Sunday, July 28, 2013

Raksasa

Cerpen Maria Magdalena Bhoernomo


PAGI-PAGI, begitu bangun dari tidurnya, Egono tiba-tiba berteriak-teriak. “Ibu! Aku ingin menjadi raksasa!”

Teriakan putra bungsuku yang umurnya baru 5 tahun itu membuatku terkejut dan kemudian terpana. Kepalaku mendadak dipenuhi tanda tanya: "Kenapa anakku tiba-tiba ingin menjadi raksasa? Apa dan siapa yang telah mempengaruhinya sehingga berkeinginan yang sangat aneh itu? Apakah mungkin dia sudah pernah mengenal atau bertemu dengan raksasa? Menurutnya, seperti apakah raksasa itu?”

Lantas segera kusuruh Egono mandi. Dan sambil mengawasinya mandi, aku mencoba bertanya dengan lembut. “Memangnya kamu sudah tahu seperti apa raksasa itu?”

Sambil menyabuni tubuhnya, Egono menjawab bahwa dia semalam bermimpi bertemu dengan raksasa yang bertubuh besar dan kuat. Kemudian dia bertarung dengan raksasa itu dan dia kalah. “Aku ingin menjadi raksasa paling besar dan kuat  agar tidak kalah lagi.”

Aku tersenyum geli. Jelas sudah anakku sedang terobsesi akibat bermimpi aneh. Obsesi itu bisa saja berkembang dan menjelma menjadi perilaku, oleh karenanya aku harus menjaganya agar tetap hidup normal sebagaimana umumnya seorang anak. Tapi ternyata Egono semakin ingin menjadi raksasa. Siangnya, sepulang dari Taman Kanak-kanak, dia kembali berteriak-teriak sambil mencariku di dapur.

“Ibu! Aku ingin menjadi raksasa!”

Saat itu aku sedang memasak di dapur. Aku langsung menyuruhnya berganti pakaian.  Sambil berganti pakaian, dia berkata lagi ingin menjadi raksasa. “Saya ingin menjadi raksasa seperti gambar yang banyak dipasang di mana-mana.”

“Gambar-gambar caleg, maksudmu?” tanyaku dengan kening berkerut.

“Ya, mereka pasti sudah berhasil menjadi raksasa. Buktinya, gambar mereka sangat besar-besar.” Egono menjawab sambil mengambil segelas air minum di dalam kulkas.

“Mereka bukan raksasa,” aku mencoba memberinya pengertian. “Mereka sama dengan ayah dan ibu. Mereka sengaja membuat gambar besar-besar yang dipasang di mana-mana agar cepat dikenal oleh masyarakat dan kemudian masyarakat bersedia memilihnya dalam pemilu nanti.”

Egono tampak bingung mendengar penjelasanku. Maklumlah, dia memang baru 5 tahun. Belum mengerti masalah politik.

“Ibu salah. Mereka pasti raksasa! Buktinya, gambarnya sangat besar-besar.”

“Gambar mereka memang sengaja dicetak dalam ukuran besar. Tapi tubuh mereka sama dengan tubuh ayah dan ibu.”

Egono menggeleng mantap. “Ibu salah! Mereka itulah yang pernah bertarung denganku dalam mimpi. Mereka bisa menelan tubuhku, tapi kemudian dimuntahkannya. Aku ingin menjadi raksasa yang lebih besar dibanding mereka, agar aku bisa mengalahkan mereka.”

Kata-kata Egono membuatku geleng-geleng kepala. Betapa obsesi seorang anak memang bisa sangat aneh dan menggelikan. Mungkin dia bermimpi bertarung dengan gambar-gambar caleg yang memang berukuran sangat besar itu, kemudian sekarang punya keinginan menjadi raksasa yang lebih besar.

“Kalau kamu memang ingin menjadi raksasa, kamu harus rajin minum susu,” rayuku kemudian. Selama ini Egono tak mau minum susu, sehingga tubuhnya agak kurus. Sebagai ibu aku malu mempunyai anak balita yang bertubuh kurus, yang bisa dikira kurang gizi.

“Oke, Bu! Egono mau minum susu, biar cepat bisa menjadi raksasa yang lebih besar dibanding gambar-gambar caleg itu.”

Dengan hati lega aku kemudian segera membuatkan segelas susu untuk diminum Egono. Mungkin karena ingin menjadi raksasa, dia langsung menenggak segelas susu itu hingga habis tanpa sisa setetes pun.
“Nah, begitulah kalau mau menjadi raksasa, harus rajin minum susu,” komentarku  dengan gembira.

Mulai sekarang aku tidak perlu repot-repot membujuknya untuk minum susu. Selama ini, kalau aku atau ayahnya memaksanya minum susu, dia malah sering mogok atau memberikan susunya kepada kucing-kucing yang berkumpul di rumah kami.

*** 

MENJELANG sore, ketika ayahnya pulang, Egono kembali berteriak bahwa dirinya ingin menjadi raksasa.

“Wah, hebat dong. Ayah akan punya anak bertubuh besar dan kuat.” Suamiku berkomentar dengan wajah ceria. “Kalau mau jadi raksasa, harus rajin minum susu.”

“Tadi Egono sudah menghabiskan satu gelas susu yang dibuat Ibu.”

Suamiku tersenyum ceria. “Eh, kenapa kamu ingin menjadi raksasa?”

Egono kemudian menceritakan mimpinya sambil menerawang.

Suamiku mengangguk-angguk sambil memperlihatkan mimik kagum. “Raksasa yang mengalahkan kamu pasti sangat besar. Sekarang Ayah mengerti kenapa kamu ingin menjadi raksasa yang lebih besar dibanding raksasa yang gambarnya di mana-mana itu.”

“Tapi kata Ibu, gambar-gambar besar yang dipasang di mana-mana itu bukan raksasa.” Egono bicara sambil melirikku.

“Ibu memang belum pernah bertemu atau mengenal mereka.” Suamiku menanggapi pengaduan Egono sambil melirikku dengan menahan senyum.

“Jadi Ayah sudah pernah bertemu dengan raksasa-raksasa itu?” tanya Egono.

“Ya, setiap hari Ayah bertemu dengan raksasa-raksasa itu, karena kantor Ayah berdekatan dengan kantor mereka.”

“Kapan-kapan ajak Egono ke kantor Ayah, biar bertemu dengan raksasa-raksasa itu.”

“Ya, nanti kalau kamu sudah berhasil menjadi raksasa yang lebih besar dibanding mereka.”

*** 

SORE itu aku menghadiri pertemuan arisan ibu-ibu PKK di rumah Bu RW. Ternyata ibu-ibu yang lain saling menceritakan tentang anaknya masing-masing yang juga ingin menjadi raksasa karena pernah bermimpi bertarung dengan raksasa-raksasa yang gambarnya besar-besar dan dipasang di banyak tempat terbuka itu.

Aku diam saja, tak perlu menceritakan tentang Egono yang juga ingin menjadi raksasa. Cerita mereka sudah cukup membuktikan bahwa gambar-gambar caleg dengan ukuran besar-besar itu telah menimbulkan obsesi aneh bagi banyak anak. Ini memang aneh. Tapi rasanya masuk akal kalau anak-anak terobsesi yang aneh-aneh setelah sering memperhatikan gambar-gambar caleg berukuran besar yang semakin banyak di pasang di banyak tempat terbuka. Anak-anak belum mengeri politik dan karena itu tidak mengerti pula kenapa banyak caleg menghambur-hamburkan uangnya untuk mencetak gambar besar-besar seperti itu.

“Kenapa sejak tadi diam saja, Bu? Apakah Egono tidak ingin menjadi raksasa seperti anak-anak yang lain?” tanya Bu RW tiba-tiba setelah memperhatikan aku yang sejak tadi diam saja mendengarkan obrolan ibu-ibu yang lain.

“Ya, Egono juga ingin menjadi raksasa, Bu. Katanya pernah bermimpi bertarung dengan gambar caleg yang besar-besar itu, Bu.” Akhirnya aku membuka mulut.

“Memang keterlaluan gambar-gambar caleg itu. Kenapa harus dibuat sangat besar-besar sehingga merusak pemandangan dan sekarang membuat anak-anak ingin menjadi raksasa?!” Bu RW tampak kesal.

“Ya, namanya kampanye, tujuannya agar dikenal dan dipilih masyarakat, ya harus memasang gambar-gambar yang sangat besar, Bu.” Aku mencoba memberi pengertian tentang perlunya kampanye bagi caleg-caleg untuk memenangkan pemilu nanti.

“Ya, semuanya memang ingin menang. Tapi kenapa tidak mencari cara lain yang lebih menarik bagi rakyat? Memangnya rakyat akan bersedia memilih mereka setelah melihat gambar mereka besar-besar dipasang di mana-mana?!”

“Itulah perbedaan antara rakyat dengan calon wakil rakyat, Bu. Bagi rakyat, mungkin lebih menarik kalau caleg bersedia memberikan bantuan dana untuk membangunan jalan-jalan dan gang-gang di desa.”

Bu RW tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. “Apa mungkin munculnya banyak gambar caleg yang besar-besar itu sebagai indikasi akan munculnya politik raksasa?”

“Maksud Bu RW?” aku tiba-tiba penasaran dengan istilah “politik raksasa” yang dilontarkan Bu RW.

“Maksud saya, mungkin caleg-caleg sengaja berlomba-lomba memasang gambarnya yang sangat besar-besar itu karena mereka sedang terobsesi ingin menjadi raksasa.”

“Kalau begitu, caleg-caleg itu sama dengan anak-anak, dong.”

“Ya, mungkin mereka juga ingin menjadi raksasa yang bisa menelan apa saja setelah nanti menang pemilu, makanya memasang gambar-gambar besar.”

Aku menahan geli. Kata-kata Bu RW tampak sinis. Dan rasanya memang wajar jika rakyat bersikap sinis kepada caleg-caleg yang memasang gambar besar-besar itu.

*** 

MALAMNYA, aku bersama suami menyaksikan berita teve.  Egono sudah tidur di kamarnya. Tiba-tiba muncul berita menghebohkan dari sejumlah daerah. Banyak anak yang tiba-tiba berperilaku seperti raksasa. Mereka menelan makanan dan minum susu dalam porsi yang berlebihan karena ingin cepat-cepat bisa menjadi raksasa. Bahkan sejumlah anak terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena terlalu kekenyangan sampai perutnya menggelembung sehabis minum belasan gelas susu dan sejumlah potong roti.

Aparat keamanan kemudian bertindak cepat untuk mencegah lebih banyak anak yang ingin meniru perilaku raksasa. Gambar-gambar caleg berukuran besar-besar, bahkan gambar presiden dan wakil presiden berukuran raksasa yang dipasang di banyak tempat segera diambil oleh regu polisi.

Tindakan tegas aparat keamanan itu didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat. Kalangan pakar politik dan sosial serta psikiater juga mendukung tindakan aparat keamanan  yang telah mengambil gambar-gambar caleg berukuran besar-besar.

Dalam acara talk show yang ditayangkan sebuah stasiun televisi, ketua lembaga perlindungan anak mendesak presiden dan wakil presiden serta semua caleg untuk mengerti dampak negatif pemasangan gambar-gambar besar di tempat-tempat terbuka.

“Banyaknya anak yang ingin menjadi raksasa gara-gara terobsesi gambar-gambar berukuran raksasa di banyak tempat sudah cukup menjadi bukti bahwa sikap berlebih-lebihan dalam kampanye politik harus ditolak. Semua pihak pasti tidak ingin bangsa kita di masa depan menjadi bangsa raksasa.” Penyiar teve mencoba merumuskan pesan yang muncul dari acara talk show yang dipandunya.

Aku dan suami tiba-tiba dilanda cemas. Jangan-jangan Egono besok pagi tiba-tiba berperilaku seperti raksasa. Kami sangat cemas jika Egono terlalu banyak makan dan minum sehingga kekenyangan dan terpaksa kami larikan ke rumah sakit.

Kecemasan betul-betul mendera hati kami, sehingga kami tidak bisa tidur. Dan menjelang fajar, hpku dan hp suamiku bergetar-getar. Kami masing-masing terpaksa menerima call yang mungkin sangat penting.

“Aduh, saya dan suami saya tidak bisa tidur, gara-gara mencemaskan anak kami. Terus terang, tadi sebelum tidur anak kami mampu menghabiskan lima gelas susu dan lima potong roti tawar,” tutur adikku lewat hp dengan suara tegang.

“Ya, sama saja, aku dan suami juga sangat cemas dan sampai sekarang belum bisa tidur. Kami juga mencemaskan Egono, karena dia juga ingin menjadi raksasa,” sahutku dengan menahan rasa tegang. Dan setelah adikku menutup call, hp langsung kuletakkan kembali di dekat bantal.

Suamiku tampak masih serius mendengarkan kata-kata entah siapa yang meneleponnya. Setelah hubungan diputus, suamiku kembali meletakkan hpnya di dekat bantal, kemudian berkata kesal sambil memelukku mesra. “Si Joni, rekan kerjaku itu lho yang barusan nelpon. Aku tidak mau menanggapinya, karena aku juga sangat cemas. Katanya, anak-anaknya dan anak-anak semua tetangganya sekarang sedang dirawat di rumah sakit karena kesurupan makhluk gaib yang mengaku sebagai raksasa dari neraka jahanam.”

Aku diam saja sambil memeluk suamiku. Tubuhku tiba-tiba menggigil ketakutan. Kubayangkan Egono dan anak-anak tetangga kami semuanya juga tiba-tiba kesurupan  makluk gaib yang mengaku raksasa dari neraka jahanam. Dan tiba-tiba kami mendengar banyak tetangga berteriak-teriak dari rumah masing-masing.

“Tolong! Tolong! Anak kami kesurupan raksasa! Tolong!” n

Griya Pena Kudus, 2013


Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013

Sunday, July 21, 2013

Sup Jempol Kaki Ustaz

Cerpen Azka E.A. Abhipraya


SETIAP malam orang-orang berbondong-bondong mendatangi kedai ‘Sup Jempol Kaki Ustad’ yang ada di samping rumah Pemuda. Bapak Pemuda tersenyum melihat anaknya yang sedang melayani para pelanggan. Sesekali ia melihat kedua jempol kakinya yang sudah lenyap.

***

Awalnya orang-orang jijik menyantap makanan ini. Sampai ada yang merem memakannya. Ada yang setengah-setengah ragu. Ada pula yang tak pikir panjang lagi untuk memakannya. Tapi, itu dulu. Seiring waktu berjalan, mereka memakannya seperti biasa. Seperti makan nasi campur telur. Seperti makan mi campur bakso. Mereka melupakan semua kejijikan itu. Apa yang terhidang, mereka santap. Terpenting mereka bisa pintar. Konon, masyarakat Kontang mempercayainya. Hal ini ramai semenjak setahun yang lalu. Semenjak seorang ustad tak dikenal datang ke kampung tersebut. Menempati surau yang sudah agak reyot.

Ustad itu berperawakan aneh. Tubuhnya besar. Tinggi. Seperti orang-orang Eropa. Matanya ada tiga—seperti Dajjal, tapi ia bukan Dajjal. Berpakaian serba putih. Dengan selendangnya yang tak pernah tertinggal melingkari kedua bahunya. Dan selalu membawa kitab kuning di tangannya.

Setiap malam ia selalu berzikir di surau yang amat sepi dengan jemaah itu. Mulutnya komat-kamit seperti mbah dukun baca mantra. Sembari memejamkan mata,ia tetap khusyuk melakukannya dari waktu salat ke waktu salat berikutnya. Ia benar-benar tampak begitu serius walaupun kadang-kadang orang-orang memerhatikannya dengan aneh. Ia tak menghiraukan. Warga memang agak khawatir bila ada orang baru yang masuk ke kampung. Apalagi berawakan aneh. Orang-orang tidak mau kejadian beberapa waktu silam itu terulang kembali, ketika ada seseorang yang membawa aliran agama sesat. Dan membikin sebagian warga kampung murtad.

“Ustad, saya mau tanya, bo.. bo.. boleh?” tanya Pemuda suatu malam. Tangan dan bibirnya gemetar.

“Mau tanya apa anak muda?” Ustad bertanya balik dengan nada suaranya yang besar. Menggema. Seperti ada dua suara yang mengikuti suara aslinya.

“Ustad ini siapa, yah? Semenjak seminggu lalu saya perhatikan, ada aura yang tak biasa dari diri Ustad. Ada sesuatu yang aneh. Dan membuat saya memberanikan diri untuk menghampiri dan bertanya langsung pada Ustad.”

“Saya datang dari langit,” jawabnya singkat.

“Dari langit?” wajah Pemuda bingung. “Maksud Ustad?” lanjutnya.

“Saya turun dari langit untuk menyampaikan pesan kepada engkau.”

“Kepada saya?” wajah pemuda tampak semakin bingung, sambil mengernyitkan dahi.

“Ya, Kau. Kau adalah orang pertama yang menyapa saya di dunia ini. Tuhan menyuruh saya untuk memberikan pesan ini kepada orang yang pertama kali menyapa saya. Kaulah orang itu, wahai, Pemuda!”

Pemuda membetulkan topinya yang sedari tadi miring ke kanan menjadi lurus ke depan. Ujung topinya hampir saja mengenai wajah Ustad—topi panjang yang aneh. Ia agak mundur sedikit. Kembali wajahnya serius menatap Ustad. Ia melanjutkan pertanyaannya.

“Kenapa harus saya? Saya bukan orang beriman. Saya hanyalah preman, ya, Ustad.”

“Justru itu yang Tuhan inginkan. Pesan ini harus sampai pada orang yang belum memiliki banyak ilmu. “

“Dari mana Ustad tahu otak saya memang kosong.”

“Pertanyaan engkau sudah menunjukkan jika kau kurang berilmu. Berapa umur engkau?”

“Dua puluh.”

“Bagus. Tolong sampaikan pesan ini kepada kawan-kawan yang otaknya tak jauh dari engkau. Setelah itu sampaikan kepada warga sekampung. Kampung ini kampung kotor. Perlu disucikan.”

“Baiklah, amanat apakah itu Ustad?” tanya pemuda tak sabar.

Seusai Isya hingga menjelang subuh mereka berdialog. Mata Pemuda sudah terlihat lelah. Sesekali ia tertidur, namun Ustad itu sesekali menepuk bahunya. Ia pun sadar kembali dengan mata yang semakin segar bugar. Sentuhan Ustad seperti setruman listrik baginya.

Semenjak pesan itu disampaikan kepada si Pemuda. Ustad aneh tak pernah terlihat lagi. Pemuda itu beberapa kali berkeliling mengitari surau. Siapa tahu makhluk aneh—menurut Pemuda itu—ada di bilik-bilik belakang surau. Atau di atas genteng. Pemuda pasrah, dan kembali memikirkan pesan Ustad yang membikin ia kebingungan bukan kepalang untuk melakukannnya.

“Wah, amanat yang aneh,” ujar kawan Pemuda di pos ronda.

“Iya, gue sebenarnya ragu harus mengamanatkan ini kepada kalian. Apakah kita bisa mencuri jempol kaki para ustad untuk kita santap?” tanya Pemuda.

“Loe harus yakin dengan amanat dia. Utusan Tuhan loh. Wah, kalau begini gue juga yang kena! Baiklah, demi kemajuan warga kampung kita. Demi kemajuan otak gue juga, biar tambah pintar. Haha…”

“Ok. Mari kita mulai menyebarkan amanat ini!” seru Pemuda.

Satu orang, dua orang, tiga orang, sudah menyebarkan pesan itu. Warga kampung sedikit demi sedikit mulai geger dengan isu ini. Ada yang menerima. Ada pula yang resah. Takut kejadian pemurtadan itu datang lagi. Namun, Pemuda memercayai seratus persen apa yang memang dikatakan Ustad aneh itu. Tangan-tangan para ustad memang memiliki wasiat. Dulu waktu ia di pesantren, ia dan para santri lainnya selalu menunggu air kobokan usai ustad pesantren makan. Ternyata bukan hanya saat bersalaman saja yang para santri tunggu, melainkan juga air kobokan pun mereka tunggu. Ketika ustad pesantren sudah meninggalkan tempat makan, para santri berebut untuk meminum air kobokan bekas makan ustad pesantren itu.

“Ane dulu.”

“Ane dulu.”

“Eh, ane dulu. Biar ane pinter. Ente belakangan!”

Para santri berebut tak keruan. Kadang air kobokan yang hanya sedikit itu—seukuran gelas teh—tumpah karena ulah para santri. Hingga pada suatu hari, ketua santri berinisiatif membikin jadwal harian untuk bergantian meminum air kobokan ustad pesantren itu. Ustad yang sehari bisa makan lima kali. Lima kali makan= lima kali air kobokan untuk santri. Sayangnya, Pemuda keluar dari pesantren karena ketahuan merokok berkali-kali. Ia terbawa oleh kawannya yang teramat nakal di pesantren itu. Ayahnya pasrah mendengar hal ini.

“Dari tangannya saja sudah bikir geger para santri. Bagaimana jempol kakinya, yang kebanyakan orang-orang tidak tahu khasiatnya. Selain pintar, juga bisa bikin  masuk surga, seperti apa yang dikatakan Ustad di surau itu,” pikirannya sudah melayang terlalu jauh. “Andai saja gue masih di pesantren itu, mungkin gue nggak sebodoh ini,” lanjutnya.

“Kapan kita mulai untuk korban pertama?” tanya kawan Pemuda.

“Ustad aneh itu bilang, kita harus punya minimal sepuluh orang yang bisa kita ajak untuk melakukan hal ini.”

“Kira-kira sudah cukuplah, mulai dari kawan-kawan kita saja dulu yang sudah jelas mau. Gue, Elu, Asep, Firman, Mang Icha, Sunaryo, Budi, Akbar, Atip, Rahmat.”

“Ok.”

Malam itu di pos ronda tanpa atap itu mereka berdiskusi. Pos ronda yang selalu sepi. Pos ronda yang sudah lama ditinggalkan warga. Pos ronda yang sudah menjadi base camp para preman. Para pemuda sudah ada yang bersiap-siap bawa golok, celurit, kapak kecil, pisau, silet, dan senjata tajam lainnya. Padahal, belum ada instruksi memulai dari Pemuda.

Sembari ditemani suara burung-burung hantu dan tokek-tokek di pepohonan, suasana malam menjadi semakin tak keruan menggoyang-goyangkan bulu-bulu roma mereka. Sebagian hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Sebagian lagi mengenakan sarung yang membungkus tubuh mereka. Hanya kepala saja yang tampak. Mirip bebongkong. Dingin semakin merambat, menusuk tulang-tulang mereka.

Pemuda memimpin rapat. Suasana semakin tegang ketika mereka mulai menyebut satu per satu siapa saja ustad yang akan menjadi korban. Mereka mencari korban dari para ustad kampung sebelah yang namanya sudah tenar di telinga. Para pemuda yang sebagian preman ini sangatlah mudah mencari nama-nama ustad itu. Wajar saja, mereka punya banyak teman yang hanya tinggal dihubungi saja melalui telepon genggam, siapa nama-nama ustad yang tenar di kampung itu.

“Ustad Mahmud, korban pertama!”

“Ustad Damyati, korban kedua!”

“Ustad Rusdi, korban ketiga!”

“Ustad Kubil, korban keempat!

“Ustad Komeng, korban kelima!”

“Hey, itu kan ayahku!” ujar Pemuda kaget.

“Wah, gimana, bokap loe ustad. Ya, harus dibasmi juga.”

“Wah, nggak bisa. Kasihan!”

“Berarti loe nggak konsisten dengan amanat loe dong!” ujar kawan Pemuda lainnya.

Pemuda skeptis. Ia bingung setengah mati. Ia sendiri lupa jika bapaknya adalah seorang ustad. Hanya tinggal satu-satunya ustad yang ada di kampung tempat tinggalnya, yang lainnya sudah entah-berentah pergi ke mana. Merantau ke seluruh pelosok negeri. Mungkin dari mereka sudah membuat pondok pesantren di tempat masing-masing.

Suasana malam itu menjadi semakin tegang. Kawan-kawan Pemuda memojokkan Pemuda untuk konsisten dengan apa yang ia katakan. Pemuda hanya diam. Ia tak mampu berbicara sepatah kata pun.

“Tapi, bapak gue bukan ustad pintar. Ia hanya ustad kecil-kecilan. Ustad undangan sunatan. Kalau ia pintar pasti gue juga nggak bakal seperti ini. Tangannya masih kotor. Suka menampar gue. Apalagi pas tahu kalau gue dikeluarkan dari pesantren. Jika tangannya kotor, gimana jempol kakinya.”

“Ah, itu hanya alasanmu saja. Tetap saja bokapmu itu ustad!” ujar kawan Pemuda lain.

“Ya, sudah, kita jangan membicarakan bapak gue dulu. Nanti saja, lihat situasi dan kondisi. Simpan diurutan terakhir saja. Ingat, intinya sekarang ‘surga ada di jempol kaki ustad’!” tegas Pemuda.

Malam sudah beringsut. Suara kokok ayam dari berbagai sudut kandang rumah warga mulai berkumandang. Pemuda dan kawan-kawannya membubarkan diri. Besok malam mereka harus sudah bersiap-siap untuk melakukan aksi, memotong jempol kaki ustad untuk korban yang pertama.

Sepanjang jalan pulang, Pemuda masih memikirkan apa yang tadi dibicarakan di pos ronda bersama kawan-kawannya itu. Bagaimana dengan nasib bapak? Apakah harus menjadi korban juga? Kasihan juga, pikirnya.
Sesampainya di rumah, wajahnya kusut. Ia tak kuasa menatap wajah bapaknya yang harus menjadi salah satu korban dirinya. Mau bagaimana lagi, amanat Ustad aneh itu bakal selalu terngiang di kepalanya bila hal ini tidak ia lakukan.

“Dari mana kamu?” bapak Pemuda yang usai menutup bacaan Al-Quran memanggil. Pemuda yang sudah sampai depan pintu kamarnya itu menoleh ke belakang.

“Habis dari rumah teman,” jawabnya dengan nada setengah lesu.

“Pasti pesta rokok lagi, dasar anak tak tahu diri! Bisanya apa sih kamu!”

Pemuda tak meladeni perkataan bapaknya. Ia masuk ke kamar. Lantas memikirkan kembali apa yang sudah semalaman ia dan kawan-kawannya bicarakan.

Dalam benaknya, meski ia agak jengkel dengan perkataan bapaknya itu dari dulu, dalam hatinya ia tetap menyayanginya. Siapa lagi yang mengurusi ia semenjak ibunya pergi karena kanker otak itu kalau bukan bapaknya.

“Rasanya tak tega bila harus memotong jempol kaki bapak. Sungguh, betapa sakitnya hal itu.” Matanya sudah lebam, lantas ia pun tertidur.
Pemuda bertemu kembali dengan Ustad dari langit itu. Ia menyampaikan apa yang menjadi kegelisahannya saat ini, meskipun misi pembataian jempol kaki para ustad itu belum dimulai.

“Apa yang harus saya lakukan, wahai, Ustad? ”

“Lakukan, meskipun itu bapakmu!”

“Saya tak tega, Ustad.”

“Demi umat!” tegas Ustad dari langit.

“Saya sebenarnya masih bingung dengan amanat Ustad.”

“Apa yang masih membuat engkau bingung, wahai, Pemuda?”

“Kenapa harus para ustad yang menjadi korban?”

“Sudah saya katakan sebelumnya, semua ini demi umat. Terlebih kampungmu ini. Para ustad sudah tak ada lagi. Surau selalu sepi. Pos ronda juga selalu sepi. Semoga dengan adanya jempol kaki para ustad, bisa menggantikan keberadaan para ustad yang sudah banyak hilang itu. Bisa meramaikan kampung ini kembali. Tubuh para ustad itu suci. Apalah artinya jempol kaki mereka bila demi kemaslahatan umat. Saya yakin, ketika mereka tahu untuk apa sebenarnya engkau melakukan ini, mereka akan senang. Namun, tetap engkau harus melakukannya dengan sembunyi. Dengan mencurinya. Biarkan mereka mencari tahu sendiri ke mana jempol kaki mereka hilang.”

Keringat di kening Pemuda bercucuran. Ia gelisah. Lantas ia pun terbangun dari tidurnya. Matanya melotot ke mana-mana.

“Astagfirullah…!” Pemuda mengusap cucuran keringatnya.

Serang, 28—30
Juli 2012 (11.40 AM)
            

Lampung Post, Minggu, 21 Juli 2013

Sunday, July 14, 2013

Perempuan Biru Bergaun Kesumba

Cerpen Tita Tjindarbumi


Langit semakin hitam. Bulan bersembunyi entah dimana. Tak satu pun terlihat bintang yang biasanya tak lelah berkedip-kedip. Gedung itu masih berdiri tegak seperti berpuluh tahun yang lalu. Tak banyak yang berubah. Secara fisik gedung itu tetap terlihat kokoh dan arogan.


Di beberapa bagian gedung tua yang masih kokoh itu, cat tembok gedung itu telah   terlihat kusam. Warna catnya memudar terkikis waktu. Semak dan ilalang yang tubuh subur, tingginya nyaris menutupi pintu masuk rumah itu.

Jika bukan karena kerinduan pada neneknya, Damian tak akan mau menginjakan kaki ke gedung itu. Dari kejauhan saja ia sudah merasakan aura lain yang membuat bulu kuduknya berdiri. Lamat –lamat terdengar suara langkah terseok. Sesekali telinganya seperti mendengar suara  napas terengah. Semakin dekat ke pintu kamar Damian merasa seperti sedang terjebak di sebuah kota tanpa penghuni. Hanya suara sirine mobil patrol milik satu-satunya polisi di kota mati itu. Imajinasinya kacau. Apalagi rasa takut kian menyergapnya. Ia merasa tubuhnya mendadak dingin. Bulu kuduknya tak hanya berdiri. Tetapi tubuhnya juga seperti tak bertulang.

“Tak ada yang perlu kau takutkan,” Damian seperti mendengar suara bisikan.

Ah, suara siapa itu? Ia tak pernah mendengar suara sehalus itu. Lagi pula kabar yang ia dengar gedung tua itu sudah hampir sepuluh tahun tak berpenghuni. Satu persatu penghuni rumah itu pergi meninggalkan rumah peninggalan neneknya.

Pertikaian keluarga tak bisa dihindari. Beberapa ahli waris bertengkar memperebutkan rumah yang dibangun neneknya dengan susah payah. Ahli waris perempuan yang kebanyakan sudah menjadi orang kaya ingin rumah itu dijual saja.

“Kami ingin menikmati warisan sebelum mati.” ujar Rum, anak perempuan nenek yang nomor tiga. Ia bahkan ngotot mengatakan jika belum laku dijual maka yang menempati rumah itu harus membayar uang sewa sehingga semua ahli waris bisa menikmati uang sewa rumah warisan itu.

“Betul, Tante Rum, kami juga sebagai ahli waris mama sepakat,” tukas Nana anak tertua dari  anak perempuan nenek yang paling tua dan telah meninggal.

Damian menggoyang-goyangkan kepalanya. Ingin memastikan apakah ia sedang bermimpi atau hanya berhalusinasi? Lalu mengapa ia seperti melihat rumah itu? Rumah tua yang terasa sekali banyak penghuninya. Makhluk asing yang tak bisa dilihat tetapi mengapa ia bisa merasakan dan melihat mereka dengan jelas?

Wajah-wajah asing yang lalu lalang seperti tak peduli padanya. Wajah-wajah yang sibuk dengan urusan masing-masing dan tak menoleh padanya.

Damian menepuk pipinya kuat-kuat. Terasa sakit. Ia tidak sedang bermimpi. Tetapi Damian sadar sepenuhnya ia sedang berada di kamarnya, tidak di rumah tua itu. Bukankah rumah tua itu cukup jauh jaraknya? Bahkan untuk mencapai rumah itu ia harus menempuh perjalanan sehari semalam.

Sunyi semakin menikam malam. Damian menarik selimut tebal semakin ke atas. Nyaris menutup separuh wajahnya. Semakin ke atas. Menahan  napas.

Uff...gigil menyerang tubuh Damian. Ditahannya napas lalu menghembuskan perlaha. Dadanya masih sesak dan aroma anyir berbaur dengan lembab menyeruak semakin dekat ke penciumannya.

Ini bukan halusinasi…

Damian memaksa matanya agar bisa tidur. Dipejamkan matanya berharap setelah itu ia terlelap dan tidak lagi berada antara tidur dan terjaga. Bayangan rumah tua dan wajah-wajah asing itu masih saja menari-nari di pelupuk matanya.

Lalu suara halus itu…suara siapa? Damian mencoba mengingat-ingat. Sulit baginya menggali sisa kenangan tentang rumah itu. Memorinya telah penuh dengan potongan-potongan peristiwa yang terjadi. Hanya sebagian kisah masa kecil dan tentang rumah itu yang ia ingat. Yang paling Damian ingat adalah semua cucu ahli waris rumah itu dipaksa keluar dari rumah itu hanya karena sebuah kertas penjanjian usang yang ditandatangani bapaknya dan saudara-saudaranya.

Padahal, bapaknya sudah lama meninggal. Seharunya ia sebagai ahli waris bapak punya hak atas rumah itu. Tetapi ia juga menjadi korban pengusiran.

Bukan tak berani melawan keangkuhan mereka, tetapi Damian tahu, mengalah adalah satu-satunya sikap yang bisa membuat hubungan keluarga terjaga. Meski pada akhirnya, sulit mempertahankan keharmonisan.
Tiba-tiba suara itu datang lagi. Sayup-sayup dan nyaris hanya seperti bisikan. Jauh sekali suara itu tetapi telinga Damian bisa menangkap getarannya. Damian mengerahkan kemampuan kerja telinganya bekerja ekstra. Sementara suhu tubuhnya  mulai naik. Ruangan kamarnya yang dingin  tak mampu menahan cairan yang mulai merembes dari pori tubuhnya. Damian  berharap dapat mendengar  suara dan  kalimat yang diucapkan.

Apa yang diucapkan? Suara siapa itu?

Damian tak berhasil mengembalikan memori masa lalu. Dia juga tak berhasil mengingat pemilik suara itu. Padahal …sepertinya ia cukup akrab dengan suara itu.

Lalu suara siapa?

Ini halusinasi. Tak mungkin ada suara orang berbisik di tengah malam menjelang dini hari? Perasaan takut tiba-tiba mengurungnya. Ia harus membuang rasa takut itu. Ia tak mau dikuasi oleh makhluk-makhluk jahat yang bisa saja jin atau setan yang sedang mengganggunya.

"Meeeoooooong!"

Teriakan kucing yang biasa tidur di sofa depan kamar Damian  nyaris membuat jantung Damia melompat.

Gubraakh!

Suara kotak sampah di depan kamarnya  seperti ditendang dengan kekuatan dasyat.Bulu kuduknya langsung  berdiri. Ya, Tuhan...ini bukan halusinasi. Damian melempar  selimutnya  begitu saja lalu bangun dan duduk sambil bersandar di bantal yang ditumpuk. Antara takut dan penasaran datang silih berganti. Ini bukan yang pertama kali ia mengalami malam-malam yang ganjil.

Suara lolong anjing yang panjang.  Langkah yang membuntuti dirinya di  sepanjang pintu masuk  rumah kos hingga ke lantai atas dan berhenti persis saat ia membuka kamar yang selalu didahului dengan mengucapkan salam sebagaimana seorang muslim.

Bahkan tergelincirnya dirinya dari anak tangga beberapa saat lalu membuat kecurigaan Damian  semakin kuat. Coba bayangkan keganjilannya, bagaimana mungkin ia bisa tergelincir sementara ia berjalan dengan hati-hati saat menapaki anak tangga satu demi satu. Untunglah dengan sikap tangannya memegang kayu yang membingkai tangga.

Dua menit. Dibiarkannya  kucing-kucing itu mengeong semakin keras dengan suara menyayat. Duh...

Lalu dengan cepat Damian mengambil Ipod yang berada di balik bantalnya. Lalu ditekannya  tombol play. Beberapa detik kemudian terdengar suara seorang membaca Al Fatehah dengan keras. Sengaja dibesarkan volumenya. Bibir Damian sibuk komat-kamit mengikuti ayat demi ayat yang kusambung dengan membaca ayat kursi.

Tiba-tiba ponsel Damian  berdering. Dengan cepat diambilnya ponsel yang berada di sebelah kanan bantalnya. Lampu ponsel yang berkedip-kedip member cahaya di kamar Damian yang gelap. Ia tak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala.

Yoi, tulisan itu muncul di layar ponselnya. Nama guru spiritual temannya. Damian tidak percaya urusan perdukunan. Ia memilih diam setiap kali teman-temannya sibuk membahas tentang dunia supranatural. Damian juga tak mau mengumbar cerita bahwa ia bisa merasakan adanya “makhluk asing” di tempat yang baru ia datangi.

"Assalamualaikum," ujar Damian dengan suara pelan.

Setelah menekan tombol yes dari seberang kudengar suara Abah Yoi menjawab salamnya. "Ada apa?" tanya Abah Yoi dengan suara penuh kekuatiran.

Damian menggerakan bibirnya, meringis. Ia ingin bersikap wajar. Badannya masih dingin. Tubuhnya menggigil. Anehnya keringat terus mengalir sampai kaos Damian basah.

Damian berusaha bicara sewajarnya untuk  menutupi ketegangan dan ketakutan.

"Nggak  ada apa-apa."

"Benar? tidak ada apa-apa?" Suara Abah Yoi terdengar ragu. Tak percaya. Tetapi ia tak ingin memaksa. Abah Yoi tahu Damian sedang ketakutan.
Damian mengangguk. Sedetik kemudian ia tersenyum menyadari ketololannya. Bagaimana Abah Yoi  bisa melihat anggukannya? Dia berada di seberang laut sana.

"Cuma sedang tidak bisa tidur. Penyakit lama, Bah."

"Yang begitu-begitu bisa dilawan dengan membaca al Fatihah dan ayat kursi." katanya seakan paham yang sedang terjadi.

Lagi-lagi Damian  mengangguk. Walah kenapa jadi bloon?

***

Malam itu  mata Damian  tak bisa dipejamkan. Masih aja telinganya terngiang –ngiang seolah masih mendengar suara aneh. percakapan lamat-lamat.Ada suara tawa. Tak lama berganti dengan suara musik. Padahal malam tadi setelah merasa agak tenang Ipod dimatikan dan Damian  beranjak ke meja kerjanya. Menengok ke laptopnya  yang masih dalam keadaan online. Membuka halaman sosial media  dan membuka halaman word.

Malam ini sebetulnya ia  sedang menulis kisah seorang perempuan. Damian  membayangkan perempuan itu begitu cantik dengan body yang nyaris sempurna tanpa kekurangan disana-sini. matanya yang biru membuat Damian menjulukinya sebagai perempuan biru. Gaun merah yang sering dipakainya membuatnya  menambahkan dengan sebutan perempuan bergaun kesumba.

Saat sedang asyik dengan imaji yang semakin meliar tiba-tiba saja jemarinya berhenti. suara langkah itu membuatnya berhenti menulis.

Ada apa?

Perempuan itu…

Yaaa…Damian bergidik. Suara itu memang suara perempuan yang sedang berbisik. Langkahnya yang menyeret itu seperti langkah perempuan yang sangat hati-hati, kuatir gaun berwarna kesumbanya yang  bak gaun pengantin itu terjurai panjang menempel di lantai, entah berapa panjang ekor gaun itu, terinjak karena nyerimpetin langkahnya. Bayangan perempuan itu serupa lukisan hidup di benaknya.

Siapa perempuan itu? Mengapa ia seperti ingin menarik Damian masuk ke dalam rumah tua itu. Rumah warisan neneknya yang lama kosong dan sangat menakutkan dalam bayangan Damian. Sepuluh tahun lebih ia tak pernah kesana. Tak ada keinginannya masuk ke dalam rumah yang merobek tali silahturahmi dengan keluarga besarnya.

Tidak! Damian tidak akan mengikuti suara itu meski sebenarnya ia mulai tergelitik ingin tahu siapa perempuan bergaun kesumba itu. Damian penasaran ingin melihat wajah perempuan itu.

Siapakah dia? Penunggu rumah itu? Setahu Damian tidak ada hantu perempuan yang menunggu rumah itu. Beberapa yang pernah Damian lihat ketika masa kanak-kanak tetapi tak pernah ada perempuan dengan gaun kesumba yang gaunnya sudah usang meski bekas-bekas kemewahan masih terlihat.

Lalu apa maunya dia? Mengapa ia muncul di antara alam setengah sadarnya?
Korban pembunuhan? Damian mencoba mengingat beberapa kejadian di rumah itu. Tak pernah ada cerita soal kematian yang mencurigakan. Meski terjadi perselisihan keluarga, tak sampai terjadi pertumpahan darah.
Otak Damian lelah. Ia tak menemukan jawabannya. Ia tak pernah melihat perempuan itu. Akhirnya Damian menarik selimutnya.

***

Esoknya Damian terbangun mendengar suara Adzan subuh. Benaknya masih digelayuti bayangan perempuan bergaun kesumba itu. Di luar kamarnya masih gelap. Damian beranjak dari tempat tidur menuju pintu kamar. Memutar kunci lalu membuka pintu. Keranjang sampah yang berada di depan kamarnya berpindah ke depan pintu kamar lain. Isinya berhamburan dimana-mana.

Lalu Damian berjalan keluar kamar. Memeriksa pintu yang menuju balkon, letaknya tak jauh dari kamarnya. Bulu-bulu kucing berserakan di atas sofa, sebagian di lantai.

Jantung Damian seperti berhenti sekian detik. Jadi kejadian semalam bukan halusinasi. Suara kucing yang mengeong ketakutan, suara bak sampah ditendang dan lolong anjing yang panjang….

Damian membalikkan badannya, berjalan kea rah kamarnya. Lalu ia masuk ke kamar mandi dan berwudhu. Pagi ini sholat subuhnya lebih lama dari biasanya. Damian tahu kemana dan kepada siapa ia meminta pertolongan dan perlindungan.

Selesai sholat Damian mematikan AC, lalu membuka tirai jendela kamarnya. Membuka jendela kamarnya. Matanya berhenti ketika melihat kalender di dinding tak jauh dari jendela kamarnya. Ada lingkaran merah di angka 16 yang ternyata jatuh pada hari Kamis.

Tak jauh dari jendela Damian menemukan beberapa helai rontokan rambut berwana hitam berkilau dan panjang. Juga sobekan kain berwarna merah.
Tubuh Damian seperti dipaku…. n
               

Lampung Post, Minggu, 14 Juli 2013

Sunday, July 7, 2013

May

Cerpen Yulizar Fadli


MAY menghidupkan televisi setelah membuatkanku kopi pahit dan meletakkannya di atas meja. Ia mendekat dan mulai menunjukkan karyanya. Kuraih dan mulai membacanya. Kami duduk di sofa hijau toska dengan jarak lima jari orang dewasa. Sesekali kupandangi mata belok yang menghiasi wajah bulat telurnya. Aku juga suka karena malam ini ia mengenakan baju tidur terusan merah muda.

“Jul, kau pernah dengar nama Carl Gustav Jung?”

“Tidak. Aku tak tahu, May.”

“Oke, tak penting. Yang jelas aku bakal meneliti tentang mimpi. Aku akan buat fiksi mikronya.” Menggebu-gebu ia berujar, semenggebu perasaanku padanya.

“Ya. Aku mengamini. Tapi aku baca dulu karyamu. Tolong jangan diganggu,” kataku. Aku kembali membaca cerita-ceritanya. Ia mengangguk kemudian mengambil buku Popular Culture karangan Dominic Strinati yang ia taruh di meja dekat cangkir kopiku. Kami berdua khusyuk membaca. Dari saluran televisi, komentar Anggun untuk salah satu kontestan X-Factor heboh terdengar.
*

1

Di sepanjang jalan, para pedagang asongan turut meramaikan jalan. Pagi yang indah. Hari yang cerah.

*

“Awal kalimatnya nggak menarik. Klise.” Aku menyeletuk.

“Please deh, baca dulu semua. Oke, ” katanya tanpa menoleh.

“Ok.”

*

Di bawah matahari jam delapan pagi. Seseorang mengayuh sepeda tua di depan kantor walikota. Ada ransel di punggungnya. Seekor kucing yang sedang mengejar tikus got melintas di depannya. Lelaki itu kaget, begitu juga kucing yang hampir ditabraknya.

Dari arah yang berlawanan, pedagang mainan, tukang semir, juga petugas lalu lintas tiba-tiba dikagetkan oleh suara ledakan. Semua orang terhenyak. Termasuk lelaki paruh baya yang sedang makan di warung soto babat—sendoknya mengambang di antara mangkok dan mulutnya. Sepersekian detik jantung orang-orang itu mendadak berhenti. Seolah darah tak mengalir lagi ke wajah mereka.

Ledakan itu terdengar tiga kali. Orang-orang menutup telinga dan berteriak histeris. Mereka mencari-cari sumber bunyi. Beberapa orang bertukar pandang, kemudian menatap berkeliling ke arah kantor walikota. Seorang lelaki tergeletak tak jauh dari sepeda. Tak bergerak. Punggungnya penuh luka. Mungkin mati.

2

Di sebuah rumah bedeng, sebrang jembatan, dari dalam kamar mandi, terdengar senandung perempuan. Dari telinga perempuan, yang terhalang bunyi air kran, terdengar percakapan samar.

”Jangan khawatir, ini aman.”

”Kenapa tidak pakai tabung gas yang besar sih?”

”Dijamin aman. Tenang aja lah?”

”Ya terserah. Yang penting hati-hati.”

Selang beberapa menit, ketika senandung perempuan itu berhenti. Terdengar ledakan berkali-kali. Ada teriak kesakitan. Orang berhambur keluar rumah, termasuk perempuan dalam kamar mandi itu.

3

Di putih bangku kayu taman kota, terdengar tawa kecil penjual koran juga kidung bocah pembawa kotak amal. Di sebelah kanan bawah, di balik tanah, ada tangan mungil meraba. Ia lah kecambah kacang tanah.

Lalu seorang perempuan tua meludah. Namun pantaskah disebut ludah, bila ia berwana merah.

Suatu ketika, bangku kayu itu berbincang dengan salah satu pengunjung, seorang laki-laki bongkok yang terlalu senang membersihkan sampah-sampah di sepanjang jalan, rumah ibadah, pasar, dan sekolah. Bajunya coklat kusam seperti mukanya yang muram.

Ia suka menyapu bersih seluruh sampah tanpa bayaran. Pernah sekali ia naik ke atap rumah milik janda sebatang kara. Membetulkan susunan genting tanpa meminta bayaran.

Apa yang ia cari? Tak ada yang tahu. Yang terang ia selalu membawa foto seorang perempuan ke mana pun ia pergi, dan selalu menangis ketika ditanya siapa nama aslinya, ia benar-benar lupa.

Malam dan gerimis datang seperti sepasang remaja berpelukan. Lelaki itu rebah di bangku kayu. Ia menangis bersama gerimis tipis-tipis. Katak beryanyi. Gerimis perlahan jadi hujan. Angin bertiup kencang. Meluruhkan daun-daun dan kembang kertas di sekitar taman. Lelaki itu berhenti menangis. Bau amis menyeruak dan mengubah putih bangku kayu jadi merah.


4

Hujan lebat. Pemulung tua berjalan dengan kantong plastik di kepala. Ia membawa kardus bekas seperti badannya yang renta. Matanya menatap berkeliling. Sekilas ada bayangan yang melintas, seperti cahaya, tapi kemudian lenyap dan lesap ke langit. Ia mencubit-cubit pipi, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Kemudian menghela napas. Perlahan ia berjalan menuju teritis peribadatan. Menggelar lembaran kardus yang ia pungut dari jalan sebelum hujan. Ia meringkuk. Lelap dan berbantal tangan kanan.

Ketika langit malam seolah terus mengutukinya dengan hujan, tubuhnya tiba-tiba terguncang. Ia terpental jauh akibat ledakan besar dari dalam rumah ibadah.

5

Seorang lelaki menggembalakan ratusan robot ciptaannya di tengah gedung pencakar langit. Di antara derap langkah ratusan robot, seorang bocah penjaja kepingan CD film kartun terinjak salah satu robotnya. Ususnya terburai dan mati seketika. Si penggembala menggelekek melihatnya. Kemudian melompat dari satu atap gedung ke atap gedung lainnya, mirip pahlawan dengan baju bergambar laba-laba.

Di langit, awan berangsur hitam. Tak satupun hewan langit melintas di atas kota. Mungkin takut. Pohon juga tak ada. Mungkin sudah ditebang, mungkin juga tak pernah ditanam. Sampah menggenang di ledeng besar, tempat semestinya air dialirkan. Di dekat pintu air, di antara tumpukan sampah, mayat perempuan tua terbujur kaku di atasnya. Hanya jalan raya yang sesak dengan kendaraan. Asap-asap kendaraan itu mulai menggantung di atas kota. Mereka, orang-orang dalam kendaraan itu, punya tujuan yang sama; pergi ke laut.

Tak ada satu pun petugas lalu lintas yang datang menertibkan jalan. Karena semua orang, tanpa terkecuali, sibuk berkendara dan berdesakan di jalan raya—berbondong untuk kemudian menceburkan diri ke laut berwarna hitam, yang sehitam aspal. Mereka lebih memilih bunuh diri ketimbang mati di tangan robot-robot itu.

Sementara ratusan manusia lainnya, yang tak sempat kabur menuju laut—dibunuh dan ditumpuk seperti sampah dalam liang besar yang digali di tengah kota. Liang itu seperti telaga raksasa. Merah airnya.
Ketika darah merah segar mengalir deras dari tubuh mayat-mayat itu, seekor lalat hijau nekat mendekat. Terbang dan hinggap. Dengungnya menjengahkan. Pada saat yang sama, di atas liang, puluhan robot mulai menimbunnya dengan batu, tanah liat, dan bongkahan aspal. Lalat nekat itu terjebak di dalamnya. Mati.

Hanya menyisakan seorang lelaki dan ratusan robot di sana. Gedung yang kosong, rumah yang kosong, dan hati yang kosong. Mulut lelaki itu terbuka. Ia tertawa bangga. Tawanya menggema ke seluruh penjuru kota. Beberapa waktu setelah puas tertawa, si penggembala robot teringat sesuatu. Ia kemudian berlari menuju tempat pemujaan, di bawah tanah, untuk menyiapkan ritual.

Mulailah ia menyiapkan sesembahan, kemudian memohon kepada sekutunya; raja jin dari Segitiga Bermuda. Ia minta segunung emas dan keabadian. Raja jin mengabulkan permintaannya. Keinginannya segera terwujud. Tapi ia tak pernah tahu bahwa sebaik-sebaik jin adalah sejahat-jahat manusia. Lelaki itu pasti menyesal. Sangat menyesal. Karena seluruh bangunan di kota itu, termasuk dirinya dan ratusan robot gembalaannya, perlahan membatu dan mengeras menjadi emas. Seluruh kota dirubah Raja Jin menjadi emas, tanpa kecuali. Waktu mendadak berhenti di kota itu.
Dari langit yang kian hitam, butiran salju turun perlahan-lahan, seperti guguran kapuk randu.

                *


Suara televisi beradu dengan deras hujan di luar. Membuat suara kontestan yang membawakan Save Me Song: Anak Jalanan terdengar samar. Secangkir kopi dan empat batang rokok sudah kutandaskan. Sebetulnya aku sangat ingin pergi sejak tadi, tapi May menahanku.

“Gimana pendapatmu. Bagus?” tanyanya antusias.

“Bagus. Tapi aku tak yakin ini masuk dalam kategori cerita pendek.”

“Memang apa tolok ukurnya. Hmm?” Ia tersenyum. Nakal sekali.

Awalnya jarak duduk kami adalah lima jari orang dewasa, tapi setelah aku melontarkan komentar, ia malah mendekat dan membuat jarak kami jadi satu jari. May mendorong tubuhku. Ia menindihku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ia jadi liar, aku pun demikian.

“May...”

“Hmm...”

Bandar Lampung, 2011-2013.


Lampung Post, Minggu, 7 Juli 2013