Cerpen Fakhrunnas M.A. Jabbar
IA langsung memeluk saya. Kuat dan semakin kuat. Air matanya berjuntai ke lantai. Baju yang saya pakai turut kuyup. Saya tak bisa berbuat apa-apa, kecuali pasrah saja dalam dekapannya. Dalam tangis dan sesegukan itu, tiba-tiba tangis saya pun ikut berbaur di dalamnya. Kami sama-sama menangis. Sama-sama menumpahkan air mata. Penyebab kami menangis, jelas berbeda. Saya menangis karena ia menangis ketika memeluk saya. Ia menangis karena sesuatu yang amat disayangi telah lesap tak terduga. Jelas, ia sedang kehilangan sesuatu yang amat berarti.
Perempuan dalam usia makin senja itu memperkuat pelukannya. Saya bagai tak bisa bernapas. Air matanya meleleh ke sekujur tubuh saya. Heran, kenapa perempuan seusia dia masih menyimpan air mata yang melimpah-ruah? Barangkali saja, air mata itu sudah ditabungnya bertahun-tahun. Entahlah. Sebenarnya saya bisa saja berbuat tak peduli. Tapi betapa kurang ajarnya, bila saya tiba-tiba melepaskan pelukan yang kuat itu. Dalam adat-resam Melayu yang mengalir deras di tubuh saya, amatlah kualat namanya, bila memengkis orang setua dia.
Ia memeluk saya karena sesuatu yang amat dirindukannya. Dan kerinduan itu ternyata hanya bisa ia tumpahkan pada diri saya. Tidak dengan siapa pun. Padahal, saya hanyalah salah seorang teman dekat anaknya yang telah meninggal gantung diri beberapa tahun lalu. Dan banyak bekas temannya yang lain, kalau ia mau. Tapi pilihannya hanya pada saya.
Dua jam kemudian pelukan itu makin longgar. Air matanya mengalir lagi. Tapi tak sederas semula. Barangkali ia makin menyadari betapa sebuah kerinduan hanyalah sesuatu hasrat yang perlu diluapkan. Kalau tidak, tentu bisa menjadi bara di hati berkepanjangan. Dan ini pula yang menggugah saya untuk menyediakan diri sebagai tempat berbagi duka dengannya.
Di sisi lain, saya juga tiba-tiba merasa bangga. Saya telah berhasil menyalurkan kerinduan seorang ibu tua. Bagaikan lepasnya sumbatan lahar di lubang kepundan. Meski ia sendiri tak pernah lega sesudah pertemuan itu. Sebab, kerinduan yang dimilikinya bukan sembarangan kerinduan. Bayangkan saja, ia sedang merindukan sesuatu yang mati.
Bila agak lama ia menatap saya, air matanya mengalir lagi. Begitu sulit di bendung. Saya jadi ikut-ikutan menangis. Tapi tentu saja saya menangis bukan karena menanam kerinduan yang dalam pula pada anaknya. Pada bekas sahabat saya yang setia. Saya menangis karena ia menangis di depan mata saya. Jadi saya terpengaruh.
"Saya heran, kenapa kepergian anak saya itu benar-benar membuat saya kebingungan. Kadang-kadang orang menduga saya sudah berubah akal. Tapi rasanya tidak. Saya masih mengerti batas-batas kerinduan. Merindukan seseorang bukan berarti gila. Apalagi anak bujang yang saya sayangi."
Saya agak tersentak karena ungkapannya yang agak filosofis itu. Padat dan berisi. Andaikan saja ia seorang pensyarah, tentu ucapannya yang baru terlontar itu sudah menjadi bahan rujukan yang amat berharga bagi para mahasiswa. Sayang, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang tak banyak lagi memikirkan yang lain. Tampaknya dalam sisa usianya yang tinggal sepenggal, ia ingin menghabiskannya untuk mengenang anaknya yang telah mati.
Saya semakin bingung. Entah apa benar yang menyebabkan hingga ibu setua itu memeras kerinduannya. Padahal, anak-anaknya yang lain masih banyak. Masih ada sekitar tujuh orang lagi. Apalagi anak yang sedang diratapinya itu bukanlah anak sulung. Bukan pula anak bungsu. Bukan pula anak pertengahan. Menurut pengakuannya, sang anak merupakan anak kedua.
"Bila ingatan saya benar-benar memuncak kepadanya, biasanya saya mengalihkan perhatian pada yang lain. Kalau tak bekerja atau bertandang ke rumah tetangga, ya saya hanya mengadu pada Allah. Saya membaca kitab suci Alquran. Bila hal itu sudah saya kerjakan, luruhlah sedikit rasa kegelisahan meski kerinduan saya tak kunjung lenyap sama sekali. Saya benar-benar tak bisa hidup tanpa bayang-bayang dia. Ia benar-benar sudah bersebati dalam diri saya."
Saya hanya manggut-manggut. Bahkan lebih banyak menunduk ke lantai. Sebab, saya tak ingin mengeluarkan air mata terus-menerus. Saya ingin bertahan. Biarlah ibu tua itu saja yang menangis untuk anak yang dicintainya setengah mati.
"Ayo, Nak, tatap saya!" tiba-tiba suara ibu tua agak membentak. Kesal. Tapi suaranya tidak seperti membentak. Padahal selama ini, ia punya suara lembut dan amat bertenggang rasa. Tapi saya memahami kekesalannya. Saya barangkali agak mengecewakannya karena seolah-olah tidak memedulikannya.
Saya melirik. Saya berusaha untuk tidak menampakkan rasa kesal. Padahal, bukankah saya yang lebih berhak untuk kesal. Sebab, tiba-tiba saya menjadi sandra bagi luapan kerinduannya.
"Eh, maaf, Mak. Saya terbawa hanyut oleh suasana. Maksud saya sebenarnya ingin terus menatapmu."
Lama sekali ia menatap saya. Barangkali ia sedang berusaha menyamakan diri saya dengan anaknya. Setidak-tidaknya, ia ingin membuat persamaan itu sehingga sedikit demi sedikit ia lebih mudah menghadirkan kembali sang anak dalam kenangannya.
"Wajahmu mirip sekali dengan anak saya yang mati itu," lanjutnya tiba-tiba.
Saya tersenyum. Saya ingin membahagiakannya. Padahal saya tahu bagaimana mungkin bisa menyama-nyamakan antara saya dan anaknya itu. Kulit saya tentu terlalu hitam dibanding anaknya. Dan, kepala saya agak lonjong tentu amat berbeda nyata dengan bentuk kepala anaknya yang bulat bak bulan purnama. Pokoknya, menurut saya terlalu mengada-ada bila membuat persamaan saya dengan anaknya.
"Terlalu banyak persamaanmu dengan anak saya," tiba-tiba ia mengeluarkan kesimpulan itu untuk puluhan kalinya.
Saya diam saja. Meskipun masih banyak ungkapan-ungkapan ibu tua itu yang sulit diterima. Tampaknya ia memang membutuhkan seseorang yang mampu menggantikan kedudukan anaknya yang ia rindukan itu.
"Kenapa kamu diam saja?" tiba-tiba ia agak menyergah saya. Ini di luar dugaan saya. Jadi, saya makin tak mengerti, apa lagi mau sang ibu. Apalagi yang ia inginkan dari saya?
“Ayo, bicaralah. Tentang apa saja. Saya benar-benar merindukan suara anak saya. Dan suaramu persis sekali dengan suaranya."
Ya, Allah! Saya mulai pusing memikirkan jalan keluar terbaik. Saya bukannya memikirkan apa yang harus saya bicarakan. Tapi, bagaimana mungkin saya bisa lepas dari kepungan kerinduan ibu tua yang sedang mabuk kepayang itu. Dan sama sekali, saya tak pernah bermaksud menyakiti hatinya. Saya hanya ingin melepaskan diri dari belenggu sang ibu tua itu.
"Ayolah, bicara lagi. Saya ingin sekali mendengar suaramu. Suaramu sama persis dengan suara anak saya,” ucap perempuan itu lagi.
Masya Allah! Ampun. Saya benar-benar kebingungan. Saya ingin lari saja. Tapi rasanya kurang masuk akal bila saya melakukan tindakan itu. Untung, saya masih bisa menyadari bagaimana memahami keberadaan diri ibu tua yang mulai pikun itu. Ah, tapi sepenglihatan saya, ia jelas belum pikun. Lantas, apa nama yang tepat untuk menyebut kenyataan itu yang amat berlebihan itu? Inikah yang namanya kemaruk?
Tunggu dulu. Saya tak pernah membayangkan hal semacam itu. Ibu itu jelas hanya menyimpan keresahan belaka. Ia tidak gila. Ia tak pernah merasa gila. Benar juga, buntut pembicaraan yang panjang itu menjadikan diri saya benar-benar menjadi ajang pelampiasan hasrat sang ibu.
Hampir tiap pagi, ia datang ke rumah. Meski ia harus berjam-jam menanti saya pulang. Saya harus bekerja di kantor, sementara menjelang saya sampai di rumah, biasanya ibu sayalah yang harus melayaninya berbicara. Sampai-sampai beberapa kali, ibu saya harus telantar memasak untuk makan siang.
Terus-terang, saya masih bisa menerima kenyataan itu. Ini tentu lahir dari pertimbangan saya bermalam-malam jauh sebelumnya. Sebab, saya bisa menebak pasti, betapa tersinggung dan lukanya hati perempuan tua itu bila saya lari menjauh. Misalnya, saya pindah rumah. Atau, tidur di rumah keluarga atau teman-teman yang lain. Tapi di sisi lain, kalu hal ini dibiarkan berlangsung berkepanjangan, tentu berakibat tidak baik juga. Saya benar-benar berada di dua persimpangan. Amat suit menentukan piihan langkah yang paling nyaman.
Tapi tunggu, masih ada sesuatu hal lain yang lebih patut saya pertimbangkan. Soalnya, beberapa hari lalu, calon mertua saya datang ke rumah. Mereka membicarakan soal jadwal perkawinan saya dengan calon istri yang sudah dipersiapkan sejak lama. Nah, bila saya menikah, tentu saya harus meninggalkan segalanya. Meninggalkan rumah yang sudah saya tempati sedari kecil. Meninggalkan saudara-saudara saya yang masih kecil. Dan jelas, mau tak mau, saya harus meninggalkan ibu tua, tetangga saya itu. Inilah pemikiran saya yang lain.
Saya turut gelisah. Sebab, menjatuhkan keputusan sendiri jelas menimbulkan akibat yang bermacam-macam. Saya berusaha membicarakannya dengan emak dan ayah saya sendiri.
"Ah, teruskan saja pernikahanmu. Sekarang kamu tinggal pilih, menikah atau tetangga?" begitu ayahku berdalih.
Nah, aku terpengaruh juga. Apalagi hal ini diperkuat oleh anggota keluarga yang lain. Terutama, saudara-mara atau karib-kerabat yang lain. Tapi aku masih tetap berpikir. Kucoba membicarakannya dengan calon istriku. Justru reaksi yang lebih keras kuterima darinya.
"Sekarang, terserah kamu. Kalau kamu mau mempertimbangkan ibu tua itu terus-menerus, silakan pilih saja dia. Saya tak ingin dijadikan bulan-bulanan seperti ini," kata calon istri saya penuh kemarahan.
Merasa tak ada lagi yang mempertahankan, saya pun mengambil keputusan untuk menikah saja. Dengan demikian, saya harus meninggalkan perempuan tua itu.
Tanpa pamit saya meninggalkan rumah, beberapa hari setelah pernikahan saya. Sebab, kalau diberitahu lebih dulu dengan perempuan tua itu, jelas akan mempersulit keadaan. Tentu ia akan menanyakan di mana saya tinggal bersama istri saya. Dan bila alamat saya yang baru diketahuinya, tentu ia makin sering pula bertandang ke rumah mertua saya. Saya bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga istri saya menghadapi kedatangannya.
Kebahagiaan hidup rasanya benar-benar sudah saya miliki begitu saya berkeluarga. Barangkali itu pula yang menyebabkan agama saya mewajibkan perkawinan bila sudah mampu lahir dan batin. Saya benar-benar hanya memikirkan istri saya. Setiap hari saya berusaha membahagiakannya. Memenuhi apa saja yang ia minta.
Suatu pagi, sembilan hari sesudah saya menikah, salah seorang anak ibu tua itu menelepon. Suaranya terisak-isak dan terputus-putus. Kata-katanya tak pernah tersampaikan. Tak terselesaikan. n
Pekanbaru, 062013
Lampung Post, Minggu, 17 November 2013
IA langsung memeluk saya. Kuat dan semakin kuat. Air matanya berjuntai ke lantai. Baju yang saya pakai turut kuyup. Saya tak bisa berbuat apa-apa, kecuali pasrah saja dalam dekapannya. Dalam tangis dan sesegukan itu, tiba-tiba tangis saya pun ikut berbaur di dalamnya. Kami sama-sama menangis. Sama-sama menumpahkan air mata. Penyebab kami menangis, jelas berbeda. Saya menangis karena ia menangis ketika memeluk saya. Ia menangis karena sesuatu yang amat disayangi telah lesap tak terduga. Jelas, ia sedang kehilangan sesuatu yang amat berarti.
Perempuan dalam usia makin senja itu memperkuat pelukannya. Saya bagai tak bisa bernapas. Air matanya meleleh ke sekujur tubuh saya. Heran, kenapa perempuan seusia dia masih menyimpan air mata yang melimpah-ruah? Barangkali saja, air mata itu sudah ditabungnya bertahun-tahun. Entahlah. Sebenarnya saya bisa saja berbuat tak peduli. Tapi betapa kurang ajarnya, bila saya tiba-tiba melepaskan pelukan yang kuat itu. Dalam adat-resam Melayu yang mengalir deras di tubuh saya, amatlah kualat namanya, bila memengkis orang setua dia.
Ia memeluk saya karena sesuatu yang amat dirindukannya. Dan kerinduan itu ternyata hanya bisa ia tumpahkan pada diri saya. Tidak dengan siapa pun. Padahal, saya hanyalah salah seorang teman dekat anaknya yang telah meninggal gantung diri beberapa tahun lalu. Dan banyak bekas temannya yang lain, kalau ia mau. Tapi pilihannya hanya pada saya.
Dua jam kemudian pelukan itu makin longgar. Air matanya mengalir lagi. Tapi tak sederas semula. Barangkali ia makin menyadari betapa sebuah kerinduan hanyalah sesuatu hasrat yang perlu diluapkan. Kalau tidak, tentu bisa menjadi bara di hati berkepanjangan. Dan ini pula yang menggugah saya untuk menyediakan diri sebagai tempat berbagi duka dengannya.
Di sisi lain, saya juga tiba-tiba merasa bangga. Saya telah berhasil menyalurkan kerinduan seorang ibu tua. Bagaikan lepasnya sumbatan lahar di lubang kepundan. Meski ia sendiri tak pernah lega sesudah pertemuan itu. Sebab, kerinduan yang dimilikinya bukan sembarangan kerinduan. Bayangkan saja, ia sedang merindukan sesuatu yang mati.
Bila agak lama ia menatap saya, air matanya mengalir lagi. Begitu sulit di bendung. Saya jadi ikut-ikutan menangis. Tapi tentu saja saya menangis bukan karena menanam kerinduan yang dalam pula pada anaknya. Pada bekas sahabat saya yang setia. Saya menangis karena ia menangis di depan mata saya. Jadi saya terpengaruh.
"Saya heran, kenapa kepergian anak saya itu benar-benar membuat saya kebingungan. Kadang-kadang orang menduga saya sudah berubah akal. Tapi rasanya tidak. Saya masih mengerti batas-batas kerinduan. Merindukan seseorang bukan berarti gila. Apalagi anak bujang yang saya sayangi."
Saya agak tersentak karena ungkapannya yang agak filosofis itu. Padat dan berisi. Andaikan saja ia seorang pensyarah, tentu ucapannya yang baru terlontar itu sudah menjadi bahan rujukan yang amat berharga bagi para mahasiswa. Sayang, ia hanya seorang ibu rumah tangga yang tak banyak lagi memikirkan yang lain. Tampaknya dalam sisa usianya yang tinggal sepenggal, ia ingin menghabiskannya untuk mengenang anaknya yang telah mati.
Saya semakin bingung. Entah apa benar yang menyebabkan hingga ibu setua itu memeras kerinduannya. Padahal, anak-anaknya yang lain masih banyak. Masih ada sekitar tujuh orang lagi. Apalagi anak yang sedang diratapinya itu bukanlah anak sulung. Bukan pula anak bungsu. Bukan pula anak pertengahan. Menurut pengakuannya, sang anak merupakan anak kedua.
"Bila ingatan saya benar-benar memuncak kepadanya, biasanya saya mengalihkan perhatian pada yang lain. Kalau tak bekerja atau bertandang ke rumah tetangga, ya saya hanya mengadu pada Allah. Saya membaca kitab suci Alquran. Bila hal itu sudah saya kerjakan, luruhlah sedikit rasa kegelisahan meski kerinduan saya tak kunjung lenyap sama sekali. Saya benar-benar tak bisa hidup tanpa bayang-bayang dia. Ia benar-benar sudah bersebati dalam diri saya."
Saya hanya manggut-manggut. Bahkan lebih banyak menunduk ke lantai. Sebab, saya tak ingin mengeluarkan air mata terus-menerus. Saya ingin bertahan. Biarlah ibu tua itu saja yang menangis untuk anak yang dicintainya setengah mati.
"Ayo, Nak, tatap saya!" tiba-tiba suara ibu tua agak membentak. Kesal. Tapi suaranya tidak seperti membentak. Padahal selama ini, ia punya suara lembut dan amat bertenggang rasa. Tapi saya memahami kekesalannya. Saya barangkali agak mengecewakannya karena seolah-olah tidak memedulikannya.
Saya melirik. Saya berusaha untuk tidak menampakkan rasa kesal. Padahal, bukankah saya yang lebih berhak untuk kesal. Sebab, tiba-tiba saya menjadi sandra bagi luapan kerinduannya.
"Eh, maaf, Mak. Saya terbawa hanyut oleh suasana. Maksud saya sebenarnya ingin terus menatapmu."
Lama sekali ia menatap saya. Barangkali ia sedang berusaha menyamakan diri saya dengan anaknya. Setidak-tidaknya, ia ingin membuat persamaan itu sehingga sedikit demi sedikit ia lebih mudah menghadirkan kembali sang anak dalam kenangannya.
"Wajahmu mirip sekali dengan anak saya yang mati itu," lanjutnya tiba-tiba.
Saya tersenyum. Saya ingin membahagiakannya. Padahal saya tahu bagaimana mungkin bisa menyama-nyamakan antara saya dan anaknya itu. Kulit saya tentu terlalu hitam dibanding anaknya. Dan, kepala saya agak lonjong tentu amat berbeda nyata dengan bentuk kepala anaknya yang bulat bak bulan purnama. Pokoknya, menurut saya terlalu mengada-ada bila membuat persamaan saya dengan anaknya.
"Terlalu banyak persamaanmu dengan anak saya," tiba-tiba ia mengeluarkan kesimpulan itu untuk puluhan kalinya.
Saya diam saja. Meskipun masih banyak ungkapan-ungkapan ibu tua itu yang sulit diterima. Tampaknya ia memang membutuhkan seseorang yang mampu menggantikan kedudukan anaknya yang ia rindukan itu.
"Kenapa kamu diam saja?" tiba-tiba ia agak menyergah saya. Ini di luar dugaan saya. Jadi, saya makin tak mengerti, apa lagi mau sang ibu. Apalagi yang ia inginkan dari saya?
“Ayo, bicaralah. Tentang apa saja. Saya benar-benar merindukan suara anak saya. Dan suaramu persis sekali dengan suaranya."
Ya, Allah! Saya mulai pusing memikirkan jalan keluar terbaik. Saya bukannya memikirkan apa yang harus saya bicarakan. Tapi, bagaimana mungkin saya bisa lepas dari kepungan kerinduan ibu tua yang sedang mabuk kepayang itu. Dan sama sekali, saya tak pernah bermaksud menyakiti hatinya. Saya hanya ingin melepaskan diri dari belenggu sang ibu tua itu.
"Ayolah, bicara lagi. Saya ingin sekali mendengar suaramu. Suaramu sama persis dengan suara anak saya,” ucap perempuan itu lagi.
Masya Allah! Ampun. Saya benar-benar kebingungan. Saya ingin lari saja. Tapi rasanya kurang masuk akal bila saya melakukan tindakan itu. Untung, saya masih bisa menyadari bagaimana memahami keberadaan diri ibu tua yang mulai pikun itu. Ah, tapi sepenglihatan saya, ia jelas belum pikun. Lantas, apa nama yang tepat untuk menyebut kenyataan itu yang amat berlebihan itu? Inikah yang namanya kemaruk?
Tunggu dulu. Saya tak pernah membayangkan hal semacam itu. Ibu itu jelas hanya menyimpan keresahan belaka. Ia tidak gila. Ia tak pernah merasa gila. Benar juga, buntut pembicaraan yang panjang itu menjadikan diri saya benar-benar menjadi ajang pelampiasan hasrat sang ibu.
Hampir tiap pagi, ia datang ke rumah. Meski ia harus berjam-jam menanti saya pulang. Saya harus bekerja di kantor, sementara menjelang saya sampai di rumah, biasanya ibu sayalah yang harus melayaninya berbicara. Sampai-sampai beberapa kali, ibu saya harus telantar memasak untuk makan siang.
Terus-terang, saya masih bisa menerima kenyataan itu. Ini tentu lahir dari pertimbangan saya bermalam-malam jauh sebelumnya. Sebab, saya bisa menebak pasti, betapa tersinggung dan lukanya hati perempuan tua itu bila saya lari menjauh. Misalnya, saya pindah rumah. Atau, tidur di rumah keluarga atau teman-teman yang lain. Tapi di sisi lain, kalu hal ini dibiarkan berlangsung berkepanjangan, tentu berakibat tidak baik juga. Saya benar-benar berada di dua persimpangan. Amat suit menentukan piihan langkah yang paling nyaman.
Tapi tunggu, masih ada sesuatu hal lain yang lebih patut saya pertimbangkan. Soalnya, beberapa hari lalu, calon mertua saya datang ke rumah. Mereka membicarakan soal jadwal perkawinan saya dengan calon istri yang sudah dipersiapkan sejak lama. Nah, bila saya menikah, tentu saya harus meninggalkan segalanya. Meninggalkan rumah yang sudah saya tempati sedari kecil. Meninggalkan saudara-saudara saya yang masih kecil. Dan jelas, mau tak mau, saya harus meninggalkan ibu tua, tetangga saya itu. Inilah pemikiran saya yang lain.
Saya turut gelisah. Sebab, menjatuhkan keputusan sendiri jelas menimbulkan akibat yang bermacam-macam. Saya berusaha membicarakannya dengan emak dan ayah saya sendiri.
"Ah, teruskan saja pernikahanmu. Sekarang kamu tinggal pilih, menikah atau tetangga?" begitu ayahku berdalih.
Nah, aku terpengaruh juga. Apalagi hal ini diperkuat oleh anggota keluarga yang lain. Terutama, saudara-mara atau karib-kerabat yang lain. Tapi aku masih tetap berpikir. Kucoba membicarakannya dengan calon istriku. Justru reaksi yang lebih keras kuterima darinya.
"Sekarang, terserah kamu. Kalau kamu mau mempertimbangkan ibu tua itu terus-menerus, silakan pilih saja dia. Saya tak ingin dijadikan bulan-bulanan seperti ini," kata calon istri saya penuh kemarahan.
Merasa tak ada lagi yang mempertahankan, saya pun mengambil keputusan untuk menikah saja. Dengan demikian, saya harus meninggalkan perempuan tua itu.
Tanpa pamit saya meninggalkan rumah, beberapa hari setelah pernikahan saya. Sebab, kalau diberitahu lebih dulu dengan perempuan tua itu, jelas akan mempersulit keadaan. Tentu ia akan menanyakan di mana saya tinggal bersama istri saya. Dan bila alamat saya yang baru diketahuinya, tentu ia makin sering pula bertandang ke rumah mertua saya. Saya bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga istri saya menghadapi kedatangannya.
Kebahagiaan hidup rasanya benar-benar sudah saya miliki begitu saya berkeluarga. Barangkali itu pula yang menyebabkan agama saya mewajibkan perkawinan bila sudah mampu lahir dan batin. Saya benar-benar hanya memikirkan istri saya. Setiap hari saya berusaha membahagiakannya. Memenuhi apa saja yang ia minta.
Suatu pagi, sembilan hari sesudah saya menikah, salah seorang anak ibu tua itu menelepon. Suaranya terisak-isak dan terputus-putus. Kata-katanya tak pernah tersampaikan. Tak terselesaikan. n
Pekanbaru, 062013
Lampung Post, Minggu, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment