semakin laku di pasaran. Seekor anjing mengonggong pendek, mengabarkan  kekecewaan  pada tiga kawannya: hanya ada tulang lemuru hari ini. Dan si tua yang ringkih itu tak peduli. Tangan-tangannya yang terbungkus sarung tangan jorok, semakin gemar bergerak keluar masuk di karung rami: lumayan hasil tangkapanku hari ini.

Waktu berikutnya aku sudah melampaui jembatan itu. Menjadi pemandangan biasa seperti lalu lalang orang-orang. Aku tak melihatnya seperti yang pernah kuduga sebelumnya. Tak ada tegur sapa sependek penggalan apapun. Tak ada sekilas senyuman, bahkan sedikit tolehan. Tak ada pertemuan. Di seputar jalanan itu yang kutemui justru sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ada suara menderu, sontak menghentikan gerakan orang-orang di jalan.

Tapi daun-daun segera bergerak cepat. Bergerak bersama energi angin yang murka. Debu-debu tayamum, sari-sari dari berinci-inci kotoran, memecah-pecah dari kesatuannya. Terbang semaunya dan mendera sekenanya setiap obyek di dekatnya. Setelah dikeruk oleh gulungan angin yang akan menyusun kekuatannya menjadi badai, segala yang ada di tanah dan di atasnya semrawut. Berderak-derak, menampar-nampar, memutar seperti gasing, kencang-kencang menerpa.

Tak ada wujud apapun seketika itu. Ya, selain kepanikan sebentar yang menyisakan keterlambatan ramalan cuaca. Dan aku berdiri mematung dengan tiga empat suara di belakangku: sentakan klakson kendaraan, lebih mengagetkan ketimbang deru. Ada suara makian, lebih riuh dan menghantam dibanding umpatan angin. Ada aroma busuk emosi yang menyengat hati, lebih menusuk ketimbang kerikil-kerikil yang dihempaskan. Ada sepotong dua wajah congkak yang melambungkan tensi darah.

Aku hanya memberikan tolehan ringan.  Berlalu tanpa sempat meminta maaf.

Lalu perlahan cuaca berubah. Angin kembali normal. Orang-orang berkendara sewajarnya membunuh kecemasan yang sebentar tadi melanda. Aku terus berjalan-jalan di pinggir jalan. Aku mengikuti alur, meninggalkan keributan arah mata angin. Terus. Terus hingga langkah kecilku menuju suatu tempat muasal lima kali misscall  itu menunggu.  Seseorang mungkin akan memberiku pekerjaan sederhana siang ini. Atau kalau tidak, aku pasti akan merasa baik-baik saja menemaninya minum kopi. Aku memiliki pertaruhan sederhana untuk hari ini. n

1] HR. Baihaqi


Lampung Post, Minggu, 31 Maret 2013

Sunday, March 24, 2013

Perempuan Pencatat Kenangan

Cerpen Badrul Munir Chair


SEMULA kami mengira tak ada yang berharga dari kehidupan seseorang seperti Lubna. Perempuan itu bisu dan mentalnya sedikit terganggu. Sepanjang hari ia berjalan berkeliling kampung tanpa tujuan pasti. Jika ia melihat kerumunan warga yang sedang berkumpul, ia akan mendekat. Ia akan tersenyum kepada warga yang sedang berkerumun itu, kemudian ia akan merebahkan dirinya di tanah, ikut mendengar percakapan-percakapan warga yang sedang rehat dari pekerjaan rumah tangga.

Jika penyakit mentalnya sedang kumat, ia akan berteriak kencang sembari menatap tajam setiap orang yang ada disekelilingnya. Ia seperti mengutuk dan menyumpahi kami yang kadang-kadang justru tersenyum melihat tingkah gila Lubna. Sementara Mak Saripah, ibunda Lubna, hanya menatap nanar anaknya penuh iba.

Namun jika Lubna sedang sehat, ia akan tersenyum sepanjang hari. Menyapa ramah setiap orang yang ditemuinya dengan kalimat yang tak kami mengerti. Kami yang disapanya akan mengangguk dan membalas senyuman Lubna, tak jarang kami memberi Lubna makanan kecil yang akan dengan senang hati ia terima.

Ya, semula kami mengira tak ada yang berharga dari kehidupan Lubna. Namun semenjak Lubna belajar menulis di bawah bimbingan ibu-ibu PKK yang datang dari kota, semenjak itulah kami merasa ada yang berharga dari kehidupan Lubna.

Awalnya suatu hari terjadi keributan di balai desa. Papan tulis yang mencatat catatan simpan pinjam koperasi desa dan anggaran dalam satu bulan kedepan tiba-tiba terhapus dan lenyap dari papan karena terkena rembesan air hujan. Padahal data-data itu baru saja dirapatkan tadi malam. Pengurus koperasi juga begitu teledor tidak menyalin catatan di kertas atau buku arsip koperasi. Tentu sulit untuk mengingat-ingat jumlah rincian anggaran yang sudah dirapatkan tadi malam.

Karena keteledoran itu, terjadi perdebatan sengit di antara pengurus yang kemudian mengarah pada keributan. Tiba-tiba di tengah perdebatan sengit itu, Lubna datang dengan memperlihatkan buku catatannya. Tentu kami terheran-heran, ternyata Lubna menyalin semua catatan di papan balai desa dengan lengkap, walaupun tulisannya tidak rapi dan lebih seperti cakar ayam.

Semenjak itulah kami sadar bahwa ternyata Lubna bisa diandalkan, masih ada yang bermanfaat dari kehidupan Lubna yang malang, terlahir bisu dan lemah mental, terlahir tanpa seorang ayah karena Mak Saripah yang janda tiba-tiba sudah hamil besar padahal suaminya sudah lebih sepuluh tahun lalu meninggal. Sampai saat ini Mak Saripah merahasiakan siapa ayah kandung Lubna kepada kami.

Di buku catatan yang selalu dibawanya ke mana-mana, Lubna mencatat semua hal yang dijumpainya. Mulai dari hal-hal penting hingga hal-hal sepele. Seperti nama-nama warga yang dijumpainya, makanan-makanan yang dimakannya dalam sehari,  hingga jumlah ayam di kandang tetangga juga tak luput dari catatannya.

Bertambah hari Lubna semakin rajin dan pandai mencatat. Lubna tak jarang juga sering dipercayai warga untuk mencatat hal-hal penting. Seperti misalnya ketika kami akan memberikan pinjaman uang kepada seseorang, kami akan memanggil Lubna untuk mencatat jumlah pinjaman yang kami berikan, sebagai bukti dan pengingat antara kedua belah pihak yang melangsungkan kesepakatan. Dengan senang hati, Lubna akan mencatat meski tidak kami janjikan imbalan.

Tak hanya pandai mencatat, Lubna juga pandai mendengarkan. Ia sering menjadi tempat bercerita orang-orang yang sedang sedih atau dilanda permasalahan. Mungkin kebisuan Lubna membuat kami lebih nyaman bercerita tanpa harus disela dan dibantah, daripada harus bercerita pada orang lain yang kerapkali membantah apa yang sedang kami keluhkan. Lagipula, Lubna tak akan mungkin menyebarkan keluh-kesah dan cerita kami yang lebih banyak mengenai masalah pribadi. Berbeda halnya jika kami bercerita kepada orang lain, rahasia pribadi kami akan bocor dan tersebar begitu cepat.

Jika kami bercerita dan berkeluh-kesah tentang permasalahan kami, Lubna begitu tulus mendengarkan, sambil sesekali ia mencorat-coret buku catatan, mungkin ia menulis apa yang kami ceritakan. Kami terus bercerita hingga semua keluh-kesah dan kesedihan kami puas kami utarakan.

Lama-kelamaan, kami tak hanya berkeluh kesah tentang permasalahan dan kesedihan yang sedang melanda kami, tetapi kami juga mulai menceritakan masa lalu dan kenangan-kenagang kami pada Lubna. Tentang mantan kekasih, lelaki-lelaki yang diam-diam kami kagumi, bahkan kami juga menceritakan perselingkuhan-perselingkuhan kami. Kami tak perlu khawatir rahasia kami akan bocor, toh Lubna hanya bisa mencatat, dan buku catatannya selalu ia dekap erat-erat.

Lubna telah menjelma sebagai tukang catat serba bisa, mulai catatan hutang hingga keluhan dan curahan hati kami yang sedang dilanda sedih dan duka. Lambat-laun buku catatan Lubna seperti buku catatan dosa yang menyimpan rahasia hampir seluruh warga.

Hingga suatu hari, buku catatan Lubna menimbulkan permasalahan besar. Karena catatan yang ditulisnya, keselamatan Lubna terancam. Permasalahan itu timbul karena Lubna mencatat surat wasiat mengenai pembagian harta warisan. Sebagaimana lazimnya kami yang selalu mempercayakan setiap permasalahan kepada Lubna, Pak Ginanjar, juragan kaya raya di kampung kami itu juga mempercayakan Lubna untuk menuliskan surat wasiat menjelang kematiannya.

Dalam catatan Lubna, tertulis pembagian harta warisan yang diperuntukkan kepada empat anak sang juragan. Awalnya tidak ada permasalahan dalam pembagian harta yang cukup merata itu. Namun ketika tiba-tiba Lubna membalik lembar buku catatannya, kami yang saat itu menyaksikan pembagian harta warisan di rumah mendiang Pak Ginanjar yang belum lama dikebumikan dibuat gempar. Dalam catatan itu Lubna menuliskan, bahwa rumah megah yang selama ini ditempati Pak Ginanjar diwariskan kepada Lubna, anak kandung Mak Saripah yang sebenarnya juga merupakan anak kandung Pak Ginanjar. Kontan saja kami dibuat gempar. Selama ini Mak Saripah merahasiakan ayah kandung Lubna dari kami selama bertahun-tahun.

Empat anak Pak Ginanjar yang belum reda dari kesedihan karena baru saja ditinggal ayahnya tiba-tiba kalap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa selama ini mendiang ayah mereka telah berbuat serong dengan Mak Saripah.

“Dasar perempuan gila pendusta!”

“Catatan orang gila seperti Lubna tidak bisa dipercaya!”

“Pasti ia mengada-ada!”

Lubna yang dicerca dengan kata-kata kasar seperti itu hanya diam, tiba-tiba ia menitikkan air mata. Kami tahu, Lubna adalah orang yang sangat jujur bahkan polos, orang seperti Lubna rasanya tidak mungkin berdusta.

“Kalau kamu masih ingin selamat, enyahlah dari kampung ini!”

Ancaman dari salah seorang anak juragan membuat Lubna berteriak kalap. Tiba-tiba ia berlari meninggalkan rumah mendiang Pak Ginanjar yang masih dipenuhi para pentakziah.

Semenjak itulah Lubna dan Mak Saripah meninggalkan kampung kami. Lubna pergi bersama rahasia-rahasia dan kenangan kami yang tersimpan dalam buku catatannya. n

/Yogyakarta, September 2012


Lampung Post, Minggu, 24 Maret 2013

Sunday, March 17, 2013

Perjalanan Pulang

Cerpen M. Joenoes Joesoef

NAMAKU Rosanah. Dipanggil Eros kemudian Rossy. Asalku dari Karangsoro, desa miskin di pantai utara. Sawah dan ladang kami sempit-sempit, tak memberikan hasil memadai. Maka kaum prianya sering merantau, menjelajahi kota-kota di sekitar, dekat mau pun jauh. Mereka jadi kuli bangunan, tukang gali, pemulung atau apa saja, asal dapat uang. Sekolahku cuma sampai kelas empat. Orangtuaku bilang, sekolah itu pemborosan.

Ketika aku haid pertamakali, emakku bilang, itu tandanya aku sudah mengancik dewasa, sudah jadi perempuan sejati. Segeralah belajar memacak diri, biar cepat ditaksir laki-laki. Di desa miskin ini, kawinnya seorang anak perempuan akan sangat melegakan orang tua. Mereka akan lepas dari beban dan tanggung jawab, dialihkan ke pundak sang menantu.

Sebetulnya sudah banyak yang menaksir diriku. Aku memang mewarisi penuh kecantikan emakku, yang waktu muda jadi pesinden keliningan, dengan pemuja yang tidak sedikit. Tubuhku tumbuh subur, mudah mengelabui orang tentang usiaku. Tetapi apa andalan para penaksirku itu? Mereka juga masih menggandol pada orangtua masing-masing. Mana bisa mereka memenuhi harapanku untuk lepas dari lilitan kemelaratan.
Masa depan cerah baru nampak, ketika Pak Dawud muncul di desa kami. Dia seorang pencari tenaga kerja, terutama wanita, untuk dikirimkan ke luar negeri. Ke Singapura , Malaysia, Taiwan, Hongkong atau Arab Saudi. Gajinya, katanya, berjuta-juta. Kalau ke Arab Saudi, malah ada keuntungan lain : bisa naik haji.
               
***

Puluhan orang mendaftar. Termasuk aku, setelah direstui bapak dan – terutama – emakku, yang bersemangat sekali mendorongku terima tawaran pekerjaan itu. Ternyata, yang memenuhi syarat – artinya, bisa bayar uang pendaftaran – hanya belasan. Aku sendiri tak perlu membayar samasekali, karena kata Pak Dawud, “Buat si Neng, biarlah semuanya bapak yang tanggung. Si Neng tahunya berangkat saja.”

Sejak semula, Pak Dawud memang nampak punya perhatian khusus kepadaku. Dia perlu-perlukan mampir, berkenalan dengan bapak dan emak, yang langsung senang pada laki-laki itu. Pak Dawud memang pintar membawakan diri. Tutur katanya lembut dan sopan. Dia bilang kepada orangtuaku, “Bapak dan ibu jangan kuatirkan si Neng. Saya akan jaga si Neng secara pribadi. Potong leher saya kalau saya bohong.”

Dan ketika rombongan kami diberangkatkan ke ibukota dengan minibus carteran, aku diperlakukan khusus. Aku diajak naik mobil Pak Dawud, sebuah Toyota Kijang. Betapa meluapnya rasa banggaku, ketika penduduk sedesa memandang terkesima, karena seorang Rosanah duduk berdampingan dengan orang kota.

Tetapi Pak Dawud tidak langsung membawaku ke ibukota. Dia mengajakku menginap di sebuah hotel kecil, tetapi ramai sekali. Perempuan-perempuan berdandan menor lalulalang. Mereka bicara dengan bahasa sembarangan, bahkan bahasa tak sopan. Kata Pak Dawud, “Bapak mau ajak si Neng senang-senang dulu. Urusan pekerjaan, mah, gampang! Besok-besok saja diselesaikan.”
           
***

Malam itu kami tidur sekamar dan seranjang. Mulanya aku merasa risih sekali. Tetapi Pak Dawud bersikap wajar dan kebapakan. Dia tidak omong macam-macam, apalagi berbuat macam-macam. Dia langsung tidur, mendengkur keras. Rasa risihku pelan-pelan sirna. Aku ingat lagi apa yang diucapkannya kepada orangtuaku. Agaknya dia memang teguh memegang ucapannya itu. Alangkah berbudinya Pak Dawud ini, aku membatin.  

Ternyata aku keliru. Pak Dawud bukanlah orang seperti yang kubayangkan. Bahkan sebaliknya. Dia telah mematangkan rencana untuk menjerumuskan aku ke jurang malapetaka yang dahsyat. Dan itu berawal dari datangnya seorang laki-laki lain ke kamar kami pada malam berikutnya. Dibandingkan dengan Pak Dawud, laki-laki itu bertubuh kecil. Mereka bicara dalam suara rendah, tak bisa kudengar. Tetapi yang jelas sekali, mata laki-laki itu tak pernah beralih dari diriku. Di akhir pembicaraan, mereka tertawa-tawa, lalu bersalaman. Dan Pak Dawud bilang, “Bapak ada urusan sebentar, Neng. Tolong si Neng temani Bapak Jahim ini dulu, ya?”

Dan bentuk malapetaka yang sebenarnya pun menjelma, begitu Pak Dawud keluar kamar. Tanpa buang-buang waktu, Pak Jahim meringkusku. Penuh takut dan bingung, aku coba berontak. Tetapi tak banyak yang bisa kuandalkan sebagai gadis desa enambelasan (tetapi di surat keteranganku ditulis duapuluh satu). Aku segera kehilangan daya. Dengan mudah laki-laki itu menguasai diriku. Aku hanya bisa menangis, yang ditanggapi Pak Jahim dengan enteng saja, “Ah, ini kan biasa antara laki-laki dan perempuan, Neng. Tidak usah takut. Malah kalau sudah satu kali merasakan, bisa-bisa si Neng ketagihan, he-he-he!”. Dan dia segera beraksi, mengebut dengan cepatnya, seperti sopir yang tak sabar, langsung tekan pedal gas dalam-dalam. Aku kesakitan sekali. Aku merintih berkepanjangan. Sungguh sial, dia salah menafsirkannya! Dan dia pun jadi tambah bersemangat. Tetapi sesungguhnya yang paling menimbulkan rasa muak dan tertipu adalah bentuk tubuhnya yang kecil itu. Ternyata tak semua bagian tubuhnya kecil.
               
***

Dan sejak malam itu, aku bukan lagi Rosanah yang cuma gadis desa  LAGI ROSANAH YANG CUMA GADIS desa dari Karangsoro. Aku sudah jadi barang dagangan, yang bebas ditawarkan kepada peminat, siapa saja. Aku dipromosikan sebagai “barang baru, yang masih segar dan hangat”. Dan Pak Dawud yang paling menangguk keuntungan.

Akhirnya aku tercampak ke Batam. Di sini aku sudah sepenuhnya menjadi “Rossy” dan menjadi “barang baru” lagi. Aku sukses menjaring pelanggan-pelanggan dari Singapura, terutama pada akhir pekan. Salah seorangnya adalah Mister Kwee, laki-laki empatpuluhan, manajer gudang pendingin hasil laut, katanya. Belakangan aku tahu, dia asal Indonesia juga, bahkan satu kabupaten denganku. Aku pun lalu menyapanya dengan “Oom Kwee”, mengajaknya omong dengan bahasa daerah pantai utara yang khas itu, hingga jadi sangat akrablah kami. Lambat laun, hubungan kami bukan lagi hanya sekadar antara seorang penjaja seks dengan pelanggannya, tetapi menjadi hubungan antara sesama manusia, menjadi lebih manusiawi.

Oom Kwee punya isteri dan anak, tetapi itu bukan anak kandungnya. Maka sangat besar keinginannya untuk juga punya anak sejati. Sayang, isterinya menolak keras, karena akan mengganggu karirnya sebagai pebisnis. Oom Kwee hanya bisa pasrah. Terus terang, dia selalu merasa “dibawah angin” jika menghadapi isterinya itu, yang sebetulnya masih adik sepupunya, anak pamannya. Ya, semua yang dimilikinya sekarang ini, berasal dari pemberian pamannya itu. Bukannya dia tak bisa usaha sendiri. Sewaktu masih di Indonesia , dia sudah berjaya sebagai petambak udang. Tetapi kegemarannya yang tak kenal batas terhadap judi, membikin semuanya berantakan. Lalu dia hijrah ke negeri Singa ini, bekerja di perusahaan pamannya. Sampai kemudian dia diminta menikahi adik sepupunya itu, yang hamil tanpa diketahui siapa penyebabnya, akibat pergaulan yang terlalu bebas.

“Aku ini memang laki-laki beristeri, Rossy,” bilang Oom Kwee suatu kali. “Tetapi aku samasekali tidak bisa merasakan hakekat sebenarnya dari statusku itu. Kamu tahu, isteriku itu dingin sekali. Yang dipikirkannya hanya kerja dan kerja. Dia tak pernah mau melayaniku sepenuh hati. Selalu ogah-ogahan. Makanya aku kelayapan kemana-mana. Aku merasa beruntung sekali, menemui kamu di sini. Ah, Rossy, kamu betul-betul perempuan yang bisa memenuhi semua apa yang dikehendaki laki-laki dari seorang perempuan.”

Oom Kwee adalah pelangganku yang paling tidak sayang pada uangnya. Setiap kali berkencan, sejuta dua juta selalu diserahkannya kepadaku. Sebagai imbalan, aku berusaha melayaninya sebaik yang aku bisa, seakan-akan aku adalah isterinya sejati. Mungkin ini sangat mengesankannya, sehingga pada suatu kali dia bilang, “Rossy, kamu harus ikut aku ke Singapura. Aku merasa tidak bisa pisah lagi dengan kamu. Kamu harus selalu mendampingi aku.”

Sangat bimbang, aku tanya, “Bagaimana dengan isteri Oom Kwee?”

“Gampang! Kita siasati dia. Akan kubilang, kamu adalah pembantu rumah tangga. Sudah lama dia cari-cari pembantu, untuk mengurus tanaman hias di aparteman kami. Kamu tinggal didalam. Ada kamar khusus untuk pembantu. Kamu mau, kan?”

Ke luar negeri?!? Tentu saja aku mau! Bukankah itu yang sebetulnya jadi tujuanku, ketika meninggalkan Karangsoro?
           
***   

Aparteman itu hanya hanya dihuni Om Kwee gdan istrinya. Itu pun dengan kamar terpisah. Sang anak diasuh oleh orangtua Tante Kwee (“tante” hanya sekadar sebutan dariku saja, karena tak pernah sekali pun aku sempat bicara dengan dia). Setiap hari, Tante Kwee berangkat pagi-pagi sekali, stir mobil sendiri. Baru pulang, setelah lewat pukul sembilan malam, malah sering lebih malam lagi. Hari Sabtu dan Minggu pun dia tak pernah ada di rumah. Dia main golf ke mana saja. Bahkan seringkali menyeberang ke Malaysia . Maka sungguh melimpah waktu yang dimiliki Oom Kwee. Sebagian besar dihabiskannya untuk bersenang-senang denganku.

Tetapi benar sekali kata orang, tak ada perbuatan jahat yang tak dihukum. Dan itulah yang kualami, ketika pada suatu hari Sabtu, Tante Kwee pulang main golf jauh lebih cepat dari biasa, sementara aku sibuk melayani suaminya. Aku paham sekali, kalau dia sampai kalap. Tetapi yang tak kubayangkan, dia akan bertindak sejauh itu. Dia hajar kepalaku dengan tongkat golf berkepala besi, ketika aku coba bangkit dari sikap baringku, sementara Oom Kwee berdiri pucat dan telanjang di pojok kamar. Berkali-kali dia lakukan itu. Dan setiap kali kepalaku berderak-derak. Mulanya terasa sakit luar biasa. Tetapi aneh sekali, sebentar saja, rasa sakit itu sudah menghilang. Yang kemudian terjadi, tubuhku menjadi ringan, lalu bisa mengapung, sama halnya dengan para astronot di kapal ruang angkasa, seperti yang kulihat di teve. Kalau aku gerakkan tangan atau kakiku dengan agak keras, tubuhku pun bergerak tak terkendali. Sampai akhirnya aku menumbuk plafon. Dari situ aku menyaksikan pemandangan yang ada di bawah sana . Seram! Tubuhku yang telanjang tergolek di kasur, kepalaku remuk, berkubang dalam darah. Wajah Oom Kwee pucat pasi, tubuhnya gemetar hebat. Sementara Tante Kwee berdiri membelakangi tubuhku, menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Rupanya dia sendiri pun tak kuat menyaksikan akibat perbuatannya.

Tetapi mereka tak lama-lama amat tercekam dengan keadaan di kamar itu. Mereka mulai bicara dengan bahasanya sendiri. Lalu Oom Kwee cepat-cepat berpakaian. Kemudian mulailah suami isteri itu bertindak. Mereka kumpulkan barang-barang yang berharga. Sesudah itu semua kamar diacak-acak. Apa saja dijungkirbalikkan. Lalu mereka tinggalkan apartemen, menuju ke rumah orangtua Tante Kwee. Tentu saja bersama barang-barang berharga itu. Tidak lupa tongkat golf yang dipakai menghajar kepalaku. Pintu apartemen sengaja tidak dikunci.

Setelah tiga hari, para penghuni apartemen yang lain mulai mengendus bau yang tak sedap. Tentu saja itu berasal dari tubuhku, yang masih terbaring di tempat semula dan mulai membusuk. Lalu apartemen diperiksa. Dan terjadilah kegemparan. Polisi datang.

Oom Kwee dan isterinya yang dimintai keterangan bilang, mereka tetirah sejak lima hari yang lalu di rumah orangtua mereka. Aku ditinggal sendirian. Tak lupa mereka ajukan dugaan, aku mungkin diperkosa dan dibunuh oleh perampok atau para perampok. Melihat kenyataan yang ada, polisi cenderung membenarkan dugaan itu.

Tentu saja aku marah dan kecewa sekali. Tetapi apa yang bisa kulakukan? Aku hanya semakin memprihatini diriku sendiri. Selama ini aku betul-betul cuma jadi alat pemuas nafsu laki-laki semata. Ketika aku tak bisa lagi melakukan hal itu, aku tak punya arti apa pun, tidak juga atas nama kebenaran dan keadilan. Lihatlah Oom Kwee itu. Dia tahu kenyataan yang sebenarnya, tetapi dia ingkari. Ya, aku yang masih hidup memang bisa jadi ajang pemuas nafsunya. Tetapi apa gunanya aku yang sudah mati?

Dan sekarang, dalam wadah sempit, kedap udara, aku dalam perjalanan pulang ke Karangsoro. Aku sedih, karena gagal melaksanakan cita-cita hendak memberikan masa depan yang lebih baik kepada bapak, emak, dan adik-adikku. Mereka masih harus tertatih-tatih menempuh jalan panjang kemelaratan itu. Entah sampai kapan. n


Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013

Sunday, March 10, 2013

Seutas Kenangan yang Melilit Leher Loya

Cerpen Mashdar Zainal
   

Sebuah Novel dan Secarik Puisi Romantis
Puisi itu ditulis tangan, di atas selembar kertas berwarna ungu muda bergambar semu bunga-bunga. Puisi itu disampaikan pada Loya dengan diselipkan dalam sebuah novel—yang diberikan pada Loya sebagai hadiah ulang tahun.

“Terima kasih. Novelnya bagus sekali. Aku sudah khatam membacanya,” ungkap Loya saat bertemu kembali dengan lelaki itu.

“Bagaimana dengan…”

“Puisinya aku juga sudah baca, dan akan kusimpan sebagai harta karunku.”

“Kau menyukainya?” mata lelaki itu berbinar.

“Lebih dari sekadar menyukai.” Tegas Loya.

“Artinya….”   

“Artinya aku bodoh sekali jika aku tidak...”

Lelaki itu langsung paham maksud Loya. Ia meloncat kegirangan sebelum merangkul Loya dan menciumnya penuh hasrat. Loya tak bisa berkata-kata. Sudah lama ia tergila-gila pada lelaki itu. Hanya saja, ia seorang perempuan, perempuan yang hanya bisa menunggu. Dan perasaanya selama ini memang tidak salah. Lelaki itu juga menyimpan perasaan padanya. Itulah yang disebut sebagai: pucuk dicinta ulam tiba.

Setiap malam, sebelum memejamkan mata. Loya selalu membuka kembali puisi itu. Membacanya sambil tersenyum. Kemudian melipatnya kembali dan menyimpanya di bawah bantal, hingga senyum manis lelaki itu terbawa sampai tidurnya.


Sebatang Lipstick Ungu

Seusai nonton bioskop, lelaki itu mengajak Loya ke toko kosmetik.

“Aku ingin kau terlihat cantik, meski kau memang sudah cantik,” kata lelaki itu.

Lelaki itu meminta Loya untuk memilih sendiri merek bedak dan perawatan wajah yang ia kehendaki. Tapi, dalam hal lipstick, lelaki itu sendiri yang memilihkannya.

“Ah, kau ini. Menikah pun belum, sudah kau pilihkan aku warna janda,” kata Loya, tak terima.

“Memangnya ungu itu warna janda?”

“Ha? Bahkan kau tak tahu itu?”

“Aku baru tahu kalau ungu itu warna janda.”

“Tak mau, ah! Mendingan yang pink.”

“Yang ini bagus. Cocok dengan warna bibirmu.”

“Yang pink aja.”

“Pink itu sudah terlalu biasa. Aku mau kau tampil beda. Percaya padaku. Ungu akan membuatmu semakin cantik.”

“Gombaaal!”

“Sudahlah. Ini cocok dengan warna bibirmu,” ulang lelaki itu.

“Aduuuh… kok ungu sih?”

“Ungu bagus. Aku suka sekali warna ungu. Tak bisa kubayangkan jika itu bibirmu.” Lelaki itu mengeluarkan rayuanya.

Loya mulai goyah, “Coba sini lihat!” Loya memperhatikan sebatang lipstick yang dari tadi diacung-acungkan oleh kekasihnya.

“Ini tak seburuk yang kukira. Ini lembut sekali. Boleh juga,” kata loya kemudian.

“Makanya…” Lelaki itu melenggangkan senyum kemenangan.

Sampai di rumah kost. Lelaki itu sendiri yang mengoleskan lipstick ungu itu ke bibir Loya. Loya tersipu-sipu. Hingga lelaki itu membasahi bibirnya dengan warna ungu yang tersaput di bibir Loya. Mereka tenggelam dalam warna ungu yang menggetarkan. Warna ungu yang penuh muslihat.


Seutas Syal Panjang Berwarna Hijau Muda Bergambar Bintang

Malam melarut dalam dingin. Loya membenamkan kepalanya ke pundak lelaki itu. Mereka duduk di sebuah bangku panjang di tengah taman kota. Menunggu pergantian tahun. Segepok kembang api sudah dalam genggaman Loya. Nanti, tepat pukul 00.00 mereka akan menyalakannya bersama-sama.

“Lihat bintang-bintang itu!” tatapan Loya terlempar ke langit lepas.

“Kenapa?”

“Indah sekali. Aku ingin menjadi bintang,” ungkap loya seperti orang yang tengah melamun.

“Jangan!!” sontak lelaki itu.

“Kenapa?”

“Bintang itu selalu sendiri. Kedinginan. Kesepian. Aku tak mau kau begitu…”

Loya mengalihkan paku pandangnya. Ia menatap mata jernih lelaki itu dan tersenyum. Lelaki itu balas menatapnya. Tulus. Loya semakin merapatkan kepalanya. Ia bisa mencium parfum yang dipakai di leher kekasihnya.

“Kau kedinginan. Sebentar. Tunggu di sini, ya!” Lelaki itu beranjak meninggalkan Loya.

Beberapa menit kemudian, lelaki itu datang dengan sebuah syal panjang berwarna hijau muda bergambar bintang. Lelaki itu memakaikan syal itu di leher Loya.

“Yang warna ungu habis. Jadi kupilihkan yang hijau muda saja,” tukas lelaki itu.

“Kau beli di mana?” tanya Loya, sambil merapikan syal di lehernya.

“Ada deh!”

“Kau tidak suka bintang. Tapi kenapa kau belikan aku syal bergambar bintang?”

“Aku tak bilang aku tak suka bintang. Aku hanya tak mau kau menjadi bintang. Karena, kalau kau menjadi bintang. Kau akan pergi meninggalkanku, ya, kan?”

“Kalau begitu aku jadi rembulan saja. Dan kau bisa jadi matahari.”

“Jangan! Nanti kita takkan pernah bertemu.”

“Kalau begitu… aku jadi apa?”

“Kau jadi Loya saja. Itu lebih dari cukup.”

“Hei, sebentar lagi pukul 00.00. Ayo kita siapakan kembang apinya.”

Lelaki itu terus mengawasi Loya yang sibuk dengan kembang api di tangannya.

“Aku takut kehilanganmu!” tiba-tiba lelaki itu mendekap tubuh Loya.


Sebuah Rumah Kecil dengan Dua Kamar

“Kita belum menikah. Jadi mana bisa kita tinggal bersama.”

“Ini kota besar, Loy. Siapa yang peduli kita sudah menikah atau belum.”

“Tapi…”

“Aku sengaja membeli rumah ini, supaya kita bisa tinggal bersama, Loy. Selepas ini kita menikah dan rumah inilah yang akan menjadi surga kita.”

“Iya. Tapi…”

“Sudah. Sekarang saatnya memindahkan barang-barangmu ke rumah ini. Rumah kostmu itu terlalu sempit dan butut. Aku tak mau kau tinggal di sana lagi.”

Faktanya, kekasih Loya adalah putra seorang pejabat. Uang tak pernah jadi masalah. Kalau mau, sebenarnya Loya bisa meminta apa saja. Tapi Loya hanya membutuhkan cinta, dan ia sudah mendapatkannya dengan sempurna. Sebenarnya ia senang sekali. Tinggal di rumah baru, berdua dengan lelaki yang sangat ia cintai. Tapi tetap saja, ada yang mengganjal di dadanya. Sampai detik itu orang tua lelaki itu, pun orang tua Loya di kampung, masih belum tahu hubungan mereka. Entah atas dasar apa, mereka seperti telah sepakat dengan dunianya tanpa khawatir oleh biba-bibu orang tua mereka.

Rumah itu kecil namun sangat elegan. Dengan dua kamar ukuran 4x5, dengan dua  taman kecil di depan dan belakang. Dengan satu dapur dan kamar mandi. Pertama menempati rumah itu, Loya tak bisa berhenti tersenyum. Ia membayangkan, setiap pagi ia akan membangunkan kekasihnya dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Ia juga akan memasakkan masakan apa saja yang diinginkan kekasihnya.

Malam pertama menempati rumah itu, Loya dan lelaki itu tak dapat menahan dirinya. Dalam sebuah kamar yang lampunya dimatikan. Lelaki itu merengkuh tubuh Loya seolah tak mau kehilangan. Loya pun menyambutnya. Mereka melebur menjadi satu. Mereka larut dan saling memagut. Malam itu, dunia adalah milik mereka.


Sepasang Gaun Pengantin

Lelaki itu mengajak Loya ke butik. Di sana, lelaki itu memesan sepasang gaun pengantin. Untuknya dan Loya. Loya tak begitu pandai memilih kain dan motiv-motivnya. Maka, Loya memutuskan untuk menyerahkan semua pada kekasihnya. Beberapa minggu kemudian, gaun itu telah di antar ke rumah mereka. Mereka sempat foto-foto berdua mengenakan gaun itu.

“Sebentar lagi kita akan menikah,” ungkap lelaki itu.

“Dan kita akan merawat anak kita bersama-sama,” balas Loya sambil mengelus perutnya.

“Tiga bulan, ya?”

Lelaki itu mengecup perut Loya yang mulai membuncit.

“Bagaimana orang tuamu?” tanya Loya  kemudian.

Lelaki itu diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Mereka akan merestui pernikahan kita. Bagaimana orang tuamu?”

“Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini pada mereka,” Loya mulai menangis.

Lelaki itu menenangkan Loya dalam pelukannya.


Selembar Foto Ukuran 10R

Foto itu di pajang di dalam kamar. Mereka berdua duduk di atas ranjang sambil  memandangi foto itu.

“Kita memang serasi,” ucap lelaki itu. Loya hanya tersenyum.

“Bulan depan. Di sebelahnya akan ada dua foto lagi.”

“Foto apa?”

“Foto kita wisuda. Kau di sebelah kiri dan aku di sebelah kanan.”

Loya hanya mengangguk. Mendengar kata wisuda, tiba-tiba hatinya jadi tidak enak. Entah sebab apa. Loya sangat khawatir. Dan kekhawatiran seorang wanita tak pernah salah. Episode tawa akan lewat, saatnya episode air mata…

Menjelang wisuda, lelaki itu pamit kepada Loya untuk pulang ke kotanya dan berkabar perihal mereka ke orang tuanya. Begitu pun Loya. Dengan gemetar ia menceritakan semua pada orang tuanya. Ia meminta restu kedua orang tuanya untuk menikah. Di sini Loya tidak menjelaskan kalau ia tengah hamil. Tapi siapa yang bisa menyembunyikan bangkai. Kedua orang tua Loya terlalu pandai untuk dikelabuhi. Mereka mencium permohonan loya yang tiba-tiba, tubuh loya yang semakin mekar, juga gelagat loya yang tak bisa menyimpan kebohongan. Maka detik itu pula, orang tua Loya mengusir Loya halus-halus.

“Kau ikut calon suamimu saja. Bapak tak akan menggelar pesta pernikahan kecuali pesta pernikahan yang baik-baik saja.” kata bapak Loya dingin.

Sementara ibunya, kembali opname setelah mendengar kebenaran kabar anaknya.

Maka, Loya kembali ke rumah kecil itu dengan perasaan hancur. Harapannya hanya satu: lelaki itu datang dengan kabar gembira. Namun selang beberapa minggu, bulan, lelaki itu tidak juga kembali. Sebentar lagi wisuda kelulusan akan digelar. Dan lelaki itu tak ada kabar. Perut Loya semakin membuncit. Ia tak mungkin mengikuti pesta pengukuhan gelar itu dalam keadaan demikian. Namun, di pesta wisuda kelulusan itu, Loya melihat lelaki itu bersama keluarganya di sebuah sedan mengkilap. Lelaki itu seperti tak mengenal Loya. Di sini, Loya mengindahkan prasangkanya. Barangkali orang tua lelaki itu tak mersetui hubungan anaknya. Tapi Loya sangat yakin, kalau lelaki yang ia cintai itu juga sangat mencintainya, jadi tak mungkin ia meinggalkannya begitu saja.

Benar bukan? Sinar mata Loya kembali berbinar ketika seorang teman mengantarkan sebuah surat yang ditipkan lelaki itu untuknya. Dalam bayangan Loya, lelaki itu akan datang dan meminta maaf, setelah itu membawanya lari ke tempat yang jauh. Jauh dari jangkauan orang-orang tua yang sulit untuk dimintai pengertian. Dalam hal minta maaf, Loya tidak salah. Dalam suratnya, lelaki itu mengucapkan maaf beberapa kali. Dalam hal pergi jauh, Loya juga tidak salah, yang salah hanya… lelaki itu hanya pergi seorang diri, tanpa mengajak Loya.

Lelaki itu mengaku, setelah menjelaskan semua pada orang tuanya, orang tua lelaki itu mengirim lelaki itu ke Australia. Dengan begitu, ia bisa meredamkan rasa malu, katanya. Lelaki itu, mengakhiri suratnya tanpa sesuatu yang bisa diharapkan Loya, kecuali sebuah rumah yang telah dipasrahkan untuknya. Maka, sampai di situ, Loya sudah tahu bagaimana cerita cintanya akan berakhir.
   

Seorang Bayi


Loya merasa bersyukur. Lelaki itu masih meninggalkan sebuah rumah untuknya tinggal. Loya tidak membenci lelaki itu atas apa yang ia lakukan. Karena di suratnya yang terakhir, lelaki itu masih mengatakan, bahwa ia masih sangat mencintai Loya. Beberapa bulan kemudian, bayi yang dikandung Loya lahir. Tanpa ayah. Loya membesarkan bayinya seorang diri. Ia juga mulai mencari kerja kesana-kemari untuk menghidupi dirinya dan bayinya, hingga ia diterima bekerja di sebuah pabrik garment, yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Ia menyewa seorang gadis belia untuk merawat bayinya sementara ia bekerja.


Selembar Undangan

Ketika bayinya menginjak usia ketiga. Katastrofa kembali menderanya. Seorang teman lama tiba-tiba datang dengan kabar buruk. Ia datang dengan selembar undangan. Undangan itu memang bukan untuk Loya. Teman lama itu datang untuk sekedar berkabar. Dalam undangan itu, Loya jelas-jelas membaca nama lelaki itu. Lelaki yang banyak menitipkan kenangan untuknya, termasuk seorang bayi. Foto lelaki itu juga terpajang di sana, tengah memeluk seorang gadis—mempelai putri. Loya tak bisa bernapas.

Saat teman lamanya itu memohon diri. Loya masih tercengang dengan tangis tanpa suara. Sesekali ia melirik balitanya yang tengah asyik bermain. Loya tak bisa mengungkapkan perasaanya. Tangisan pun rasanya tak pernah cukup.


Seutas Kenangan yang Melilit Leher Loya

Malam itu Loya gelisah. Di ruang tengah, ia mengumpulkan satu demi satu kenangan yang telah ditinggalkan lelaki itu untuknya. Sebuah novel dan lipstick berwarna unggu ia geletakkan di atas meja. Secarik puisi dan selembar foto ukuran 10 R ia tempelkan di dinding ruang tengah, dengan perekat plastik. Sepasang gaun pengantin ia jabar di atas sofa. Bayinya ia dudukkan di sofa yang lain. Selembar undangan berwarna ungu masih ia genggam erat-erat di tanganya. Seperti menggenggam dendam.

Lantas Loya mulai mengenakan syal panjang berwarna hijau muda bergambar bintang di lehernya. Dengan syal itu ia membentuk tali laso di lehernya. Kemudian dengan menaiki kursi, ia mengaitkan ujung lain syal itu pada tangkai kipas angin, kuat-kuat. Setelah yakin, Loya pun menendang kursi itu. Selembar undangan berwarna ungu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Loya meronta, matanya mendelik dan berair, lidahnya menjulur. Balitanya yang duduk di sofa hanya tertawa-tawa. Ia mengira, ibunya tengah mengajaknya bermain. n

Malang, Desember 2010

Sunday, March 3, 2013

Hujan dan Kisah Bola Daging di Mangkuk Cap Ayam

Cerpen Ika Nurliana
   

BUKAN subyektivitas. Tapi aku yakin dari seribu orang yang harus melakukan ini, belum tentu satu yang bisa menikmatinya. Oh, mungkin aku berlebihan, baiklah kuralat. Dari seratus orang yang harus melakukan hal seperti aku ini, hanya satu orang yang dapat menikmatinya. Dan mungkin satu orang itu adalah dia dengan keisimewaaan kesabaran atau kebetulan otaknya sedang tak waras!

Menunggu dalam panas terik yang mendadak menyengat kulit. Kenapa pula aku begitu bodohnya janjian dengannya di perempatan jalan dengan lalulalang kendaraan dan semburan kenalpotnya? Kenapa tidak aku pilih café atau lobi hotel saja? Akan nyaman. Ngadem, dan banyak pemandangan. Ah, terlanjur sudah! Aku nyari yang praktis saja dan kuterlalu berprasangka baik kalau ia termasuk orang yang tepat waktu dalam janji. Baiklah, tak apa aku telah menunggu di sini, berdiri mematung di pojok ruko ini, berlalu sudah dua puluh menit. Agak gila!

Kenapa mendadak cepat sore? Kepalaku mendongak, bola mataku mengejar matahari ke arah barat. Oh tidak! Langit gelap! Mendung kelabu merapat. Ini dia cuaca yang sama sekali tak kuperhitungkan. Kenapa pula handphone dia tak bisa dihubungi? Dimatikan? Takut disadap? Oh lala… poooh!

Awan akan segera jatuh jadi hujan! Aku akan menjadi orang yang semakin tampak bodoh bila membiarkan badanku basah kuyup oleh percikan air. Air atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Bukan. Menepuk air di dalam bak, terpercik ke muka sendiri. Bukan. Tak ada hubungannya keadaanku ini dengan dua pribahasa pengairan itu tadi.

Membiarkan kepalaku celingak celinguk, maka kutemukan tempat itu. Prediksiku ini hujan akan sangat lebat dalam waktu sebentar, atau rintik lama dan tetap membasahi badanku juga! Baiklah, perlu ketepatan berpikir dan kecermatan dalam mengambil keputusan. Aku menuju ke sana. Tak boleh sayang uang. Kalau hanya untuk makan di sana saja aku tak punya uang, tentu tak akan mungkin terpikir kesalahanku mengapa tak janjian saja di café atau lobi hotel berbintang. Ini, di tasku ada puluhan juta. Kalau aku dengan gaya proletar ini, sungguh hanya sebatas cara untuk tetap terkesan sederhana. Kakiku melangkah ke sana.

Seorang pelayan di tempat makan sederhana ini menyambutku.

“Pesan apa Bang?” aku dipanggil Bang, panggilan yang telah lama hilang dari pendengaran.

“Ada mi ayam dan bakso,” ucapnya sopan.

Tanpa pikir panjang aku bilang. “Bakso pakai mi putih dan mi kuning ya,” ia mengangguk,

“Minumnya?”

“Es tawar saja,” aku tahu ia bengong sesaat.

Kenapa? Kamu kira aku miskin? Untuk makan di kafe atau menginap di hotel uangku ini cukup! Ah, tapi untuk apa aku bicara begitu? Akan lebih baik mereka selalu melihatku sederhana. Uangku sih, kusimpan saja atau seperti yang sudah sudah, kuinvestasikan dengan cara tersembunyi. Beli tanah di luar propinsi dan buat kamar kos kosan itu invest teraman. Istriku? Ia piih berlian tanpa pernah dipakai dan logam mulia yang disimpan di bank. Tak perlu penampilan. Sebab terlanjur mengidentitaskan diri sebagai orang yang sederhana begini.

Aku berpindah tempat duduk ke pojok dan kudengar teriakan pelayan tadi. “Bakso putih kuming satu, es tawar satu.”

“Apa? Es tawar?” suara pelayan yang lain mampir ke daun telingaku.

***

SAMBIL menunggu pesanan datang, aku mencoba menghubunginya lagi. Tidak aktif juga. Apa maksudnya ini? Lalu uang ini akan diapakan? Puluhan juta aku tenteng begini saja. Ah, benar-benar jutawan gaya proletar!

Pesanan itu datang tak lama kemudian. Aroma baksonya, hmmmm. Sudah lama aku tak menikmati makanan seperti ini. Pasti nikmat sekali. Dulu, aku terbiasa makan bakso tanpa  saus dan kecap.

Aku belum mrnyentuhnya. Saat pandanganku keluar warung bakso ini dan mendapati hujan turun semakin menderas, mendadak aku memikirkan sedang dimanakah ia? Apakah telah terjadi sesuatu dengan dirinya hingga ponselnya belum juga aktif? Apakah dugaanku yang hiperbola tadi memang telah terjadi? Ataukah hanya masalah teknis, handphone nya habis batre di perjalanan. Ah, uang itu masih utuh padaku. Harus ku jaga. Ini amanah.

Aku menikmati makanan yang sudah sejak semenit lalu di depanku. Belum memakannya. Tapi menikmati aromanya. Rasanya belum puas saja mencium aroma lezat itu, anehnya belum mau juga menyentuh sendoknya.

Persis seorang perempuan yang tengah ngidam. Merengek minta bakso sedangkan waktu sudah mulai larut malam dan di luar sana hujan. Bersikeras tidak mau ditinggal untuk beli, dibungkus, dibawa pulang. Nekat ikut jalan jauh ke warung bakso, sampai di tempat, enggan turun dari motor, ternyata sudah puas melihat tempatnya dan aroma dari kepulan asapnya. Perempuan ngidam ada-ada saja pintanya. Tapi itu tentu bukan aku. Karena aku jelas pria. Dan istriku tidak sedang ngidam pula! Ini hanya sekelumit cerita tentang temanku. Lalu, dimana ini teman yang sudah kutunggu sejak tadi? Apakah aku baru akan memakan bakso ini setelah melihat batang hidungnya datang duduk di depanku?

“Bang, kok belum dinikmati baksonya?” aku tersenyum untuk menguasai diri dari kegugupan.

Sialan pelayan ini. Aku harus jawab apa agar ia puas. Mengapa pula ia memanggilku abang. Semestinya akulah yang memanggilnya demikian. Abang tukang bakso, mari-mari sini, aku mau beli, abang tukang bakso lekas dong kemari sudah tak tahan lagi, satu mangkuk saja, lima ratus perak yang banyak baksonya, bla bla bla.

Busyet dah! Kenapa aku masih hapal lagu kesukaan adiku jaman kecilnya itu? Dan tunggu dulu, lagi itu tahun berapa ya? Harga bakso lima ratus perak atau dua ratus si Eno itu bilang? Sekarang sepuluh ribu. Kulirik lagi uang dalam kantong plastik itu. Kugeser lebih mendekat. Aku takut khilaf.

Bakso bulat berkuah, dengan mi putih kuning, taburan bawang goreng dan daun seledri. Aku memang macam orang gila saja tak lekas menikmatinya.

“Mas,” tiba-tiba aku tergerak untuk bertanya sesuatu pada pelayan yang tengah membersihkan meja sebelah.

“Iya Bang?”

“Ini bakso apa?" apakah pertanyaanku terkesan tolol hinga ia bengong begitu? Atau kalimatku yang terlalu tinggi menurutnya? Disangkanya ini hanya sebuah kalimat tanya penuh kias?

“Bakso sapi.”

“Bakso sapi?” aku bergumam masih dengan tanda tanya.

“Iya Bang, bakso sapi, bukan yang lain. Sapi halal kan?!” ia menjawab panjang.

“Sapi impor atau lokal?” ia bengong lagi. Tahu aku menunggu jawabnya dan mungkin itu akan menjadi jawaban yang amat penting bagiku, ia memilih cara aman, diam lalu menggeleng.

“Enggak tahu saya,” aku sengaja menampakkan wajah kecewa, entah untuk alasan apa.

Aku tak tahu apa maksudku bertanya begitu. Mungkin di pikiran ruang bawah sadarku memerintahkan aku untuk menunda makan sambil menunggu rekan. Hujan sudah mulai reda, kepulan asap dari mangkok baksoku sudah menipis. Kehangatannya berkurang., mungkin itu juga akan berbanding lurus dengan rasa nikmat saat nanti ku makan, jika aku masih mau menyantapnya.

Sampai saat ini aku lebih tertarik untuk memandang makananku itu. Es sekali saja kuseruput. Bola daging sapi sepuluh biji, ukurannya kecil-kecil. Tampak nikmat disajikan dengan mangkuk putih bergambarkan ayam jago merah.

***

“KAU di sini,” mendadak sosok itu berdiri tegak di depanku. Beberapa bagian badannya tampak basah. Ia lompat bangku dan duduk.

“Bagaimana kau tahu dan langsung di sini?” kucoba sembunyikan curiga.

“Aku tahu, di mana posisimu, kan ponselmu disadap, aku tahu kau bawa uang banyak,” ia tertawa tergelak gelak sendiri, mungkin karena melihat mukaku yang memucat.

“Gampang saja. Kita janjian di situ, saat hujan kau akan berteduh di tempat terdekat sambil mungkin menikmati makanan, apa lagi saat tahu ponselku tak bisa dihubungi,” cukup cerdas tebakannya.

“Kau sekarang vegetarian, ya?” ia menatap aneh kearahku dan mangkok baksoku.

“Tak. Cuma aku belum memakannya. Mau?” ia menggeleng cepat.

“Aku pesan mi ayam, kenapa tak lekas kau makan, aku sudah disini,” ujarnya

Aku menghela nafas. “Aneh. Aku kasihan melihat sapi yang telah jadi bola begini,” ia terbahak.

“Aku sebaliknya, aku benci dengan sapi!” sedetik lalu ia terbahak, kini ia membentak seperti orang kalap.

Aku memandang menembus matanya.    

“Kenapa?” tanyaku pelan.

“Sapi adalah binatang yang paling sombong! Karena ia laris dan banyak dikonsumsi. Bahkan komuditas ekspor impor daging terbesar. Lihat bagaimana sistem pencernaannya. Binatang pemamah biak, makan pelan tapi rakus begitu. Sapi di banyak negara menimbulkan persoalan. Dari mulai penyakitnya, dagingnya yang mahal sampai harus operasi pasar menjelang lebaran, jadi rebutan untuk dibuat rendang,” aku menyimak.

“Dan kau tahu betapa terkenalnya sapi hanya karena bahasa kias, politik dagang sapi, sapi perah, sapi ompong, gerobak cadang ditarik sapi lawang, masih akan ada lagi nanti,” ia masih emosi hanya karena sapi.
"Sapi itu membuat petani sulit di saat kemarau. Ia tak lebih baik dari kerbau yang mau membantu membajak sawah,” aku terpukau dengan kalimatnya. Mi ayamnya belum datang juga. Memasak mi ayam memang lebih lama dari menghidangkan bakso.

“Sapi makin hari makin terkenal saja. Sapi sudah seperti selebriti, beredar di koran, televisi, infotainment, hallah! Ia menjadi makin terkenal karena namanya. Ia tak tahu terima kasih dan sekarang menyusahkan banyak orang dan petinggi negeri ini,”

“Ah, bahasamu Chuy, sejak kapan jadi bisa berfilosofi atau kau tengah belajar jadi politisi?” aku tersenyum.

“Lihatlah mangkukmu itu, aku semakin benci sapi dan lebih suka pada ayam.”

Aku menaikkan alis dan memandangnya, menunggunya bicara.

“Bola bola daging sapi itu tersaji dengan apik, dinikmati dan dipuji, tidakah kita lihat mangkok cap ayam yang begitu setia membawanya? Tapi ayam itu dapat apa?” aku tersenyum geli, mengerti tapi tak mampu menanggapi.

“Kau tahu? Sejak dulu ayam dan sapi musuhan. Di mangkokmu itupun tengah terjadi pertengkaran antara ayam dan bola daging,” kalimatnya nada geram.

“Kenapa?”

“Kau lupa atau belum tahu sejarahnya? Ratusan tahun lalu ayam susah payah membantu manusia, ia berkorban banyak saat mengeluarkan telur dan rela diambil manusia walau ia ingin mengeraminya, lalu digorenglah telur itu untuk lauk anak manusia, ternyata manusia itu lupa pada jasa ayam, ia malah menamakannya mata sapi. Sejak saat itu ayam benci pada sapi. Ayam yang berjuang, sapi yang dapat nama!”

“Kenapa ayam benci pada sapi? Bukan pada manusia?”

“Karena mereka beda dimensi, Bodoh! Ayam tak bisa bercakap dengan manusia!”

Oh, orang ini berani mengataiku bodoh hanya karena sapi!

“Lalu? Apakah permusuhan antara mereka masih saja terjadi?” rasa penasaran memaksaku untuk menyabarkan diri.

“Tentu, itu akan abadi,” tegasnya.

“Kau seperti mengerti bahasa binatang,”

“Sedikit memahami bahasa binatang, lebih tepatnya bahasa makanan, coba nikmati daging sapi itu, belajarlah mulai sekarang,” perintahnya.

“Bagaimana caranya?”

“Bertanyalah apa saja sambil kau tetap mengunyah, saat bertanya tak perlu bersuara, pakai hatimu!” ia memberi arahan.

Seperti sapi ompong, aku menurut, sebab ia sudah mulai menyuap mi ayamnya, baksoku sudah dingin. Konsekuensi, ini harus tetap kunikmati.

“Bagaimana?”

“Dia berkata, dia datang dari tempat yang jauh, menyeberangi samudra, lintas benua,” aku berbisik.
“Tanyakan, dia dari mana,”

“Dia dari Amerika,” aku masih berbisik.

“Sekali lagi, kau kalah oleh sapi!”

“Maksudnya?”

“Pernahkah kau ke luar negeri?” aku tahu ia mengejekku.

“Kau tahu, aku banyak uang,” aku melirik kantong uang itu. “Tapi aku telanjur komitmen untuk tetap hidup sederhana, jadi belum bisa plesiran ke sana,” ia mengangguk.

Aku mengerti. Sapi ini sungguh kurang ajar sekali. Aku merasa kalah olehnya.

“Kau orang kaya, terhormat, tetap kalah oleh sapi, binatang berkaki empat?! Ia sudah malang melintang ke seantero jagad! Kau di sini terlalu teliti dan hati-hati dengan komitmen dan janji hati!” mendengarnya aku mengumpat dalam diam.

EoL, 030213


Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013