Sunday, December 29, 2013

Terompet Kereta dan Teriakan Gajah

- Almarhum Mbah Kakung dan Papa


Cerpen Yulizar Fadli

SUDAH dua puluh menit Marsi Susamto dan Tri Joko Triwikromo duduk di bangku besi stasiun Kereta Tanjungkarang. Mereka duduk berdampingan sambil sesekali memperhatikan gerak-gerik orang, baik yang duduk maupun yang lalu lalang. Keduanya datang dari Way Kambas, sebuah desa di Lampung Timur. Mereka berdua tengah menunggu kereta tujuan Palembang.

Satu tas besar warna cokelat tua yang mereka bawa sengaja ditaruh di atas lantai, tepat di depan sepasang kaki Tri Joko Triwikromo yang bersepatu kulit hitam mengilat. Sementara dari pengumuman yang mereka dengar satu menit lalu, kereta baru akan berangkat sekitar 15 menit ke depan.

“Terompet kereta itu mirip teriakan gajah ya, Yah?” Tri Joko membuka percakapan.

“Ya. Mirip.”

“Ayah masih ingat, lima tahun lalu gajah-gajah mengamuk di kampung kita?”

“Ya, tentu.”

“Aku mau bikin cerita pendek tentang itu.”

“Setelah lulus kuliah nanti, sebaiknya kamu jadi polisi saja,” sahut Marsi. Tri Joko tak menjawab, tetapi ia memakan cokelat pasta kesukaannya. Sementara Marsi, berkali-berkali menempelkan mulut mungil botol minyak angin ke lubang hidungnya.

“Hilangkan kebiasaanmu itu,“ ujar Marsi sambil dua kali menarik napas cepat karena hidungnya yang mampat. Setiap 30 detik sekali, Marsi memang sering demikian ... mungkin karena penyakit polip yang ia derita.

“Susah, Yah.”

“Bagaimana bisa kamu dewasa.”

“Tak ada hubungannya antara cokelat dan dewasa. Tua itu pasti, dewasa itu pilihan,” sahut Tri Joko Triwikromo sambil membenarkan letak kacamata hitamnya yang agak melorot ke batang hidung.

“Halah. Dinasihati kok malah membantah.” Lagi-lagi Marsi Susamto menarik cepat napasnya dua kali.

“Ya, Yah ... ya ...”

Kereta masih nongkrong dan belum beranjak dari stasiun, demikian pula dua pria dan penumpang lainnya. Bedanya, orang-orang itu bisa berjalan mondar-mandir sambil mengumpat dan melihat jam di tangan mereka, memaki sambil membanting botol plastik bekas minuman ke lantai marmer, atau memukul-mukulkan tangan ke paha mereka sendiri. Sementara kereta itu, hanya bisa nongkrong sambil terus menggumam seperti raksasa.

“Siapa nama teman kakek yang mati diinjak gajah?” Tri Joko Triwikromo berhenti memakan cokelat pastanya.

“Pak Jumadi.”

“Tahun berapa, Yah?”

“1963. Umur Ayah 6 tahun waktu itu,” jawab Marsi. Lagi-lagi ia menarik napas cepat sebanyak dua kali.

“Aku mau buat cerita pendek tentang itu.”

“Ada baiknya kamu jadi polisi seperti kakek dan ayah.”

“Tidak. Anak-anak ayah tak ada yang jadi polisi.”

“Terserah kamu Tri.”

“Terus, Yah ... bagaimana lanjutan ceritanya?”

“Tadinya Pak Jumadi almarhum mau berburu menjangan.”

“Terus ... ayo Yah, jangan sepotong-sepotong ceritanya.”

“Kata kakek, Pak Jumadi salah tembak. Dia malah menembak gajah.”

“Salah tembak. Hmmm ...”

Obrolan mereka terhenti karena dari corong toak, suara perempuan mengumumkan bahwa kereta akan berangkat 20 menit ke depan. Marsi dan Tri Joko berikut penumpang lain menghela napas kuat-kuat.

“Halah ... gombal!” celetuk salah satu penumpang.

“Haaaaaaaah ... mungkin besok berangkatnya.” Marsi menyahut.

“Mau minum apa, Yah?”

“Air mineral saja.”

“Ada yang lain?”

“Tidak.”

Tri Joko beranjak dari duduk dan segera menghampiri pedagang rokok, makanan, dan minuman yang tak jauh dari loket pembelian tiket.

“Ngaret, Mas. Biasa,” kata si penjual.

“Yaa. Berapa?

“Lima ribu. Memang mau ke mana, Mas?”

“Ke rumah kakek di Palembang.”

“Oh begitu. Ini kembaliannya, Mas.”

“Ya terima kasih.”

Tri Joko kembali menghampiri ayahnya dan menyodorkan air mineral, sementara calon penumpang lain mondar-mandir, duduk-berdiri kemudian duduk lagi sambil menggerak-gerakkan kaki dan memukul-mukulkan tangan mereka ke kursi besi berlubang kecil-kecil. Kereta masih saja nongkrong sambil menggumam mirip raksasa.

“Aku ingin menulis cerita pendek tentang Pak Jumadi, teriak gajah, dan terompet kereta.”

“Ada baiknya kamu jadi polisi.”

“Ada baiknya ayah ceritakan lagi tentang Pak Jumadi. Ayo Yah...”

“Kamu tanya sendiri pada kakekmu nanti kalau kita sudah sampai di Palembang.” Marsi menarik napas cepat dua kali.

“Kakek kan sedang sakit. Ayolah, Yah ...”

“Yaa. Dia nembak gajah.”

“Ayah ada di sana?”

“Tidak. Ayah dapat cerita dari kakek.”

“Terus ...”

“Karena terluka dan terancam, si gajah langsung mengejar dan menginjak Pak Jumadi.”

“Kenapa bisa salah tembak?”

“Mana ayah tahu. Yang jelas, kata kakek, Pak Jumadi tidak bisa mengelak lagi dan isi perutnya keluar semua.”

“Bagaimana kakek bisa selamat?”

“Gajah itu hewan peka. Dia hanya mengejar Pak Jumadi, bukan kakek.”

“Owh ...”

“Ada baiknya kamu jadi polisi.”

Pengumuman kembali menyampaikan bahwa 10 menit ke depan kereta segera berangkat. Kereta masih saja nongkrong dan menggumam. Tri Joko sedikit membungkuk untuk meraih tas yang ia taruh di lantai, tepat di depan kakinya. Sementara ayahnya langsung berdiri membawa botol minuman di tangan kiri dan botol minyak angin mungil di tangan kanan. Kedua pria itu, diikuti penumpang lain, berjalan memasuki gerbong kereta dan mencari tempat duduk mereka masing-masing.

“Kuharap kereta ini tepat waktu.”

“Ya ...”

“Yah ...”

“Apa?”

“Ayah tak pernah lagi berburu menjangan?”

“Tidak. Ilegal. Dilarang.”

“Aku ingat rasa dagingnya. Agak alot. Dan paling enak kalau digoreng kering.”

“Ya. Tapi itu ilegal. Dilarang.”

“Ya, ya. Yah ...”

“Hmm ...”

”Kalau aku jadi polisi, apa aku akan punya balok kuning bengkok juga di lengan kananku?”

“Tentu saja.” Tiba-tiba Marsi tersenyum, kemudian melanjutkan, “Bahkan bisa lebih dari sekadar dua balok kuning bengkok.”

“Oh ya ... bisa jadi kapolsek atau kompol?”

“Tentu saja ... tentu saja bisa.” Marsi tertawa.

“Tapi bagaimana jika aku jadi penulis saja, Yah? Ibu setuju denganku dan sering membaca cerita-ceritaku.”

“Ada baiknya kalau kamu jadi polisi.” Marsi berhenti tertawa dan kembali menarik napas cepat sebanyak dua kali.

Kereta masih saja nongkrong dan menggumam, tapi bedanya kali ini, ular besi berwana putih itu akan berangkat 5 menit ke depan. Penumpang lain sibuk menata barang bawaan dan sibuk mengobral obrolan. Demikian juga Tri Joko Triwikromo yang terus mengoceh tentang cerita pendek yang akan ia buat.

“Ayah ingat Pak Kartono?”

“Tentu”

“Aku juga ingin menulis naskah tentang almarhum Pak Kartono. Kata ibu, Pak Kartono itu polisi juga. Dulu, Pak Kartono itu berpacaran dengan Bude Sri. Dan tahun meninggal Pak Kartono hanya berselang setahun dengan Pak Jumadi. Bulan dan tanggalnya sama, 14 Agustus. Menurut cerita ibu, kakek-lah yang menyuruh Pak Kartono main drama. Kata ibu lagi, untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke-19. Waktu itu pemainnya ada dua orang, Pak Kartono dan Pak Sobirin. Bude Sri dan Ibu juga ada di situ. Kata ibu, sebelum memulai gladi resik, kakek sudah memeriksa  pistol dan mengambil semua peluru di pistolnya. Tapi begitu adegan penembakan dimulai, ternyata pistol yang dipegang Pak Sobirin meletus dan mengeluarkan peluru, kemudian mengenai kepala Pak Kartono. Sejak itu Bude jadi pendiam dan kakek berhenti dari kepolisian. Menarik ya, Yah?”

“Kakek tidak berhenti Tri, tapi memang sudah waktunya pensiun. Itu dua hal yang berbeda. Ada baiknya kamu jadi polisi saja, Tri.”

Terompet kereta yang mirip teriakan gajah itu melenguh panjang. Perlahan-lahan kereta merayap di atas rel baja.

“Ada baiknya kalau aku jadi polisi dan penulis.” Tri Joko Triwikromo berkata tanpa menoleh ke arah ayahnya.

“Ya. Sebaiknya kamu jadi polisi saja,” kata Marsi Susamto tanpa menoleh ke arah anaknya.

Untuk kedua kalinya terompet kereta yang mirip suara gajah itu melenguh. Lama-kelamaan laju kereta bertambah cepat. Marsi memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya ke kursi penumpang, sementara Tri Joko Triwikromo memakan cokelat pastanya sambil melihat pemandangan dari balik jendela kaca.

“Ada baikya, aku jadi penulis saja ...” kata Tri Joko, lirih sekali.

Gunungterang, 13-14 September 2013


Lampung Post, Minggu, 29 Desember 2013

Saturday, December 21, 2013

Pasar Malam

Cerpen Mashdar Zainal


DALAM keriuhan pasar malam, gadis kecil itu seperti seekor serangga di antara ribuan serangga dan ngengat yang berpesta mengelilingi pijar bohlam. Gadis kecil itu masih utuh berdiri di depan pagar yang memutar, mengitari kincir raksasa dengan kurungan bergelantungan, yang terus memusing seperti roda raksasa di hadapannya.

Melihat itu, mata kecil gadis itu sempat berkunang-kunang, tapi sesekali ia ikut tertawa saat melihat beberapa anak berteriak histeris di dalam kurungan kincir yang bergulir sampai nyaris ke hulu langit itu.

***

Gadis kecil itu masih berdiri, menggaruk kakinya yang dikerubuti nyamuk. Ia juga masih menggenggam sesobek kertas yang diberikan Mama padanya. Kata Mama, kertas itu penting dan tidak boleh hilang.
Gadis kecil itu celingukan. Bertanya-tanya, mengapa Mamanya lama sekali membeli gula kapas. Sebenarnya kakinya sudah sangat pegal, tapi ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Gadis kecil itu tak tahu sudah berapa lama ia berdiri di samping pagar melingkar itu, yang ia tahu adalah: Mama menyuruhnya menunggu di situ, dan ia tak boleh pergi ke mana pun sampai Mama datang.

“Ingat, jangan ke mana-mana, Mama akan membelikanmu gula kapas sebentar, kau mau kan? Kalau mau, kau tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum Mama datang. Kalau ada orang bertanya padamu, Mama di mana, kasihkan saja kertas ini, kertas ini penting, jadi jangan sampai hilang. Paham?”

Kata-kata Mama lebih terdengar seperti ancaman ketimbang perintah. Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia terus mengawasi punggung Mamanya yang berguncang dan menjauh. Ia tersenyum membayangkan sebongkah gula kapas yang lezat.

Sebenarnya gadis kecil itu sedikit heran ketika Mama menyuruhnya mandi dan memakai pakaian terbaiknya petang tadi. Karena tidak biasanya Mama mengajaknya jalan-jalan. Mama lebih sering mencubit pahanya sampai lebam, ketimbang mengajaknya jalan-jalan.

Mama memang suka sekali mencubit, meski terkadang juga menjewer. Ia ingat, ketika ia lupa menaruh pensil, Mama mencubitnya. Ketika ia tidak menghabiskan makan malam, Mama juga mencubitnya. Bahkan ketika ia tidak sengaja pipis di celana, Mama juga mencubitnya. Namun, ketika ia menumpahkan nasi, Mama tidak mencubitnya, Mama hanya menjewer telinganya sampai panas dan memerah, seolah hampir putus.

Tiba-tiba gadis kecil itu membayangkan punya Papa, seperti Rere, seperti Nina, seperti Farhat, dan seperti teman-temannya yang lain. Mungkin akan sangat menyenangkan punya Papa, ada yang menggendongnya, mengajaknya jalan-jalan, dan tentu ada yang mengingatkan Mama bila Mama mencubitnya.

Gadis kecil itu termangu, ia pernah bertanya sekali pada Mama tentang Papa, tapi Mama malah marah-marah dan membentaknya, “Siapa yang mengajarimu bertanya seperti itu? Papamu sudah mati, sekarang Papamu adalah Mama… Jangan pernah bertanya begitu lagi atau Mama akan mencubitmu.”

***

Gadis kecil itu mengeluh dalam hati, kakinya mulai terasa pegal. Tapi tetap saja, ia tak berani duduk, karena Mama tak menyuruhnya duduk. Ia jadi ingat kejadian beberapa minggu lalu ketika Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi plastik di pojokan.

Mama menghukumnya seperti itu karena ia menjatuhkan sabun mandi ke dalam kloset. Jadi setelah mandi dan berganti baju, Mama menarik kursi plastik dan menaruhnya di pojokan, lantas Mama menyuruhnya berdiri di atas kursi itu.

“Tetap berdiri di situ, sampai mama bilang ‘cukup’.”

Sayang sekali ketika Mama meninggalkannya ke dapur ia lupa, karena kakinya terlampau pegal ia kemudian duduk di atas kursi yang seharusnya ia gunakan untuk berdiri itu. Ketika Mama kembali dari dapur dan mendapati ia tengah duduk, Mama berteriak-teriak, “Siapa yang menyuruhmu duduk? Kalau Mama tidak menyuruhmu duduk, kamu tak boleh duduk.”

Sambil berteriak seperti itu, Mama mencubiti lengan dan pahanya tak henti-henti, bahkan sampai ia menangis, Mama masih belum berhenti mencubitinya. Karena itulah, sekarang, meski kakinya terasa pegal, ia tak berani duduk. Ia takut kalau Mama mencubitinya seperti tempo hari.

***

Gadis kecil itu membuka sesobek kertas yang masih ia genggam erat-erat. Ada tulisan di sana. Sayang sekali ia belum bisa membaca. Di sekolah, ia baru diajarkan mengenal angka: satu seperti pentungan, dua seperti bebek, tiga seperti burung yang terbang miring, empat seperti kursi terbalik, dan seterusnya…. Juga mewarnai gambar dan menyebut huruf-huruf: A untuk Apel, B untuk Bola, C untuk Cicak, D untuk Durian, dan seterusnya… Ia belum diajarkan membaca tulisan.

Gadis kecil mecoba memelototi tulisan itu, ada huruf M, atau mungkin N, juga ada huruf A, ada huruf P, dan masih banyak huruf-huruf lain yang ditulis dengan sangat buruk. Gadis itu menyerah, sesobek kertas itu ia genggam kembali, erat-erat.

Gadis itu mulai khawatir, mengapa Mama lama sekali. Kaki kecilnya juga mulai gemetar karena kecapaian berdiri. Tapi ia masih berusaha untuk tidak ambruk. Ia mencengkeram kuat-kuat pagar yang melingkar di hadapannya.

Ia menatap nanar orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Seorang anak kecil yang dituntun ibunya sambil membawa balon berbentuk ikan lumba-lumba. Juga seorang gadis kecil yang digendong ayahnya, gadis kecil itu menjilati lolipop yang besarnya seperti kipas.

Gadis kecil itu menelan ludah. Pasti lolipop itu lezat sekali. Mengapa Mama lama sekali, apa Mama tidak mendapat gula kapasnya?

Karena kakinya sudah benar-benar pegal dan kesemutan, diam-diam gadis itu mulai duduk. Namun, ketika matanya menangkap seorang perempuan melintas, cepat-cepat ia berdiri. Ia mengira itu mamanya. Ketika ia menyadari bahwa perempuan itu bukan Mamanya, ia kembali duduk dan menghela napas lega. Begitulah, lelah duduk gadis itu berdiri, lelah berdiri, ia kembali duduk. Terus begitu. Sampai lama sekali.

***

Perlahan, keriuhan pasar malam mulai berkurang. Beberapa penjual sudah mengukuti barang dagangan mereka dan beranjak pulang. Para pengunjung juga sudah mulai pulang.

Pasar malam menjadi sedikit lebih sepi dari sebelumnya. Lampu-lampu yang berkerlap-kerlip sudah mulai dimatikan. Loket dan aneka permainan juga sudah mulai ditutup. Mesin-mesin pun dimatikan.

Gadis kecil itu semakin cemas karena Mamanya tidak juga datang. Karena sudah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya, gadis kecil itu akhirnya menangis. Suara tangisannya cukup nyaring untuk menarik perhatian beberapa orang di sekelilingnya.

Seketika, sorang lelaki baya mendekatinya dan tersenyum, “Adik ke sini sama siapa?”

Gadis kecil itu semakin takut, tetapi sambil terisak mulutnya bergerak, “Ma.. ma..” suaranya tersendat.

“Lalu Mama di mana?”

Gadis kecil itu menggeleng. Pelan-pelan ia memberikan sesobek kertas yang diberi mamanya. Ia ingat Mama menyuruhnya untuk menyerahkan sesobek kertas itu pada orang yang bertanya “Mama di mana?”

“Kertas apa ini?” Lelaki itu membaca kertas di tangannya perlahan-lahan, kemudian ia menghela napas berat. Lelaki itu tampak bingung. Air mukanya berubah sedih.

“Mama bilang, kamu harus ikut, Om.”

Lelaki itu menuntunnya pergi sambil bertanya-tanya di mana ia bisa menemukan panti asuhan terdekat. n

Malang, Juni 2013


Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013

Sunday, December 15, 2013

Satu Hari yang Ingin Kuingat

Cerpen Yetti A.KA.


AKU minum orange juice di kafe X. Ini satu hari yang ingin sekali kuingat; meja nomor 19, kursi warna krem dengan sandaran beraksen anyaman, kotak tisu, gelas minuman yang kutaksir setinggi 15 sentimeter, sedotan putih susu, tas merah, telepon genggam, novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami, sepasang lesbi bertatap mesra, antrean para pengunjung di kasir, pelayan-pelayan yang kehilangan ekspresi alami—mereka mengantar makanan ke meja-meja dengan seragam dan mimik nyaris sama.

Hari ini kafe X cukup ramai. Orang-orang makan bersama pasangan atau keluarga atau teman-teman. Mereka tentu terlihat bahagia. Hari ini aku sendirian saja—seperti hari-hari sebelumnya, memang—bedanya saat ini aku belum menerima telepon atau pesan dari seseorang yang kemarin masih pacarku. Berulang-ulang aku merasa telepon genggam itu berbunyi, hidup, berkedip. Berkali-kali aku memelototi layarnya untuk memastikan memang tidak ada SMS atau panggilan yang masuk. Memang tidak ada yang bertanya:

“Masihkah kau pacarku hari ini?”

“Tidak ada yang terjadi, dan tentu saja kau pacarku.”

“Kau merindukanku?”

“Pasti.”

“Tidak bisa mengatakannya dengan sedikit romantis?”

“Siapa?”

“Kamu.”

“Hehe.”

“Hmm.”

Itu percakapan kemarin pagi. Percakapan yang ingin terus kuingat. Kalau aku melupakannya maka aku kehilangan dia. Aku mungkin tidak kehilangan dia dalam arti yang sesungguhnya, pastilah tidak sekonyol itu, tapi ini tentang perasaanku saja. Aku merasa kehilangan dia meskipun dia tidak meninggalkanku.

“Apa aku aneh?”

“Eh, kenapa?”

“Aku ingin menyimpan semua percakapan kita karena aku takut kehilangan, padahal tanpa kusimpan aku tidak akan kehilangan apa-apa, bukan? Kau milikku. Seseorang yang terus bertanya setiap pagi ‘masihkah kau pacarku hari ini?’. Kita tidak akan terpisahkan oleh apa pun.”

“Apa kau merasa sakit?”

“Tidak. Aku cuma merasa cemas.”

“Akhir-akhir ini memang agak aneh.”

“Apa?”

“Ya, kau aneh.”

“Iya, ya. Aku tahu itu.”

Sekarang aku betul-betul merasa aneh. Aku duduk di kafe X dengan segelas orange juice dan novel Norwegian Wood yang baru kubaca sampai adegan Watanabe berciuman dengan Midori sehabis mereka nonton kebakaran dari tempat penjemuran (di halaman depan buku itu ada tulisan tanganku: Kelak aku akan mengingat hari ini di mana aku membeli buku kembaran. Satu untukku, satu untuk pacarku. Kelak yang entah apa kami masih bersama atau tidak. Kelak yang apa benar kami akan saling mengingat atau tidak. Tapi aku berharap kami jangan saling melupakan dengan cepat), dan terus-menerus gelisah mengingat telepon genggamku belum juga menerima panggilan atau pesan dari seseorang yang bertanya: Masihkah kau pacarku hari ini?

Ini tidak biasa. Ia tidak pernah lupa menelepon lewat dari pukul 10 pagi. Kalau sangat sibuk, ia sempatkan kirim pesan. Apa ia lebih dari sekadar sibuk? Apa ia jangan-jangan sedang tidak sibuk, tapi belajar melupakan.

Ia tengah menyiapkan kejutan: meninggalkanku. Rencana yang sangat jahat. Pertama-tama ia membersihkan semua tentangku di ponselnya; kutipan-kutipan sajak romantis seorang penyair yang sengaja kutulis dan kusimpan di ponselnya saat kami kencan, pesan-pesan tengah malam kami yang nakal, foto pribadiku saat mengenakan lingerie ungu muda motif floral atau foto kami berdua di pantai pada minggu ketiga bulan Maret dan hari itu aku ulang tahun.

Setelah membersihkan semuanya, pagi-pagi sekali ia menelepon, mengucapkan selamat tinggal. Suaranya dingin. Lebih dingin dari dinding-dinding toilet hotel tempat kami pernah menginap. Sanggupkah aku?

“Kalau kangen kau bisa telepon daripada berpikir macam-macam.”

“Aku tidak mau melakukannya.”

“Memangnya kenapa”

“Aku mau kau yang kangen, bukan aku.”

“Kau membuat rumit.”

Aku rumit. Itu kalimat yang sangat tepat.

Kami sudah sering membicarakan tentang kenapa tidak aku yang menelepon dia. Aku juga sering sebal pada diri sendiri. Kenapa aku mesti serumit ini? Ah, ya, sungguh, lebih baik aku meneleponnya saja. Aku tinggal memilih namanya dan menekan tanda call. Aku bisa langsung bertanya kenapa ia tidak menghubungi setelah kemarin pagi itu. Aku juga bisa mengatakan, aku tidak tahan tidak dihubungi.

Aku bisa gila. Aku bisa menerobos jalanan yang padat kendaraan tanpa benar-benar kusadari dan kemudian orang-orang akan berteriak melihat tingkahku dan aku pasti kebingungan sekali. Itu kalimat-kalimat yang memang sangat didramatisasi. Tapi aku mau sekali mengatakan semua itu seandainya saja aku bisa meneleponnya. Seandainya saja aku bisa memilih namanya dari ratusan nama yang tersimpan di memori ponsel, dan memulai pembicaraan dengan kalimat basa-basi, “Aku bisa menelepon lagi nanti jika kau sibuk sekali.”

Sayangnya, aku sungguh-sungguh tidak bisa melakukan gagasan itu. Jika aku nekat melakukannya, aku pastikan berhari-hari atau bahkan selamanya menyesali diri sendiri. Selamanya aku merasa pada saat tertentu, pada hari itu, aku lebih mencintai dia dan dia tidak terlalu mencintaiku. Seseorang yang merasa tidak terlalu dicintai sejak kecil akan menuntut untuk tampak sangat dicintai ketika ia dewasa. Pikiran semacam itu sangat menyakitkan.

Penderitaan yang sering tidak bisa kuhadapi di saat aku sedang sendirian. Sendirian itu, bagiku, bisa menjadi saat-saat berbahaya. Sedikit saja aku lepas kendali, maka habislah; pikiranku menjadi tertutup, perasaanku menjadi sangat kacau. Mengerikan, bukan?
Telepon genggam kumasukkan dalam tas. Aku harus membuang jauh-jauh keinginan untuk menghubunginya. Dadaku sesak dan bergetar-getar. 
Kupesan minuman baru. Jus melon. Rasanya aneh. Mungkin karena aku tidak suka buah melon. Lalu kenapa aku memesannya? Jika ia tahu,  pasti ini yang dikatakannya: Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan akal sehat—paling tidak saat memesan minuman? Maka aku pasti saja berkilah, “Apa salahnya mencoba. Lagi pula pikiranku sedang kacau.”

“Kalau mau jujur kau bukan orang yang menarik dalam banyak hal.”

“Kau mulai lagi.”

“Kau sering tidak tahu apa yang kaubutuhkan.”

“Pembicaraan ini mulai tidak relevan.”

“Kau tidak lebih dewasa dari gadis lima belas tahun.”

“Ingat ya kita bicara tentang minuman. Kau terlalu melebar.”

“Ya, tentang kau yang berumur tiga puluh tahun dan tetap tidak tahu minuman apa yang seharusnya kaupesan. Sangat relevan.”

“Berhentilah sinis!”

“Aku sinis?”

“Kau harus tahu masalah minuman tidak perlu dibahas serius.”

“Bagiku harus.”

“Aku muak pada kau yang selalu serius. Hidup itu juga soal humor. Ngerti!”

“Baik. Kita tidak cocok. Kita putus.”

Uh, untung dia tidak di sini dan kami tidak perlu bertengkar karena soal sepele. Ada bagusnya pula ia tidak menelepon (walau tentu ia yang tidak menelepon itu tetap saja satu masalah tersendiri) hingga aku tidak perlu menceritakan tentang jus melon yang kupesan dan ternyata tidak aku sukai. Aku tahu ia bukan lelaki yang bisa menahan pikirannya, ia bisa sangat pedas dalam menilai sesuatu, tanpa perasaan, sementara takdirku adalah mencintainya. 

Aku menghembuskan napas keras-keras. Sepasang lesbi sudah pergi tanpa aku tahu kapan tepatnya. Mungkin mereka pergi ke lantai atas. Di sana ada tempat karaoke. Banyak orang memilih kamar karaoke sebagai tempat kencan. Paling tidak bisa ciuman. Di kota ini orang tidak bisa sembarang berciuman. Di kota ini semua orang sibuk mengurusi orang lain.

Ia belum juga menelepon, belum mengirim pesan, sementara aku merasa sudah menunggunya ratusan tahun, meski kenyataannya ia meneleponku kemarin pagi (tentang ini ia sering bilang: kau terlalu mempermainkan waktu). Bagaimanapun tetap saja keterlaluan. Dulu, lelaki itu berjanji saat memintaku jadi pacar bahwa ia akan selalu bertanya setiap pagi: Masihkah kau pacarku hari ini? Dengan cara itulah aku menunjukkan rasa takut kehilanganmu, katanya, sebab malam kadang bisa mengubah seseorang.

Tapi, tapi, malam memang telah mengubah seseorang. Mengubah dia. Kadang-kadang, ketika pikiranku sedang jernih, dan itu hanya sesekali saja terjadi, aku ingat sebenarnya aku sudah kehilangan ia jauh sebelum kemarin. Bahkan mungkin sudah setahun. Ketika itu pagi-pagi sekali ia bilang: sebaiknya kita berpisah. Aku tidak tahan lagi denganmu. Kau rumit sekali. Senang mengacaukan hari-hariku. Aku bisa gila. Please, jangan ganggu aku lagi. Aku ingin sendiri dalam waktu yang lama. Aku mau bekerja dengan tenang.

Sejak itu ia jarang menelepon, lalu berhenti sama sekali. Sejak itu pula ia tidak mengirim pesan lagi. Ia melupakan dengan sangat cepat, sedangkan aku tidak bisa beranjak dari pikiran bahwa ia tetap pacarku yang kemarin pagi bertanya: Masihkah kau pacarku hari ini? Kemarin pagi yang tidak pernah bergerak, tidak menjadi satu minggu, satu bulan, satu tahun.

Selamanya aku akan tetap menunggu telepon atau pesan darinya. Aku harus percaya, dan ini memang sungguh-sungguh harus kupercayai, sebab aku sendirian, sebab aku tidak punya siapa-siapa yang mendukungku, bahwa ia masih pacarku yang kemarin pagi bertanya: Masihkah kau pacarku hari ini?

Karena itu aku masih di kafe X, di meja nomor 19 dengan segala sesuatu yang ingin kuingat. Dengan mengingat, aku tidak akan kehilangan apa-apa. Seharusnya begitu. Seharusnya aku tenang dan tidak perlu berpikir hal-hal mengerikan yang bisa saja kulakukan.

Tapi siang itu aku mendengar orang-orang menjerit saat seorang perempuan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melaju kencang di jalan raya—tepat di depan kafe X. Aku tidak tahu siapa perempuan itu sampai kulihat meja nomor 19 sudah kosong dan begitu sunyi. n

GM D22, 2013


Lampung Post, Minggu, 15 Desember 2013

Sunday, December 8, 2013

Awas, Jangan Salah Pilih

Cerpen Tarpin A. Nasri


BUAT yang terhormat Marzuki Danubrata Wicaksono, ada seribu jalan menuju Roma untuk mewujudkan keinginan, cita-cita, obsesi, harapan, dan impiannya menjadi orang No. 1 di Provinsi Kamis Berseri, setelah dua periode berturut-turut menjadi wakil rakyat dan berkantor di Senayan, Jakarta.

Tampaknya setelah menjadi wakil rakyat berturut-turut dalam dua komisi, Marzuki masih ingin menjadi “presiden” atau “raja” di provinsi. Hebat! Salut!

Bagi Marzuki—dan tentu saja bersama tim suksesnya—semua jalan itu jadi halal. Yang abu-abu, yang haram, yang tidak beretika dan atau yang tidak bermoral, bisa menjadi terang, halal, dan sangat santun. Yang penting dalam pelaksanaannya lembut dan cantik, serta polesan, sentuhan, dan kemasannya manis. Oleh karena itu, aku benar-benar prihatin dan sedih dengan perilaku yang sangat tendensius itu.

Untuk meraup suara dan guna dipilih rakyat, Marzuki—dan orang-orang pilihannya yang bekerja  untuk  mencetak kemenangan untuknya—telah merambah mulai dari wilayah provinsi, kabupaten, kotamadya, kecamatan sampai ke desa-desa, serta bekerja jorjoran memburu, menjaring, dan bila perlu membeli suara rakyat. Karena selain Marzuki, masih ada tiga calon lain, yakni Siti Aisyah, Arif Markasan, dan Edy Nurbawono, yang tidak kalah terkenal di tengah-tengah masyarakat Provinsi Kamis Berseri. Mereka itu adalah putra daerah, keluarga pejabat, serta pengusaha yang juga elite pengurus suatu parpol. 

Perilaku seperti itu tidak ewuh pakewuh dan tidak malu-malu lagi dikerjakan Marzuki. Mulai dari pohon, tembok, jembatan, tikungan jalan, pos ronda, warung, toko, salon, bengkel, tambal ban, cucian mobil, pompa bensin, rumah makan, perempatan jalan dan tempat-tempat terbuka lainnya, telah dihiasi dan dibanjiri potret dirinya, lengkap dengan identitas di bawah atau di atas fotonya: Dr. Marzuki Danubrata Wicaksono, S.H., M.H., Calon Gubernur Provinsi Kamis Berseri Periode 2020-2025, dengan tambahan kredibilitas: wong dhewek, dari rakyat, untuk rakyat! Tujuannya pasti, agar Marzuki dikenal luas, lalu ketika tiba waktunya pencoblosan berharap minta dipilih, dan untuk dipilih itu Marzuki sudah menggelontorkan uang miliaran, dan juga sudah bersilaturahmi atau bermanuver ke mana-mana dengan berbagai acara yang dibuat, diikuti, dan dihadirinya.

Marzuki tidak hanya telah menebar kaus, poster, spanduk, dan baliho, akan tetapi nama atau foto Marzuki juga ada di kemasan sabun mandi, kaleng susu, karung beras, bungkus gula pasir, ada di handuk, ada di kaleng ikan sarden, ada di bungkus kopi, dan ada di bungkus mi yang dibagi-bagikan kepada rakyat. Selain itu, Marzuki juga mengagendakan datang ke hajat sunatan, pesta pernikahan, pengajian, silaturahmi dengan tokoh agama, sowan ke pondok kiai, mendatangi  tokoh/lembaga adat, menggandeng tokoh pemuda dan tokoh masyarakat, merapat kepada ketua/tokoh lembaga, minta dukungan LSM, menyambangi preman sampai dengan menghadiri upacara kematian warga. Sungguh luar biasa dana dan energi Marzuki untuk menjadi Kamis Berseri-01.

Aku sih melihat tata cara yang digunakan Marzuki  untuk meraup suara dan dukungan, senyum-senyum saja.

“Marzuki sedang berakrobat untuk mendapat simpati rakyat agar pada pemilukada nanti dipilih oleh rakyat,” kataku ke Kang Sarman setelah membaca berita di koran, mendengarkan siaran di radio, dan melihat di televisi atas apa yang telah dilakukan Marzuki.

Di pagi yang cerah pada bulan Desember, Kang Sarman kembali silaturahmi ke rumahku. Kang Sarman itu tetangga empat rumah dari rumahku.  Kang Sarman orangnya aktif dan gemar bersilaturahmi sebagaimana yang diajarkan oleh Islam yang dianutnya.

Terkait akrobat Marzuki, Kang Sarman punya penilaian tersendiri. “Untuk mendapatkan  dukungan dan suara rakyat, tidak semua cara jadi halal begitu dong, Mas,” jawab Kang Sarman dengan nada setengah protes.

“Makanya rakyat jangan sampai tergiur dan rakyat juga jangan sampai terkecoh dalam memilih wakil rakyat atau gubernur—juga dalam memilih bupati, wali kota, atau kepala desa,” tukasku.

“Tegasnya rakyat tidak boleh salah dalam memilih pemimpin atau keliru menentukan wakil rakyat ya, Mas,” ujar Kang Sarman minta kepastian, sekaligus  minta dibenarkan pendapatnya, dan aku menyikapinya dengan tersenyum santai.

Aku mengajak Kang Sarman masuk ke ruang tamu rumahku, dan Anisyah—istriku—langsung menyediakan kopi, serta singkong goreng dan munthul rebus.

“Monggo kopinya diminum,“ tawarku. “Sekalian singkong goreng dan ubi rebusnya dinikmati Kang Sarman,” lanjutku dengan tulus dan ikhlas.

“Gulanya, kopinya, dan airnya dijamin tidak ada Cap Marzuki-nya, juga minyak untuk menggoreng  singkong dan gas untuk merebus muthul ini bukan dari tanda cinta, tanda kasih, tanda sayang, tanda peduli, tanda perhatian, dan tanda bakti dari Marzuki,” seloroh istriku.

“Hus! Saru!” cegahku sambil senyum, “Jangan sinis begitu, dia itu calon terkuat dan terpopuler untuk gubernur provinsi kita lo.”

“Benar, Mas. Menurut saya mbakyu Ani tidak salah, Mas,” bela Kang Sarman. “Memang di lapangan begitu kok dan itu fakta. Semua telah dikepung, semua sudah disisir dan semua sudah sukses digarap Marzuki!”

“Maksudnya gimana, Kang Sarman?” tanyaku penasaran.

“Untuk mendapat suara dan dipilih rakyat, Marzuki telah merambah atau menggurita ke mana-mana, Mas,” lanjut Kang Sarman penuh semangat.

“Apa contohnya?” pancingku sambil senyum.

“Kemarin Marzuki menyumbang dan menghadiri pentas kuda lumping—jaranan terbaik asli dari Tulungagung—dan pentas reog terjoss asal Ponorogo, dan belum lama ini Marzuki juga membantu rehab bangunan panti asuhan, merampungkan pembangunan musala, meletakkan batu pertama pembangunan masjid, lalu tempo hari juga memperbaiki sekolah yang mau roboh, memperbaiki gorong-gorong dan jembatan yang rusak, menambal jalan-jalan yang berlubang, serta mengkhitankan anak yatim piatu dan menyantuni anak-anak miskin. Bahkan yang terbaru…” ujar Kang Sarman sambil diselang minum kopi.

“Bahkan yang terbaru apa, Kang Sarman?” tanyaku. “Kok tidak dilanjutkan...”

“Minggu besok Kelompok Pengajian Ibu-ibu dan Kelompok Jemaah Yasinan kampung kita akan dikunjungi dan akan diberi bantuan tikar, buku Yasin, Alquran, sarung, sajadah, busana muslimah, baju muslim, peci dan juga bantuan dalam bentuk uang kas untuk melancarkan roda kegiatan,” jawab Kang Sarman mantap sekali.

“Tujuannya untuk apa ya, Kang Sarman?” tanyaku pura-pura tidak tahu, atau berlaga tidak  nyambung, sekaligus untuk menguji pengetahuan Kang Sarman terkait manuver Marzuki, “Saya sih melihatnya sederhana saja, supaya Marzuki dapat dukungan suara dari kita, dan pada pemilukada nanti minta dipilih oleh rakyat agar jadi gubernur. Iya kan, Mas?”

“Kang Sarman setuju tidak dengan cara-cara seperti itu?” tanyaku ingin tahu isi hati dan pikiran Kang Sarman.

Kang Sarman diam sejenak, mikir juga dia rupanya, dan aku menunggu dengan sabar.

“Sebenarnya sih saya risi, bahkan tidak sepenuhnya setuju dengan cara-cara seperti itu, karena itu dilakukan tidak tulus, mboten ikhlas, ada maunya, ada tujuannya, atau ada udang di balik batunya. Dan semuanya itu demi suara!”

Aku membiarkan Kang Sarman menikmati singkong goreng yang diselingi dengan makan ubi rambat. Dia tampak menikmati kopi dan makanan yang kami suguhkan, dugaanku Kang Sarman tadi pagi belum sempat dibuatkan sarapan oleh istrinya—mbakyu Genuk.

“Kira-kira untuk semua itu, Marzuki sudah mengeluarkan uang berapa miliar ya, Mas?” tanya Kang Sarman sambil ber-hehehe, dan hehehe-nya Kang Sarman kemudian aku hentikan dengan, “Kira-kira jika Marzuki terpilih, uang yang dihabiskan itu harus kembali tidak ya selama yang bersangkutan menjabat?” kataku balik bertanya ke Kang Sarman.

Sebelum menjawab Kang Sarman berpikir dalam-dalam sehingga kesannya jadi takut salah omong. “Kalau menurut saya…kalau menurut saya…kalau menurut saya… ya pasti dipikirkan bagaimana caranya uang itu agar bisa kembali selama dia menjabat!”

“Apa alasannya, Kang Sarman?” tanyaku lagi dengan santai.

“Peribahasa mengatakan ‘tidak ada makan siang yang gratis’ di dunia ini, Mas,” ujar Kang Sarman dengan sangat cerdas, “Lha segelas kopi yang saya nikmati buatan mbakyu Ani ini, dan ditambah dengan singkong goreng dan ubi rebus ini, tidak gratiskan? Karena saya membayarnya dengan bersedia ngobrol dengan Mas Bayu Priyo. Apalagi yang bentuknya uang sampai miliaran rupiah, pasti uang itu harus kembali, Mas!”

“Makanya saya pesan, Kang…” tukasku hati-hati sekali.

“Pesan apa, Mas?” sambutnya dengan cepat dan penuh semangat.

“Awas: jangan salah memilih pemimpin,” kataku, seraya melanjutkan, “Pilihlah pemimpin yang bersih, yang bersedia mengabdi untuk rakyat, yang tulus berjuang untuk rakyat, yang ikhlas membela kepentingan rakyat, yang berasal dari rakyat, dan yang benar-benar mau bekerja untuk melayani rakyat, agar rakyat yang memilihnya menjadi lebih baik nasibnya, lebih makmur ekonominya dan lebih sejahtera hidupnya.”

“Bukan jadi preman berdasi, bukan menjadi pengisap ganja dan shabu-shabu, bukan menjadi peminum, bukan menjadi pemangsa perempuan,  bukan menjadi penjudi, bukan menjadi calo proyek, bukan menjadi pemakan uang rakyat, bukan menjadi pengisap keringat rakyat, bukan menjadi pemeras  tenaga rakyat, dan bukan juga menjadi peminum darah rakyat! Begitu ya, Mas?!”

Aku tersenyum dan tersedak ketika akhirnya aku “ditembak” dengan jitu oleh Kang Sarman, “Lha Mas Bayu Priyo itu berkampanye untuk siapa sih, atau mendukung siapa sih?!”

Setelah aku berhasil menguasai diri, aku berkata hati-hati sekali untuk tidak salah bicara. “Begini, Kang. Saya pribadi tidak punya kepentingan apa-apa. Saya hanya tidak ingin rakyat salah memilih atau keliru menentukan pemimpin, karena jika rakyat salah memilih pemimpin, rakyat juga yang harus menerima dan memikul akibatnya,” kataku.
Kang Sarman menyimak ketika aku melanjutkan omonganku. ”Uang yang dikucurkan dalam bentuk itu dan ini guna membeli suara dan agar dipilih dalam pemilukada seperti Kang Sarman bilang ‘tidak ada makan siang yang gratis’, saya setuju sekali, dan itu pasti dipikirkan bagaimana cara pengembaliannya saat yang bersangkutan menjadi pemimpin, atau saat dia duduk menjabat.”

Kang Sarman manggut-manggut, pertanda dia mengerti, maka kulanjutkan apa yang ingin aku sampaikan, ”Semua itu nantinya yang membayar dan yang menanggung akibatnya adalah rakyat, yang notabene terjebak dan terikat dengan kenikmatan sesaat berupa bantuan itu dan pemberian  ini. Maka pilihlah pemimpin yang benar-benar diajukan dan dipercaya oleh rakyat, bukan memilih pemimpin yang bisa membeli suara rakyat dan terang-terangan minta dipilih oleh rakyat!” 

Kang Sarman manggut-manggut lagi. “Nah siapa calon gubernur yang harus kita pilih nanti, saya harap Kang Sarman dan… tolong ini juga disampaikan ke teman-teman yang lainnya, jangan sampai salah memilih pemimpin. Jika kita salah memilih pemimpin, kita semua yang susah, dan yang senang adalah pemimpin yang kita pilih. Pilihlah pemimpin yang bekerja untuk rakyat dan yang mau melayani rakyat!”

Setelah berjanji untuk menonton pergelaran seni  janger yang diboyong langsung dari Banyuwangi dengan lakon Damarwulan Ngarit malam Minggu besok, dan bersedia menyaksikan pentas wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Semar Dadi Rojo di lapangan kecamatan malam Minggu berikutnya— yang kesemuanya diiming-imingi dengan hadiah traktor, sapi, kambing, bibit sawit, bibit karet, bibit padi, bibit jagung, dan bibit ikan yang disponsori oleh Marzuki—Kang Sarman pamit pulang, dan aku melepasnya dengan senyum dan dalam hati berkata—tepatnya berdoa, ”Semoga Allah berkenan membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk untuk rakyat dalam memilih gubernur—juga memilih bupati, wali kota, wakil rakyat, dan kepala desa—karena selama ini rakyat secara sistematis dan terencana sudah dibimbing, diarahkan, dan diberi petunjuk untuk hanya memelih seseorang dengan serangkaian program-programnya yang manis di awal, dan semoga setelah terpilih dan menjabat tidak banyak melukai hati dan perasaan rakyat yang memilihnya, yakni dengan jalan melaksanakan kontrak politik dan mewujudkan janji-janji manis bermadunya. Tolonglah ya Allah, agar rakyat jangan sampai terus-menerus menjadi susah, dan menjadi korban atas berbagai tanda cinta, tanda kasih, tanda sayang, dan tanda bakti yang diterimanya dengan membayar harga yang sangat mahal, berupa penyesalan dan penderitaan yang harus dipikulnya selama sedikitnya lima tahun,” ujarku sambil menghela napas dalam dan berat.

—Brajaselebah, Lamtim, Agustus-September-November 2013           
    
    
Lampung Post, Minggu, 8 Desember 2013

Sunday, December 1, 2013

Pengantin

Cerpen Dyah Merta


Kehilangan

“Kehilangan berarti kau terbebas dari beban,” kudengar kata-katanya seperti palu, berusaha mencongkel keluar paku yang menancap di ulu hatiku.

“Sebab setelah itu kau tidak memiliki apa-apa lagi.”

Kehilangan berarti tidak memiliki apa-apa, pikirku. Rasa-rasanya ada hembusan angin menyentuh pipiku dengan lembut. Kembali pada kosong. Kembali tidak memiliki. Kembali tidak punya. Apa sulitnya? Aku mencoba menepis gagasan itu, tapi kata-katanya perlahan bergerak menguasaiku. Berulang-ulang dia katakan jika aku adalah pilihan. Dia, pria yang kutemui, atau mungkin tepatnya dia menemukanku begitu yang dia tegaskan, di satu malam di sebuah tempat nongkrong yang sepi. Waktu itu, aku sendiri saja.

Dari dia, aku seperti mendapatkan uluran tangan, tepat ketika aku berada di tubir jurang, persisnya saat tak seorang pun melihatku. Mungkin dia sejenis malaikat penolong yang diutus Tuhan.

Pil Prozac

Tak ada lagi waktu, bahkan untuk secangkir kopi hangat. Tiba-tiba semua menjadi dingin. Kehidupan terasa hambar. Aku juga tak ingat lagi apakah waktu bergerak lebih cepat atau justru melambat.

“Mungkin kau ‘mati rasa’,” komentar Shita, entah kapan itu, saat kami menikmati malam bersama dengan coffee latte di sebuah kafe.

Saat itu aku benar-benar patah hati. Aku gagal menikah, hingga sangat sulit bagiku untuk jatuh cinta lagi. Masih di masa rapuhku, pria itu datang dan bilang bahwa, “Kau terpilih.” Cukup sulit waktu itu untukku memahami kata-katanya. Tulang pipi lelaki itu tertutup bulu-bulu yang terpangkas tipis. Matanya memercikkan keteduhan. Tak sengaja, aku menangkap siluet cahaya memendar di belakang kepalanya membuatku terseret semakin jauh dalam percakapannya.

Kau sudah bisa menduga jika aku pernah jatuh cinta. Aku juga pernah bermimpi menjadi pengantin.

Bagiku jatuh cinta itu kekuatan. Cinta menyalakan caudate nucleus untuk memancarkan dopamin. Dengan dopamin, kau akan merasa gembira, seluruh perhatianmu terpusat. Buruknya, pada saat yang bersamaan ada dorongan kuat untuk memperoleh imbalan. Kau butuh perhatian. Balasan atas cinta.

Masuk akal jika ada “cinta buta”. Cinta sering membuat kita menempuh risiko besar. Cinta juga dekat dengan gangguan OCD atau Obsessive-Compulsive Disorder akibat “ketidakseimbangan” serotonin. Ini sejenis penyimpangan kejiwaan. Kau musti tahu, jika cinta dan gangguan jiwa itu pada prinsipnya sulit dibedakan. Bisa saja kau tiba-tiba menghitung anak tangga terus-menerus. Awalnya, hanya untuk mengalihkan pikiran dari orang yang kau cintai. Akhirnya kau terus menghitung apa saja, mulai dari orang yang kau temui di jalan, garis zebra, mobil yang berlalu lalang hingga bulu alismu sendiri.

Kudengar ada pil anticinta, yaitu pil Prozac. Jika gangguan kejiwaan mulai menghampirimu, sebaiknya kau beli Prozac di apotek. Dia bisa menumpulkan gagasan cinta. Dia ibarat peluru yang membuat kita “ogah” bahkan menyantap kenikmatan seks yang tersaji di depan kita. Pil ini mampu mengacaukan kemampuan untuk jatuh cinta. Setidaknya, bagian terbaik juga bisa mengobati sakit menstruasi.

“Bagaimana dengan aku?” aku berbalik tanya ke Shita, dia meracau mendengar kegilaanku pada Prozac. Wajahnya terlihat begitu nyata di pantulan dinding kaca yang menyekat kafe. Dia masih akan muncul lagi beberapa kali dalam hidupku sampai aku memutuskan untuk sendiri.

Apa yang terakhir kudengar darinya hari itu, dia menguapkan kata-kata jika konon cinta tak sebatas pada gagasan masa depan, tetapi juga bangunan masa lalu.

“Aku tidak lagi jatuh cinta!” mungkin itu jawabanku.

Menurutku, bangunan masa laluku telah runtuh dan saat ini aku tidak memiliki gagasan akan masa depan. Tidak ada sama sekali. Aku tidak tahu apa yang aku butuhkan saat ini, apakah pil Prozac dosis tinggi atau tawaran lelaki itu dengan embel-embel bahwa aku adalah wanita pilihan. Aku pernah gagal menikah dan kini dia menawariku menjadi pengantin.

Sendiri

Akhirnya aku menemuinya. Sekali lagi. Dengan keyakinan sebab aku adalah pilihan.

“Hidup itu sendiri.”

“Sejak awal kelahiran, kau adalah pilihan. Kau telah menyisihkan ribuan sel-sel kehidupan yang lain yang berlomba-lomba untuk dilahirkan. Kau pun harus mengakhiri hidup dengan pilihan.” Setiap kata-katanya rasanya seperti peluru yang menyisir habis hantu-hantu dalam kehidupanku, membawaku perlahan ke puncak ketenangan. Membuatku juga tak ingin menemui Shita.

“Semakin mengerti, semakin kau tahu arti sendiri.”

Lalu dia mengisahkan kepadaku perjalanannya sendirian menjelajahi beberapa belantara hingga sahara. “Aku pernah tinggal di Afghanistan dan Filipina. Kau harus tahu jika saat ini dunia bergerak di luar kendali. Kekuatan perlawanan yang tersisa hanya ada pada yang terpilih.”

Dunia bergerak di luar kendali? Bukankah sejak awal semesta tercipta sudah begitu? Aku diam saja.

Lalu samar kudengar kisah-kisah mulai dituturkannya bak dongeng tentang perjalanan para pejuang di Moro. Aku tidak terlalu paham dengan sejarah hidup tokoh-tokoh dalam kisahnya. Apa peduliku. Entah kapan, aku juga mendengar nama-nama yang tak begitu asing disebut, seperti Hambali, Imam Samudera, Saad alias Faturrahman Al Ghozi, dan Abdul Jabar. Beberapa kisahnya terasa spektakuler, dibumbui dengan aksi seperti koboi dan serupa di film-film Hollywood yang sangat digemari Shita.

Dia juga memperlihatkan kliping surat kabar berisi berita tentang pembakaran kamp di sebuah tempat di Mindanao dan foto-foto penangkapan beberapa orang yang dikenalnya. Dia menjelaskan bahwa dirinya saat ini mendapat tugas untuk memburu dan aku adalah orang yang paling tepat untuk menjalankan aksinya itu.

Tak sebatas itu, dia berulangkali memutar film-film yang tak jauh dari apa yang diceritakan, hanya tokoh-tokoh di film-film itu banyak yang menutup wajah mereka. Kurasa kostum itu cuma sedikit berbeda dengan ninja –tapi gerak ninja lebih lentur, kalau tak ingin kubilang selera mereka dalam berpakaian sangat buruk.

Dia sering mengulang kata-kata itu. Otakku terdikte dengan sempurna. Aku tak melakukan kesalahan sepatah kata pun.

Dua bulan setelah intens bertemu dengannya, aku menemui Shita.
Ketika mendengar pilihanku untuk menjadi calon pengantin, Shita berteriak, “Sebaiknya kau tidur dengan siapa saja. Tak perlu kau pikirkan dia siapa. Anggap saja semua lelaki itu suamimu!”

“Apa kau sudah kehilangan kewarasan berencana mengakhiri hidupmu sendiri?”

“Sepertinya aku perlu mengajakmu ke night club!”

“Katakan padaku siapa lelaki yang menemuimu itu? Dia bukan ustaz, melainkan bagaimana otakmu bisa melengkung sejauh itu. Aku harus bertemu dengannya. Aku tidak mau satu-satunya temanku punya keputusan gila!”

Suaranya detik itu berlompatan tak henti, begitu sumbar, seperti panci-panci dipukuli beramai-ramai. Bagiku Shita adalah tipe perempuan yang tidak percaya pada tatanan sosial, termasuk pernikahan. Dia hidup bebas, itu persepsinya. Dia berbanding 180 derajat denganku.

Kurasa karena jengah, dia berdiri dari tempatnya duduk dan memutar tubuhnya yang tinggi semampai berbalut gaun sifon mini tanpa lengan dengan motif hati berbaris di bagian payudara. Pahanya menjuntai seperti sepasang leher jerapah beriringan. Warna merah marun mendominasi bagian atas berpadu dengan motif abu. Di sisi tepi ada renda tipis. Rambut panjangnya tergerai. “Ini seri Flaming Hearts,” jelasnya menekan rasa penasaranku melihat ke arah gaun yang dikenakannya. Dengan gaun itu, dia semakin mirip burung flamingo.
Lalu dia rebahkan tubuhnya ke sofa.

“Coba kau rasakan hidup bebas seperti burung!” Matanya menerawang.

“Burung tidak benar-benar mengalami kebebasan. Mereka terhambat topografi dan musim,” tukasku.

“Aku cukup bebas.”

“Itu hanya pandanganmu. Dan kau bukan burung. Sepanjang kamu hidup, kebebasan hanya kesemuan. Hanya impian. Itu tidak benar-benar ada.”

“Setidaknya itu lebih baik daripada kau bunuh diri!”

“Bukan begitu, aku mau menjadi pengantin.”

Bicara dengan Shita rasanya sia-sia. Memang dia tidak terkejut dengan pilihanku, atau mungkin dia bisa menduga bahwa keputusan itu sangat bisa kupilih. Sekali lagi karena kami sangat berbeda.

“Apa kau tidak sedih meninggalkan kehidupan?” suaranya mendadak dramatis.

“Kau pernah bilang bahwa aku mati rasa. Maka bagaimana mungkin aku bisa merasakan sedih?”

Benar, aku kehilangan sensitivitas rasa. Tidak senang, tidak juga sedih. Bahkan cita rasa berpakaianku bertambah buruk separah kostum peniru ninja itu.

Tapi keputusanku semakin bulat.

Teroris

Inilah hari terakhir itu. Hari ketika aku yakin untuk tidak memiliki apa-apa. Termasuk tubuh dan jiwaku. Aku tak lagi ingin mendengar suara Shita yang terus memekak di telingaku. Aku tak lagi ingin melihat wajah Shita. Aku tak lagi ingin dia berpikir bahwa aku akan mengikuti kegilaannya. Aku bukan Shita. Aku adalah pilihan.

Dan ini adalah hari ketika aku menjadi pengantin.

“Kau sangat cantik!” ujar pria itu. Dia telah mendandaniku dengan rok panjang dengan celah tinggi di sisi kanan, berwarna emas, dengan lingkar pinggang elastis. Aku nampak seperti putri duyung berbalur atasan hitam berkilat. Aku yakin kata-katanya bukan basa-basi. Sebab hari ketika kau menjadi pengantin adalah hari di mana kau ingin tampil paling cantik dari yang lain. Rasanya, hari ini aku lebih mirip Shita.

Aku pun bergerak ke tengah ruangan yang riuh oleh dentum musik house. Dia sudah memastikan bahwa “siapa” yang dia buru ada di situ. Musik mengentak itu seakan memicuku untuk menekan tombol peledak dalam hitungan detik. Detik ketika aku tidak punya apa-apa. Tidak tubuh dan jiwaku. Juga “dia” yang kuburu.

Di kehidupan yang masih terus bergerak, pada beberapa sekon setelah ini, mereka akan menyebutku “teroris”, sedang keluargaku akan bilang, “dia sudah lama tidak pulang.” n


Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013