Sunday, October 28, 2012

Sepucuk Mimpi Gila

Cerpen Tova Zen


SUMININGSIH adalah wanita berwajah manis yang buta huruf. Jangankan mengeja namanya, bahkan dia tak tahu apa itu huruf dalam tatanan alphabet. Hal yang selalu menjadi nilai lebih adalah dia pintar mengaji tapi tidak bisa membaca huruf-huruf Hijaiyah. Dia hanya menghafal surat-surat Alquran, bacaan salat dan hafalan selawat Al-Barzanji. Memang aneh, harusnya orang zaman sekarang bisa menulis dan membaca.

Suminingsih merasa beruntung memiliki suami yang baik padanya. "Suamiku bekerja serabutan sebagai ahli gambar," kata dia, bermonolog di depan meja rias sambil menyisir rambut panjang lurusnya.

Pria yang menjadi suaminya adalah seorang arsitek bangunan. Pria yang dulunya adalah seorang kuli bangunan kini memiliki kepercayaan penuh menjadi arsitek. Bukan tanpa sebab dari seorang kuli bisa menjadi tukang gambar desain bangunan, karena suaminya telah belasan tahun tinggal di kota itu dan ditugasi menyalin gambar-gambar struktur dari mandor bangunan. Suaminya adalah pria yang mau belajar secara autodidak, tanpa harus mengenyam bangku kuliahan. Buat apa? Toh suaminya tetaplah seorang kuli bangunan serabutan yang kelebihanya hanya pandai menggambar sketsa.

Suaminya sangat malu memiliki istri yang buta huruf. Berkali-kali Suminingsih diajarkan menghafal huruf, mengeja kata, dan menulis dalam buku huruf-huruf yang dihafalnya. Tapi suaminya selalu merasa kecewa karena sia-sia belaka mengajarkan membaca pada istrinya yang bebal. "Aduh! Suminingku sayang, kenapa sulit sekali mengajarkanmu membaca, bahkan lebih sulit ketimbang mengajarkan bocah TK," suaminya geleng-geleng kepala.

Suminingsih hanya tersenyum hambar melihat ekspresi kecewa suaminya setiap kali diajarkan menulis dan membaca.

Suminingsih selalu acuh dan tak peduli dengan gerutu suaminya. "Apa gunanya aku belajar membaca, Mas Rahman. Toh, tugasku sebagai istrimu cukup melayanimu dan berbakti padamu. Apa aku kurang pintar memasak? Kurang pintar merawat rumah kita? Aku selalu ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik untukmu, suamiku sayang."

"Ughh! Suminingku, aku tahu kamu pintar mengurus rumah tangga, tapi apakah kamu tidak merasa malu jika kamu tak bisa membaca?"

"Buat apa malu, toh aku bisa menjalani hidup meskipun aku tak bisa membaca dan yang terpenting aku bisa berbakti padamu," katanya simpel, lalu memeluk suaminya erat sekali, ada perasaan takut dalam dadanya jika suaminya tidak mencintainya karena kebodohannya membaca dan menulis.

"Pokoknya aku ingin kamu bisa menulis dan membaca, aku akan senang sekali jika kamu mau belajar. Tak ada kata terlambat Suminingku, Sayang. Percayalah kamu bisa melakukannya," rayu suaminya penuh sayang sambil membelai wajah manis istrinya dan mengelus mesra kepala berjilbabnya.

"Aku ada pengajian besok pagi, jadi harus tidur cepat. Oh ya, jika Mas Rahman belum tidur dan sedang sibuk menggambar, tolong bangunkan aku tengah malam untuk salat tahajud." Suaminya hanya mengangguk.

Suaminya sangat sibuk dan tak punya kesempatan untuk mengajari istrinya membaca dan menulis. Payah sekali istrinya itu jika harus belajar mengeja huruf-huruf. Dia hanya menggeleng-geleng kepala dan tak mau meladeni istrinya yang kepayahan dalam belajar. Seakan dia berkata, ?Sumining.. Sumining... andaikan kamu bisa menulis dan membaca alangkah bahagianya aku, paling tidak aku akan merasa tenang karena kamu tak dibodohi orang-orang zaman sekarang di pasar,? Batin suaminya dengan mulut bungkam dan mata menyipit sedih.

Malam kian larut saja, tapi Rahman begitu rajin dan ulet bekerja hingga hampir tengah malam dia terus menggambar sketsa milik klien majikannya. Secara tak terduga dia mendengar jeritan lengking yang keras berarah dari kamar di mana Suminingsih tidur. Panik membuatnya berlari menuju kamar untuk menengok apa gerangan yang terjadi.

Dilihatnya Suminingsih mendelik, kalut, dan carut-marut wajahnya. Rahman berlari sigap menuju dapur yang letaknya di sebelah kanan kamar. Mengambilkan air putih untuk menenangkan istrinya yang panik. "Sumining! Apa kamu mimpi buruk barusan? Tenanglah sayangku. Ini minumlah agar kamu tenang dan tenggorkanmu tidak lagi tercekat."

Setelah minum air putih beberapa teguk, serta merta Sumining menyerudukkan kepalanya ke perut suaminya sambil memeluknya erat. Seperti seorang bocah yang dicekam rasa takut. Tangisanya mulai mengembik-embik pilu. Dan Rahman mengelus-elus rambutnya untuk memberikan ketenangan. ?Jika kamu sudah tenang ceritakan apa yang terjadi,? kata suaminya penuh sayang.

Alunan napas Suminingsih perlahan-lahan mulai kembali normal, dia berhasil menemukan ketenangan dari sesuatu yang dirasanmya mencekam. Dengan tutur yang lemah dan sedikit banyak air mata yang masih berurai, Suminingsih dengan terbata menceritakan mimpi gilanya.

"Aku melihatmu Mas Rahman. Dengan jelas aku melihatmu di musala itu. Wajahmu pucat sekali. Seakan aku tak mengenalimu. Kamu terus mengikutiku terus-menerus, dan entah mengapa aku tak bisa mengenalimu. Oh, bukan! Maksudku aku belum menikah denganmu...," urai Sumining tentang apa yang dialami dalam mimpinya kepada suaminya.

"Itu hanya mimpi sayangku, bunga tidur. Jadi kamu tak perlu merasa takut," ucap Rahman menenangkan istrinya.

"Aku sangat ketakutan, sungguh Mas Rahman. Bayanganmu selalu datang dan mengikutiku. Saat aku hendak mengaji ke mushola, aku melihatmu menungguku di teras rumah orang tuaku. Menungguku dengan penuh rasa sedih dari wajahmu yang begitu pucat. Oh, aku belum mengenalmu. Dan aku membiarkan saja dirimu. Kamu terus-menerus mengikutiku, menungguku, melihatku, menantiku dan berharap terus menontonku. Aku tahu dan aku beranikan diri untuk menghampirimu, tapi kamu seperti asap yang melayang dan menghilang saat aku mencoba mendekatimu."

"Lalu apa yang terjadi selanjutnya, Sumining," kini Rahman menjadi penasaran.

"Aku bisa membaca Alquran yang huruf-hurufnya rumit itu, Mas. Ya, aku bisa membaca dan menulis. Kamu melihatku merapalkan surah, mendengarkanku membaca qiroatul Quran. Aku sempat mengintipmu dalam jeda menarik napas saat akan menyambung bacaan qiro. Aku melihat air matamu berleleran di pipi pucatmu, bibirmu gemetar dan matamu memerah. Aku takut dan kasihan melihatmu. Setelah selesai membaca aku melihatmu terbakar. Apakah kamu sedang menjerit? Apakah kamu berteriak minta tolong? Apakah itu kenyataan yang terjadi. Aku berlari menghampirimu tapi hanya debu yang terhempas angin. Aku sangat takut sekali Mas Rahman."

Rahman ikut gemetar mendengar penuturan tentang mimpi istrinya. Sebuah mimpi yang penuh kegilaan. Seperti sepucuk mimpi yang membawa pesan. Sampai-sampai Rahman berujar dalam hati, "Dosa apa yang aku lakukan ya Robb! Hingga Engkau kirim sepucuk mimpi yang mengganggu istriku hingga nyaris gila dalam ketakutan."

Suminingsih mengambil wudu dan melakukan salat tahajudnya dengan khusyuk. Malam yang temaram hingga pagi yang buta datang. Rahman terus memikirkan mimpi istrinya. "Oh! Ini hanya mimpi, hanya bunga tidur belaka, jangan sampai aku percaya pada hal-hal khurafat yang bisa menipiskan imanku."

Rahman terus berandai-andai yang membawanya pada kilas balik tabiatnya juga tabiat istrinya. Sepucuk mimpi gila yang istrinya alami semalam ingin dia tafsirkan maknanya. Angannya yang tumpul mencoba berangan-angan, pikirannya yang bodoh mulai membual, maka dia ingatlah tentang mimpi Ibrahim yang dulu dituturkan guru ngajinya di sanggar. "Ibrahim bermimpi meyembelih anaknya, karena bisikan dalam mimpi yang diyakini itu datangnya dari Allah untuk menguji keimanannya. Lalu apa arti mimpi istriku semalam yang melihatku terbakar saat dia sedang membaca qiroatul Quran?" bisik Rahman dalam hati yang bergemuruh.

Suminingsih yang lembut dan baik hati mulai berusaha melupakan mimpinya itu. Sekarang dia fokus melayani suaminya, seperti hari-hari biasa. Dan Rahman yang posesif tentang keinginannya untuk mengajari istrinya membaca dan menulis terus-menerus memberikan buku-buku ejaan, poster huruf-huruf alfabet yang mudahkan otak untuk mengingat. Namun, Suminingsih hanya menyimpan buku-buku itu, saat suaminya sibuk dan tidak bisa mengajarkan padanya. "Biarkan saja buku-buku itu kusimpan, siapa tahu bermanfaat untuk anak kami kelak," pikirnya dalam hati.

Saat hendak berdandan di meja rias Sumining melihat buku Juz Amma. Baunya dilapisi parfum khas, wewangian yang membuatnya curiga. Buku itu dibuka dengan seksama, tapi dia tak bisa membaca kerumitan huruf-huruf itu. Rasa ingin tahunya menguat bersamaan sepucuk mimpi yang kembali dikenangnya. "Ya, aku ingat huruf-huruf seperti ini yang aku baca saat mimpi membaca Alquran. Ya, aku ingat sekali, meskipun aku tak bisa membacanya?" Suminingsih tiba-tiba menangis lirih dan ada keinginan yang begitu kuat untuk bisa membaca Alquran.

Dengan penuh rasa perhatian yang besar Rahman membimbing istrinya belajar Iqro, belajar mengeja huruf-huruf Hijaiah, mengeja gandengan-gandengan huruf dan perlahan Suminingsih mulai bisa mengeja dasar-dasar bacaan. Kurang lebih setengah tahun belajar dari suami dan juga tempatnya mengaji, Sumining mulai lancar membaca Alquran. Lalu dia membaca surat yang pernah dia ingat dalam mimpinya, dan tak lain adalah surat Al Ahqaf Ayat 29-31. Surat yang bertutur tentang Jin beriman setelah mendengar kalam Allah yang dibacakan Rasulullah ketika salat, tapi pada Hadis lain justru menjelaskan bahwa ketika setan di kalangan jin mendengar kalam Allah dibaca umat muslim ketika salat justru bukannya beriman dan mendapatkan hidayah melainkan malah tidak peduli dengan ayat yang dibaca tetapi malah menggoda manusia hingga lupa salat. Mereka lari ketika dikumandangkan azan dan ikamat lalu datang dan menggoda ketika salat.

Rahman dan Suminingsih berurai air mata setelah menterjemahkan surat itu. ?Mas, ini adalah hidayah kita. Mimpi itu tentang keinginanmu untuk mendapat perlindungan saat aku membaca dengan tartil dalam mimpiku. Saat aku berhenti kamu pergi dan hanya meninggalkan abu sisa pembakaranmu.?

"Ya, sepucuk mimpi gila. Dan aku sungguh merasa bersyukur. Kamu jangan takut lagi ya Sayang, Alloh mencintai hamba-Nya. Dan mimpimu anggap saja sebagai pengingat. Sekarang kamu harus belajar alfabet Latin agar kamu bisa membaca terjemahannya."

"Aku akan belajar Mas, demi kamu dan demi mengajarkan ilmu pada anak kita kelak. Wajahmu kenapa menjadi pucat sekali, Mas."

"Aku bahagia mendengarkannya. Selalu berdoa untukku ya, Suminingsih."

Tiba-tiba Suminingsih tergagap, dilihatnya sekitar kamar tidurnya. Seorang balita lelaki berusia dua setengah tahun ada di sampingnya. Rahman telah meninggal dua tahun lalu. Sebelum kematian suaminya, Suminingsih sudah bisa membaca dan menulis Latin serta Arab. Semua itu Rahman yang mengajarkannya dengan tekun. Mungkin sakit fisiknya akibat keletihan kerja membuat Rahman harus bertaruh nyawa. Sungguh tak disangka Rahman meninggalkan Suminingsih sejumlah tabungan yang sengaja dikumpulkan untuk membangun usaha warung makan istrinya.

Dikecupnya balita itu dengan sayang yang luar biasa. Sedikit basah matanya dan berbisik di cuping anaknya, "Mas Rahman, aku akan mendoakanmu, menjadikan titisanmu seorang anak yang saleh. Semoga kamu tenang disisi-Nya. Seperti dirimu yang sayang padaku, menjadi suami terbaikku dan selalu mengajariku membaca dan menulis. Bahkan hingga malam ini aku masih memimpikanmu. Bukan sepucuk mimpi gila yang takut kurasakan, tapi sebuah mimpi indah yang hadir sebagai bunga tidurku."

Suminingsih bangun, mengambil air wudu lalu bertahajud, dilanjutkan zikir malam dan membaca Alquran dengan khidmad. Wajah bersinar putih di luar jendela menatap sambil terseyum ke arah Suminingsih yang sedang mebaca kalam Allah. Sesekali dari sudut mata Suminingsih melihat orang bermuka pucat itu dari jendela kamar. "Bukan, itu bukan Mas Rahman. Itu jin yang beriman yang datang untuk mendengarkan kalam Tuhan. Ya! Aku tidak sedang tidur, tidak sedang bermimpi dan aku tidak gila melihat sosok penuh pendar cahaya pucat di luar jendela." Suminingsih tersenyum dan kembali mendoakan mendiang suaminya.


Lampung Post, Minggu, 28 Oktober 2012

Sunday, October 21, 2012

Kunang-kunang di Penantian

Cerpen Tita Tjindarbumi


DARAH! Bercak-bercak merah semburat di lantai kamar mandi. Ada bekas jejak kaki seukuran kakiku. Darah yang masih basah dan kini menempel di kakiku. Bau anyir mendominasi penciumanku. Kepalaku mendadak seperti mau pecah. Perutku seperti dikocok-kocok. Isi perutku tanpa bisa kutahan berhamburan bercampur dengan bercak-bercak merah. Begitu banyak kunang-kunang beterbangan. Kunang-kunang dari kuku mayat. Janinku.

MASIH terasa irisan berdarah di dada akibat pertengkaran semalam. Berawal dari sejumlah foto dan pesan singkat yang kutemukan di ponsel Mike. Bertahun-tahun kami hidup bersama belum pernah kulihat tingkah Mike seaneh sekarang. Meskipun sebenarnya bukan aku tak tahu, di belakangku Mike masih sering menebar pesona kepada banyak perempuan. Bahkan, ada beberapa di antaranya adalah teman-temanku.

Sudah berulang kali kutanyakan soal mereka padanya. Ia selalu memberikan jawaban yang cukup bisa diterima oleh akal sehat.

?Mereka hanya teman. Tak lebih.? Jawabnya tegas sambil menatapku. Seperti ingin meyakinkanku dengan tatap matanya. Lebih tepat ingin menjinakkan kemarahanku.

Dan aku?

Aku luluh dan tak ingin memperpanjang pertengkaran. Sebab, aku tahu, ia akan mengeluarkan kalimat yang pada akhirnya akan membuatku diam.

?Mama tak usah kuatir. Hanya ada Ma di hati ini. Hubungan Papa dengan mereka hanya sebatas sahabat. Bukankah mereka juga teman Mama.? Ujarnya lagi dengan kedua tangan telah melingkar di dadaku.

Aku luluh. Larut dalam pesona Mike yang luar biasa. Ia telah membuatku kembali percaya padanya. Kembali pada kegilaanku mencintainya.

Hanya ada Ma di hati ini?

Oh, God! Aku terperangkap dalam buai kalimatnya. Terlelap kelembutan jemarinya. Tak lagi kupedulikan ulah Mike yang menyakitkan hati. Terutama, saat bibirnya memagut bibirku dan hanya desah yang ada di kesenyapan kamar kami yang mendingin lebih sering dihuni gigil, bagiku Mike adalah lelaki yang akan terus kubutuhkan.

Begitulah. Nyaris kuabaikan kesakitan yang kian menebar hampir ke seluruh organ tubuhku. Demi sebentuk dekapan dan kehangatan sesaat, aku berusaha berkompromi dengan apa pun yang terjadi di antara kami.

Bahkan banyak pertanyaan yang mengganggu pikiranku, tetap memenuhi benakku. Tak akan kulontarkan jika akhirnya akan berbuntut perdebatan dan keributan yang ujung-ujungnya hanya akan menambah luka di hati semakin menganga.

***

ADA banyak nama. Ada banyak aroma yang melekat di kemeja atau Polo-Shirt Mike setiap kali ia pulang dari bepergian. Semua tak lepas dari penciumanku. Aku tak pernah bertanya. Hanya mengamati dan semakin mempertajam penciumanku. Setidaknya dengan begitu aku tahu bahwa dengan banyaknya aroma parfum, maka banyak pula perempuan yang singgah di pelukan Mike. Bagiku itu masih lebih baik dari pada Mike pulang ke rumah dengan membawa aroma parfum yang sama dari semua kepergiannya.

Meskipun begitu, tetap saja hatiku sakit. Tetapi merasa tak berdaya. Merasa dipermainkan?

Ah, aku tak boleh menunjukkan sikap sebagaimana perempuan yang sedang dipermainkan oleh lelaki. Aku harus tetap enjoy. Bersikap biasa seolah apa yang ia lakukan bukan hal penting.

Pada saat di kantor, aku akan bersikap profesional sebagai bosnya. Jika kami sedang menghadiri jamuan klien, aku akan tetap memperlakukan dirinya sebagai staf ahli yang membantuku dalam urusan teknis. Jika sedang berada di lingkungan kerabat dan keluarga, tentu aku akan bersikap aku adalah isteri yang mengabdi pada suami. Bagaimanapun mereka tak boleh tahu seperti apa hubungan kami yang sebenarnya.

Begitupun jika di rumah. Aku menyiapkan apa saja yang ia butuhkan. Menyiapkan makanan, pakaian, dan juga kebutuhan seksnya jika ia menginginkan. Dan yang terakhir itu membuatku melayang. Membuatku merasa dicintai dan dibutuhkan! Meskipun kadang aku merasakan Mike melakukan itu bukan karena dorongan rasa kasih.

Lalu karena apa? Cinta?

Aku tak berani berandai-andai. Banyak hal yang tak akan bisa kuraih jika bermimpi tentang cinta. Walaupun aku sangat menginginkan suatu hari nanti ia berada di sampingku bukan karena secara finansial aku mampu memberikan segala yang ia butuhkan. Tetapi karena ia betul-betul punya rasa itu. Cinta. Meskipun hanya secuil.

***

JUMAT adalah hari yang membuatku senewen. Pagi tadi sebelum berangkat ke kantor Mike masih pulas. Sejak Rabu ia seperti karyawan teladan. Menyelesaikan semua pekerjaan sesempurna mungkin. Pulang ke rumah dengan wajah lelah langsung membuka laptop dan tenggelam di dunia maya. Wajah lelahnya berubah ceria saat ia berada di depan layar laptopnya. Sering aku mencuri-curi melihat apa yang membuat Mike begitu antusias.

Ia menulis cerita. Puisi dan menulis komen-komen romantis di note seseorang. Yah, bukan aku tak tahu, belakangan ini setiap kali ia pulang ke rumah aroma parfum yang tercium hidungku selalu aroma yang sama. Gelisah menghantuiku setiap saat. Aku tak mau Mike bersama seseorang yang sama di saat ia tak bersamaku.

Aku menyelidiki dengan siapa lelaki yang kusebut suamiku itu bepergian. Ke mana mereka pergi dan bersama siapa? Mike sepertinya tahu aku mencari tahu siapa perempuan yang membuatnya tak lagi pergi dengan perempuan lain selain dengan perempuan yang kutahu bernama Andin. Perempuan sederhana tetapi begitu istimewa di mata Mike.

Ya, kukira Mike begitu kagum pada Andin. Perempuan multitalenta yang sering kali disebut-sebut sebagai guru kehidupan oleh Mike. Sungguh aku merasa seperti perempuan yang tak berarti apa-apa di mata Mike. Aku tak pernah mendengar ia memujiku. Mike hanya ?manis? jika ia sedang menginginkan sesuatu dariku.

Dan itu cara jitu Mike untuk mendapatkan semua keinginannya dariku.

Dan aku? Tak peduli apakah hanya untuk mendapatkan keuntungan ia melakukan itu. Bagiku, cintaku padanya tak bersyarat. Aku mencintainya apa adanya. Tak hanya kebaikannya saja. Seluruh keburukannya kukunyah dan kutelan dengan kerelaan. Kebaikan dan keburukannya kumasukan ke sebuah cawan cinta yang selalu kujaga agar tidak retak apalagi sampai pecah.

***

?Aku ingin refreshing ke luar kota, week end ini, Pa,? kataku suatu pagi dengan hati-hati sekali.

Semalam, entah karena apa, Mike memperlakukanku hangat sekali. Kami menyatu dalam batas bibir yang melenyap. Ia membuatku merasa menjadi perempuan yang paling dicinta.

?Ya? kenapa tidak. Pergilah? enggak bagus juga kerja terus,? jawabnya setelah membalik tubuhnya. Memunggungi cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang tirainya kubuka.

?Ma ingin pergi bersama Papa.? Kataku lagi sambil memeluknya dari belakang. Nuansa indah semalam masih pekat dan meninggalkan getar yang luar biasa.

?Pa enggak bisa, Ma. Ajak saja teman supaya ada yang temani.?

Mike tak membuka matanya. Seakan ajakanku untuk pergi bersama bukan hal yang istimewa. Kekecewaan membuat mataku memanas.

?Ma kan tahu? setiap Jumat Pa sudah ada jadwal tetap. Kita sudah komitmen, Ma boleh ajak Pa ke mana saja dan kapan saja asal tidak saat week end!?

?Apakah setiap week end Pa selalu tak punya waktu untuk Ma?? tanyaku lagi, masih berharap Mike berubah pikiran.

?Maaf, Ma? enggak bisa,? jawabnya tegas masih dengan mata terpejam.

?Apakah karena dia Pa selalu mencari-cari alasan untuk tak bersama Ma di saat week end?? Tanyaku lirih dan tak membutuhkan jawaban. Sebab aku sudah tahu, sekali pun ia mengatakan tidak, itu hanya untuk meredam suasana. Dan jika aku mendesak, sanggupkah aku menerima kenyataan jika Mike akhirnya mengaku ia memang bersama perempuan itu di setiap akhir pekan!

Oh? buah simalakama.

***

RUMAH perempuan itu sederhana sekali. Jauh bila dibandingkan dengan apartemen yang kutempati bersama Mike. Di apartemen itu semua kebutuhan Mike kupenuhi. Demi untuk membuatnya betah hidup bersamaku. Kami memang hanya tinggal bersama. Tak ada yang dapat menahan jika Mike tiba-tiba saja ingin pergi dari Apartemen itu. Itu sebabnya, aku berusaha agar ia tetap kembali meskipun kutahu ia menghabiskan akhir pekan bersama perempuan itu.

Mike memang selalu kusebut suamiku. Demi untuk mencegah gosip dan ribetnya pertanyaan keluargaku. Untuk itu, kami membuat surat nikah palsu hanya untuk mempermudah urusan administrasi dengan pengurus di lingkungan Apartemen. Kami tak pernah menikah meskipun Mike dan aku memakai cincin kawin. Hidup di Jakarta membuat kami harus melakukan itu. Banyak kamuflase, termasuk sandiwara cinta.

Sudah berapa kali aku mengikuti jejak Mike. Ia selalu pergi ke rumah sederhana itu. Ia akrab dengan tetangga yang bersebelahan dengan rumah itu. Akrab dengan keluarga yang berada di rumah itu. Bahkan mataku melihat dengan jelas betapa mesranya ia dengan perempuan yang bernama Andin. Dan perempuan itu... ia begitu cantik dengan perutnya yang membuncit.

Andin hamil? Janin Mike kah?

Oh, pasti. Jika tidak? Mana mungin Mike terlihat begitu bahagia saat mencium perut perempuan itu. Bahkan dari jauh aku bisa melihat kerlip bahagia di mata Mike saat mencium kening Andin.

Aku tergugu. Marah?

Yahh? Aku merasa dikhianati oleh Mike. Dipecundangi lelaki yang selalu baik padaku. Yang hanya pura-pura perhatian padaku. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa bertahan bersamaku selama bertahun-tahun. Selalu kembali padaku setelah menclok ke banyak perempuan.

Lalu? Apakah Andin juga salah satu korbannya? Lalu bagaimana nasib perempuan lainnya? Apakah mereka ditinggal begitu saja begitu layu setelah dipetik Mike? Bukankah meskipun jelas ia telah membuat perut Andin buncit, toh setiap Minggu malam ia selalu kembali ke Apartemen dan bersikap sebagaimana biasanya padaku. Meskipun aku ilfill setiap kali ia baru berkunjung ke rumah Andin.

***

MALAM ini aku sendirian. Aku tak mau memikirkan Mike. Aku tahu ia sedang bersama Andin. Kupastikan ia sedang mengelus-elus jabang bayi yang ada di perut Andin. Menghadiahkan kecupan mesra di kening lalu turun ke mata, kening dan berlama-lama di bibir perempuan itu. Sama persis seperti yang ia lakukan padaku sebelum ia lebih banyak memilih menghabiskan akhir pekannya bersama Andin dan janin itu.

Tanpa terasa air mata sudah mengalir. Tetesnya satu-satu membasahi majalah yang berada di pangkuanku. Aku ingin memendam rasa ini sendiri. Apalagi aku akhirnya tahu mereka telah menikah secara diam-diam.

Sementara aku? Bertahun-tahun aku hidup bersamanya, Mike tak pernah tertarik mendiskusikan tentang pernikahan. Meskipun setuju saja saat aku mengusulkan untuk membuat semacam surat kawin palsu. Apalah artinya sebuah surat nikah palsu? Bukan kebahagiaan yang kurasa, malah aku tak tenang, bagaimanapun pemalsuan surat adalah tindakan kriminal, Kucoba menghubungi ponsel Mike. Tanpa menunggu lama, suaranya terdengar renyah di telingaku.

?Ya, Ma??

?Papa baik-baik saja kan?? Kudengar ia menjawab dengan santai. Di belakang suaranya kudengar suara musik slow. Romantis sekali. Hatiku teriris. Tersayat-sayat.

?Oke? jangan lupa makan, Pa.? kataku langsung memutuskan hubungan telepon.

Aku tak akan kuat mendengar jika Mike menjawab ia sudah makan dan bla... bla... bla... yang kesemuanya menggambarkan kebahagiaannya saat berada di rumah itu. Bersama perempuan dan calon anaknya yang membuat Mike seperti menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Aku tak ingin mengusik kebahagiaan Mike. Aku juga tak akan pernah bisa berbuat apa-apa jika Mike melepas dan meninggalkanku begitu saja. Aku bukan istri sahnya. Tak bisa memberi anak meskipun rasa cintaku padanya tak pernah pudar. Sekalipun dalam kesakitan yang tak berujung.

Bayangan bercak merah yang berhamburan di kamar mandi selalu membuatku merasa seperti perempuan yang tak berguna. Aku selalu bilang bercak itu adalah janinku. Janin Mike. Padahal dokter telah memvonisku. Mandul.

Ah, aku tahu bukan karena tak bisa punya anak, Mike meninggalkanku. Bertahun-tahun hidup bersama ia tak juga mampu menumbuhkan benih cinta di hatinya untukku. Kemewahan memang tak selalu dapat memerangkap cinta. Keburukan Mike pun tak dapat membunuh cintaku padanya. Kebahagiaan Mike adalah segalanya. Aku akan membiarkannya merajut kasih dengan perempuan itu. Musuh abadiku.

Mungkin dengan berpura-pura tidak tahu soal rumah itu. Aku akan tetap bisa berharap Mike selalu kembali ke Apartemenku. Ke pelukanku. Seperti kunang-kunang di penantian.

(Thanks for ME, inspirasi kisah ini.)


Lampung Post, Minggu, 21 Oktober 2012

Sunday, October 14, 2012

Sudut Wyresdale Road

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


ANGIN malam berkesiur tak henti. Ia memaksa pokok-pokok maple tanpa daun, di sudut Wyresdale Road, untuk bertepuk-tepuk tangan. Jari-jari maple berderak-derak.

Pagar-pagar kayu berdebam rubuh, lantaran tak sanggup menahan derasnya dorongan angin. 82 mil per jam, sungguh angin yang tak sabar.

Hujan pun tak sudah-sudah membasahi jendela sejak pagi. Menguyupkan lampu jalanan, yang senantiasa menunduk, bagai sedang berdoa agar hujan segera reda. Begitupun dengan sampah dalam bin daur-ulang, yang penutupnya telah tersingkap oleh angin, menyisakan timbunan koran, kardus-kardus basah dan kaleng-kaleng tergenang air.

Lalu, seluruh lampu serentak padam!

Bia dan Akan, penghuni rumah di sudut Wyresdale Road, mendadak diam dan berhenti saling memaki. Dari rumah-rumah tetangga dan rumah mereka sendiri, alarm berbunyi, bersahut-sahutan memekik, bersaing-saing dengan lolongan angin.

Di kota itu, selama puluhan tahun tak pernah sedetik pun listrik padam. Maka, padam lampu menjadi sesuatu yang sangat tidak diduga, juga tak diharapkan. Apalagi saat itu, Bia dan Akan sedang berkelahi. Dan, kalimat cerai sebanyak tiga kali menjadi ungkapan terakhir dari mulut Akan.

Dalam gelap, Bia dan Akan terdiam.

***

SEBAGAIMANA listrik yang jarang mati, Bia dan Akan juga tidak sering berkelahi. Akan, lelaki tampan berpendidikan strata dua dengan pekerjaan yang mapan. Bia, cantik alami, telah lulus S-3 dengan derajat terpuji. Semua orang yang mengenal mereka berpendapat sama: Bia dan Akan pasangan serasi.

Namun, orang-orang itu juga tahu, hubungan Akan dan Bia menyimpan potensi untuk meledak sewaktu-waktu!

Akan, yang sudah lama tinggal di kota Z, selalu menjadi ?tokoh? di mata orang-orang Indonesia lainnya, yang kebanyakan datang ke kota kecil dekat perbatasan Inggris-Scotland itu, sekadar untuk berkuliah. Sementara para pelajar selalu datang dan pulang, Akanlah yang menjadi tempat bertanya. Tak jarang pula Akan diminta bantuan oleh mereka yang hendak atau baru saja datang. Akan, yang senang menolong, tak pernah menolak apa pun yang diminta darinya. Sebagai gantinya, Akan menikmati posisi seorang ?tetua?: dihormati dan didengar oleh hampir semua orang Indonesia yang tinggal di kota Z. Hampir semua karena ada satu orang yang tak segan-segan menyanggah pendapat Akan.

Dan, orang itu adalah Bia!

Dalam setiap ajang diskusi, Bia berperangai bukan seperti istri. Sesuai kebiasaan, yang disebut istri, umumnya mendukung pendapat suami. Atau bahkan, biasanya, istri kerap menjadi corong penyampaian pendapat para suaminya. Istri, sehingganya, sesuai kebiasaan pula, sering tidak punya pendapat sendiri. Dan, Bia tidak bersikap seperti istri.

Bia selalu punya pendapat sendiri. Sesungguhnya ini bukan hal yang luar biasa. Bia yang seorang doktor tentu punya pandangan dan pikiran sendiri. Namun, lagi-lagi karena kebiasaan suami-istri, tiap kali Bia berbeda pendapat dengan Akan, dan ia mengutarakan pendapatnya dengan tegas, orang-orang menjadi sungkan mendengarnya. Mereka jadi berpura-pura tidak serius mendengar. Meskipun sesungguhnya mereka tahu pendapat Bia lah yang benar. Mereka juga kerap membicarakan bahwa sesungguhnya Bia lebih cerdas dari Akan.

Akan bukan tidak menyadari kerikuhan dan omongan orang-orang di belakangnya. Bahkan sesungguhnya Akan kerap merasa dipermalukan. Akan ingin meminta atau jika bisa, memerintah Bia untuk berhenti tidak sependapat dengannya. Tapi Akan sadar, itu akan terdengar sangat konyol. Selain akan merendahkan kecerdasan Bia, ia juga akan mengkhianati kecerdasannya sendiri.

Selama ini Akan memutuskan untuk diam. Diterimanya sanggahan Bia di tiap forum diskusi. Tapi, Akan tidak bisa lagi hanya diam dan pasrah. Tidak semenjak perempuan itu datang!

***

PEREMPUAN itu masih muda. Ia datang ke kota Z untuk kuliah S-1. Perempuan cantik yang selalu menatap Akan dengan mata penuh binar kagum. Saat perkenalan mahasiswa baru, perempuan itu tak sungkan bertanya, ?Kak Akan ini anaknya Bapak X, pejabat di Jakarta kan? Wah, Kak Akan hebat ya. Keluarga sukses dan Kak Akan juga sukses. Saya Miranda.?

Wajah Akan memerah.

Semua yang mendengar ikut salah tingkah. Tentu mereka tahu siapa ayah Akan. Tapi, sampai saat itu tak ada yang dengan polos bertanya langsung pada Akan. Orang-orang tahu, jika bertanya, itu berarti mereka mengakui bahwa mereka tahu siapa ayah Akan, dan itu hanya akan membuat hubungan menjadi kaku.

Bagaimana tidak? Jika mereka berbaik-baik pada Akan, mereka khawatir dipandang mencari muka. Lagi pula, di luar negeri, semua orang sama derajatnya, sama-sama perantau yang kerap rindu saudara satu negara, tak peduli berasal dari keluarga kaya atau keluarga biasa-biasa saja.

Tapi Miranda tak segan menunjukkan kekagumannya pada Akan. Bahkan di setiap diskusi PPI, ia selalu membenarkan apa saja pendapat Akan. Walaupun pendapat itu disangkal oleh Bia. Walaupun semua orang tahu bahwa pendapat Bialah yang benar. Meskipun Bia adalah istri Akan, Miranda tak ragu menyanggah Bia demi membela Akan.

Bia, lama-kelamaan, menjadi kesal!

***

MALAM itu, ketika angin bertiup kencang dan lampu menjadi padam, Akan dan Bia baru kembali dari sebuah forum diskusi PPI. Akan merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu, tanpa sedikit pun melihat wajah Bia. Bia pun begitu. Tanpa melepas jas hangat dan menggantungkannya pada gantungan jas di lorong rumah, seperti yang biasa ia lakukan, Bia naik ke kamar.

Tapi Akan, akhirnya tak mampu terus diam. Ia turut ke kamar dan mulai merancau.

?Bikin malu saja. Malah berkelahi di forum diskusi. Tak bisakah sedikit dewasa?? sungut Akan.

Bia, yang hendak mengganti bajunya dengan piyama, menjadi marah,

?Malu? Perempuanmu itu yang tak tahu malu!?

?Dia hanya anak kecil, masih belajar. Kau yang sudah doktor mau juga layani dia.?

?Aku paling kesal melihat orang yang suka mencari pembenaran. Suruh selesai saja dulu sarjana perempuanmu itu, baru diskusi denganku.?

?Berhenti bilang dia perempuanku!?

Bia mencibir dan menirukan gaya bicara Miranda, ?Kak Akan hebat ya. Kak Akan selalu benar. Kak Akan ... Kak Akan. Dasar perempuan bodoh!?

?Jangan kaubilang dia bodoh! Setidaknya dia selalu membelaku. Bukan mempermalukan aku di depan teman-teman.?

?Ha! Sudah berani pula kau bela dia di depanku. Aku selalu bikin kau malu, Akan?! Yang benar saja!?

?Ya, kau dan segala perangai sok pintarmu. Kau dengan segala gelar doktormu! Aku pikir pendapat Akan masih bisa diperbaiki. Aku pikir pendapat Akan tidak benar. Aku pikir ... aku pikir. Apa kau pikir hanya kau yang berpikir di dunia ini??

?Lalu, kau mau apa, Akan? Sementara semua orang hanya mengangguk-angguk, apa aku juga harus diam dan membiarkan pendapat bodohmu??

Saat itulah, Akan berteriak, ?Sungguh muak aku padamu. Kuceraikan engkau, Bia. Kuceraikan engkau, Bia. Kuceraikan engkau, Bia!?

Kamar mereka menjadi gelap gulita.

***

LIMA belas menit berlalu sejak lampu padam. Satu per satu lengking alarm telah dimatikan. Hanya tinggal satu alarm yang masih berbunyi. Alarm dari rumah Akan dan Bia.

Di antara riuh hujan dan kesiur angin, Akan dan Bia mendengar ketukan di pintu depan. ?Pergilah turun,? Bia berkata, ?Mungkin itu tetangga yang hendak meminta kita mematikan alarm.?

Akan mendehem, ?Di mana senter??

?Kita tidak pernah punya senter.?

Pelan-pelan Bia meraba arah menuju jendela, dibukanya tirai. Dengan bantuan sinar bulan, Bia menemukan tasnya di atas meja. Ia mengeluarkan telepon genggam dan menyerahkannya pada Akan, ?Pakai cahaya dari handphone ini.?

Ketukan pintu telah lenyap. Sebelum ketukan yang lain terdengar Akan tahu ia sebaiknya turun dan mematikan alarm. Namun, ia hanya mematung diam. Bia paham, Akan takut gelap.

?Berapa kode alarmnya? Biar aku yang turun dan matikan,? kata Bia.

Akan menggeleng, ?Biar aku saja.?

Akan tak juga beringsut.

Bia menghela napas, ?Turunlah. Aku temani.?

Perlahan-lahan Akan menuruni tangga kayu berkarpet merah, memasuki lorong rumah dan membuka pintu ruang tamu. Di pojok dinding dekat meja telepon dan pemanas, kotak pengatur alarm diletakkan. Saat Akan mengetikkan kode alarm, Bia membuka tirai jendela. Lalu, Bia duduk di sofa, mengamati pendar bulan yang mengubah warna biru sofa menjadi ungu. Bia mendengarkan gemuruh angin melewati cerobong asap. Suara angin dan derak reranting maple menyatu dengan suara titik hujan pada kaca jendela.

Bia teringat perkataan terakhir Akan sebelum lampu padam. Dan Bia menjadi sedih.

Bia menutupi mukanya, tersedu. Akan terkejut, Bia bukan perempuan yang suka menangis. Bahkan, Akan ingat, ini baru kali ketiga ia melihat Bia menangis. Pertama saat mereka menikah, kedua ketika Bia dikukuhkan menjadi doktor, dan saat ini. Hatinya menjadi hangat dan kemarahannya luluh. Perlahan Akan duduk di samping Bia. Perlahan pula Akan meraih pundak Bia, memeluknya.

Cukup lama mereka berpelukan, dalam biru pendar bulan, ditemani siulan angin dari perapian. Tiba-tiba, seolah tersadar, Bia melepaskan pelukan Akan.

?Bukankah kau sudah menceraikan aku?? tanya Bia, suaranya tercekat.

Akan terpana.

?Kau sudah mengucapkan kata cerai sebanyak tiga kali!? teriak Bia, sambil melompat berdiri dari sofa.

?Tak mungkin,? jawab Akan, cemas.

?Tidak sah kalimat cerai itu kalau bercampur emosi. Untuk bercerai tentu butuh saksi, dan keputusan pengadilan,? jelas Akan.

?Berdasarkan ayat, sunnah, atau hukum apa itu?? tanya Bia, tak percaya.

Akan diam. Bia berkacak pinggang, ?Sampai kau tahu hukum perceraian itu, jangan kau sentuh aku!?

Bia tergesa naik ke lantai atas, membawa telepon genggamnya dan mendebamkan kakinya kuat-kuat di setiap anak tangga.

Akan tertinggal di sofa.

Angin berpusar, mengelilingi dan menyentuh lembut tubuh Akan, membuat ia menggigil. Lalu, melalui cerobong asap berbentuk benteng catur, angin berhembus ke luar rumah. Melewati sampah-sampah basah, dan terus berkesiur ke arah pokok-pokok maple yang berjajar di sudut Wyresdale Road. Angin itu bercerita pada maple, tentang seorang manusia yang duduk gelisah di sebuah ruang, diliputi ketakutan akan gelap dan terus memaki dirinya sendiri. Maple pun menderak-derakkan reranting tuanya, bertepuk-tepuk tangan.

Lancaster, Maret 2011

1) 82 mil per jam = 132 km per jam.

2) PPI = Persatuan Pelajar Indonesia


Lampung Post, Minggu, 14 Oktober 2012

Sunday, October 7, 2012

Penyapa Langit

 Cerpen Yulizar Fadli
YA, akulah akar bahar yang melingkar di pergelangan tangannya, akulah saksi kematiannya, akulah yang tahu lekuk-liku hidupnya, yang tahu asal usul keluarganya, dan perlu pula rasanya kuberi tahu bahwa aku adalah bagian dari dirinya dan dia adalah bagian dari diriku.

***

SUATU malam ketika bulan separuh disatroni kawanan awan yang tengah mengandung bayi hujan, ketika itu pula kulihat dia khusyuk memandang langit lebam. Kulihat mulutnya kemudian bergerak-gerak seperti mengucapkan sesuatu.

Dia memang begitu, tak pernah jerih memandang langit. Tak tahu kenapa, mungkin saja dia ingin menyapa penduduk di atas sana, mungkin juga dia hendak bertanya pada salah satu dewa tentang siapa nama aslinya, sebab sejak sepuluh tahun lalu dia tak pernah berhasil mengingat nama itu. Tapi, sungguh, aku tahu siapa nama aslinya. Sudah berkali-kali aku coba memberitahukannya, tapi percuma, dia tak dapat mendengarku.

Bisa betah sampai empat jam dia pandangi langit ketika malam. Setelah itu barulah lelah bisa merayunya untuk duduk di bangku taman kota yang ditinggal pengunjungnya. Merebahkan badan, lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan potret bergambar perempuan. Aku tahu siapa perempuan itu. Sudah berkali-kali aku mencoba memberitahukannya, tapi percuma, dia tak dapat mendengarku.

Pernah suatu ketika, di tengah ritis gerimis, dia menangis sambil memungut satu per satu serakan sampah plastik di sekitar taman, lalu melipatnya rapi. Kecil-kecil. Setelah itu memegang-pandangi lagi selembar potret buram bergambar perempuan, kemudian duduk di atas bangku kayu yang dicat putih susu.

?Ayah tidak adil, saya benci ayah!? katanya. Kalimat itulah yang sering dia katakan pada dirinya sendiri semasa ayahnya masih ada. Hampir saja aku luput menceritakannya. Ayahnya itu lelaki keras, bersahaja, dan punya sikap. Sekilas wajahnya mirip Bung Hatta. Dia tak pernah lagi mengulang kalimat itu ketika ayahnya meninggal dan dikebumikan bersebelahan dengan kuburan kakek-neneknya. Dia pastilah menyesal, terpukul, terguncang, dan baru sadar bahwa ayahnya memanglah benar menyayanginya.

Semasa hidup, ayahnya adalah seorang sekretaris daerah di selatan Lampung, ketika itu provinsi ini baru mempunyai tak lebih dari tiga kabupaten. Ayahnya pegawai yang setia dan tak banyak ulah. Tak ingin punya tanah dan rumah mewah, seperti yang dilakukan teman sejawatnya. Terbukti bahwa ia hanya tinggal di rumah dinas, menaiki kendaraan yang juga milik dinas, milik pemerintah.

Mungkin itulah ihwal yang dia benci. Terang, semasa sekolahnya, dia tak diizinkan membawa kendaraan. Padahal dia merasa bahwa ayahnya sangatlah mampu membeli kendaraan roda empat seperti ayah teman sekolahnya, yang sejatinya berkedudukan sama dengan ayahnya.

Selain memelihara rasa prihatin, ayahnya itu punya satu kebiasaan, melipat kantong plastik-plastik bekas. Ya, ia selalu melipat dan menumpuknya di lemari belakang. ?Sampah plastik tak boleh dibuang sembarangan. Plastik tidak mudah terurai. Seratus tahun baru bisa terurai,? ujar ayahnya suatu sore di bulan Juli yang sebentar panas sebentar hujan. Semenjak itulah, dia mulai ikut-ikutan melipat plastik bekas. Tak pernah lagi sampai sekarang, sampah plastik serampang-sembarang dia buang.

Jika ditanya perihal ibunya, sahihnya aku hanya sedikit tahu. Tapi pernah kudengar, itu pun hanya sekali. Ketika itu, di meja makan, suasana makan malam dia dan ayahnya terasa hambar. Meja makan seperti makhluk murung, dan karena itu tiba-tiba dia menghentikan suapannya.

?Saya ingat saat Ibu meninggal lantaran tertabrak mobil ketika hendak mengantar jajanan ke warung seberang jalan. Saat itu saya masih kecil. Kenapa cepat sekali ibu pergi. Padahal dokter sudah berusaha agar Ibu bisa selamat. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain,? ujarnya membahas kembali kematian ibunya. Sendok ayahnya mengambang, keduanya bertukar pandang tanpa ucapan. Makan malam yang hambar.

Mati menjemput apa saja yang hidup, di mana pun, kapan pun, siapa pun. Sebab, mati bukanlah daftar urut, mati itu daftar cabut?

Perihal Kakeknya? Aku akan bercerita tanpa diminta. Aku ingat saat senja sudah lama disalip isya?kejadian itu terjadi sebelum ayahnya meninggal?dengan alasan berlibur, dia minta diantarkan ke rumah kakeknya di Menggala. Dan kakeknya selalu bilang bahwa Menggala itu adalah Paris Van Lampung.

Dia, ketika itu usianya belumlah banyak, tengah duduk di beranda berdua dengan kakeknya; Guru Bur, begitu penduduk setempat memanggilnya. Guru Bur (H. Burhanudin) adalah seorang tokoh pergerakan sekaligus kepala Negeri Menggala yang paling disegani. Ia memimpin di daerah Bakung sekitar tahun 1960-an, ketika presiden pertama masih berkuasa. Dan ketika tengah asyik duduk itulah tiba-tiba seekor cicak jatuh dari atap plafon menimpa kepalanya?tepat di atas ubun-ubunnya?tepat pula ketika teguk ketiga segelas kopi belum sempat diakhiri. Sial! umpatnya.

Firasatnya mulai tak enak. Dari gerak-geriknya aku dapat membaca bahwa dia merasa mendapat petanda buruk dari kejadian itu. Dia terus saja menduga-duga. Lain hal dengan guru Bur, hal macam itu tidaklah berlaku bagi beliau. Baginya, cicak jatuh adalah hal biasa, bukan petanda apa-apa. Guru Bur taat pada agama, mengajarkan apa saja perihal agama pada murid-muridnya. Konon, menurut cerita, beliau tak segan-segan menampar murid yang kurang ajar atau tak mau patuh dalam mengerjakan kebajikan.

Cicak sudah pergi, tapi pikirannya tentang cicak belumlah pergi. Saat itu, di tengah lamunannya, guru Bur membuyarkannya dengan menepuk keras bahu kanannya. Setelah yang ditepuk sadar, guru Bur melanjutkan wejangan hal-ihwal keagamaan. Beliau kemudian menghadiahi buku tebal berjudul: Manusia Dengan Atoomnja, buah karya Dr. R. Paryana Suryadipura, cetakan 1958). Mulutnya terngaga, mungkin tahu bahwa tak mungkin mampu dia memahami isi buku itu. Kepalanya mulai pening.

?Bacalah kalau kau sudah butuh. Baca mukadimahnya dulu,? kakeknya memberi saran.

?Ya. Tapi, Kek...? tukasnya ragu.

?Sudahlah. Nanti kau pasti tahu,? potong kakeknya sembari tersenyum. Malam merangkak tatkala keduanya masuk ke dalam rumah panggung.

Satu tahun setelah Ayah, Ibu, Kakek, dan neneknya mangkat, dia dikirim oleh tantenya yang tinggal Tanjungkarang ke Yogyakarta?sebuah kota di mana dia bisa menimba ilmu fisika. Satu tahun dia di sana. Mulailah dia buka dan pelajari buku pemberian kakeknya. Sedikit demi sedikit dia tahu isi buku itu. Tapi sayang, beberapa tahun berselang, di Kota Gudeg itu pula kemalangannya bermula, menanggung amnesia lantaran sebuah bus pariwisata menghantam tempurung kepalanya. Banyak darah yang keluar. Tapi lagi-lagi tersebab mukjizat dia bisa selamat dari maut.

Kini, saat ini, dia habiskan sisa kontrak hidupnya di taman kota yang telah ditinggal pengunjungnya, tinggal di sebuah bangku kayu yang dicat putih susu.

Masih di taman itu, di bangku kayu warna putih susu, dia tak lagi menangis, tapi meraung?raung yang mirip sirine ambulans ketika membawa korban perang ke makam massal?kemudian merentangkan kedua tangan lebar-lebar, menengadahkan wajah ke langit yang sedari tadi meludahkan hujan. Dan di saat yang hampir bersamaan, tiba-tiba bau amis menyeruak di antara bau rumput yang menggigil karena hujan. Kulihat bangku kayu kuyu putih susu bisu itu seperti mengenakan gaun berwarna merah.

Kini, raungan itu tak lagi keluar dari liang mulutnya. Kulihat tubuhnya lemah tergeletak di bawah bangku kayu itu. Sekarang, suara hujanlah yang mendominan.

Ya, akulah akar bahar yang melingkar di pergelangan tangannya, akulah saksi kematiannya, akulah yang tahu lekuk-liku hidupnya, yang tahu asal usul keluarganya, dan perlu pula rasanya kuberi tahu bahwa aku adalah bagian dari dirinya dan dia adalah bagian dari diriku.

Gunung Terang, Februari 2012-Gunung Terang, Juli 2012

: buat Bang Urip


Lampung Post, Minggu, 7 Oktober 2012