Sunday, March 27, 2011

Malam Ziarah

Cerpen Aris Kurniawan


WARTI tersungkur di punggung makam. Memeluk gundukan tanah dengan sepasang lengannya. Separuh wajahnya yang mulus tak berjarak dengan permukaan tanah yang ditumbuhi alang-alang yang mulai membasah oleh embun.

Cahaya bulan samar-samar membantunya membaca guratan nama di nisan papan. Dia menahan suara tangisnya, tapi tak kuasa menghentikan air yang ambrol dari kedua sudut matanya. Susah payah dia mengambil posisi bersimpuh lantaran gaun terusan panjang yang dikenakannya, lalu berdoa dalam diam.

Hening. Hanya dengung serangga malam dan detak jantung Warti yang terdengar. Dadang yang berdiri di sampingnya melirik haru namun tetap membersitkan kesan melecehkan. Angin berdesir lembut mengelus tengkuk Warti yang berguncang-guncang.

"Sudahlah, War. Tak usah lama-lama, percuma, doamu tak bakal diterima," celetuk Dadang menusuk perasaan Warti. Tapi dia tidak peduli, dan merasa tak perlu peduli. Warti sudah terlalu terbiasa dengan kalimat menyakitkan yang ditujukan kepadanya, bahkan sejak dia kanak-kanak, ketika dia bernama Warto. Dan Dadang merupakan orang nomor satu dalam hal melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan. Sekarang kupingnya sudah kebal.

Tak akan pupus dari ingatan Warti lontaran menyakitkan dari mulut Dadang yang pertama kali. Waktu itu Warti baru kelas empat sekolah dasar. Panitia perayaan tujuh belasan memilihnya ikut menari tari-tarian daerah untuk mengisi panggung hiburan di balai desa. Tari lilin dari Padang, tari pendet dari Bali, tari remong dari Jawa Timur. Warti menyambut sangat gembira ajakan tersebut.

Namun Dadang berusaha mencegah keikutsertaan Warti. "Jangan mau, Warto. Tarian itu untuk anak perempuan. Jadi banci kamu nanti," bentak Dadang. Namun Warti berkukuh. Bagi Warti inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya berguna, bukan dalam turnamen sepak bola, bola voli, atau permainan gobak sodor, seperti kawan-kawan sebayanya dalam tradisi merayakan hari kemerdekaan di kampung.

Sesudahnya ucapan dan umpatan menyakitkan lainnya berhamburan lebih banyak lagi dari mulut Dadang dan saudara-saudara Warti yang lain, juga tetangga, teman-teman, bahkan ibunya turut bersikap keras jika melihat Warti bersikap lemah lembut. Hanya bapaknya yang tak sekalipun bersikap kasar. Bapaklah yang sepuluh tahun lalu membuat Warti begitu berat meninggalkan caci maki, hinaan, dan segenap kenangan buruk masa kanaknya desa ini, ke Surabaya.

"Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Bapak. Aku baik-baik saja di Surabaya. Salam buat ibu dan saudara-saudara semua di rumah." Begitu Warti menulis surat untuk bapak, sesampai di Surabaya. Warti tidak tahu surat itu sampai atau tidak. Kesulitan memenuhi kebutuhan hidup di perantauan seorang diri membuat dia tak sempat memikirkan nasib surat lebih lanjut. Tapi Warti yakin bapak selalu berdoa untuk keselamatannya.

***

"SUDAH malam, War." Suara Dadang mendesing, menggasak hening.

Warti bergeming. Wajah teduh bapak memenuhi kepalanya. Wajah orang yang selalu membelanya saat ibu dan saudara-saudaranya mencaci maki. Menyediakan pangkuannya bagi tumpahan air mata Warti, mengelus-elus kepalanya penuh welas asih. Terngiang pertengkaran bapak dan ibunya yang berbeda sikap terhadap kondisi Warti.

"Walau bagaimanapun kamu tetap anak bapak sampai kapan pun." Demikian kata bapak, lirih, setiap ibu membentak Warti.

Kata-kata ini yang mengiang dan membuat Warti merasa tidak benar-benar sendiri. Kata-kata yang memberi kekuatan pada Warti untuk menerima takdir yang harus dipikulnya. Kata-kata yang membekali Warti menempuh jalan hidupnya yang lain di Surabaya.

"Aku pergi, Bapak," kata Warti suatu malam, sambil tersedu.

"Mau pergi ke mana, kamu anakku?" bapaknya bertanya pilu.

Jika mengingat adegan ini, beberapa waktu sesudahnya, Warti seperti melihat sebuah adegan dalam sinetron yang membuat dia tak kuasa menahan haru. Dadanya sesak, air mata berlelehan tak henti-henti sampai Warti berada di dalam bus. Waktu itu, sama sekali dia tak tahu hendak menemui siapa di Surabaya.

***

"PULANGLAH lebih dulu, Kang Dadang. Aku nanti menyusul."

"Ini hampir tengah malam, Warti. Tidak aman buat perempuan...."

"Aku bisa menjaga diri," tukas Warti, pelan tapi tegas. Sekilas dia melirik wajah Dadang. Wajah itu mirip sekali dengan wajah bapak. Tapi kenapa watak keduanya sungguh bertolak belakang? Sungguh, saat ini Warti membutuhkan wajah Bapak untuk meredakan ketakutannya.

"Kamu memang keras kepala!" bisik Dadang. Dia melangkah menjauh, lantas duduk di gundukan makam berporselen, membakar rokok. Klepas klepus sembari mengawasi Warti yang masih bersimpuh, khusyuk sekali. Sampai habis beberapa batang rokok, Warti tak juga selesai berdoa. Dadang agak menyesal kenapa tidak menunggu besok pagi saja mengantar Warti ke makam bapak. Kedatangan Warti dengan wujud baru magrib tadi sangat mengejutkan. Begitu mendengar bapak telah meninggal Warti langsung memohon diantar ke makam. Hhhs..., Dadang mendesis gelisah. Sibuk menghalau nyamuk yang berdenging menggigiti kulitnya.

Ketika selesai berdoa Warti tak kunjung beranjak dari simpuhnya. Dia merasa begitu berat meninggalkan makam bapak. Bukan hanya karena menyesal tak bisa melihat bapak untuk yang terakhir kali, tapi ada ketakutan lain yang menguntit perasaannya. Dia takut polisi memburu sampai ke rumahnya. Jantung Warti mendadak berdegup kencang tak mampu mengenyahkan kecemasan yang melanda jantungnya dengan hebat.

Peristiwa itu kembali berkelebatan di kepalanya. Peristiwa yang membuat semua usaha yang dibangunnya di Surabaya berantakan. Sumarsih, karyawan setia di salon miliknya, berkhianat. Pagi itu Sumarsih menelpon minta izin tidak masuk kerja dengan alasan sakit. Namun menjelang sore ketika Warti menjenguk di kamar kontrakannya, dia mendapati Sumarsih tengah berangkulan lekat sekali dengan Subardi, kekasih Warti.

Dengan perasaan tersayat Warti berlari pulang. Sekeranjang buah yang dijinjingya terlempar begitu saja. Apel merah Australia dan jeruk Mandarin berpentalan, menggelinding ke sana kemari. Jadi rebutan bocah-bocah dekil penghuni permukiman para kere tersebut.

Sesampai di rumahnya di belakang kios salon, Warti menumpahkan air matanya sampai habis tak bersisa di dalam kamar. Ternyata ada yang lebih menyakitkan dari segala hinaan dan caci maki yang pernah diterimanya sejak kecil. Kenapa kamu tega sekali, Sumarsih? Mengkhianati aku, orang yang telah mengangkat kamu dari jalanan?

"Ampun, Yu. Mas Subardi yang memulai." Sumarsih bersimpuh di kaki Warti.

"Apa yang kurang dariku, Marsih? Selama ini aku menganggapmu lebih dari karyawan. Tega sekali kamu, Marsih. Ternyata benar desas-desus itu. Jancuk kamu, Marsih." Suara Warti bergetar oleh kemarahan yang berbaur dengan kepedihan.

"Ampun, Yu." Sumarsih terus bersimpuh di kaki Warti, menangis sesenggukan.

Perasaan Warti yang lembut dan mudah tersentuh perlahan-lahan luluh melihat Sumarsih terus mengiba. Warti tahu Subardi memang hidung belang. Tapi Warti telanjur jatuh hati pada lelaki itu. Bahkan tergila-gila. Apa saja keinginan lelaki pengangguran jebolan pesantren itu dia penuhi. Subardi tahu betul merogoh hati Warti.

Tetapi itulah kesalahan Marsih yang tak termaafkan. Pengkhianatan itu berulang. Kali ini mereka melakukannya di kamar Warti. Mereka benar-benar sepasang ular berbisa yang harus ditebas kepalanya. Kalap Warti merenggut pedang pajangan di dinding. Kemudian didobraknya pintu. Warti melihat sepasang ular itu terkesiap ketakutan. Dia sibak kain kelambu dengan ujung pedang. Wajah mereka pucat pasi, menyembah-nyembah Warti, lupa menutup tubuh mereka yang telanjang bersimbah keringat dingin.

"Bangun kalian, Iblis, tatap mataku." Suara Warti terdengar menggeram seperti harimau hendak menerkam mangsa yang diincar sekian lama. Dalam hidupnya mungkin baru kali ini Warti bisa sebegini murka. Warti masih sempat melihat wajah Sumarsih yang sepias mayat sebelum pedang dalam genggamannya terayun cepat menyabet leher Sumarsih. Darah muncrat seketika, deras bagai air mancur, memerahkan sprai dan lantai.

"Wartiii, ampuuunn..." Subardi memekik dan berupaya menubruk Warti. Malang bagi Subardi. Tubuhnya disambut pedang terhunus. Subardi ambruk dengan ujung pedang menancap tepat di ulu hatinya.

"Inilah buah pengkhianatan yang harus kalianmu terima," desis Warti menatap nanar kedua mayat mereka yang bergelimang darah. Kesadaran Warti lekas bekerja. Dia masukkan jasad mereka ke dalam sejumlah karung setelah memenggal-menggalnya menjadi beberapa bagian.

***

"AYO War, sudah malam," Dadang setengah berteriak, membuyarkan lamunan Warti.

"Kang Dadang, biarkan aku bermalam di sini. Sebelum subuh aku mau langsung kembali ke Surabaya. Ambillah kopor dan semua isinya untuk kalian," kata Warti, hampir berbisik sembari merapikan selendang transparan penutup kepalanya.

Dadang terpaku menatap wajah Warti yang tampak samar di bawah cahaya bulan. Tapi Dadang dapat menangkap betapa wajah itu halus dan cantik, dengan lekuk rahang yang melengkung lembut.

"Kamu tahu, War, sewaktu bapak sakit sering memanggil-manggil kamu. Bahkan menjelang wafat nama kamu yang disebutnya," ujar Dadang. "Kami mau mencarimu, tapi tak tahu kamu tinggal di mana," kalimat terakhir tak sempat keluar lantaran segera terpotong kata-kata Warti yang meminta Dadang meninggalkannya seorang diri.

"Sudahlah, Kang Dadang, tidak ada yang perlu disesali, pulanglah," kata Warti seperti ditujukan kepada diri sendiri. Dia telah merobek gaun panjangnya sebatas lutut.

Dadang berdiri gamang. "Tidak, War. Kamu harus kembali ke rumah. Mereka pasti sudah menunggumu," kata Dadang, memperkencang debaran jantung Warti. Kulit wajahnya tentulah memucat, tapi Dadang tak dapat melihat perubahan itu dalam keremangan. Keduanya terdiam beberapa saat. Sebelum tiba-tiba terdengar suara kemerosak langkah kaki dari arah jalan desa.

Seketika Warti berkelebat pergi, "Kang Dadang, pulanglah, sampaikan salam dan maafku untuk saudara-saudara semua."

"Wartiii...."

Langkah-langkah yang datang dari arah desa ternyata saudara-saudara Warti. Segera mereka secara serentak mengejar Warti yang terus lari lintang pukang menerabas semak-semak.

"Wartiii, maafkan kami, kembalilah, kami kangen... Wartiii..." seruan-seruan mereka mengelupas keheningan malam terang bulan itu. Namun Warti terus lari, dan lari, sampai ia tak memperhatikan di depannya melintang sungai curam.

Pondok Pinang, Januari 2011


--------
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya: Lagu Cinta untuk Tuhan (kumpulan cerpen, 2005,) Lari dari Persembunyian (kumpulan sajak, 2007).


Lampung Post, Minggu, 27 Maret 2011

Sunday, March 20, 2011

Pelajaran Tersenyum

Cerpen Benny Arnas


SEJATINYA, gadis itu hanya berteman dan bercakap dengan angin, dedaunan, belatung, dan tanah serta pepohonan yang mempersilakan air mengalir dan memercik darinya.

***

Apakah ia kara? Mana sang ayah, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keluarga, atas dirinya?

Apa? Ayah?

Ah, kini gadis kecil tak peduli lagi. Sama dengan tak mau tahu bahwa setiap anak sejatinya memiliki ayah. Ya, bunda adalah orang tuanya. Bunda berjiwa kembar dalam badan tunggal. Ya ayah, ya bunda, ada dalam diri wanita yang melahirkannya itu.

***

"Kerjakan nomor 1 sampai 30!" Bu Alis memberi tugas setelah seharian menyetrap beberapa murid yang tidak mengerjakan tugas.

Dari arah kursi belakang, seorang gadis kecil mengacungkan tangan.

"Iya," ujar Bu Alis, "Ada yang ingin kau tanyakan, Pik."

"Ya, Bu."

Bu Alis tersenyum masam sambil mendongak ke arah jam yang bertengger di dinding, satu meter di atas papan tulis. "Cepatlah, nanti telat juga kita pulang!"

Anak-anak lain bersungut-sungut. Takut kalau Bu Alis marah. Mereka tak ingin jadi korban setrapan seperti beberapa temannya yang berdiri—dengan sebelah kaki di depan kelas—sejak kelas dimulai, hingga kini hendak pulang.

"Mmm...."

"Cepatlah!" Bu Alis membentak.

"Mengapa... Ibu jarang sekali tersenyum?"

"Aaaah....!" Bu Alis mengibaskan tangannya. "Kukira apa yang ingin kau tanyakan tadi!" ujarnya gusar. "Hei, dengar kalian semua...!"

Anak-anak makin bersungut. Kedua tangan mereka sudah rapi terlipat di atas meja, dengan kepala setengah menunduk dan ekspresi wajah yang disopan-sopankan.

"Kalau anak-anak bengal macam kalian aku baik-baikkan, akan jadi apa negara ini? Makin ngelunjak kalian nanti. Tak ada hormat-hormatnya pada guru. Nanti juga tak hormat pada orang tua, orang yang lebih tua, dan pada siapa-siapa!"

Belum sempat Upik menganggapi, Bu Alis sudah berlalu. "Jangan lupa, les di tempat Ibu sore ini. Selamat siang!" repetnya sebelum menutup kelas.

***

"Pengidap kanker otak harus segera dioperasi. Obat-obatan yang diberikan tak lebih hanya sekedar penghilang rasa sakit. Apabila terus dibiarkan, ia bisa kehilangan ingatan masa lalunya. Ia juga bisa membuat dunianya sendiri."

Wanita paruh baya itu menunduk saja. "Biarlah saya pulang dulu ke desa, Bu. Kumpul uang dahulu," batinnya.

....

Dalam perjalanan pulang, seorang gadis enam tahun-an bertanya pada ibunya:

"Bunda, kok bu dokternya tak pernah tersenyum ya?"

"Hussh... tak baik menggunjing orang, Nak. Apalagi orang yang lebih tua."

"Dia dan teman-temannya di rumah sakit itu juga jahat ya, Bunda?"

"Husssh...! Sudahlah!"

"Masak enggak mau ngobatin Upik."

"Enggak cukup uangnya, Nak."

"Katanya berobat dan sekolah tidak bayar, Bunda?"

"...."

"Awas, Bunda...!"

"Aaaakkkhhh...!"

"Bundaaa...!

***

Gadis kecil itu berlari dengan langkah lebar. Ujung kedua kakinya mengenjit-enjit serupa balerina. Ah, balerina. Terlalu tinggi kata itu. Gadis kecil itu tak paham apa itu balerina. Tinggalnya saja di desa. Terpencil. Yang ia tahu adalah hatinya benar-benar gembira hari ini. Sepanjang jalan ia semringah: tersenyum dengan sebenar senyum.

Dari mana kau, wahai peri kecil?

"Dari rumah Umi."

Umi? Umi siapa?

"Umi. Ya Umi."

Ibumu?

"Bukan! Ibuku namanya bukan Umi, tapi Jamilah."

Ooo...

"Umi orangnya cantik. Usianya sama dengan Bu Alis."

29?

"Entahlah. Pokoknya seumuran Bu Alis. Guru kami yang masih gadis!"

....

Gadis kecil itu berlari kecil lagi. Tetap berinjit-injit. Kali ini di hadapannya telah menghampar sawah setengah menguning. Pemandangan yang kurang disukai si gadis kecil. Menurutnya, kalau padi-padi itu tidak hijau lagi. Alamatnya sawah akan segera berisi lumpur dan tanah liat saja. Ah, tak elok dipandang! Gadis kecil itu tetap tidak mau menerima ketika suatu waktu seorang petani yang tiba-tiba saja peduli pada celotehannya berkata: "Tapi itu juga alamat bahwa kita akan panen. Banyak beras. Kau bisa makan hingga kenyang. O ya, dulu, ketika orang tuamu masih hidup, mereka juga senang bila padi-padi di sawah telah menguning. Ah, sayang kau masih sangat kecil waktu itu."

***

"Nilaimu bagus-bagus, Nak."

"Iya, Bunda."

"Bunda juga sering tersenyum, ya?"

"Kok bertanya seperti itu, Sayang?"

"Kalau lihat Bunda, Upik jadi ingat Umi."

"Umi mana?"

"Umi yang tinggal di pondok dekat hutan, Bunda."

"Ooo di sana. Baru dibangun pondok ya?"

"Ada Umi di sana, Bunda."

"Iya, tapi apa hubungannya dengan senyum Bunda?"

"Iya. Kalau liat Bunda, Upik ingat Umi."

"Enggak kebalik?"

"?"

"Bukannya kalau lihat Umi, Upik jadi ingat Bunda?"

"Eh... ah... sama saja Bunda."

"Ya sudah. Bunda menanak nasi dulu ya, Nak."

"Iya bunda."

"..."

Ah, andaikan Bunda sering di rumah.

Gadis kecil itu menekuri buku-buku pelajarannya. Walaupun baru kelas dua SD, ia tidak mau mengecewakan Bunda.

"Ranking berapa, Nak?"

"Dua puluh, Bunda."

"Dari...?"

"Tiga dua, Bunda."

Gadis kecil itu masih mengingat dengan baik bagian dialog dengan sang bunda beberapa bulan silam. Bundanya yang pergi subuh-pulang magrib sudah sangat capai bekerja sebagai pengangkut batu. Pernah ia menanyakan di mana gerangan sang bunda bekerja, tapi wanita paruh baya itu hanya tersenyum dengan mata sendunya. Gadis kecil itu tahu makna bahasa wajah orang yang melahirkannya itu: Sudahlah Nak, belajarlah yang rajin agar tidak jadi pengangkut batu seperti orang tuamu.

***

"Ada apa pula dengan dirimu, Nak?"

"..."

"Jangan diam, Nak."

"..."

"Tak kaupikirkan betapa capainya Bunda mengais rezeki."

"..."

"Masih kecil, tapi kau sudah bertingkah aneh-aneh saja!"

"Bu Alis tak pandai mengajar, Bunda."

"Apa maksudmu, Nak? Jaga tuturmu! Dia gurumu. Ibunda Guru yang mulia. Tak ada yang elok serupa sang guru. Bila tak ada dia, maka tak ada sekolahan di kampung kelam ini, Nak."

"Upik tak rehat sekolah Bunda. Hanya les saja tak mau dengan Bu Alis lagi. Upik les dengan Umi saja, Bunda."

"?"

"Boleh, Bunda?"

"Umi lagi, Umi lagi. Siapa nian Umi itu, Nak?"

"Seumuran Bu Alis. Agak lebih muda dari Bunda-lah. Tapi... baik sekali."

"Ah, Bunda tak mengerti, Nak."

"Bundaaa...!"

"Hhh...."

"Ayolah kita ke sekolahnya Umi tu!"

"Umi tak punya sekolah, Bunda. Cuma pondok."

"Pondok?"

"Iya."

"Jadi, macam mana ia memberi pelajaran? Aduuh... Upikku Sayang, jangan ganjil-ganjillah bercerita!"

"Tapi... Upik bisa mengerti semua pelajaran kalau Umi yang mengajar."

"Maksudmu, Nak?"

"Iya Bunda. Yang belum dipelajari, Upik juga bisa!"

"Ah, tak mungkin...."

Entah bagaimana caranya, akhirnya gadis kecil itu berhasil meyakinkan bundanya.

***

"Bagaimana bisa kau dapat ranking satu, Upikku Sayaaang...!"

"Ya, Upik belajar dengan Umi, Bunda."

"Husssh! Kau bawa-bawa jualah Bu Alis tu. Ia juga berjasa, Sayang."

"..."

"O ya, apa yang kau pelajari dari Umi, Nak?"

"Umi sering tersenyum, Bunda."

"Maksud Bunda, seperti apa dia mengajarmu, Nak?"

"Dengan senyum, Bunda."

"Aduuuh, Nak. Senyam-senyum, senyam-senyum. Macam mana kau ni, Upik. Ranking satu, tapi..."

"Iya, cuma dengan senyum, Bunda!"

"Pelajarannya?"

"Pelajaran tersenyum!"

***

Rumah Upik raib. Bunda juga tak lagi tampak. Entah, apakah ditelan kabut yang tumpah pagi tadi, atau apa... oooh, Upik tak mengerti. Gadis kecil itu meraung-raung. Baru ia sadari bahwa wajah Bunda mirip sekali dengan Umi. O tidak, wajah bunda benar-benar sama dengan wajah Umi.

Jadi? Ooohhh....

Maka, tergesa ia ke utara desa, ke hutan, ke pondok Umi.

Upik terpekur di tanah kosong itu. Tak ada lagi pondok itu. Apakah ada dalilnya bahwa rumah dan pondok pun dapat bersepakat untuk menghilang? Ah, Upik juga tak mengerti. Di sana, ia hanya mendapati sebuah foto kusam yang tergeletak di salah satu sisi kuburan: foto wanita paruh baya yang sedang tersenyum. Ia tercekat membaca sebuah nama yang terukir di sana, di nisan tua.

* * *

"Sekarang Upik di mana?"

"Di rumah sakit, Sayang!"

"Mana Bunda?"

"..."

"Mana Umi?"

Suster-suster muda itu terdiam.

"Kita panggil dokter saja, ya...."

"Kamu saja!"

"Kamu!"

"Aku takut nanti dia marah. Kamu tahu kan kalau dokter muda itu buasnya kayak harimau. Nyuruh kita tersenyum tapi dia sendiri tidak pernah tersenyum!"

"Ya sudah, panggil gih!"

"..."

"Mana Umi...?"

"..."

"Bu... bu dokter, anak ini sudah sadar. Dia menyebut dirinya Upik, Bu!"

"Mana Bunda...?"

"Tenang ya Sayang, di sini ada bu dokter yang akan menemanimu."

"Mana Umi....?"

"Itu hanya khayalanmu saja, Nak. Kau sekarang di rumah sakit. Istirahatlah, ya."

"Mana Bunda....?"

"..."

"Bu dokter, gimana ini?"

Setelah kembali berusaha menenangkan si pasien, dokter itu memperkenalkan diri. Dokter Alis. Entah, apa maksudnya mengutarakan hal yang tidak penting itu. Dokter itu lalu tersenyum. Seperti menyeringai. Ada taring di dekat gerahamnya.

Gadis kecil tercekat. Nama yang baru saja ia dengar seolah mengeluarkan tangan-tangan kekar dan berkuku tajam yang tak tampak, yang mencekiknya.

Upik meninggal dunia. Ada senyum yang melengkung di wajahnya.

***

"Meninggalnya gadis kecil itu karena terlalu lama bertahan hidup hanya dengan makanan yang tidak jelas asupan gizinya."

"Tapi Bu, bukankah ia selama ini bisa bertahan hingga lima tahun dengan makanan seperti itu?"

"Tak tahukah kalian kalau cacing memiliki kandungan protein yang mengalahkan ikan?"

"Tidakkah ada penyebab lain... ?"

"Itu di luar analisis medis?"

"Penyebab lain... ?"

"Penyebab lain lagi? Karena saya jarang tersenyum pada pasien? Itu maksud kalian? Kalian rekan wartawan jangan membuat berita yang tak jelas kebenarannya!"

"Maaf Bu, kami bahkan tidak tahu kalau Anda jarang tersenyum...."

"?"

"..."

"Ya sudah, lupakanlah itu!"

"!?"

"Yang jelas, yang akan saya katakan ini, saya pikir, jauh lebih layak kalian jadikan berita."

Berceritalah bu dokter itu bahwa ia pernah bertemu dengan si anak dan almarhum ibunya beberapa tahun silam. Entah bagaimana bisa dokter pelit senyum itu dapat menyampaikan hal tersebut. Yang jelas dengan percaya diri sekali ia menceritakan percakapan yang pernah ia lakukan dengan perawatnya, beberapa saat setelah dua beranak itu meninggalkan RS:

Para kuli tinta itu hanya mengangguk-angguk. Tak ada yang mereka lakukan—tidak pula mencatat, selain bergumam dalam hati: Ah, cari sensasi saja kau, gadis tua! n

---------------
Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Meraih Anugerah Batanghari Sembilan (2009) dan Krakatau Award (2009 & 2010). Bukunya Bulan Celurit Api (kumpulan cerpen, 2010).


Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011

Sunday, March 13, 2011

Kado Ultah

Cerpen Tarpin A. Nasri


BUAH CINTA, kasih, sayang, rindu dan pernikahanku dengan Kunti Dewi Talibrata, telah terlahir. Anak kami yang sulung laki-laki, kuberi nama Bisma Putra Bayu, dan anak kami yang ragil perempuan. Istriku memberi nama Widawati Putri Setyawati. Kami hidup rukun, damai, dan bahagia dalam bingkai kesederhanaan.

Anakku bukan tak pernah merayakan ulang tahun, karena baik Bisma maupun Widawati, pernah diulangtahunkan meski tidak setiap tahun. Kalau ada rezeki lebih, kedua anakku diultahkan. Akan tetapi bila rezekinya hanya cukup untuk menyangga biaya hidup sehari-hari, paling-paling aku minta tolong Kunti untuk memasak yang agak spesial. Seperti hari ini misalnya. Pada hari ultah Widawati kali ini, aku menyuruh istriku membuat soto ayam spesial.

Ketika soto ayam spesial terhidang di meja makan, aku bilang, "Hari ini ulang tahun siapa?"

"Akuuu....," jawab Widawati sambil mengangkat telunjuk tangannya tinggi-tinggi.

"Ya benar, Sayang," ujar istriku. "Hari ini adalah hari ulang tahun Widawati yang keempat," lanjut soulmate-ku.

"Jadi soto ini sebagai tanda ulang tahun Widawati ya, Pa?" tanya Bisma.

"Iya, Mas," jawabku. "Habis mau dirayakan dengan meriah Papa lagi tak punya cukup uang nih," lanjutku.

Setelah aku memimpin doa sebelum makan dan kami mengucapkan ultah kepada Widawati disertai dengan ciuman, kami kemudian makan soto bersama.

"Rasa sotonya enak banget, Ma," puji Bisma.

"Masa sih?" ujarku.

"Benar, Pa," jawab Bisma. "Soto buatan Mama enak banget bumbunya."

Kami makan soto dengan nikmat dan semua nambah. Setelah selesai makan malam dengan soto, istriku memimpin doa penutup makan. Tapi setelah itu, aku dan istriku menangis di kamar. Karena tanpa disengaja, tadi di meja makan Widawati mengalungkan mi di lehernya sambil bilang, "Mama lihat Ma, bagus ya kalung Nduk," katanya.

Aku benar-benar sedih. Daun telinga, leher, pergelangan tangan dan jari-jari anakku sudah sangat lama tidak dihiasi emas, baik itu dalam bentuk anting, kalung, gelang ataupun cincin. Dan lebih sedih lagi ketika pulang sekolah Widawati curhat kepadaku kalau teman sekolahnya di TK, Gisella, baru saja dibelikan kalung dan gelang oleh orang tuanya. Katanya Ella yang sudah cantik jadi tambah cantik. “Kalau Nduk pakai gelang dan kalung kan nanti cantik juga, Pa,” kata dia.

Aku melirik istriku yang matanya juga sudah ikut basah, "Nanti kalau Papa gajian, Nduk juga dibelikan sama Papa. Sabar ya, Sayang," jawab istriku. "Iya kan, Pa?"

Demi Widawati, aku mengangguk saja. Padahal saat itu aku berpikir keras: dari mana aku dapat uang untuk membeli kalung, gelang, anting atau cincin untuk anakku? Karena gaji bulan depan sudah terbayang alokasinya untuk apa saja. Kalaupun ada sisa, itu untuk kebutuhan rutin bulanan dapur, bayar iuran sekolah, listrik, sampah, arisan dan cadangan berobat bila swaktu-waktu di antara kami ada yang sakit dan harus ke dokter.

Sampai Cutiku habis dan aku berangkat kerja kembali, aku belum bisa membelikan barang emas untuk mempercantik penampilan anakku. Aku benar-benar sedih, bahkan sampai aku tak bisa makan melebihi dari yang penting bisa makan. Begitu aku mau makan enak sedikit saja, aku seperti mengunyah Widawati. Begitu aku merokok, Widawati mengepul di asap rokokku. Akhirnya aku makan dan merokok benar-benar irit. Jangankan untuk minum susu, kini ngopi juga aku mikir-mikir. Paling pol aku ngeteh. Itu pun kadang-kadang saja. Aku lebih banyak minum air putih dari isi ulang. Semua itu aku lakukan demi mengumpulkan sedikit demi sedikit uang buat menggembirakan Widawati.

Sampai beberapa kali gajian, aku baru bisa mengumpulkan sedikit uang untuk hadiah ulang tahun Widawati. Tiga bulan kemudian begitu uang hampir terkumpul sesuai kebutuhan, ndilalah-nya Bisma wajib mengikuti study tour. Duh Gusti! Bagaimana ini?

Terpaksa pergelangan tangan dan leher Widawati bakal polos lagi. Kami sedih bukan main, dan itu pun diketahui Bisma. "Kalau saja study tour ini tidak wajib diikuti, Bisma tidak apa-apa tidak ikut, Pa. Karena Bisma tahu, hidup kita lagi susah, dan Nduk Widawati ingin dibelikan kalung dan gelang,” katanya. “Bisma juga tahu, jangankan untuk study tour, untuk makan kita saja begitu sederhana dan seadanya, tapi semuanya terserah Papa deh mana yang terbaik," lanjut Bisma dengan sangat bijaksana meski baru kelas III SMP.

Aku memeluk Bisma dengan segenap cintaku, "Kita serahkan saja semuanya kepada Tuhan. Yang jelas Papa pasti berusaha dan bekerja yang terbaik untuk Mama dan anak-anak Papa. Oke?"

KETIKA aku sedang berperang antara membiayai study tour Bisma atau membelikan kalung dan gelang untuk Widawati, datanglah Pengurus Remaja Islam Masjid Al Huda minta sumbangan 50—100 nasi kotak untuk acara makan siang dengan anak yatim piatu. Tanpa pikir panjang kuiyakan permohonan tersebut.

Esoknya aku memesan sejumlah nasi kotak seperti yang diminta utusan panitia, bahkan pesannya kulebihkan sampai 25 kotak. Lalu istri dan anak-anakku kuajak memenuhi undangan kegiatan itu. "Lihat Mas, ternyata masih ada yang lebih membutuhkan dari pada kita kan, Mas?" kataku dan Bisma mengangguk. "Ada yang makannya jauh lebih sederhana dari kita kan, Nduk?" tanyaku dan Widawati mengangguk.

Sebelum acara makan dimulai, dilakukan pembacaan doa yang dipimpin oleh anak yatim piatu tertua yang nyantri di masjid itu. Hampir semua yang hadir mengucurkan air mata, termasuk istriku, Bisma, dan Widawati, dan kami kembali menangis ketika doa akhir makan dipanjatkan. “…Kami tidak pernah makan siang semewah ini, ya Allah. Oleh karena itu, terima kasih untuk makan siangnya yang sungguh amat lezat dan bergizi ini, ya Allah. Tolonglah ya Allah, semoga yang memberikannya Engkau balas dengan rezeki yang lebih baik lagi. Amin…”

Beberapa hari kemudian kami belanja di supermarket dan mendapatkan kupon undian berhadiah dua lembar. Karena masih punya cukup waktu, kuisi kupon itu dan kumasukkan ke kotak, dan beberapa waktu kemudian ketika kami sedang berpikir keras bagaimana mendapatkan uang untuk membayar study tour Bisma, aku dihubungi oleh salah seorang karyawan supermarket di mana dulu kami belanja, dan memberi tahukan kalau kupon undianku memenangkan satu unit rumah. "Alhamdulillah, ya Allah...," ujarku sambil bersujud.

Ketika kami sedang mengurus hadiah tersebut, seorang pembeli menghampiriku dan menanyakan: apakah rumahnya mau dijual? Karena aku ingat hadiah yang kujanjikan untuk Widawati, study tour Bisma harus segera dibayar, serta genteng dan talang rumah banyak yang bocor, tanpa pikir panjang kujual rumah hadiah itu dengan harga yang kemudian kami sepakati bersama.

Dengan uang hasil penjualan rumah hadiah itu, aku bisa membayar utang kado ultah Widawati, bayar study tour Bisma, bisa memperbaiki rumah, bisa membelikan mukena, baju muslim dan kerudung untuk istriku, serta sisa uangnya aku tabung.

"Alhamdulillah Engkau telah berkenan mengabulkan doa anak yatim piatu itu untuk kami dengan cara atau jalan yang tidak disangka-sangka. Terima kasih ya Allah," ujar kami berempat setelah menunaikan ibadah salat Subuh secara berjamaah.

Braja Mulya-Braja Selebah-Lamtim, Februari 2011


Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2011

Sunday, March 6, 2011

Kado Mimpi buat Konglomerat

Cerpen Iwan Gunadi


INI benar-benar tak masuk akal. Aku konglomerat yang selalu menindas dan mengisap rakyat. Tapi rakyat pula yang menghadiahiku sebuah tempat di surga.

Mulanya sebuah kado di atas meja di kantorku. Kado itu berlapis kertas warna putih dengan pita merah. Bentuknya kotak empat persegi panjang dengan ukuran setengah meter kali satu meter. Tebalnya sekitar lima sentimeter.

Sambil duduk, kertas kado segera kurobek. Ternyata lukisan. Kedua tanganku menegakkan lukisan itu dengan memegangi kedua tepinya. Dalam jarak pandang sepanjang tanganku, sebuah lukisan yang ramai terpampang di hadapanku. Ramai oleh orang-orang yang tersenyum dan tertawa, ramai oleh deretan atau tumpukan barang-barang mewah: rumah, mobil, televisi, laptop, ponsel, lembaran pecahan rupiah, lembaran dolar, buku, amplop, dan memo. Sebuah gambar realis yang terkesan menjadi surealis lantaran membaur, tanpa batas. Semuanya serbaindah dan mudah. Sesuatu yang tak asing bagiku. Tak heran bila aku tak tertarik mengamatinya.

Justru, yang menarik mataku adalah gambar di pusat lukisan itu. Gambar itu menyerupai wajah. Tapi ia tak bisa kupastikan betul-betul wajah. Sebab, pada gambar inilah teknik surealis justru menguat. Meski begitu, ia seperti mengajakku menengok masa lalu yang perih. Tapi, belum juga ingatan masa lalu itu mewujud secara jelas, gambar yang laksana wajah seorang bocah itu menyedot tubuhku memasuki dunia dalam lukisan itu.

Aku mencoba memalingkan muka dari wajah itu. Tapi makin kuat aku mencoba memalingkan muka, makin kuat pula wajah itu menyedot tubuhku. Energiku terkuras, lalu terlemparlah aku ke surga.

Itu sebetulnya bukan kado pertama yang kuterima. Sebelumnya, dalam setengah tahun ini, sudah 20 kado kuterima. Hampir setiap minggu aku menerima kado. Kado-kado itu tiba-tiba saja hadir di meja kerjaku, baik di rumah ataupun di kantor. Tapi yang tersering adalah di kantor. Tampaknya, sebagian besar pengirim kado itu tahu benar bahwa aku lebih banyak di kantor ketimbang di rumah.

Tak pernah diketahui secara pasti siapa pengirim kado-kado itu. Tak pernah ada satu kata pun tertulis di kado-kado itu. Baik di dalam kado, apalagi di luar kado.

Kecuali kado terakhir yang diimbuhi kata-kata dan sebuah kado lain. Ada dua kata di kado terakhir. Ditulis di bagian luar bawah kado. Begini bunyinya: "Dari Rakyat." Kado lain itu datang beberapa minggu sebelumnya. Isinya cuma secarik memo. Bunyinya: "Tolong diperhatikan teman baik saya ini. Tertanda, Tuhan". Sepotong sinisme yang tajam mengiris.

Seluruh pekerja di kantor atau seluruh orang di rumah tak tahu siapa yang menaruh kado-kado itu di atas meja kerjaku. Sekretaris pribadiku di kantor dan istriku di rumah tak tahu. Para petugas satuan pengamanan (satpam) di kantor dan di rumah pun tak pernah melihat orang yang tak dikenal atau mencurigakan masuk ke kamar kerjaku ketika kantor tutup atau ketika libur atau ketika malam tiba. Seluruh nama dalam daftar tamu, setelah diselidiki, tak ada seorang pun yang berkepentingan dengan kado-kado itu. Jadi, siapa para pengirim itu? Tak pernah diketahui secara pasti. Meski begitu, di luar kado terakhir, biasanya, setelah membuka sebuah kado, aku bisa memperkirakan siapa "aktor intelektual" di balik setiap pengiriman kado.

Aku selalu hati-hati menghadapi isi kado-kado itu. Sebelum kubuka sendiri, tim keamananku harus memastikan bahwa kado-kado itu tak akan mencederai, apalagi mencelakakanku. Setelah dipastikan aman dan semua orang kusuruh meninggalkan ruang kerjaku, termasuk istriku bila di rumah, aku selalu membuka setiap kado secara tergesa-gesa.

Di luar kado terakhir, aku selalu tercengang setelah mengetahui isi suatu kado. Misalnya, saat aku membuka kado berisi boneka wanita telanjang setinggi sekitar 25 cm. Boneka tersebut dilumuri cairan bening seperti lendir. Ujung telunjukku mencoba menyentuhnya. Agak lengket. Hidungku yang besar segera membaui ujung telunjukku. Agak bau anyir. Uh, air mani!

Pikiranku segera menerawang. Hari itu, aku baru saja memenangkan tender proyek pembangunan jalan tol di ujung timur pulau ini. Empat perusahaan terlibat dalam terder tersebut, termasuk perusahaanku. Aku tahu, mereka perusahaan yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Perusahaanku sendiri, saat itu, baru terjun ke bisnis pembangunan jalan tol. Tapi aku punya potensi lebih besar untuk memenangkan tender itu: aku kenal dan tahu betul kesenangan pejabat yang akan memutuskan tender tersebut. Zaman memang telah berubah, tapi perilaku pejabat tetap sama seperti perilakuku.

Tak sulit mencari tahu siapa dari tiga perusahaan itu yang mengirimkan kado boneka wanita telanjang. Tak juga sukar “mendiamkan” si pengirim. Besoknya urusan selesai. Bahkan, kemudian, bos perusahaan itu banyak membantu urusanku di sektor itu.

Contoh lain adalah kado berisi sepotong kelamin kuda jantan yang baru saja dipotong. Darah segar masih menggenang di bawah kelamin kuda jantan itu di dalam plastik bening. Segera saja aku ingat sejumlah artis, foto model, peragawati, dan ratu kecantikan yang pernah atau masih menjadi selimut tidurku. Beberapa di antaranya kugandeng dari tangan pejabat atau pengusaha lain. Bahkan, ada yang kurebut ketika masih dipakai seorang purnawirawan jenderal bintang tiga. Aku tahu siapa di antara mereka yang mengirim kelamin kuda jantan itu. Yang pasti, ia bukan purnawirawan itu. Sebab, yang terakhir ini telah menjadi salah seorang komisaris di salah satu perusahaanku.

Akhirnya, semua pengirim kado itu berhasil kuketahui. Semuanya berhasil pula kutangani. Kalau kooperatif, mereka tentu akan menjadi mitra bisnis. Keuntungan terbesar tentu ada di tanganku. Kalau tak kooperatif, ya terpaksa kulibas. Kalau kadar ketakkooperatifannya rendah atau sedang, cukup perusahaan-perusahaannya yang kulibas. Kalau tinggi atau keterlaluan, ya, dengan sangat menyesal, aku juga tak mau lagi melihatnya berseliweran.

Jadilah aku pengusaha yang tak tertandingi. Kekayaanku sangat melimpah. Kekuasaanku tak terbatas. Bahkan, seorang presiden atau wakil rakyat pun tak bisa berbuat apa-apa terhadapku bila aku bertindak salah atau keliru.

Nah, semua itu seketika hilang ketika aku terlempar ke surga. Aku tetap kaya dan berkuasa. Aku tetap mudah memperoleh segala yang kuinginkan. Tapi yang lain pun memiliki dan memperoleh hal yang sama. Padahal, aku paling tidak suka kalau ada yang mampu menyaingi.

Ketakdigdayaan itu kuketahui setelah aku mencoba menyogok sejumlah yang lain. Ketika baru terlempar ke surga, aku mendapati sepasang yang lain sedang berasyik-masyuk. Aku menawari mereka pasangan lain yang lebih cantik dan tampan bagi masing-masing agar mereka mau menuruti dan mewujudkan segala perintah dan keinginanku. Eh, mereka malah menawariku yang lebih cantik.

Harta kekayaan yang melimpah dan tak terbatas kutawarkan kepada penjudi yang kalah. Ia mau. "Tapi keputusan enggak ada di tanganku," akunya dengan mimik muka tanpa keluhan. Jadi? "Kau tanyalah sama Tuhan, boleh enggak aku menerima suapmu. Kalau boleh, tanya juga sama Tuhan, apa Tuhan bisa menjamin bahwa harta kekayaan yang akan kau suapkan itu benar-benar harta kekayaanmu, bukan harta kekayaan Tuhan." Oh, benar-benar menjengkelkan.

Aku berteriak minta tolong. Aku minta ampun. Ketukan bertubi-tubi dan cepat kudengar menerpa pintu.

Mataku terbuka. Di hadapanku, di atas meja kerjaku di kantor, lukisan itu masih membentang.

***

Di meja kerja di rumah, aku mendapatkan kado sejenis. Cuma, pitanya putih. Sampul kadonya merah. Aku takut membukanya. Tapi serasa ada yang memaksa tanganku untuk segera merobek sampulnya dan melihat isinya.

Sebuah lukisan dengan ukuran dan isi yang sama. Bedanya, di lukisan itu tak tampak gambar manusia. Kalaupun ada, itu adalah wajah seorang perempuan tua di pusat lukisan yang tampak samar-samar. Wajah itu pun mengingatkanku pada masa silam yang buruk. Keburukan yang muncul karena kebodohan ibuku. Ibu yang dungu, yang mau saja menyerahkan kegadisannya hanya karena sebuah rayuan. Ibu yang memilihkan ayah tiri yang selalu menampar atau menendangku bila aku berbuat salah, meskipun kecil saja.

Aku mencoba memalingkan muka dari wajah itu. Tapi makin kuat aku mencoba memalingkan muka, makin kuat pula wajah itu menyedot tubuhku. Energiku terkuras, lalu terlemparlah aku ke surga.

Tak ada yang lain yang kutemui. Setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang lain yang sejenis denganku yang berhasil kutemui. Lebih dari setahun, keadaan tetap sama. Padahal, setahun di akhirat, konon, berbanding lurus dengan berabad-abad, bermilenium-milenium, atau bahkan jauh lebih lama dari itu di dunia.

Semua kebutuhanku memang terpenuhi. Tapi untuk apa kalau aku cuma sendiri. Tak ada yang bisa kusuap, kutegor, kurebut, kuselingkuhi, kuteror, kuhancurkan, kubunuh, dan seterusnya. Bahkan, kutawari untuk kusuap, kutegor, kurebut, kuselingkuhi, kuteror, kuhancurkan, kubunuh, dan seterusnya nihil. Aku kaya dan berkuasa, tapi keduanya tak punya efek apa-apa. Jadi, buat apa?

"Kau betul-betul masih ingin menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya? Ampunmu cuma pura-pura?" Suara yang terdengar keras di telingaku itu membuyarkan lamunanku.

Aku menyapukan pandangan ke sekeliling. Tak ada siapa pun.

"Kau betul-betul masih ingin menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?"

"Siapa kau?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku?" Suara itu terdengar lebih keras.

"Kau jawab dulu pertanyaanku!"

"Kau belum menjawab pertanyaanku?" Suara itu mulai memekakkan telinga. Rasa sakit mulai menjalari telingaku.

"Baik. Aku jawab: mau."

"Maukah kau menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?"

"Kau siapa?"

"Apa kau melontarkan pertanyaan yang sama ketika akan menyuap, merebut, menyelingkuhi, meneror, menghancurkan, membunuh, dan seterusnya?" Suara itu membuat telingaku bertambah sakit.

"Baik. Aku jawab: mau!"

"Betul-betul mau?" Suara itu membuat telingaku makin sakit.

"Kau sungguh berani kepada Malaikat Maut!" Suara itu begitu keras.

Cairan terasa mengalir dari kedua telingaku. Jari-jemari kedua tanganku merabanya. Kulihat darah segar di jari-jemari kedua telapak tanganku.

Aku pingsan seketika. Atau, entah sudah mati. Aku tak tahu pasti. Yang kurasakan, mataku yang lain melihat lukisan itu tergeletak di meja kerja di rumahku. Kedua tanganku tak lagi memegang kedua tepinya agar tegak. n


Lampung Post
, Minggu, 6 Maret 2011