Sunday, November 3, 2013

Cinta yang Terbelah

Cerpen Tita Tjindarbumi


Jika rindu kubunuh dirimu dengan puisi atau kalimat dalam cerpenku.
MERINDING bulu kudukku membaca tulisan Soimah. Bayangan perempuan berkebaya itu mencabik-cabik jantungku, memicu ketakutanku yang belakangan ini timbul tenggelam dalam benak dan nyaris meracuni perasaanku terhadap perempuan yang sekian tahun ini menempati seruas ruang di hatiku.

Tak bisa kutampik kenyataan ini. Kendati cintaku pada Soimah kian membeludak, aku belum mampu membiarkan seluruh perasaanku dipenuhi oleh bayangannya. Sosok perempuan lain yang sekian tahun hidup bersamaku membuatku ambigu... Aku membutuhkan sosok Elean dengan penuh kesadaran dan kemunafikanku.

Mencintai dua perempuan dalam waktu yang sama, aku tak lebih dari pecundang yang memanfaatkan perhatian dan cinta mereka. Aku tak berani berkata jujur, sebetulnya di antara mereka pasti ada salah satu yang menempati ruang hatiku dengan bebas.

"Kita tak usah bicara cinta jika kau tak pernah tahu dan bisa memaknai cinta dengan benar,” kata Soimah. Bibir mungilnya setajam belati.
Kutahan napas agar degub di dadaku tak terdengar ke telinganya. Rasanya seperti ditendang mendengar ucapannya. Namun, anehnya aku menganggap tendangannya sebagai rasa cintanya kepadaku.

Sebagai laki-laki diriku memang lemah dan tak punya keberanian mengambil keputusan yang tegas. Bukan tanpa alasan bila aku masih saja terlihat sebagai lelaki egois. Tapi apakah ada gunanya bila kukatakan aku tak ingin mengorbankan anak-anakku yang sudah telanjur berada di zona nyaman karena fasilitas yang diberikan Elean yang belakangan kurasakan tak lebih dari kerangkeng? Yang membuatku tak bisa berpaling pada Soimah.

Dan lagi-lagi pesan yang Soimah kirim padaku itu membuatku semakin ketakutan. Ketakutan yang terbawa ke mana pun aku pergi. Bahkan saat aku menikmati belaian Elean.

Hatiku berdarah. Membungkus gelisahku berhadapan dengan Elean yang tatapannya semakin tajam setiap kali menyambutku pulang dengan wajah semringah. Soimah tak hanya membuat ladang hatiku berbunga, ia juga telah menyemai benih rindu yang membuatku kehilangan arah jika tidak melihat senyumnya.

“Aku muak melihat sisa senyummu,” ujar Elean tanpa melihat wajahku.
Dari ujung mata kulihat amarah menguasai wajahnya. Kubiarkan. Tak ada gunanya bicara pada singa betina yang sedang marah.

“Aku mau mandi, bisa tolong siapkan air hangat?” ujarku setelah mendekat. Sengaja kusentuh telinganya dengan ujung bibirku. Elean mengelak dengan gerakan yang sangat kutahu, ia hanya berpura-pura. Aku sangat tahu bagaimana menjinakkan kemarahannya!

Itu yang membuatku tak pernah kapok dan berhenti mencari perempuan sejati yang dapat membuatku tak berkutik dan takluk padanya. Juga takut kehilangan cintanya.

“Kupikir di tempat perempuan itu sudah kau dapatkan segalanya.” tukas Elean dengan wajah ditekuk.

Kubiarkan ia bicara apa saja.. Tak ada hasratku menjawabnya. Bukan tak bisa menjawab, aku hanya tak ingin jawabanku hanya akan membuat suasana bertambah panas. Bahkan kubiarkan ia melengos ketika lewat di depanku.
“Aku lelah pengin istirahat, bisa agak cepat sedikit? Oke..biar aku siapkan sendiri,” kataku sambil berlalu dan bergegas menuju dapur. Memasak air lalu duduk di kursi di ruang makan.

Terbayang lagi wajah Soimah. Mata embunnya, caranya tersenyum, lentik jemarinya , semua tak lepas dari pandangan mataku. Kelembutan hatinya mempertegas garis darah asal usulnya.

Tanpa kuminta Soimah selalu saja melakukan hal-hal yang mungkin dianggap sepele bagi perempuan lain. Soimah selalu menyambutku dengan sikap penuh pengabdian. Ia menyediakan secangkir capucino panas yang aromanya begitu kuat menyeretku pada ruang yang nyaman.. Ia menyapaku dengan sopan sebagaimana layaknya memperlakukan seorang tamu istimewa.
Ia begitu detail dalam segala urusan. Tak heran bila kadang keningnya berkerut melihat kemejaku tak selicin pakaiannya.

“Orang kota sepertimu tetap terlihat keren meski dengan pakaian sedikit lecek begitu. Apalagi harganya selangit,” katanya dengan senyum yang sulit kuartikan.

Ia membiarkan pikiranku berlari kian kemari mencari maknanya. Aku tak peduli itu kritikan atau sanjungan. Bagiku yang terpenting adalah senyum dan mata itu selalu bak magnit. Juga ekspresi kecemburuannya membuatku semakin mabuk kepayang. 

Soimah…

Nguiiiiiiiiiiiiiiiiing…

Air telah mendidih membuyarkan lamunanku.

“Sudah kusiapkan pakaian dan handuk,” ujar Elean yang telah berdiri di depanku. Lalu ia berjalan ke dapur, mematikan dan mengangkat panci air mendidih ke kamar mandi. Meski sedang dibakar cemburu Elean tetap menyediakan apa yang kubutuhkan..

Di dalam kamar mandi bayangan Soimah masih menari-nari di benak. Ia telah merampok habis perhatian dan perasaanku. Bahkan ia juga nyaris membuatku mengabaikan kebaikan Elean yang telah berbuat banyak untuk hidupku.                                    *****

Elean, berdiri di sebelahku. Bau sabun di tubuhku tak mampu mengusir aroma manis dari tubuhnya. Tetapi lagi-lagi bayangan Soimah membuatku ingin segera lelap dalam mimpi. Aku tak ingin  berpura-pura mesra sementara hati kecilku masih dipernuhi bayangan Soimah.

Entah kekuatan apa yang membuatku berani terang-terangan menduakan Elean. Bersama Soimah aku merasa menjadi pribadi yang kuat. Setidaknya dalam menghadapi kemarahan Elean.

“Aku ingin papa lebih konsentrasi dalam urusan pekerjaan. Tidak ngilang di jam sibuk. Tidak menghabiskan weekend untuk hal yang tak jelas. Seharusnya papa pikirkan kesehatan. Papa harus memanfaatkan weekend untuk istirahat,” kata Elean setelah menggeser tubuhnya lebih dekat ke tubuhku. Bau sabun memang sudah menghapus jejak Soimah dari tubuhku, tetapi semua tentang perempuan Jawa itu justru semakin melekat dalam jiwaku.

Malam ini kubiarkan Elean melakukan apa saja atas tubuhku ini. Aku meresponsnya seperti biasa meski tanpa hati. Aku tak mau melukai Elean. Lebih tepatnya aku tak mau kehilangan zona nyaman. Aku tak ingin anak-anakku kehilangan semua fasilitas yang diberikan Elean pada mereka selama ini. Aku juga gak ingin kehilangan pekerjaan dan menjadi gembel yang luntang lantung di jalan mencari pekerjaan.

Jujur, aku takut menghadapi hidup dalam kemiskinan dan harus banting tulang untuk menghidupi anak-anak dan diriku. Belum lagi tuntutan keluarga yang menganggapku punya harta berlebih yang bisa dibanggakan keluargaku di kampung.

Tapi aku tak bisa dan tak sanggup melepas Soimah hanya untuk menyenangkan keluarga dan anak-anakku. Keluarga dan anak-anakku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku tak punya apa-apa. Selain sisa harga diriku yang kian tergadai demi zona nyaman yang ditawarkan Elean.

“Aku bisa menjaga kesehatan. Tidakkah kau lihat belakangan ini kesehatanku semakin membaik,” jawabku datar.

Tak sampai hati mengatakan bahwa kesehatanku semakin baik karena Soimah banyak memberikan suplemen yang telah memperbaiki sel-sel hati dan jiwaku yang mati karena tekanan-tekanan yang berkeliaran di hidupku.
Bahkan sebelum bertemu Soimah aku sudah memasrahkan diriku mengikuti semua kemauan Elean kecuali menikahinya. Aku tak mau menikah dengan perempuan mana pun sebelum benar-benar yakin dia adalah cinta sejatiku.

“Sudah seharusnya kamu pikirkan kelanjutan hubunganmu dengan Elean,” kata Soimah suatu senja. Wajahnya datar saat mengucapkan kalimat yang menohokku itu.

“Dia memang baik. Dia memang telah memberikan separoh napasnya untukku. Tetapi itu saja belum cukup untuk membangun sebuah rumah cinta,” jawabku tanpa bermaksud merendahkan Elean.

Aku juga tak ingin Soimah menganggapku lelaki yang suka bicara jelek tentang perempuan. Terlebih perempuan yang sudah hidup bersamaku sekian tahun tanpa kejelasan status.

“Kamu tak boleh permainkan Elean,” kata Soimah lagi seakan tak peduli pada perasaanku yang sakit ditusuk-tusuk oleh kata-katanya yang tajam.
“Kamu juga tak bisa paksa aku untuk memilih Elean apalagi sampai menikahinya.”

Soimah tertawa. Dalam tawanya ia tak mampu menutupi kegetiran hatinya.

“Aku hanya menawarkan yang terbaik untukmu tanpa bermaksud memaksamu untuk melakukan yang tak kau inginkan. Dari banyak ceritamu tentang perempuan itu…maaf maksudku Elean, kusimpulkan dia perempuan baik dan telah banyak memberikan banyak hal padamu.” lanjut Soimah lagi seperti sedang mengiris perasaannya. Juga perasaanku. Aku tahu ia juga mencintaiku, sama seperti aku yang mencintai dan tergila-gila padanya.

“Cinta saja belum cukup. Begitu kan katamu?” katanya lagi tanpa peduli luka itu kian menganga.

”Aku tak bisa melakukan seperti yang dia lakukan untukmu dan keluargamu. Aku tak punya apa-apa. Dan aku tidak tega melihat orang yang aku sayang hidup menderita hanya demi perempuan yang tak bisa memberikan zona nyaman padanya.”

Aku diam. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku terjebak di antara dua perempuan yang sama-sama istimewa dalam hidupku. Aku tak bisa memilih Elean dan membiarkan cintaku pada Soimah kandas. Namun aku juga belum sanggup menerima kenyataan hidup menderita jika Soimah-lah perempuan yang kupilih.

Kepalaku mendadak sakit. Tiba-tiba aku merasa menjadi banci. Tiba-tiba aku merasa semakin ketakutan setiap mengingat tulisan Soimah.

Jika rindu kubunuh dirimu dengan puisi atau kalimat dalam cerpenku.


Tiba-tiba tubuhku bergetar keras. Lunglai. Gelap. n   
   

Lampung Post, Minggu, 3 November 2013

No comments:

Post a Comment