Sunday, June 26, 2011

Yu Ngatemi

Cerpen Ganjar Ayu


PEREMPUAN itu selalu melewati jalan raya yang menjadi jalan utama dengan menaiki sepeda usangnya. Wajahnya sebagian tertutup topi caping warna cokelat tua. Pakaiannya pun biasa saja. Kalau tidak celana panjang hitam, pasti rok lebar dengan corak bunga-bunga.

Sepeda usang yang selalu ia kayuh dengan semangat itu, bukan sembarang sepeda biasa. Sepeda itu seperti layaknya mobil pengangkut barang hasil bumi dari desanya. Di kanan kiri bagian belakang sepeda yang biasanya berfungsi untuk membonceng orang, digantung semacam kantung besar dari bahan karung goni untuk meletakkan sayuran. Sementara di atas batang besi penyambung dekat setang diikat pula sayuran lain yang mungkin tidak muat diletakkan di kantung besar tadi. Di dekat setang sepedanya kadang menggantung juga hasil palawija lain, seperti jagung atau umbi-umbian. Pokoknya sepeda tua usang itu selalu berisi penuh dengan hasil bumi. Entah bagaimana caranya ia bisa mengimbangi beban berat yang ia bawa dengan kekuatan sepeda usang itu sendiri.

Kadang-kadang, jika musim buah rambutan atau bengkuang tiba, kantong besar dan di dekat setang sepedanya itu terisi ikatan rambutan memerah yang siap dibeli kapan saja oleh yang berminat. Tidak harus dijualkan hingga sampai di pasar. Kalau ada yang hendak membeli ketika ia masih di tengah jalan, pasti ia ladeni. Kadang ikatan buah-buahan itu berjumlah dua atau satu-satu. Boleh dibeli satu ikat saja atau dua-duanya. Harganya pun terjangkau.

Sepeda tua itu memang setia mengantarkan tuannya hingga sampai ke tujuan.
Kalau dari arah ia datang, jarak yang ditempuh hingga mencapai pasar atau tempat tujuannya berjualan tidaklah dekat. Bisa berkilo-kilometer, melewati banyak jalan raya dan jalan kecil.

Saat pagi baru merekah saat orang lain baru mau memulai berkarya mengejar cita, ia bisa lebih pagi terlihat mengayuh sepeda. Menjelang malam kayuhannya melintas di sepanjang jalan itu lagi.

Perempuan bersepeda itu raut mukanya selalu biasa saja. Datar. Tanpa ekspresi dan tidak terlihat lelah. Kalau boleh dibilang, tampaknya ia sangat menikmati pekerjaannya ini. Bahkan ketika barang yang ia bawa tidak berkurang banyak alias tidak laku dibeli.
Aspal jalan serta debu adalah saksi bagaimana ia berjuang demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

***

Hari ini perempuan paruh baya itu menuntun sepedanya pelan-pelan. Tidak ia naiki.
Wajahnya lebih muram dari biasanya. Caping cokelat yang menemani ia sehari-hari makin kusam warnanya, tetapi tidak dapat menutupi kemuraman dirinya. Sepeda ia tuntun pelan-pelan seperti tanpa nyawa.

Angin yang kencang berhembus menambah kesan kesedihan yang ditebarkan perempuan tegar itu. Mestinya hembusan angin yang tidak biasa itu, bisa meluruhkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan. Nyatanya tak mampu juga. Bahkan perempuan itu sedikit kepayahan mempertahankan posisi caping yang ikut berlari ke samping kanan dan kiri, mengikuti hembusan angin kencang tadi.

Rok polos cokelat tua dengan sedikit corak kembang-kembang yang ia kenakan hari ini juga sempat merepotkannya. Angin mengibarkan rok yang tidak terlalu lebar tersebut bersamaan dengan caping di kepalanya. Maka, demi tidak membuatnya lebih repot, perempuan itu berhenti di pinggir trotoar jalan. Sepeda ia parkirkan di dekat situ. Ia usahakan tidak mengganggu lalu lintas yang melintas di sekitarnya. Perempuan itu beristirahat sejenak di samping sepedanya.
Ketika caping ia buka, terlihat rambut hitamnya dicempol ke atas. Begitu caping terbuka, cempolan rambutnya itu meluruh, menjadikan rambutnya terurai lepas.

Ternyata, meski dengan segala beratnya ia menanggung hidup, perempuan paruh baya ini masih bisa mengurus dirinya sendiri. Dibuktikan dengan rambut hitamnya itu. Jenis rambut seperti itu adalah jenis rambut yang dipelihara meski dengan cara tradisional biasa. Ia juga sempat mengikat kembali rambutnya.

Caping kembali ia kenakan.

Angin yang membuatnya berhenti sejenak ini, masih terus berhembus kencang. Langit mendung menandakan hujan yang bisa jadi akan kembali datang. Semalam memang hujan mengguyur bumi membuat tanah basah tak tersisa. Sisa genangan air hujan pun masih terlihat di jalanan ini terutama di tempat yang sedikit berlubang. Kalau tidak hati-hati, bisa menimbulkan masalah.

"Hhh...," perempuan itu mendenguskan napasnya.

Sebentuk keresahan lain muncul di raut wajah tuanya seiring awan hitam yang makin menutupi alam raya.

Dalam ingatannya muncul banyak hal yang mengharuskan ia berjuang seperti sekarang. Tentang masa lalunya yang ditinggal suami hanya demi janda muda di kampung sebelah di saat anak mereka masih kecil-kecil. Tentang asal muasal ia bisa bekerja seperti sekarang karena kebaikan Wak Haji yang memiliki kebun palawija dan memberi kesempatan padanya untuk menjualkan ke kota. Tentang kebutuhan hidup yang makin mengimpit termasuk keharusannya berutang kepada seorang rentenir dan tentang usianya yang kian menua, tetapi ia harus terus bekerja sendiri seperti sekarang, tidak berubah sejak bertahun-tahun lalu.

Perempuan itu melepaskan capingnya lagi, tapi talinya sengaja ia ikatkan di bawah leher sehingga capingnya menggantung di punggung belakang.

Matanya menatap awan-awan yang kian berarak menghitam. Angin kencang sudah sedikit berkurang. Kendaraan malah yang makin banyak berlalu lalang .

Di antara awan-awan yang berarak menghitam itu, tampak wajah ketiga anak kebanggaannya. Yang bungsu masih sekolah di bangku akhir SMA. Yang kedua sedang kuliah D-3 di sebuah lembaga bahasa. Dan, yang pertama akan diwisuda seminggu lagi. Atas prestasi ketiga anaknya ini, membuat perempuan itu kian bergairah, bersemangat, dan bangga karenanya terutama apa yang akan terjadi pada si sulung. Kerja keras selama ini membuahkan sebuah hasil berupa prestasi berarti dalam balutan sebuah gelar sarjana ekonomi yang akan disandang si sulung. Bahkan oleh karenanya, selepas wisuda nanti, si sulungnya akan langsung bekerja di sebuah perusahaan besar di kota ini. Ada kebanggaan berlipat-lipat menyeruak di dadanya.
Terbayang, seminggu lagi ia bisa menyaksikan sebuah pesta wisuda yang selama ini tidak pernah ia ketahui. Jangankan ketahui, bagaimana bentuknya saja ia tidak tahu. Yang ia tahu, anak terkasihnya itu akan menjadi bagian dari sebuah kegiatan sebagai tanda akan sahnya kelulusan sang anak dari perguruan tinggi yang selama ini menjadi tempatnya menuntut ilmu.

Senyum tipis berkembang terlukis di wajah perempuan sederhana itu.

Tidak sia-sia apa yang ia korbankan selama ini.

Dari pekerjaan yang ia lakoni tiap hari dalam sekian tahun ini akan membuahkan kebanggaan yang membuat nafasnya lebih terasa lega. Tidak peduli karenanya ia harus banyak berkorban bahkan tak sempat memikirkan lebih untuk dirinya sendiri.
Perempuan itu benar-benar merasa bahagia mengingat itu semua.

Tapi... Sebelum semua terjadi, hari ini ia harus mencari duit untuk mencukupi syarat pembayaran wisuda anaknya itu yang harus dibayarkan besok. Jika tidak dibayarkan besok, buyarlah segala bayangnya tadi. Si sulung tidak akan bisa mengikuti wisudaannya.

Mata perempuan itu beralih pada segala barang dagangannya di sepeda usangnya. Barang-barang dagangannya itu sejak kemarin hanya berkurang sedikit. Itu berarti hasil penjualannya hanya menghasilkan uang yang tidak banyak, tidak cukup untuk menutupi kebutuhan wisuda si sulung. Padahal uang yang dibutuhkan bukanlah jumlah yang kecil untuk ukuran dirinya.

Apakah ia harus berutang lagi kepada sang rentenir? Bukankah utangnya sudah menumpuk di sana dan entah kapan bisa terbayarkan?
Hati perempuan itu kembali terkoyak-koyak. Kebanggaan serta kebahagiaan yang sesaat memenuhi jiwa raganya layaknya sebuah kertas, sedikit demi sedikit mulai terkoyak menjadi belahan kecil-kecil. Meskipun mungkin bisa dipungut lagi dan disatukan seperti puzzle, dengan kondisi seperti sekarang, kerapuhan dan kelemahan hati, sekonyong-konyong menguasai diri hingga mencapai kedalaman semangat serta perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Belum lama otak perempuan itu berpikir keras, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah mobil yang melintas cepat. Karena kecepatannya, lubang di tengah jalan yang membuat genangan sisa hujan tadi malam memuncrat tepat membasahi hampir keseluruhan barang dagangannya. Sayur-mayur dan sedikit buah-buahan yang ia bawa menjadi basah dan agak kotor karenanya.

Perempuan itu terkejut. Tapi, ia tak bisa apa-apa sebab mobil yang menyebabkan hal ini sudah melaju kencang. Tinggal pandangannya saja memelas. Sedikit bingung dengan segala kejadian yang begitu cepat.

Tak sampai lima menit ia merenungi kejadian itu, dari atas kepalanya terasa ada air jatuh dari langit. Sontak ia mendongak ke atas.

Astaga.

Sudah akan mulai hujan lagi.

Tanpa ba-bi-bu lagi, perempuan itu dengan tangkas langsung membuka tas kecil yang ia bawa. Di sana ada sebuah plastik putih lebar yang sudah ia modifikasi sedemikian rupa hingga menyerupai jas hujan. Sebelum hujan lebih deras, ia kenakan plastik putih tersebut yang menutupi tubuh bagian atasnya.
Mengingat waktu yang kian menghimpit maka perempuan itu segera pula melepas standar sepedanya kemudian mengayuhnya, menuju ke pasar tujuannya.

Ketika baru tiga-empat ia kayuh sepeda, hujan deras tanpa ragu turun dari langit menuju tanah pertiwi. Banyak manusia yang tidak sempat berlindung dari serangan hujan tersebut minggir buat sekadar berteduh.
Tapi, tidak dengan perempuan itu.

Tak ada tanda-tanda ia akan kembali menepi.
Ia terus mengayuh sepeda usangnya. Walaupun jalannya melambat, hujan deras tidak menghalangi niatnya. Dalam niatnya hari ini, ia harus mencari duit lebih banyak. Untuk sebuah cita-cita, untuk sebuah masa depan anak kebanggaan dan tercintanya.

Senyum tipis mengiring kayuhan sepeda di sela hujan yang tidak mau kompromi. Semangatnya kembali tumbuh.

Perempuan itu biasa dipanggil Yu Ngatemi.

Dan, aku adalah anak sulungnya....

(kenangan rumah Pasir Gintung)


Lampung Post, Minggu, 26 Juni 2011

Sunday, June 19, 2011

Kabut Sepanjang Jalan ke Arah Rumah

Cerpen Alexander G.B.


EMPAT jam dari Bakauheni sampailah aku di Terminal Rajabasa. Sengaja tak banyak barang bawaan, hanya beberapa helai baju dalam tas ransel hitam yang terlanjur berubah abu-abu. Debu berterbangan, beberapa di antaranya hinggap ke sepatu, baju, dan paru-paru. Rencana kepulanganku tak akan lebih dari seminggu. Aku menduga pasti tak akan kerasan di rumah. Aku tidak tahu mengapa perasaan tidak nyaman semacam ini bermekaran di kepala.

Aku tertarik dengan kesibukan orang-orang di terminal, ada yang merasa asing melangkah ragu-ragu. Tampak raut cemas dan lelah begitu lekat sebagian besar pengunjung, menunggu keberangkatan untuk pulang dan pergi. Tetapi sebagian—yang menganggap terminal sebagai rumah—tampak santai, kerap matanya berubah seperti mata serigala melihat mangsa. Mereka selalu tahu siapa yang sering bepergian dan yang tidak. Ketenanganku membuat mereka tak hendak mengusik atau mengganggu. Aku bersyukur atas itu.

Ya, sementara aku selamat, aku pantas lega karena mereka tak melakukan hal yang sama dengan pengunjung terminal lain yang menyeret ke sana kemari. Kudengar seorang lelaki berteriak Talangpadang—Kotaagung beberapa kali. Maka lekas kupilih bus menuju kota kecilku. Kupilih bangku di dekat jendela, dengan harapan jalan-jalan yang dulu kerap kulalui kembali hidup dalam ingatan. Lima belas tahun tak kusapa dan begitu banyak perubahan di sepanjang jalan menuju rumah. Aku turut bahagia dengan itu. Sepanjang jalan berbagai kendaraan menyesaki jalan. Semakin ramai rupanya. Dua jam kutempuh perjalanan dari Rajabasa menuju Talangpadang.

"Jangan lupa, jika sudah sampai di Talangpadang segera panggil becak, karena tukang ojek sering kali meminta ongkos yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal," ujar kakak perempuan yang kerap terlampau khawatir,

"Tetapi bukankah aku bisa menolaknya?"

"Mereka akan memaksa. Dan jika kamu tidak mau mereka akan terus mengikuti. Jadi untuk lebih amannya, sebaiknya kamu panggil becak."

Aku teringat beberapa kisah menjelang Lebaran, ketika ramai orang-orang kampung mengadu nasib di Tangerang, Serang, Jakarta, atau ke luar negeri menjadi TKI di Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Arab Saudi, dan sebagainya. Maklum tanah di kampung kian gersang. Hutan penyangga yang sempat dilarang untuk disentuh sudah lama berubah menjadi kebun kopi, cengkeh, lada, dan sebagainya.

Mengenang perjalananku, mengingatkan saat mudik Lebaran. Ketika para perantau dari kampung hendak merayakan Lebaran di kampung. Jika mereka selamat di Rajabasa, tukang ojek akan siap menghadang di Talangpadang. Kabarnya kita sudah merdeka. Beberapa di antara mereka diminta ongkos beratus kali lipat dari ongkos yang sewajarnya. Jika hari-hari biasa Rp25 ribu—Rp30 ribu, tetapi menjelang Lebaran terkadang mesti mengeluarkan Rp50 ribu sampai tak terhingga. Ada yang harus membayar Rp100 ribu, bahkan sampai Rp300 ribu. Keinginan menjumpai keluarga demikian besar sehingga mereka tetap memaksa diri untuk menempuh bahaya semacam itu, terkadang harus merelakan jerih payahnya diambil paksa oleh orang lain.

Lantas aku teringat sajak Saijah dan Adinda karya W.S. Rendra: "Orang-orang miskin menghabisi orang-orang miskin." Aku menundukkan kepala. Saat ini semakin banyak teman dan saudara keluar dari kampung mengadu nasib di negeri orang, berharap mendapatkan pekerjaan dan sedikit uang tambahan, ada yang jadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, berjualan keliling, sales, dan lain sebagainya. Gaji mereka pasti di bawah UMR. Jadi ketika tukang ojek itu meminta ongkos yang tidak masuk akal, mendung segera bergelayut di wajah-wajah lelah yang rindu kampung halaman itu, yang sekadar ingin merayakan dua hari Lebaran bersama keluarganya.

Ketika memasuki Talangpadang, kucium aroma yang nyaris sama 10 tahun lalu. Amis ikan, jalanan berlubang, genangan air di mana-mana, ratusan tukang ojek yang mangkal di setiap gang dan sisi pasar. Aku menikmati keriuhan dan kesemrawutan ini. Menikmati mata-mata jalang yang mengamati laju becak yang kutumpangi.

Kucari warung nasi untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Tiga jam menunggu, dua gelas kopi kuhabiskan, tapi kendaraan yang kutunggu tak menampakkan batang hidungnya. Terik dan penat kuabaikan. Aku menunggu mobil yang bisa mengantarku ke rumah. Kendaraan sederhana yang biasa digunakan untuk mengangkut sayuran atau barang belanjaan para pedagang. Tak ada kendaraan khusus untuk penumpang. Mengenang hal tersebut aku jadi tersenyum kecut. Lebih 50 tahun merdeka, ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi berkembang pesat, tetapi tidak bagi Ulubelu dan sekitarnya. Aku percaya kampungku masih Indonesia.

Sudah hampir pukul dua sore. Mobil yang kutunggu tak kunjung menampakkan batang hidungya.

"Naek ojek saja. Tapi cari mereka yang mangkal di dekat pos penjaga dekat Alfamart. Jangan yang di tempat lain."

Aku mengangguk. Lalu melangkah menuju tempat seperti yang disarankan kakak perempuanku. Mengabaikan mata-mata beringas yang sesekali menawarkan jasanya. Oia, beberapa tahun terakhir kampungku sudah ramai dengan telepon seluler. Tak ada telepon rumah karena tempatnya memang sulit dijangkau.

***

Segera kubayangkan jalanan berkelok yang harus kutempuh. Satu jam perjalanan. Tidak terlalu jauh. Hawa dingin sudah mulai membayang dalam ingatan. Pohon-pohon rimbun di sisi kiri dan kanan jalan, sungai dari mata air Gunung Rendingan yang dipenuhi batu-batu hitam yang berjajar rapi. Kabut yang turun sejak pukul emapt sore. Uap belerang, hamparan kebun kopi, sawah, dan teman-teman lama.

Rumah tampak sepi, hanya ada Rani, kakak perempuanku yang sedang menjahit pakaian pelanggannya. Tak tampak ayah. Mungkin masih di pasar, atau sedang berkebun seperti biasanya. Tiba-tiba aku merindukan ayah. Sosok yang sejak dulu kuhindari. Bahkan kepergianku ke Jawa adalah usaha menjauh darinya. Aku tidak tahu mengapa aku demikian membenci ayah. Bahkan, setelah 10 tahun pergi dari rumah, perasaan semacam itu masih tampak begitu kuat. Sempat ada keraguan ketika hendak membuka pintu. Tampak sepi. Hanya ada Rani yang langsung memelukku begitu aku membuka pintu.

***

"Sudah lama ayah menunggumu. Ia bangga kamu sudah semakin hebat sekarang. Kabarmu selalu ia ikuti. Ia selalu bertanya tentang dirimu. Berkali-kali ia memandangi foto-fotomu dari album yang kamu kirimkan. Ia begitu bangga, hingga hampir setiap hari ia ceritakan tentang dirimu kepada para tetangga dan keluarga lainnya. Banyak yang iri dengan dirimu."

Aku terdiam. Benarkah apa yang diucapkan wanita yang dulu selalu melindungiku dari kemarahan ayah. Jika menilik matanya tak ada kesan untuk membohongi atau menipuku. Sungguh, hanya dialah aku percaya. Selama ini aku hanya memberi kabar padanya. Tentang ibu, ia meninggal ketika kami masih duduk di sekolah dasar. Sejak kematian ibu, aku membenci ayah. Ayah di mataku seperti serigala. Barangkali kebencianku bermula dari Ibu yang sering bercerita tentang keburukan ayah. Kata ibu, ayah tak pernah sungguh-sungguh menafkahi keluarga. Ayah pemarah dan mau menang sendiri. Kesimpulan masa kecilku.

Tak bisa kupungkiri, aku begitu dekat dengan sosok yang biasa kupanggil ibu. Sikap ayah pun kasar kepadaku. Perlakuannya membuat aku semakin yakin cerita ibu bahwa ayah bukan seorang yang baik. Matanya yang menyala tampak seperti menyimpan dendam atau kebencian pada ibu. Wanita yang kemudian melahirkan adikku yang ketiga dari hubungannya dengan lelaki lain. Kabarnya ibu lakukan itu sebagai balasan atas perlakuan ayah. Kakak perempuanku yang berkisah. Ia pasti bisa dipercaya. Rani juga menyayangi ibu, ia juga tidak menyukai ayah, tetapi kebenciannya tidak sebesar kebencianku.

Tak lama sejak kematian ibu, ayah menikah lagi. Aku kian membencinya. Setelah menyelesaikan SMA, aku melanjutkan kuliah atas usaha Rani agar hidupku bisa berubah lebih baik. Akhirnya jauh dari kampung. Akhirnya lepas juga rumah yang tak beda dengan penjara. Aku juga tidak tahu apa yang mendorong ayah mengikuti saran Rani. Ia hanya seorang pedagang kecil dengan sepetak tanah yang ditanami kopi dan palawija.

***

Setelah sesaat diam. Duduk dan meneguk segelas kopi yang dihidangkan Rani, kutatap langit sore. Kulihat wajah Rani yang tampak kelelahan, meski ia mencoba menyembunyikan di balik senyumnya yang sejak dulu indah. Aku menukasi senyum Rani. Rani bercerita sudah lama berpisah dari suaminya. Aku mengangguk. Pantas saja ia tampak lebih tua dari yang semestinya, mungkin karena harus menanggung biaya hidup dan sekolah anaknya yang baru saja masuk SMP tahun kemarin. Begitu banyak hal terjadi, dan aku tak tahu. Lebih tepatnya aku tak ingin tahu. Aku meninggalkan rumah dengan perasaan benci kepada ayah, kepada rumah, kepada hidupku. Bahkan, aku tak pernah bangga dengan apa yang sudah aku lakukan meski bertahun-tahun bergelut dengan dunia ideal yang banyak diimpikan orang.

Hawa dingin mulai merasuk. Sudah lama tak kurasakan dingin seperti ini.

"Besok aku mau ke kebun. Aku mau mandi di sungai. Kebun dan sawah kita masih ada kan?"

"Tidak, semuanya sudah dijual untuk membiayai kuliahmu. Meski banyak keluarga yang menentang, ayah tetap menjualnya. Iya tidak ingin kamu berhenti kuliah karena putus biaya. Ia merasa kamu satu-satunya yang pantas dibanggakan. Aku sendiri gagal membangun rumah tanggaku. Sementara Dani meninggal karena berkelahi waktu ada keramaian di kampung tetangga. Kamu satu-satunya harapan keluarga. Dan ia selalu membanggakanmu."

Ada sebersit rasa yang aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan perasaanku.

"Ayah di mana sekarang? Kenapa sudah lewat magrib tidak pulang juga."

Rani diam. Beberapa kali menghela napas.

"Ia meninggal setahun yang lalu. Kamu masih ingatkan, waktu aku kasih kabar ayah sakit kepadamu?"

Aku mengangguk.

"Kamu bilang tak bisa pulang karena sedang ada pementasan di Makassar. Ayah melarangku untuk menghubungi lagi. Takut kegiatanmu terganggu. Tak lama dari situ ia meninggal. Tetapi ia tersenyum. Sebelum meninggal ia berpesan agar aku menjagamu. Ia minta maaf karena tak bisa menunggumu pulang."

Kepalaku terasa berat sekali. Bagaimana jika Rani dan ayah tahu aku tidak selesai kuliah? Bagaimana jika mereka tahu pengorbanannya sia-sia? Hampir setiap hari aku dan teman-teman berbincang tentang hati nurani, estetika, filsafat, kemanusiaan, tentang masyarakat yang sakit. Seolah-olah kami yang paling sehat, karena masih punya cita-cita dan idealisme. Tetapi ayah dan Dani meninggal. Aku tidak sempat berterima kasih dan meminta maaf kepadanya.

Gelas yang kugenggam terlepas. Suara pecahannya mengejutkan Rani. Lantas gelap. Gelap sekali.

April—Mei 2011


Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011

Sunday, June 12, 2011

Cincin dari Kota

Cerpen Ganda Pekasih


Sudah lama Boma ingin pulang ke kampungnya di Tanjungsari, tapi cincin yang asli belum terbeli, senyum emaknya ketika menerima cincin imitasi itu masih terbayang-bayang, terpancar hangat lewat binar mata tuanya yang semakin dikelilingi keriput.

Kabar tentang cincin imitasi itu kini membuatnya selalu bertanya-tanya, menyelusup di antara hujan, terik matahari, kawat berduri, sepatu lars tentara yang berbaris baris. Apa sekarang emak sudah tahu kalau cincin itu palsu?

Emak seorang janda tua yang bekerja di ladang milik orang orang kota yang menyewakan tanah-tanah mereka untuk digarap, ditanam cabai dan kacang tanah jika musim panas, melon dan semangka bila musim hujan. Emak tinggal di rumah gubuk sederhana, sebatang kara.

Mulanya Boma terenyuh melihat seorang perempuan tua di mal membeli cincin imitasi, tapi sialnya Boma jadi berpikir ada baiknya juga membelikan cincin imitasi itu untuk emak.

Sangat indah perhiasan-perhiasan yang ditata rapi di dalam etalasi kaca itu. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk emak, pikirnya. Maka dia belikan emak sebuah cincin berkilau seberat sepuluh gram, warnanya sama seperti emas dua puluh empat karat yang banyak dipakai ibu-ibu Madura yang tinggal di dekat markas aktivis. Maafkan aku Mak, hari ini kubeli yang imitasi dulu, cuma seratus lima puluh ribu rupiah. Nanti kalau aku sudah jadi orang pasti kubelikan yang asli.

Kini dua tahun sudah sejak dia pulang membawa cincin imitasi itu, masih terbayang senyum bangga dan bahagia wajah emak, cincin itu langsung dipakainya.

&&&

Emak sedang asyik menyiangi tanaman jagung, tubuhnya tenggelam di dalam jajaran tanaman itu saat membungkuk. Orang-orang biasa memanggilnya Mak Endah. Bertahun-tahun dia mengambil upahan mengerjakan ladang-ladang milik orang kota, upahnya hanya cukup untuk makan sehari. Tak bisa untuk membetulkan dinding dan atap rumah yang semakin bocor, apalagi mengembalikan sawah dan ladang ladang yang sudah lama tergadai.

Dulu, ketika suaminya masih ada, mereka masih mempunyai tanah dan ladang yang bisa ditanami sendiri sesuka hati, Boma anaknya sekolah hingga SMP di Tanjungsari sebelum melanjutkan SMA ke Jakarta ikut pamannya yang berjualan sepatu buatan Bandung.

Lalu Boma jarang pulang, bisa dihitung dengan jari kedatangannya. Mak Endah ingat ketika Boma membawa pulang izajah SMA-nya beberapa tahun lalu, hasil keringatnya membantu pamannya, lalu berturut-turut dia pulang setahun sekali, lalu katanya dia kuliah di sebuah universitas swasta dan menjadi aktivis mahasiswa yang suka berdemo, kemudian tak terasa dua tahun lebih sudah dia tak pulang lagi, terakhir dia pulang membawa cincin emas sepuluh gram dua puluh empat karat.

Jika dia ingat ketika terakhir kedatangannya, Boma pulang dengan banyak bekas luka di tubuhnya, lebam-lebam biru menghitam yang membuatnya merinding melihat bekas luka luka itu.

Tapi si emak bersyukur Boma berbakat seperti bapaknya yg dulu pernah menjadi pesuruh kepala desa yang jujur, yang suka membantu kepentingan masyarakat tanpa pamrih.

Mak Endah tak memiliki apa yang dibanggakannya kecuali cincin pemberian Boma itu, cincin itu jarang dia pakai, kecuali jika ada pengajian dua minggu sekali di masjid ujung desa seberang, atau jika diundang bantu-bantu memasak orang yang hendak hajatan.

Atap dapur itu bocor semakin merata, air hujan menggenangi tempat tidurnya, hanya cincin itu satu-satunya yang bisa memperbaiki atap itu sebelum dinding-dinding lainnya tambah keropos. Inilah saatnya, pikir Si Emak, walau berat hati.

&&&

Di Pasar Kecamatan emak langsung masuk ke dalam Toko Emas Mulia Indah. Si pemilik toko segera menerima cincin itu, memperhatikannya sejenak kemudian memeriksa keasliannya dengan menggosokkannya ke batu asah. Bahkan hingga beberapa kali. Lalu beberapa saat sambil menatap wajah si emak dia berkata, "Maaf, Mak, ini bukan emas, ini imitasi."

"Imitasi?" tanya emak tersentak.

"Iya, Mak."

Si emak tak percaya, dia segera mencari toko emas yang lain, kebetulan di situ ada kantor pegadaian, si emak masuk dan berubah pikiran ingin menggadaikan saja cincin itu, si petugas rumah gadai menyuruh si emak mengisi formulir, si emak yang ragu meminta petugas itu memeriksa cincinnya terlebih dahulu.

Si petugas dengan ramah bersedia memeriksa cincin itu dan menyuruh si emak duduk menunggu, beberapa menit kemudian si emak dipanggil.

"Maaf Mak, setelah kami periksa cincin ini palsu, Mak, imitasi...."

Si emak mencoba tersenyum dalam pias wajahnya yang malu yang kini tak bisa dipertahankannya lagi, lalu dia menjawab pendek, "Terima kasih...Mak cuma merepotkan saja...."

"Tidak apa apa, Mak..."

Si emak berbalik, langkahnya gontai. Si Emak teringat Boma, pandangannya berkaca-kaca. Dia tidak marah pada Boma, dia malah bertambah kangen dengan anak semata wayangnya itu. Kalau Boma pulang nanti dia ingin sekali memeluknya erat, anak yang dia lahirkan di saat usianya sudah empat puluh tahun.

&&&

Di sebuah mal Boma sangat gembira memperhatikan cincin cincin emas di dalam etalase. Tapi yang ini bukan barang imitasi. Boma lalu membeli cincin dan kalung emas itu untuk si emak lalu berangkat ke Tanjungsari walau besok dia harus memimpin demo besar. Jabatan sebagai ketua aktivis baru saja didapatnya seminggu yang lalu, dua puluh juta rupiah cash ada di kantongnya hari ini untuk seratus orang yang harus dibayarkan segera sebagai jaminan ikut demo besok pagi.

Dalam demo besok Boma membela seorang pejabat yang akan diperiksa di kantor KPK, begitu perjanjiannya, tapi kini Boma sudah lelah, dia akan berhenti membela para pejabat pejabat brengsek itu. Pejabat itu merampok uang negara tak tanggung-tanggung, mereka lupa diri, serakah, dan tidak memikirkan kepentingan rakyat, dan kini apa salahnya aku merampok sebagian kecil saja dari mereka.

Dulu dia tak tahu untuk apa berdemo kecuali demi sesuap nasi menyambung hidup. Siapa yang membayarnya maka dia akan turun ke jalan. Ketuanya selalu bilang: "Kita berjuang untuk rakyat dan hati nurani."

Hari ini dengan segala risiko Boma memilih mundur sebelum kabur ke Malaysia, dan demi cincin imitasi yang dulu dia beli yang ternyata tak pernah berhenti meneror batinnya, dia akan menggantikannya dengan yang asli.

Emak tak boleh menuduhku cuma seorang penipu, seorang pejuang rakyat tak boleh dituduh tak bersih apalagi oleh orang yang telah melahirkannya dengan susah payah. Dengan mantab Boma keluar dari mal itu lalu menelepon sopir mobil sewaannya yang menunggu di luar. Sejauh ini semua rencananya berjalan lancar.

Tak lama kemudian mobil datang, Boma cepat naik dan langsung menyuruh supirnya tancap gas. Boma tak sabar ingin segera berjumpa dengan emak dan mencium tangannya yang bercincin mas asli sepuluh gram berkadar dua puluh empat karat yang nanti akan dipakaikannya sendiri ke tangan emak lalu memohon maaf tentang cincin imitasi yang dulu dia berikan. Tapi Boma harus lolos lebih dulu dari kota ini karena anak buahnya sudah tahu soal pembayaran uang demo ini kemarin, dan mereka tak kenal rasa takut, bahkan rela mati jika tahu ternyata aku melarikannya sementara mereka sudah mengumpulkan kawan-kawan.

&&&

Nyaris senja menyungkup Tanjungsari menjelang si emak mengakhiri pekerjaannya ketika sebuah mobil diiringi seorang pengojek sepeda motor berhenti di tepi jalan, jantung Mak Endah berdebar-debar ketika seorang lelaki turun dari mobil mendekatinya dengan terburu-buru.

"Benar ini Mak Endah?" tanya lelaki yang membawa mobil itu.

Mak Endah mengangguk. Lelaki itu lalu mendekati pengojek sepeda motor, memberikannya uang lalu menyuruhnya pergi. Setelah pengojek pergi menjauh, lelaki itu kembali mendekati Mak Endah.

"Mak, ini ada titipan dari anak emak, Boma, mohon diterima. Tadi pagi dia bersama dengan saya, tapi di tengah jalan kami dihadang anak buahnya, terjadi perkelahian, dan Boma...."

"Kenapa Boma?"

"Ah, tidak apa-apa, Mak!"

"Cepat katakan!"

"Tidak apa apa, Mak. Ayo ambil ini, ini tugas saya untuk mengantarkannya kepada Emak, dan saya harus segera kembali ke Jakarta secepatnya!"

Si emak menerima titipan itu dengan perasaan tak menentu, lalu lelaki itu berlari cepat ke mobilnya dan tancap gas.

Mak Endah termangu-mangu dan serbaheran memandang kepergian mobil itu hingga lenyap di turunan bukit-bukit, tapi jantungnya berdebar tak keruan, lalu dia penasaran membuka bungkusan kertas plastik di tangannya, tampak kotak perhiasan yang cantik, segera dia buka kotak itu.

Mak Endah tercengang melihat cincin dan sebuah kalung bercahaya sangat indah di dalamnya, matanya nyaris tak berkedip, tapi mengingat cincin imitasi yang tak laku itu seketika hatinya pun patah tak percaya. Boma..., Boma..., ucapnya lirih. Permainan apa pula yang sedang jalankan anakku?

Baginya hanya ada satu pertanyaan mengganjal, di mana Boma? Dan apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia gagal pulang?

Sesungguhnya Mak Endah lebih bahagia melihat Boma pulang daripada mendapatkan cincin dan kalung yang membuatnya nanti akan kembali dibuat malu. Mak Endah lalu memasukkan benda-benda itu ke lubang tanaman bersama biji-biji jagung terakhir yang masih tersisa di tangannya. Kemudian ditimbunnya pelan-pelan dengan tanah galian lubang itu seperti lubang-lubang lainnya.

Angin yang bisu seperti biasa bertiup bersama gontai lelah kaki Mak Endah pulang ke gubuknya, dalam siraman cahaya senja yang merah merona berwarna rindu, dia hanya ingin Boma pulang, pulang tanpa lebam-lebam biru apalagi luka pada tubuhnya seperti dulu, cuma itu.... n


Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2011

Sunday, June 5, 2011

Sepenggal Cinta

Cerpen Tarpin A. Nasri


DYAH Nareswari Pramodya Wardhani adalah adik kelasku ketika kami sama-sama di SMP. Tapi aku tidak terlalu akrab dengan Dhani. Aku hanya tahu dan kenal Dhani. Tak lebih dan tak kurang. Maklum selain Dhani itu paling manis dan tercantik di sekolah kami, Dhani juga anak orang paling tajir di kecamatan kami. Meski cuma untuk cinta monyet, hanya siswa yang sepadan sajalah yang sepatutnya dekat dengan Dhani. Aku, Galih Prabu Kreshna, mana berani mendekati Dhani. Pungguk merindukan bulan kupikir masih wajar, tapi kalau aku sampai berani ngesir Dhani, artinya aku sudah lebih edan dari si pungguk yang merindukan bulan. Aku benar-benar tidak ngaca, alias tidak tahu diri bila sampai nekat mencintamonyeti Dhani.

Tapi siapa sangka setelah kami tamat SMP dan tidak bertemu dalam kurun waktu puluhan tahun, kini kami dipertemuakan kembali. Kami sama-sama bekerja di sebuah perusahaan yang dimerger. Kami kini bekerja di perusahaan tambak udang. Kami berkerja dalam satu atap. Hanya beda divisi dan beda ruang kerja.

Karena kami bekerja di perusahaan yang sama, kami jadi sering ketemu. Di antaranya bila kami makan siang atau kalau aku ada keperluan ke divisi tempat Dhani bekerja.

Witing tresno jalaran soko kulino tak dapat kami hindari. Bermula dari kadang-kadang ketemu, lalu sering bertemu, benih-benih sukaku kepada Dhani tumbuh dengan subur dari hari ke hari, dan akhirnya cintaku kepada Dhani mekar tanpa dapat kukerangkeng. Hanya masing-masing kami masih eling.

Untuk mengatakan isi hatiku, jelas aku tak boleh gegabah, karena meski rumah tanggaku tidak terlalu bahagia, dan rumah tangga Dhani juga tengah digempur masalah, tentu cinta ini tak boleh diumbar begitu saja. Selain rawan gosip dan kami bukan ABG lagi, masing-masing dari kami juga masih terikat pernikahan.

Aku dan Dhani lebih memilih menenggelamkan diri pada pekerjaan dan hobi kami masing-masing, dari pada memanjakan cinta kami dengan mencari-cari kesempatan untuk bertemu dan berdekat-dekatan.

Sejalan dengan laju waktu, tampaknya cinta kami terus bertumbuh tanpa bisa dicegah. Aku juga menangkap indahnya pesona sinyal-sinyal keseriusan cinta Dhani. Hanya kami sama-sama masih menahan diri untuk mengutarakannya. Alhamdulillah. Rem cinta kami masih pakem.

***

SETENGAH tahun kemudian aku hampir menyerah oleh hasrat cintaku kepada Dhani yang mendera tanpa ampun. "Maafkan aku, Dhani. Aku... aku..." kataku gagap dan tak lanjut.

"Ada apa, Mas Galih?" sambutnya ketika kami kebetulan makan siang bersama di kantin yang siang itu agak sepi.

"Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu," jawabku. "Tapi nanti saja deh. Ayo sekarang kita makan dulu," elakku berusaha ceria, sekaligus menyelamatkan diri dari sergapan masalah yang hampir pasti bakal membelit kami bila dimanjakan.

Aku makan di depan Dhani dengan hati bergemuruh dan kepala menggasing. "Harus dari manakah aku mengutarakan cintaku yang tulus kepadamu, Dhani?"

Karena aku tak siap dengan risiko ditolak mentah-mentah, dan aku juga tak sanggup jika disebut tak tahu diri, niatku untuk bilang ‘aku cinta padamu’ kukandaskan begitu saja. Aku takut keliru dan salah menangkap sinyal cinta Dhani.

Meski aku tidak terus bilang "aku cinta kepadamu", aku menyalurkan hasrat ikhlasku kepada Dhani dengan mengirim short message service (SMS) secara berkala, seperti mengucapkan: assalamu’alaikum dan selamat pagi, tanya: apa kabar, mengingatkan: sudah makan siang atau salat belum, sampai kepada pesan yang lebih spesial dan tendensius: jangan lupa istirahat, kerja yang rajin, jaga kesehatan, jaga diri, jaga kehormatan, atau ngecek dengan penuh perhatian : gimana kabar anak-anak.

***

KETIKA kebersamaan kami genap setahun, tentunya kami tidak bisa terus begini. Ini adalah sepenggal cinta terlarang. Cintaku kepada Dhani yang menggunung bisa memuncratkan lahar aib bila diteruskan. Sementara itu aku juga merasakan cinta Dhani kepadaku dihadapkan pada kondisi seperti harus makan buah simalakama. Karena Dhani bukan wanita bebas. Dhani wanita berstatus. Itulah tebing karang tajam yang tak dapat kupanjat, setelah di ceruknya kurenggut cinta Dhani.

Dari pada menuai badai dan diamuk bencana, aku mengambil sikap untuk menjauhi Dhani. Ketika ada peluang mutasi dalam grup perusahaan, aku ambil kesempatan emas itu. Kini kami sudah direntangkan jarak hampir ribuan kilometer, dihalangi gunung dan dipisahkan lautan. Tapi jarak, gunung, dan lautan ternyata tak mampu membentengi dan memisahkan getar cinta kami. Karena aku ternyata tak bisa menolak telepon dan SMS Dhani. Dan ketika kami tak bisa lagi menghindar untuk bertemu, maka pertemuan itu terjadi di saat kami sama-sama mengambil cuti tahunan.

Kami bertemu di Bali. “Selamat datang di Bali. Gimana kabar anak-anak dan suamimu, Cinta,” sapaku ketika aku menjemputnya di Bandara Ngurah Rai.

Aku tak mencium pipinya, aku hanya menjabat tangannya, yang kemudian tanganku oleh Dhani dicium dengan lembut dan mesra. Tuhan, inikah pertanda cinta sejati Dhani kepadaku? Batinku tergetar dahsyat.

"Kabar anak-anak, alhamdulillah baik dan sehat...," yang kemudian ditutup dengan tangis kecil Dhani yang tiba-tiba pecah. Aku jadi tak nyaman karena tangis itu pasti terkait dengan ulah suaminya.

Akhirnya aku memeluk bahunya, lalu kami berjalan menuju mobil yang sengaja kusewa selama kami liburan di Bali. "Kamu semakin manis dan kian cantik sekali, Sayang," pujiku yang langsung mengepitingrebuskan wajah Dhani. Kulihat Taman Sriwedari bermekaran di kedua kelopak matanya.

"Karena selalu ditelepon dan di-SMS sehingga menjadikan cintaku kepadamu menjadi seperti ini, Kasih," jawabnya dengan manja. "Efeknya semoga aku jadi bertambah manis dan kian cantik sekali kan?" lanjutnya dengan manja dan menggemaskan.

Karena sudah waktunya makan siang aku langsung mengajak Dhani makan di Pantai Kuta. Selama makan aku tak membicarakan cinta kami yang terlarang. Aku menjaga dan takut merusak selera makan Dhani. Hanya ketika senja jatuh dan merona di Pantai Kuta, aku mulai menyinggung hubunganku dengan Dhani.

"Jujur, aku tak bisa melupakanmu, Honey," ujarku. "Semakin kubunuh dirimu dari hati dan pikiranku, engkau semakin hidup. Engkau tak bisa kubuang dari napas dan detak jantungku. Engkau tak bisa kulenyapkan dari aliran darahku," lanjutku.

Dhani tampak menikmati sekali curhat-ku. Kalau sudah begini, siapa sih lelaki yang sanggup untuk berpisah dengan Dhani?

"Buatku dirimu sudah jadi napas kerjaku dan nyawa hidupku, Kasih," kataku lagi. "Tapi kutahu ini adalah cinta yang salah, My Sun!"

Dhani melonggarkan rapat pelukannya dariku. "Mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku, bukankah tidak harus memiliki, Arjunaku?"

Aku menatap mata dan wajah Dhani dan di sana kutemukan cinta tercetak dengan megah tanpa dusta. Sayangnya dilihat dari sudut mana pun cinta kami itu tak ada yang membenarkan. "Ya, cinta kita tidak harus bersatu, Srikandiku," sambutku layu.

***

AKU benar-benar tak tega merusak kebahagiaan Dhani selama berlibur di Bali. Tapi di hari menjelang Dhani pulang, kabut malas untuk berpisah berarak di wajah dan mata Dhani yang terus mewartakan duka. "Berpuluh-puluh tahun kumimpikan dan kurindukan kebahagiaan yang manis dan indah seperti ini, tapi waktu begitu cepat berlalu. Seakan baru kemarin kita bertemu dan kini kita harus berpisah. Asal tahu saja, aku sejatinya tak sanggup berpisah denganmu. Tolong selamatkan aku dari neraka kehidupan rumah tanggaku, Romeoku..." rintih Dhani menyilet, merobek, dan menggedor hatiku.

"Aku bisa saja mengangkatmu dari neraka hidupmu, Julietku," jawabku. "Tapi tolonglah jaga hati suamimu dan perasaan anak-anak. Mereka sangat membutuhkanmu, Sayang," lanjutku dengan hati-hati. Aku harus berani dan aku harus kuat. Aku tak boleh lembek. Apalagi mewek. Aku laki-laki. Laki-laki harus tegar.

"Lantas Mas sendiri gimana?" tanya Dhani.

"Meski aku belum menemukan kebahagiaan, aku tak menghendaki hati dan perasaan anak-anakku rusak, Kasih."

"Itu artinya kita harus berkorban untuk mereka, Pranacitraku?"

Aku memegang kedua bahu Dhani, lalu kutatap wajah dan matanya dengan cintaku yang tak pernah berkurang secuil pun. "Kebahagiaan anak-anak kukira lebih penting dan segalanya, Roro Mendutku."

Dhani kemudian memelukku dan menangis di dadaku. Kubiarkan Dhani menangis sampai pesawatnya yang akan membawanya ke Jakarta siap.

"Lalu gimana dong dengan cinta kita selanjutnya, Mas?"

"Jujur, apa yang kamu rasakan, aku juga merasakannya, dan bukankah semua itu sudah menyatu di hati kita, mengalir di darah kita, berdetak di jantung kita, mengalun di napas kita, dan berdenyut di nyawa kita. Percayalah, engkau dan aku itu satu. Galih dan Dhani itu tak terpisahkan."

"Apakah ini artinya kita menyerahkan semua ini kepada apa yang telah digariskan Tuhan, Ramaku?" desak Dhani penuh kasih dan sayang.

"Ya! Kalau kita berjodoh, kita pasti akan disatukan Tuhan. Oleh sebab itu, mulai saat ini mari kita belajar, berusaha, dan bekerja mahakeras guna menghindari pertemuan berisiko tinggi seperti ini semampu yang bisa kita lakukan, Shintaku."

Aku mengantar Dhani sampai pesawat yang membawanya mengudara meninggalkan Ngurah Rai. Setelah itu aku melangkah ke mobilku. "Demi Tuhan, aku mencintaimu, Dhani," ujarku dalam hati. "Tapi kita tahu, ini adalah cinta yang sangat terlarang untuk diteruskan dan tidak baik untuk anak-anak kita, Sayang," lanjutku pasrah.

Aku menyetir mobil sambil melamun, karena mobil yang kularikan sudah di jalan sepi menuju perkampungan Bali yang begitu asri. "Tuhan, jika Dhani itu memang jodohku, kumohon satukanlah kami dalam cinta abadi kapan dan di mana pun. Tapi bila Dhani dan aku bukanlah belahan jiwa, tolong anugerahkanlah kebahagiaan buat rumah tangga dan anak-anak kami terkasih dan tersayang," ujarku.

Tuhan, kepada-Mu semua ini kuserahkan. Aku tak mungkin berpaling dari-Mu.... n

Brajaselebah, Lampung Timur, Juni 2011


Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2011