Sunday, November 24, 2013

Rumah Impian

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko


KARENA orang tuanya tak pernah mempunyai rumah, hanya tinggal di bedeng sewa reyot belaka, Kohar memutuskan untuk meninggalkan kampungnya dan pergi mengadu nasib ke kota. Ia bermimpi suatu hari ia akan memiliki rumah. Di kota, Kohar bekerja sebagai buruh percetakan. Dari pagi hingga petang, ia bertugas mengganti tinta dan mengepak buku, majalah dan koran yang telah dicetak. Penghasilannya lumayan. Selain untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar sewa kamar, Kohar masih bisa menabung. Sebenarnya tabungannya tidaklah banyak, tapi bagi Kohar yang berasal dari keluarga miskin, dengan memilki tabungan sejumlah itu, hidupnya sudah berkecukupan.

Lewat tiga tahun bekerja, Kohar berpikir untuk membeli rumah di kampungnya. Rumah itu bukan untuk ia tempati, melainkan untuk orang tuanya tinggal sehingga mereka tidak perlu menyewa. Sementara, Kohar merasa cukup tinggal di kamar sewanya yang sempit di kota. Dan selama tiga tahun itu, Kohar senantiasa menepati janjinya kepada orang tuanya, untuk pulang setiap hari raya. Betul. Kohar tidak pernah tidak pulang saat hari raya. Ia merasa menjadi anak durhaka jikalau melanggar janjinya itu.

Sekali waktu, setelah bersilaturahmi hari raya, Kohar berkeliling kampung, mencari-cari rumah yang kiranya bisa ia beli. Namun sayang, sejak ia meninggalkan kampungnya, harga tanah melambung, apalagi harga rumah, masih jauh di atas jangkauannya. Uang tabungannya tidak cukup. Sementara itu, adiknya butuh biaya untuk kuliah. Adiknya itu pintar. Sejak kecil selalu juara kelas dan menjadi kebanggaan keluarga. Sayang sekali kalau adiknya itu tak bisa kuliah dikarenakan tak ada biaya, apalagi ia sudah diterima di sebuah universitas terkenal di Pulau Jawa. Kohar, yang hanya lulusan SMA, akhirnya merelakan tabungannya untuk biaya adiknya masuk kuliah. Kohar pun berjanji pada orang tuanya, setiap bulan ia akan mengirim biaya kuliah, indekos, dan keperluan lain untuk adiknya. Dan Kohar selalu menepati janjinya itu. Betul. Ia selalu membayari semua keperluan adiknya, termasuk membelikan sebuah komputer bekas, yang bagi Kohar merupakan barang mewah.

Selama empat tahun adiknya kuliah, Kohar hidup pas-pasan. Tapi ia tak pernah mengeluh. Bagi Kohar membantu keluarga adalah pekerjaan termulia, membuat ia merasa hidupnya tidaklah sia-sia. Apalagi saat ia melihat adiknya itu diwisuda, mengenakan jubah wisudawan berwarna hitam dan kuning cemerlang. Betapa gagah, pikir Kohar, dengan bangga. Kebanggaan Kohar bertambah ketika adiknya diterima bekerja sebagai pegawai kelurahan di kampung mereka.

Sekarang kewajiban pada adiknya telah lepas, Kohar mulai menabung lagi. Impian untuk memiliki rumah masih terpatri di benaknya. Tapi, setelah ulang tahunnya yang ketiga puluh, Kohar merasa ia telah siap untuk menikah. Kohar ingat kata-kata ustaz di kampungnya dulu, bahwa pernikahan itu sebaiknya disegerakan. Kohar pun memutuskan untuk menikah. Karena ia tidak terlalu suka dikritisi dan dicermahi orang, Kohar tidak ingin menikahi perempuan cerewet. Dan kebetulan, di kampungnya ada perempuan cantik, bermata bulat, berbibir penuh dan bertubuh semampai, yang bisu. Perempuan itu bernama Supeni. Saat pulang hari raya, Kohar menyampaikan niatnya itu pada orang tuanya. Awalnya, orang tuanya Kohar menolak.

“Mengapa harus dengan Supeni?” tanya emaknya.

“Karena perempuan bisu tidak bisa cerewet, Mak. Tidak bisa banyak protes.”

Akhirnya, setelah menimbang-timbang baik dan buruk, emaknya Kohar mengabulkan keinginan Kohar.

Saat orang tuanya menyampaikan niat Kohar pada keluarga Supeni, niat itu disambut dengan senang. Sangat senang sehingga keluarga Supeni menyanggupi semua biaya pernikahan. Tentu ini meringankan beban Kohar. Tabungan yang sudah dia ambil tak jadi dipakai. Kohar berencana menggunakan uangnya sebagai uang pangkal pembelian rumah. Namun, selepas malam pertama, kakaknya Kohar meminta tolong, ia butuh tambahan uang untuk membeli tanah. Tanpa pikir panjang, Kohar meminjamkan uang tabungannya. Toh, ia bisa menabung lagi, pikirnya.

Kohar mengajak Supeni ke kota. Mereka tinggal di kamar sewaan yang sempit. Kamar itu tempat mereka tidur, makan, dan mencuci piring. Sementara untuk mandi dan buang hajat, mereka harus pergi ke kamar mandi umum. Supeni tidak pernah protes. Ia menerima keadaan Kohar apa adanya. Lebih lagi, ia sudah bersyukur ada orang yang mau menikahinya. Tapi, kemudian Supeni mengandung, dan layaknya seorang ibu, ia ingin membuat sarang yang pantas bagi anaknya kelak. Dengan tulisan dan gerak tangan, Supeni berusaha menyampaikan maksudnya.

“Punya rumah?” tanya Kohar.

Supeni mengangguk, menunjuk pada perutnya yang gendut.

Kohar setuju, mereka harus kredit rumah di kota. Rumah kecil saja, asal cukup untuk tempat anak mereka tumbuh. Setelah menghitung-hitung tabungan, ditambah dengan uang yang ia pinjamkan ke kakaknya, dan membatalkan rencana pulang kampung untuk berhari raya, Kohar yakin bisa membayar uang muka pembelian rumah sangat sederhana. Dengan bersemangat ia mengirim surat kepada kakaknya, meminta uangnya kembali.

Sebulan kemudian, bukan wesel yang tiba, tapi sepucuk surat dari kakaknya: uangnya sudah diserahkan pada orang tua mereka, dan menurut penjelasan emak, uang itu sudah terpakai.

Kohar, tentu tak bisa berbuat apa-apa. Jika orang tuanya butuh uang itu, sudah seharusnya ia memberi. Demikian ia menjelaskan pada Supeni, dan bahwa mereka tak jadi membeli rumah. Supeni yang bisu, hanya diam menerima, dan berusaha sebaik-baiknya menjadikan kamar sempit mereka sebagai tempat untuk anak mereka tumbuh.

Ketika anak mereka berumur empat tahun, tabungan Kohar hampir cukup untuk membayar uang muka rumah. Namun, selama empat tahun itu, mereka tidak pernah pulang ke kampung untuk berhari raya, mereka hanya menabung saja. Karena itu, hari raya kali ini mereka memutuskan untuk pulang, menggunakan sedikit uang dari tabungan. Mereka sudah sangat rindu bertemu keluarga. Nanti mereka bisa menabung lagi, pikir Kohar.

Di kampung, banyak hal yang berubah. Adiknya Kohar telah memiliki rumah, demikian juga kakaknya. Bahkan kakaknya sudah mengkredit mobil pula. Ramai-ramai mereka mencemooh Kohar.

“Apalah yang kamu dapat dari kerjamu jauh-jauh di kota, Kohar?” tanya kakaknya, menunjukkan rumahnya yang baru selesai dibangun.

“Iya,” tambah adiknya, “Lihat kami. Lihat orang-orang di kampung ini. Kami tak perlu jauh-jauh pergi. Cukup di kampung saja, uang pun datang juga.”

Mereka tertawa gelak-gelak. Dan apa yang mereka katakan itu menjadi beban pikiran bagi Kohar. Berhari-hari sejak kembali ke kota ia melamun saja. Ia sudah merantau di kota selama hampir lima belas tahun, tapi tanah sejengkal pun ia tak punya.

“Aku harus pergi ke Arab, Supeni,” katanya, “Di Arab, uang banyak.”
Supeni, sekuat ia bisa, melarang Kohar pergi. Namun, tabiat Kohar yang keras membuat Supeni tak bisa berbuat banyak selain merelakan. Kohar mendaftar ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), dan akhirnya mendapat kerja sebagai petugas bersih-bersih di Oman. Hampir hari kepergian Kohar ke Oman, Kohar mengantar Supeni dan anaknya pulang ke kampung. Sampai di kampung, dengan bersemangat Kohar bercerita tentang rencana kepergiannya. Ia pun berangan-angan akan bisa naik haji setiap tahun!

“Beruntungnya engkau, Kohar,” kata Bapaknya, “Setua ini, Bapak tak pernah bisa berhaji.”

Perkataan Bapaknya ini membuat hati Kohar terenyuh.

“Apa Bapak ingin naik haji?” tanyanya.

“Tentu Bapak ingin, Kohar,” jawab bapaknya, matanya menerawang pada tembok bedeng yang mengelupas sana-sini.

“Emak juga ingin, Kohar,” tambah Emaknya.

Kohar terdiam. Tabungannya untuk membeli rumah masih ia simpan. Bukankah sekarang ia tak butuh membeli rumah? Dan bukankah nanti setelah bekerja di Oman, ia akan mendapat banyak uang, dan akan mampu membeli rumah?

“Baiklah,” jawab Kohar dengan tegas. “Bapak dan Emak daftarlah haji segera. Untuk biaya janganlah khawatir.”

Betapa bahagia Bapak dan Emaknya Kohar. Apalagi keesokan harinya, Kohar menyerahkan semua uang tabungannya dan berjanji akan melunasi semua biaya haji dari hasil ia bekerja di Oman. Melihat emak dan bapaknya bahagia, Kohar merasa lega untuk meninggalkan Indonesia.

Selama Kohar merantau di Oman, sebelum orang tuanya sempat pergi berhaji, emaknya Kohar meninggal, lalu menyusul kedua mertuanya wafat pula, bapaknya Kohar pun sakit-sakitan. Upah yang Kohar dapat selama bekerja di Oman habis untuk membiayai pengobatan bapaknya.

Setelah tiga tahun bekerja, Kohar jatuh sakit pula. Awalnya ia batuk-batuk dan demam, tapi batuk itu tak pernah sembuh. Dokter bilang, Kohar sakit karena terlalu sering bekerja dengan cairan kimia. Akhirnya, sebelum ia sempat pergi berhaji, Kohar pun dipecat dan dipulangkan ke kampungnya.

Kohar menjadi beban bagi keluarga. Ia tak mampu lagi bekerja dan menumpang di bedeng sewa bapaknya, bersama Supeni dan anaknya. Seharian kerjanya hanya batuk-batuk saja, bahkan kadang batuknya bercampur darah. Mereka hidup dari hasil penjualan kue-kue basah yang Supeni buat. Satu hari, bapaknya Kohar meninggal. Kohar dan Supeni tak sanggup lagi membayar sewa bedeng dan akhirnya menumpang bergantian di rumah adik dan kakaknya Kohar. Dua bulan setelah kematian bapaknya, Kohar pergi menyusul. Sementara Supeni dan anaknya, yang seumur hidupnya menumpang berteduh pada keluarga Kohar, tak pernah mampu protes ketika diperlakukan selayaknya hamba sahaya. n

Lancaster, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 24 November 2013




Sunday, November 17, 2013

Kerinduan

Cerpen Fakhrunnas M.A. Jabbar


IA langsung memeluk saya. Kuat dan semakin kuat. Air matanya berjuntai ke lantai. Baju yang saya pakai turut kuyup. Saya tak bisa berbuat apa-apa, kecuali pasrah saja dalam dekapannya. Dalam tangis dan sesegukan itu, tiba-tiba tangis saya pun ikut berbaur di dalamnya. Kami sama-sama menangis. Sama-sama menumpahkan air mata. Penyebab kami menangis, jelas berbeda. Saya menangis karena ia menangis ketika memeluk saya. Ia menangis karena sesuatu yang amat disayangi telah lesap tak terduga. Jelas, ia sedang kehilangan sesuatu yang amat berarti.

Perempuan dalam usia makin senja itu memperkuat pelukannya. Saya bagai tak bisa bernapas. Air matanya meleleh ke sekujur tubuh saya. Heran, kenapa perempuan seusia dia masih menyimpan air mata yang melimpah-ruah? Barangkali saja, air mata itu sudah ditabungnya bertahun-tahun. Entahlah. Sebenarnya saya bisa saja berbuat tak peduli. Tapi betapa kurang ajarnya, bila saya tiba-tiba melepaskan pelukan yang kuat itu. Dalam adat-resam Melayu yang mengalir deras di tubuh saya, amatlah kualat namanya, bila memengkis orang setua dia.

Ia memeluk saya karena sesuatu yang amat dirindukannya. Dan kerinduan itu ternyata hanya bisa ia tumpahkan pada diri saya. Tidak dengan siapa pun. Padahal, saya hanyalah salah seorang teman dekat anaknya yang telah meninggal gantung diri  beberapa tahun lalu. Dan banyak bekas temannya yang lain, kalau ia mau. Tapi pilihannya hanya pada saya.
Dua jam kemudian pelukan itu makin longgar. Air matanya mengalir lagi. Tapi tak sederas semula. Barangkali ia makin menyadari betapa sebuah kerinduan hanyalah sesuatu hasrat yang perlu diluapkan. Kalau tidak, tentu bisa menjadi bara di hati berkepanjangan. Dan ini pula yang menggugah saya untuk menyediakan diri sebagai tempat berbagi duka dengannya.

Di sisi lain, saya juga tiba-tiba merasa bangga. Saya telah berhasil menyalurkan kerinduan seorang ibu tua. Bagaikan lepasnya sumbatan lahar di lubang kepundan.  Meski ia sendiri tak pernah lega sesudah pertemuan itu. Sebab, kerinduan yang dimilikinya bukan sembarangan kerinduan. Bayangkan saja, ia sedang merindukan sesuatu yang mati.

Bila agak lama ia menatap saya, air matanya mengalir lagi. Begitu sulit di bendung. Saya jadi ikut-ikutan menangis. Tapi tentu saja saya menangis bukan karena menanam kerinduan yang dalam pula pada anaknya. Pada bekas sahabat saya yang setia. Saya menangis karena ia menangis di depan mata saya. Jadi saya terpengaruh.

"Saya heran, kenapa kepergian anak saya itu benar-benar membuat saya kebingungan. Kadang-kadang orang menduga saya sudah berubah akal. Tapi rasanya tidak. Saya masih mengerti batas-batas kerinduan. Merindukan seseorang bukan berarti gila. Apalagi anak bujang yang saya sayangi."

Saya agak tersentak karena ungkapannya yang agak filosofis itu. Padat dan berisi. Andaikan saja ia seorang pensyarah, tentu ucapannya yang baru terlontar itu sudah menjadi bahan rujukan yang amat berharga bagi para mahasiswa. Sayang, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang tak banyak lagi memikirkan yang lain. Tampaknya dalam sisa usianya yang tinggal sepenggal, ia ingin menghabiskannya untuk mengenang anaknya yang telah mati.

Saya semakin bingung. Entah apa benar yang menyebabkan hingga ibu setua itu memeras kerinduannya. Padahal, anak-anaknya yang lain masih banyak. Masih ada sekitar tujuh orang lagi. Apalagi anak yang sedang diratapinya itu bukanlah anak sulung. Bukan pula anak bungsu. Bukan pula anak pertengahan. Menurut pengakuannya, sang anak merupakan anak kedua.

"Bila ingatan saya benar-benar memuncak kepadanya, biasanya saya mengalihkan perhatian pada yang lain. Kalau tak bekerja atau bertandang ke rumah tetangga, ya saya hanya mengadu pada Allah. Saya membaca kitab suci Alquran. Bila hal itu sudah saya kerjakan, luruhlah sedikit rasa kegelisahan meski kerinduan saya tak kunjung lenyap sama sekali. Saya benar-benar tak bisa hidup tanpa bayang-bayang dia. Ia benar-benar sudah bersebati dalam diri saya."

Saya hanya manggut-manggut. Bahkan lebih banyak menunduk ke lantai. Sebab, saya tak ingin mengeluarkan air mata terus-menerus. Saya ingin bertahan. Biarlah ibu tua itu saja yang menangis untuk anak yang dicintainya setengah mati.   

"Ayo, Nak, tatap saya!"  tiba-tiba suara ibu tua agak membentak. Kesal. Tapi suaranya tidak seperti membentak. Padahal selama ini, ia punya suara lembut dan amat bertenggang rasa. Tapi saya memahami kekesalannya. Saya barangkali agak mengecewakannya karena seolah-olah tidak memedulikannya.

Saya melirik. Saya berusaha untuk tidak menampakkan rasa kesal. Padahal, bukankah saya yang lebih berhak untuk kesal. Sebab, tiba-tiba saya menjadi sandra bagi luapan  kerinduannya.

"Eh, maaf, Mak. Saya terbawa hanyut oleh suasana. Maksud saya sebenarnya ingin terus menatapmu."

Lama sekali ia menatap saya. Barangkali ia sedang berusaha menyamakan diri saya dengan anaknya. Setidak-tidaknya, ia ingin membuat persamaan itu sehingga sedikit demi sedikit ia lebih mudah menghadirkan kembali sang anak dalam kenangannya.

"Wajahmu mirip sekali dengan anak saya yang mati itu," lanjutnya tiba-tiba.   

Saya tersenyum. Saya ingin membahagiakannya. Padahal saya tahu bagaimana mungkin bisa menyama-nyamakan antara saya dan anaknya itu. Kulit saya tentu terlalu hitam dibanding anaknya. Dan, kepala saya agak lonjong tentu amat berbeda nyata  dengan bentuk  kepala anaknya yang bulat bak bulan purnama. Pokoknya, menurut saya terlalu mengada-ada bila membuat persamaan saya dengan anaknya.

"Terlalu banyak persamaanmu dengan anak saya," tiba-tiba ia mengeluarkan kesimpulan itu untuk puluhan kalinya.

Saya diam saja. Meskipun masih banyak ungkapan-ungkapan ibu tua itu yang sulit diterima. Tampaknya ia memang membutuhkan seseorang yang mampu menggantikan kedudukan anaknya yang ia rindukan itu.

"Kenapa kamu diam saja?" tiba-tiba ia agak menyergah saya. Ini di luar dugaan saya. Jadi, saya makin tak mengerti, apa lagi mau sang ibu. Apalagi yang ia inginkan dari saya?

“Ayo, bicaralah. Tentang apa saja. Saya benar-benar merindukan suara anak saya. Dan suaramu persis sekali dengan suaranya."

Ya, Allah! Saya mulai pusing memikirkan jalan keluar terbaik.  Saya bukannya memikirkan apa yang harus saya bicarakan. Tapi, bagaimana mungkin saya bisa lepas dari kepungan kerinduan ibu tua yang sedang mabuk kepayang itu. Dan sama sekali, saya tak pernah bermaksud menyakiti hatinya. Saya hanya ingin melepaskan diri dari belenggu sang ibu tua itu.

"Ayolah, bicara lagi. Saya ingin sekali mendengar suaramu. Suaramu sama persis dengan suara anak saya,” ucap perempuan itu lagi. 

Masya Allah! Ampun. Saya benar-benar kebingungan. Saya ingin lari saja. Tapi rasanya kurang masuk akal bila saya melakukan tindakan itu. Untung, saya masih bisa menyadari bagaimana memahami keberadaan diri ibu tua yang mulai pikun itu. Ah, tapi sepenglihatan saya, ia jelas belum pikun. Lantas, apa nama yang tepat untuk menyebut kenyataan itu yang amat berlebihan itu? Inikah yang namanya kemaruk?

Tunggu dulu. Saya tak pernah membayangkan hal semacam itu. Ibu itu jelas hanya menyimpan keresahan belaka. Ia tidak gila. Ia tak pernah merasa gila. Benar juga, buntut pembicaraan yang panjang itu menjadikan diri saya benar-benar menjadi ajang pelampiasan hasrat sang ibu.
Hampir tiap pagi, ia datang ke rumah. Meski ia harus berjam-jam menanti saya pulang. Saya harus bekerja di kantor, sementara menjelang saya sampai di rumah, biasanya ibu sayalah yang harus melayaninya berbicara. Sampai-sampai beberapa kali, ibu saya harus telantar memasak untuk makan siang.

Terus-terang, saya masih bisa menerima kenyataan itu. Ini tentu lahir dari pertimbangan saya bermalam-malam jauh sebelumnya. Sebab, saya bisa menebak pasti, betapa tersinggung dan lukanya hati perempuan tua itu bila saya lari menjauh. Misalnya, saya pindah rumah. Atau, tidur di rumah keluarga atau teman-teman yang lain. Tapi di sisi lain, kalu hal ini dibiarkan berlangsung berkepanjangan, tentu berakibat tidak baik juga. Saya benar-benar berada di dua persimpangan. Amat suit menentukan piihan langkah yang paling nyaman.

Tapi tunggu, masih ada sesuatu hal lain yang lebih patut saya pertimbangkan. Soalnya, beberapa hari lalu, calon mertua saya datang ke rumah. Mereka membicarakan soal jadwal perkawinan saya dengan calon istri yang sudah dipersiapkan sejak lama. Nah, bila saya menikah, tentu saya harus meninggalkan segalanya. Meninggalkan rumah yang sudah saya tempati sedari kecil. Meninggalkan saudara-saudara saya yang masih kecil. Dan jelas, mau tak mau, saya harus meninggalkan ibu tua, tetangga saya itu. Inilah pemikiran saya yang lain.

Saya turut gelisah. Sebab, menjatuhkan keputusan sendiri jelas menimbulkan akibat yang bermacam-macam. Saya berusaha membicarakannya dengan emak dan ayah saya sendiri.

"Ah, teruskan saja pernikahanmu. Sekarang kamu tinggal pilih, menikah atau tetangga?" begitu ayahku berdalih.

Nah, aku terpengaruh juga. Apalagi hal ini diperkuat oleh anggota keluarga yang lain. Terutama, saudara-mara atau karib-kerabat yang lain. Tapi aku masih tetap berpikir. Kucoba membicarakannya dengan calon istriku. Justru reaksi yang lebih keras kuterima darinya.
"Sekarang, terserah kamu. Kalau kamu mau mempertimbangkan ibu tua itu terus-menerus, silakan pilih saja dia. Saya tak ingin dijadikan bulan-bulanan seperti ini," kata calon istri saya penuh kemarahan.

Merasa tak ada lagi yang mempertahankan, saya pun mengambil keputusan untuk menikah saja. Dengan demikian, saya harus meninggalkan perempuan tua itu.

Tanpa pamit saya meninggalkan rumah, beberapa hari setelah pernikahan saya. Sebab, kalau diberitahu lebih dulu dengan perempuan tua itu, jelas akan mempersulit keadaan. Tentu ia akan menanyakan di mana saya tinggal bersama istri saya. Dan bila alamat saya yang baru diketahuinya, tentu ia makin sering pula bertandang ke rumah mertua saya. Saya bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga istri saya menghadapi kedatangannya.

Kebahagiaan hidup rasanya benar-benar sudah saya miliki begitu saya berkeluarga. Barangkali itu pula yang menyebabkan agama saya mewajibkan perkawinan bila sudah mampu lahir dan batin. Saya benar-benar hanya memikirkan istri saya. Setiap hari saya berusaha membahagiakannya. Memenuhi apa saja yang ia minta.

Suatu pagi, sembilan hari sesudah saya menikah, salah seorang anak ibu tua itu menelepon. Suaranya terisak-isak dan terputus-putus. Kata-katanya tak pernah tersampaikan. Tak terselesaikan. n

Pekanbaru, 062013


Lampung Post, Minggu, 17 November 2013

Sunday, November 10, 2013

Rumah tanpa Perempuan

Cerpen Husen Arifin


KEHENDAK hewani sering mengerumuni tubuh Surnan yang tegap. Mata seterang harimau dan tangan siap menerkam bila perlu, kini Surnan telah menjelma lelaki ganas bertongkat api. Di dadanya sudah mengubah diri dari kebiasaan. Gemerutuk giginya sesekali terdengar jelas. Surnan tidak segan-segan mengelupas segala kekhawatirannya di setiap sisi.

Harta yang berbicara kepada Surnan. Emas berkeping-keping. Luas pematang berhektare-hektare. Sedangkan rumahnya sudah mentereng laiknya istana. Surnan terus-menerus mewujudkan diri sebagai lelaki yang mudah membeli apa yang diinginkannya. Termasuk hasrat nafsunya. Ah, Surnan yang raja di atas raja.

Kemudian Sum datang kepadanya. Sum, si gadis yang putus sekolah, meminta kerja seadanya. “Untuk makan ibuku, Pak!” keluhnya. Surnan tak berpikir panjang. Ia pun memberinya lahan untuk dikerjakan Sum.
Kini tahun ketiganya Sum bekerja dengan Surnan, Sum bisa menghidupi ibunya yang sendirian di rumah, ibu yang menderita penglihatan.

Kehidupan Surnan masihlah purbawi. Sesekali ia membayang tentang Sum, ia ingin melumat dan menyeka betis Sum nan halus. Surnan membusung diri bahwa ia mampu bertanggung jawab kepada Sum. Paras Sum yang cokelat dan tingkahnya yang pemalu seperti menggigit nafsu Surnan.

Surnan sang pengusaha desa. Lelaki empat puluh tahun yang perokok. Ia hidup sendiri di rumah mewahnya. Tapi ia tak lantas menyendiri. Ia mengundang siapa pun untuk singgah, atau menemaninya minum kopi. Ia mesti tak pernah kesepian.

Teman-temannya menjuluki Si Kepala Batu. Karena watak Surnan yang keras, sekeras batu atas nafsunya itu. Meski Surnan tak menyadari atas tingkahnya yang berpola begitu. Surnan mengakrabi semua teman-temannya, termasuk wanita-wanita di sekelilingnya.

Hidup Surnan adalah kemewahan yang tak terhingga. Sampai ia congkak sekarang. Surnan angkuh pada apa-apa yang dipunyainya. Kecongkakan sudah kokoh di dada Surnan.

***

LEPAS dari sore yang memerah. Guntur langit tiba-tiba merekah. Sum takut pada amarah Surnan apabila ia tak segera membereskan rerumputan di pepadi yang tertanam di sawah. Kiranya Sum membayang wajah Surnan, ah, ia nyaris terluka di semilir hari ini.

Betapa kekurangajaran Surnan sungguh-sungguh mengerubung ke dada Sum. Dengan tangan yang gemetaran Sum terus menyabit rumput. Walau hujan segera mendaras tanah dan tubuhnya bakal menggigil tak henti-henti.
Telah tertanam rasa sesal Sum apabila mengingat Surnan seperti lelaki berkepala babi. Sum yang sedang menonton televisi di latar rumah, bibirnya sesekali mengunyah camilan keripik, Sum tak sadar jika ia terawasi oleh Surnan dari belakang.

“Kamu tak pernah mengingat gejala kesetanan itu!” Sum mengulangi kalimat dari televisi. “Dan di setiap tubuhmu tersimpan mawar yang tak lagi mekar.” Bibir Sum mengulangi lagi. Sum baru menyadari bahwa kini ia telah di kasur ditimpa tubuh kekar Surnan.

“Bila kau mengadu, kuteriaki kau maling,” ucap Surnan sambil tangannya menutup bibir Sum yang megap-megap. Dan Surnan pun jumpalitan malam itu. Ia menyisir tubuh Sum begitu beringasnya. Pecahlah mimpi Sum yang ranum.

***

TAK sampai-sampai Surnan melakukan reka ulang bagaimana ia mendorong Sum ke sumur yang tua. Sementara orang-orang sudah meneriakinya sebagai Lelaki Batu. Bahkan beberapa terdengar menanggapinya dengan miring.

“Mirip setan kelakuannya. Benar-benar tak dapat diampuni.”  ujar Bambang, bujang yang sedang nyantri di pondok pesantren.

“Hukuman matikah yang akan diterima Surnan?” perempuan yang tampak berkaca-kaca ke halaman yang disesaki orang-orang adalah Ibu kandung dari Sum.

“Kita pasrah pada keputusan hakim saja, Bu!” lelaki tua menimpalinya.

“Surnan pantas dihakimi Tuhan.” Ibu Sum seperti menggenggam kebayanya erat-erat.

Surnan masih melakukan reka adegan di sumur tua, ia yang telah menyorong Sum ke dalam sumur. Lima tahun setelah Sum menjadi pekerja kasar untuk tanah-tanahnya. Lima bulan setelah Sum benar-benar mengandung calon anak dari Surnan.

Surnan telah mengarak awan gelap ke atas kepalanya siang ini. Sedangkan orang-orang meneriakinya dengan sumpah serapah. Di desa yang menjunjung adab santun, Surnan seperti menodai orang-orang di sekitarnya. Dan Surnan kian dibenci lantaran membungkus tubuhnya tiap malam ke tubuh Sum diam-diam.

***

SURNAN mendatangi rumah Sum untuk melamarnya. Rasa yakin Surnan seratus persen diterima oleh Ibu Sum. Surnan sudah berkeyakinan dan ia segera menjadi lelaki yang sempurna. Walaupun kasta antara Sum dan Surnan berbeda. Surnan tak memandang derajatnya Sum yang di bawah, tetapi kehadiran Sum telah membuka rasa cintanya terbuka lebar. Surnan pun mencium tangan Ibu Sum di ruang tamu.

“Aku hadir untuk mencari takdir, Bu!” Surnan mengawalinya dengan tenang. Sedangkan Ibu Sum yang tak mampu melihat Surnan atas wajahnya yang rupawan hanyalah mengangguk sambil menyerutu.

“Ibu, kedatanganku untuk menjadi pilihan terbaik Sum.”

“Seperti itukah niatmu?”

“Betul, Bu!”

Ibu Sum terus menyerutu. Bola matanya berkilau diterpa senja menyapa. Meski ia tak akan pernah tahu sosok Surnan yang kaya.

“Rumahmu menghadap ke mana, Surnan?” Ibu Sum lantas bertanya serius.

“Barat daya, Bu!”

“Mestinya kamu sadari itu, Surnan. Selalu ada hal yang bertentangan dengan nasibmu karena rumah yang menghadap ke barat daya.”

“Mengapa demikian, Bu? Aku tetap ingin menikahi Sum. Aku mencintainya.”

“Tidak. Tak ada restu dariku.”

“Bantu aku mendapatkan restumu, Bu!”

“Tidak. Tak ada restu dariku.”

Dan Surnan melipat tangan. Kemudian ia tinggalkan Ibu Sum di ruang tamu, ia berpulang dengan kehampaan. Wajahnya nyaris ditelan malam dan rembulan.

***

SUM masihlah gadis yang amis. Sesekali ia dijuluki camar yang mawar. Pula disebut burung yang murung. Tetapi Surnan keburu mengucurkan lendir ke dada Sum. Surnan trengginas melibas mimpi indah Sum. Apalagi Surnan adalah lelaki berkepala batu, ia bisa kapan pun menikmati malam yang muram dengan Sum yang merasa tersungkur ketakutan. Sesudah malam, kadang pagi, lalu sore. Sum terus dibuat Surnan menjadi pendampingnya dalam suasana yang kelam. 

“Yang terus kuinginkan adalah kamu tetap bekerja denganku.” Suatu hari Surnan mengucapkan demikian.

“Aku ingin pulang dahulu, Pak! Ibuku mesti tahu kabar ini.” Sum sudah kangen ibunya. Dari matanya ia merasa terbayang-bayang pada cerutu ibunya yang terus-menerus sepanjang hari. Dan Surnan mengangguk dengan tenang.

Surnan sepagi harinya bepergian ke Kota Jombang, ia ingin bertemu Paman. Surnan merasa perlu bantuan. Dari hatinya yang terdalam ia sudah ceritakan kepada Paman sebagai pengantar kepada Ibu Sum yang menolaknya dengan mentah-mentah.

“Dari situ aku nyaris patah semangat. Aku mencintai Sum dengan niat kunikahinya.” Surnan mengucapkannya penuh keharuan.

“Baiklah. Kubantu dengan semampuku ya. Kamu adalah lelaki kaya, tak mungkin ada penolakan dari ibu si perempuan. Aku coba. Biar kudatangi esok hari.” Paman Surnan pun ingin membantu Surnan.

“Tidak sekadar itu saja.”

“Apa lagi?”

“Sum telah hamil lima bulan.”

“Astaga... ya sudah. Kamu harus melangkah dengan caramu. Aku hanya akan membantumu. Sekadarnya saja, Surnan.”

Surnan sengaja meminta pertolongan pamannya agar mudah mendapatkan restu dari Ibu Sum. Demikian Surnan melakukan segala caranya karena ia segera ingin mendapat jawaban.

Dada Surnan menjadi dag-dig-dug tak keruan. Ia mengharap akan terjadi mukjizat yang mampu meluluhkan hati Ibu Sum.

***

“TIDAK. Tak ada restu dariku. Begitulah jawaban Ibu Sum kepadaku, Surnan.” Paman Surnan mencoba memahami alasan Ibu Sum menolak keinginan Surnan meminang Sum.

“Tapi paman aku sangat mencintai Sum.”

“Cintamu tidak bisa melawan ketetapan Ibu Sum.”

“Lantas mengapa gara-gara rumah menghadap ke barat daya, Ibu Sum menolak niat pinanganku?”

“Ingatlah di mana kamu tinggal. Karena di sini menjunjung keyakinan leluhur.”

“Tidak adakah sedikit perubahan? Aku yakin perkara rumah menghadap ke penjuru mana, tapi karena cinta adalah takdir Tuhan.”

“Kamulah yang menghendaki itu. Aku cukup membantu sampai di sini.”

“Baiklah Paman. Aku hendak pulang.”

Terasa sekali sakit yang mengguncang hati Surnan. Sakit yang melilit segala luka dalam rasa. Harapan yang sirna. Mimpi yang tak lagi menelaga. Surnan pun pulang dengan tangan hampa. Di dadanya sesak tak beranjak. Di jantungnya terasa hidup tak lagi berdetak.

***

SEBELUM Surnan digelandang dengan arak-arak orang kampung yang lantang hingga polisi menetapkan Surnan sebagai dalang kematian Sum di dalam sumur.

Surnan menyudahi malam hari bermandi bersama Sum. Sebab, malam itu Sum telah sempurna menjadi perempuan yang hamil lima bulan dan Surnan berpikir bahwa cintanya tak mungkin ia resmikan di pelaminan. Lantaran tak ada restu Ibu Sum.

Kali ini yang dirasakan Surnan adalah penyesalan. Meski sesal Surnan terus dilontarkan kepada Tuhan dalam detik batinnya. Rasanya tak mungkin lagi waktu terulang walaupun Surnan ingin mengembalikan awal pertama cinta tumbuh kepada Sum. n

Sanggar Pena, Maret 2013


Lampung Post, Minggu, 10 November 2013


Sunday, November 3, 2013

Cinta yang Terbelah

Cerpen Tita Tjindarbumi


Jika rindu kubunuh dirimu dengan puisi atau kalimat dalam cerpenku.
MERINDING bulu kudukku membaca tulisan Soimah. Bayangan perempuan berkebaya itu mencabik-cabik jantungku, memicu ketakutanku yang belakangan ini timbul tenggelam dalam benak dan nyaris meracuni perasaanku terhadap perempuan yang sekian tahun ini menempati seruas ruang di hatiku.

Tak bisa kutampik kenyataan ini. Kendati cintaku pada Soimah kian membeludak, aku belum mampu membiarkan seluruh perasaanku dipenuhi oleh bayangannya. Sosok perempuan lain yang sekian tahun hidup bersamaku membuatku ambigu... Aku membutuhkan sosok Elean dengan penuh kesadaran dan kemunafikanku.

Mencintai dua perempuan dalam waktu yang sama, aku tak lebih dari pecundang yang memanfaatkan perhatian dan cinta mereka. Aku tak berani berkata jujur, sebetulnya di antara mereka pasti ada salah satu yang menempati ruang hatiku dengan bebas.

"Kita tak usah bicara cinta jika kau tak pernah tahu dan bisa memaknai cinta dengan benar,” kata Soimah. Bibir mungilnya setajam belati.
Kutahan napas agar degub di dadaku tak terdengar ke telinganya. Rasanya seperti ditendang mendengar ucapannya. Namun, anehnya aku menganggap tendangannya sebagai rasa cintanya kepadaku.

Sebagai laki-laki diriku memang lemah dan tak punya keberanian mengambil keputusan yang tegas. Bukan tanpa alasan bila aku masih saja terlihat sebagai lelaki egois. Tapi apakah ada gunanya bila kukatakan aku tak ingin mengorbankan anak-anakku yang sudah telanjur berada di zona nyaman karena fasilitas yang diberikan Elean yang belakangan kurasakan tak lebih dari kerangkeng? Yang membuatku tak bisa berpaling pada Soimah.

Dan lagi-lagi pesan yang Soimah kirim padaku itu membuatku semakin ketakutan. Ketakutan yang terbawa ke mana pun aku pergi. Bahkan saat aku menikmati belaian Elean.

Hatiku berdarah. Membungkus gelisahku berhadapan dengan Elean yang tatapannya semakin tajam setiap kali menyambutku pulang dengan wajah semringah. Soimah tak hanya membuat ladang hatiku berbunga, ia juga telah menyemai benih rindu yang membuatku kehilangan arah jika tidak melihat senyumnya.

“Aku muak melihat sisa senyummu,” ujar Elean tanpa melihat wajahku.
Dari ujung mata kulihat amarah menguasai wajahnya. Kubiarkan. Tak ada gunanya bicara pada singa betina yang sedang marah.

“Aku mau mandi, bisa tolong siapkan air hangat?” ujarku setelah mendekat. Sengaja kusentuh telinganya dengan ujung bibirku. Elean mengelak dengan gerakan yang sangat kutahu, ia hanya berpura-pura. Aku sangat tahu bagaimana menjinakkan kemarahannya!

Itu yang membuatku tak pernah kapok dan berhenti mencari perempuan sejati yang dapat membuatku tak berkutik dan takluk padanya. Juga takut kehilangan cintanya.

“Kupikir di tempat perempuan itu sudah kau dapatkan segalanya.” tukas Elean dengan wajah ditekuk.

Kubiarkan ia bicara apa saja.. Tak ada hasratku menjawabnya. Bukan tak bisa menjawab, aku hanya tak ingin jawabanku hanya akan membuat suasana bertambah panas. Bahkan kubiarkan ia melengos ketika lewat di depanku.
“Aku lelah pengin istirahat, bisa agak cepat sedikit? Oke..biar aku siapkan sendiri,” kataku sambil berlalu dan bergegas menuju dapur. Memasak air lalu duduk di kursi di ruang makan.

Terbayang lagi wajah Soimah. Mata embunnya, caranya tersenyum, lentik jemarinya , semua tak lepas dari pandangan mataku. Kelembutan hatinya mempertegas garis darah asal usulnya.

Tanpa kuminta Soimah selalu saja melakukan hal-hal yang mungkin dianggap sepele bagi perempuan lain. Soimah selalu menyambutku dengan sikap penuh pengabdian. Ia menyediakan secangkir capucino panas yang aromanya begitu kuat menyeretku pada ruang yang nyaman.. Ia menyapaku dengan sopan sebagaimana layaknya memperlakukan seorang tamu istimewa.
Ia begitu detail dalam segala urusan. Tak heran bila kadang keningnya berkerut melihat kemejaku tak selicin pakaiannya.

“Orang kota sepertimu tetap terlihat keren meski dengan pakaian sedikit lecek begitu. Apalagi harganya selangit,” katanya dengan senyum yang sulit kuartikan.

Ia membiarkan pikiranku berlari kian kemari mencari maknanya. Aku tak peduli itu kritikan atau sanjungan. Bagiku yang terpenting adalah senyum dan mata itu selalu bak magnit. Juga ekspresi kecemburuannya membuatku semakin mabuk kepayang. 

Soimah…

Nguiiiiiiiiiiiiiiiiing…

Air telah mendidih membuyarkan lamunanku.

“Sudah kusiapkan pakaian dan handuk,” ujar Elean yang telah berdiri di depanku. Lalu ia berjalan ke dapur, mematikan dan mengangkat panci air mendidih ke kamar mandi. Meski sedang dibakar cemburu Elean tetap menyediakan apa yang kubutuhkan..

Di dalam kamar mandi bayangan Soimah masih menari-nari di benak. Ia telah merampok habis perhatian dan perasaanku. Bahkan ia juga nyaris membuatku mengabaikan kebaikan Elean yang telah berbuat banyak untuk hidupku.                                    *****

Elean, berdiri di sebelahku. Bau sabun di tubuhku tak mampu mengusir aroma manis dari tubuhnya. Tetapi lagi-lagi bayangan Soimah membuatku ingin segera lelap dalam mimpi. Aku tak ingin  berpura-pura mesra sementara hati kecilku masih dipernuhi bayangan Soimah.

Entah kekuatan apa yang membuatku berani terang-terangan menduakan Elean. Bersama Soimah aku merasa menjadi pribadi yang kuat. Setidaknya dalam menghadapi kemarahan Elean.

“Aku ingin papa lebih konsentrasi dalam urusan pekerjaan. Tidak ngilang di jam sibuk. Tidak menghabiskan weekend untuk hal yang tak jelas. Seharusnya papa pikirkan kesehatan. Papa harus memanfaatkan weekend untuk istirahat,” kata Elean setelah menggeser tubuhnya lebih dekat ke tubuhku. Bau sabun memang sudah menghapus jejak Soimah dari tubuhku, tetapi semua tentang perempuan Jawa itu justru semakin melekat dalam jiwaku.

Malam ini kubiarkan Elean melakukan apa saja atas tubuhku ini. Aku meresponsnya seperti biasa meski tanpa hati. Aku tak mau melukai Elean. Lebih tepatnya aku tak mau kehilangan zona nyaman. Aku tak ingin anak-anakku kehilangan semua fasilitas yang diberikan Elean pada mereka selama ini. Aku juga gak ingin kehilangan pekerjaan dan menjadi gembel yang luntang lantung di jalan mencari pekerjaan.

Jujur, aku takut menghadapi hidup dalam kemiskinan dan harus banting tulang untuk menghidupi anak-anak dan diriku. Belum lagi tuntutan keluarga yang menganggapku punya harta berlebih yang bisa dibanggakan keluargaku di kampung.

Tapi aku tak bisa dan tak sanggup melepas Soimah hanya untuk menyenangkan keluarga dan anak-anakku. Keluarga dan anak-anakku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku tak punya apa-apa. Selain sisa harga diriku yang kian tergadai demi zona nyaman yang ditawarkan Elean.

“Aku bisa menjaga kesehatan. Tidakkah kau lihat belakangan ini kesehatanku semakin membaik,” jawabku datar.

Tak sampai hati mengatakan bahwa kesehatanku semakin baik karena Soimah banyak memberikan suplemen yang telah memperbaiki sel-sel hati dan jiwaku yang mati karena tekanan-tekanan yang berkeliaran di hidupku.
Bahkan sebelum bertemu Soimah aku sudah memasrahkan diriku mengikuti semua kemauan Elean kecuali menikahinya. Aku tak mau menikah dengan perempuan mana pun sebelum benar-benar yakin dia adalah cinta sejatiku.

“Sudah seharusnya kamu pikirkan kelanjutan hubunganmu dengan Elean,” kata Soimah suatu senja. Wajahnya datar saat mengucapkan kalimat yang menohokku itu.

“Dia memang baik. Dia memang telah memberikan separoh napasnya untukku. Tetapi itu saja belum cukup untuk membangun sebuah rumah cinta,” jawabku tanpa bermaksud merendahkan Elean.

Aku juga tak ingin Soimah menganggapku lelaki yang suka bicara jelek tentang perempuan. Terlebih perempuan yang sudah hidup bersamaku sekian tahun tanpa kejelasan status.

“Kamu tak boleh permainkan Elean,” kata Soimah lagi seakan tak peduli pada perasaanku yang sakit ditusuk-tusuk oleh kata-katanya yang tajam.
“Kamu juga tak bisa paksa aku untuk memilih Elean apalagi sampai menikahinya.”

Soimah tertawa. Dalam tawanya ia tak mampu menutupi kegetiran hatinya.

“Aku hanya menawarkan yang terbaik untukmu tanpa bermaksud memaksamu untuk melakukan yang tak kau inginkan. Dari banyak ceritamu tentang perempuan itu…maaf maksudku Elean, kusimpulkan dia perempuan baik dan telah banyak memberikan banyak hal padamu.” lanjut Soimah lagi seperti sedang mengiris perasaannya. Juga perasaanku. Aku tahu ia juga mencintaiku, sama seperti aku yang mencintai dan tergila-gila padanya.

“Cinta saja belum cukup. Begitu kan katamu?” katanya lagi tanpa peduli luka itu kian menganga.

”Aku tak bisa melakukan seperti yang dia lakukan untukmu dan keluargamu. Aku tak punya apa-apa. Dan aku tidak tega melihat orang yang aku sayang hidup menderita hanya demi perempuan yang tak bisa memberikan zona nyaman padanya.”

Aku diam. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku terjebak di antara dua perempuan yang sama-sama istimewa dalam hidupku. Aku tak bisa memilih Elean dan membiarkan cintaku pada Soimah kandas. Namun aku juga belum sanggup menerima kenyataan hidup menderita jika Soimah-lah perempuan yang kupilih.

Kepalaku mendadak sakit. Tiba-tiba aku merasa menjadi banci. Tiba-tiba aku merasa semakin ketakutan setiap mengingat tulisan Soimah.

Jika rindu kubunuh dirimu dengan puisi atau kalimat dalam cerpenku.


Tiba-tiba tubuhku bergetar keras. Lunglai. Gelap. n   
   

Lampung Post, Minggu, 3 November 2013