Sunday, July 31, 2011

Pagar

Cerpen Aris Kurniawan


IA sampai di depan pintu pagar rumah kekasihnya. Sekuntum bunga kering melayang jatuh tepat di ujung sepatunya. Sunyi mengisi jalanan. Cahaya lampu memendar redup, tak mampu menyentuh kerikil di permukaan jalan. Gerumbul dedaun pohon mangga dari rumah sebelah menelan bayangan tubuhnya yang canggung mencoba menepis ragu. Dia meraba ponsel yang mendekam damai di kantong celana jins ketatnya. Merogohnya perlahan. Menyusuri nama-nama di daftar teman yang tersimpan dalam ponselnya. Ada lebih dari lima ratus nama. Nama kekasihnya yang berhuruf depan M ada di urutan ke seratus.

Ketika nama itu muncul, ia hanya memandangi rangkaian huruf-huruf yang membentuk nama kekasihnya seraya menyunggingkan senyum, tapi ragu untuk menekannya. Mendesah pelan, ia mengambil sebatang rokok dari kantong jaketnya. Sambil menghembuskan asap rokok dari rongga mulutnya ia mendesah lirih, inikah saatnya...

Sudah lama sekali ia memendam gelora hasratnya. Kadang merasa harus meraung-raung demi meredam gejolak dalam tubuhnya yang ia tahu persis tak mungkin tidak dimuntahkan. Ia kerap terbangun tengah malam. Keluar dari kamar lantaran takut melihat pantulan wajahnya di cermin, wajah yang pasti terlihat kusut masai bagai kertas diremat-remat. Duduk di kursi goyang kesayangannya di ruang tengah, menekan-nekan nomor telepon sekenannya. Sekali dua kali ada yang mengangkat, lantas didengarnya orang menggerutu, bahkan maki-maki.

Usianya telah menginjak 42. Tapi seperti baru terlahir 12 tahun lalu dalam urusan asmara, sehingga harus bertanya pada Joe, keponakannya, yang baru kelas satu SMA. Sialnya Joe malah meledeknya kalau ia tak memberinya uang.

"Om pacaran saja sama Tante Jum," kata Joe, "Dia penggemar tanaman, juga kaya, Om." Kalau sudah begitu ia jadi langsung ilfeel pada keponakannya itu. Tante Jum, tetangganya, perempuan lajang seusianya yang pernah menetak kepala seekor kucing sampai pecah hanya lantaran si kucing mematahkan ranting tanaman piaraannya. Pacaran dengan wanita itu? Membayangkannya saja ia bergidik.

Sejurus matanya yang letih menyorot pintu rumah itu, seperti ingin menembus. Tapi mendadak gugup melandanya lagi. Apa kira-kira yang bakal dilakukannya kalau nanti bertemu.

"Pertama-tama tentu Om harus memberikan senyum paling manis buat dia." Ia ingat saran keponakannya.

Ia telah melintasi sejumlah provinsi, menyeberangi Selat Sunda, untuk sampai di depan pintu pagar rumah kekasihnya. Ia menyeka wajahnya dengan tisu basah. Tapi itu tak membuatnya cukup merasa segar. Karena keringat yang mengucur dari pori kulitnya sejak di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang belum dibasuh meninggalkan lengket dan rasa tak nyaman di sekujur badan.

Sepenggal bulan menggantung di ujung langit yang bersih. Angin merayap perlahan-lahan meraba tengkuknya. Suara kendaraan dari jalan besar terdengar sayup-sayup. Tadi ia menyuruh sopir taksi menurunkannya di ujung jalan kompleks perumahan ini. Ia memilih meneruskan dengan berjalan kaki. Ia khawatir suara kendaraan itu mengganggu rencananya membuat kejutan. Tidak terlalu sulit mencari rumah kekasihnya di kota kecil ini. Apalagi kekasihnya telah menuliskan alamat secara sangat perinci. Terbukti, hanya butuh 15 menit ia telah berdiri di depan alamat yang dituju.

Disapukan pandanganya ke rumah kekasihnya yang tampak tengah menunggu seseorang datang mengetuk pintu. Rumah itu persis dengan yang dideskripsikan kekasihnya. Rumah model zaman dulu yang memiliki dinding bagian depan tinggi berbentuk huruf V terbalik, dihiasi ornamen yang membentuk huruf M. Temboknya bercat ungu, di teras yang membentuk huruf L dengan atapnya disangga tiang tiang besi kecil dan ramping, terdapat sepasang kursi rotan. Tembok setinggi satu meter memisahkan teras dengan halaman. Pohon belimbing dan jeruk bali, masing-masing berdiri di pojok halaman sebelah kanan dan kiri, digelantungi pot-pot gerabah berisi aneka bunga-bungaan yang menjuntai ke bawah. Keset sabut kelapa bergambar hati di depan pintu masuk. Dan tentu saja nomor 69 di pagar teralis warna perak yang berjarak beberapa senti dari tempat ia sekarang berdiri.

Kekasihnya acap menjelaskan, di kursi rotan itu dia duduk menghabiskan waktu senja seraya memandangi tanaman yang dirawatnya sepenuh cinta. Tak heran bila mereka pun tumbuh subur dan selalu siap memberi keteduhan yang diperlukan penghuni rumah. "Duduk di situ sampai gelap turun dan menyalakan lampu-lampu," ujar kekasihnya.

Sangat mudah baginya menekan bel yang terdapat di pojok dekat tiang lampu. Namun, ia merasa bukan sekarang saat yang tepat memberi kejutan. Dari balik jendela berbentuk persegi panjang ia melihat lampu di ruang tengah masih menyala. Ia juga menangkap pendar sinar dari pesawat televisi. Mungkin kekasihnya tengah menonton televisi. Acara apa yang ditonton dini hari begini?

"Dipeluk olehmu pasti sedap rasanya di malam berhujan begini," begitu kekasihnya kerap berbisik, dikirimkan gelombang elektromagnetik ke telinganya, malam-malam. Ia hanya tertawa ngakak. Ia sendiri ragu apa makna tawa seperti itu. Gembira, heran, cemas, atau takut. Atau mungkin seluruh perasaan itu berbaur sempruna menciptakan sensasi yang aneh dalam benaknya.

Ia teringat muasal hubungannya dengan kekasihnya. Lalu ia akan merasa terheran-heran bagaimana sebuah kejadian salah sambung dapat berlanjut menjadi sebuah hubungan kekasih. Sementara dengan orang yang saban hari bertemu, di bawah satu atap dan lantai yang sama, begitu asing dan jauh. Ia tengah gelisah, bersiap tidur setelah bosan menonton teve yang acaranya begitu-begitu saja. Menjengkelkan dan tidak kreatif.

"Fred," ujar telepon salah sambung itu, dengan intonasi yang menyentak.

"Fred? Anda siapa? Salah sambung!" sahutnya.

Ia hampir saja menutup percakapan yang menjengkelkan itu ketika mendadak ia seperti pernah akrab dengan suara itu.

"Oh maaf, jadi saya salah sambung ya?"

"Ya Anda salah sambung, saya bukan Fred."

"Tapi di ponsel saya benar lo ini nomor Fred. Ya sudahlah mungkin operatornya lagi ruwet. Maaf, kalau begitu saya bicara dengan siapa?"

"Saya Sam di Jakarta."

"Hah, Jakarta. Ya ampun jauh sekali ya."

"Anda di mana?"

"Pekanbaru."

"Oh."

"Kenapa oh? Anda pernah ke Pekanbaru?"

"Belum pernah ke sana. Oya, Fred siapa?" ia bertanya setelah merasa tanggung.

"Untuk apa Anda tahu? Kita tidak saling kenal kan?"

"Baiklah, maaf. Saya tutup telepon ini karena saya telah bicara dengan orang yang tak saya kenal."

"Loh kok marah sih?"

Ia tertawa.

"Kok tertawa?"

Percakapan terhenti sampai di situ. Tampaknya gangguan sinyal. Esoknya ia menerima telepon lagi dari orang yang sama.

"Benar Anda mau tahu tentang Fred?"

"Bukankah saya orang yang tidak Anda kenal?"

"Sekarang saya sudah kenal. Bukankah kemarin Anda sudah menyebutkan nama?"

Ia tertawa.

"Mau tahu tidak?"

"Apakah itu penting buat saya?"

"Baiklah. Saya tutup telepon ini. Terima kasih."

Ia tengah menghadapi banyak persoalan di kantor. Ia merasa tertekan lantaran beberapa bulan ini selalu gagal memenuhi target. Terlalu banyak intrik. Rekan-rekannya di kantor selalu memandangnya sebagai pesaing yang siap melemparkan mereka keluar. Dia sungguh butuh teman untuk mengobrol. Ia merasa telepon salah sambung itu menjadi teman ngobrol yang sedikit menolongnya dari suntuk. Maka, setelah tiga hari menahan diri, akhirnya ia menghubungi nomor si salah sambung.

"Fred kekasihmu?"

"Bukan lagi. Dia pengkhianat."

"Terus untuk apa kamu mau menghubungi dia?" Tanpa sadar ia mengganti "anda" dengan "kamu".

"Apakah itu penting buatmu? Kalau memang penting buatmu, baiklah saya ceritakan."

Lantas ia mendengar si salah sambung menuturkan perihal untuk apa menelepon si pengkhianat. Cerita yang sangat klise dan tentu saja membosankan. Tapi dia terus menyimak lantaran merasa mendapat peluang, semacam harapan yang selama ini tak pernah menghampirinya. Kenyataannya ia tidak salah duga. Sesudahnya saban malam mereka bertelepon dan berikrar saling setia.

"Suatu saat aku akan menjemputmu ke Pekanbaru. Aku akan membuat kejutan."

***

DIA berkemas seraya membayangkan hidung mancung kekasihnya, bibir tipis, rambut ikal, tubuh padat, dan kulit kecokelatan. "Apa yang akan kamu lakukan jika aku datang?" begitu ia kerap bertanya pada kekasihnya.

"Memeluk dan mengecupmu, membelaimu..." kekasihnya menyahut dengan suara begitu syahdu dan menggemaskan. Lantas disambung dengan kata-kata yang mengekspresikan kekaguman yang memabukkan, memuji bentuk dahinya yang tinggi, bibirnya yang seksi, serta daun telinganya yang lebar. Ia sempat terheran-heran bagaimana bisa dia memuji seperti itu hanya berdasarkan penuturan.

"Daun telinga yang lebar pertanda pintar," kata kekasihnya. Seperti biasa, ia lalu berjingkat menghampiri cermin. Menatap tampangnya, dan tersenyum-senyum sendiri. Benarkah aku tampan, bisiknya.

Hari-harinya yang suntuk dengan tugas menyusun paket proposal penawaran iklan, bertemu dan merayu klien demi mengejar target, berubah jadi penuh gairah. Bisikan-bisikan syahdu penuh bujuk rayu kekasihnya tak ubahnya darah segar yang menjalar di urat nadinya. Memberinya tenaga untuk meninggalkan kebiasaan nongkrong berlama-lama di kedai kopi sekadar untuk membuang sepi dengan mencuri-curi pandang pada pasangan-pasangan yang berseliweran keluar dan masuk mal. Sebuah kegiatan yang pada kenyataannya justru membuat ia makin dilanda sepi.

"Akulah tulang rusukmu." Kata-kata itu membuatnya tersenyum lagi, sedikit geli. Sejujurnya ia bukanlah seseorang yang menyukai hal-hal yang romantis. Hal itu dianggapnya terlalu bertele-tele. Ia lebih mempercayai yang praktis-praktis. Rekan-rekan kantornya menyebutnya si pragmatis. Tapi, kini ia mulai berpikir untuk tak ada salahnya sesekali menjadi sedikit romantis.

Ia melihat jam digital di layar ponselnya. Pukul 02.55. Dicarinya lagi nama kekasihnya di daftar nama. Tapi lagi-lagi ia ragu. Ia ingin membuat kejutan. Tapi kejutan apa lagi? Ia ragu ada orang lain di rumah kekasihnya meskipun sudah dijelaskan berulangkali bahwa kekasihnya tinggal seorang diri. Siapa pun dia pasti akan mengganggu pertama yang mendebarkan.

Ia berpikir untuk berbalik keluar ke jalan besar untuk mencari penginapan. Mungkin akan lebih mengesankan jika pertemuan berlangsung di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai di pinggiran kota. Mungkin ia akan bangkit berdiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan kedua tangan direntangkan. Memeluknya, memesankan minum, dan menumpahkan perasaannya sesuai rencana.

Ah, ini sungguh bertele-tele, ia menyergah gagasannya sendiri. Diambilnya ponsel, mencari nomor kekasihnya, lantas menekannya. Beberapa menit kekasihnya tak mengangkat panggilannya. Diulangi sampai beberapa kali, tetap sama. Tentu saja ini di luar kebiasaan. Kekasihnya biasanya selalu siap sedia menerima telepon darinya. Ia memutuskan untuk memijit bel di sudut pagar di dekat tiang.

***

DI dalam taksi yang baru keluar dari Bandara Soekarno-Hatta, seorang perempuan tampak memucat wajahnya. Ia meminta sopir menghentikan taksinya.

"Pak tolong antarkan saya ke alamat ini. Tapi saya hanya punya jam tangan ini. Dompet dan semua uang saya hilang di bandara tadi!" katanya suara logat Melayu Pekanbaru.

Relung Malam Pondok Pinang, 08 Juli 2011.


Lampung Post, Minggu, 31 Juli 2011

Sunday, July 24, 2011

Menyambut Kematian

Cerpen Miftah Fadhli


"COBA lihat di sana." Tunjuk lelaki itu; telunjuknya menuding langit berbentuk gerombolan domba, kecil-kecil, manakala sekawanan burung melintas dia lebih sumringah dari sebelumnya.
Si gadis kecil, yang masih berumur tujuh tahun duduk di pangkuannya dan menyandarkan kepalanya di dada si lelaki. Ia mengikuti arah telunjuk dan melihat langit seperti bola-bola kecil, bukan domba-domba kecil sebagaimana yang dilihat si lelaki. Ia memakai pita merah muda di kepalanya yang dililit melingkar seperti bando, ujungnya dihempas semilir angin, berayun-ayun seperti rumput laut.

Sekarang si gadis kecil merasa ingin meloncat saja dari pangkuan pamannya. Namun, ia merasa tangan kiri pamannya menahan pahanya dengan erat sehingga ia sulit untuk berdiri. Ia tahu pamannya sedang tidak enak hati saat ini. Dadanya berdetak terus, terasa di kepalanya yang menyandar itu. Sementara ia hanya mampu membuktikan ketidak-enakan hatinya dengan memain-mainkan jari dan berwajah murung. Ia memakai baju terusan berwarna hitam dengan selendang hitam melilit lehernya. Tadi selendang itu menutupi separuh kepalanya; pita merah muda itu kelihatan sangat menyolok di antara lautan hitam pakaiannya.

"Aku lapar, Paman," ucap gadis kecil itu.

Sang paman menurunkan tangannya dan mengelus rambut Si Gadis Kecil.

"Sebentar lagi kita pulang, Sayang."

Lalu menengadahkan kepalanya ke langit. Sekawanan burung lagi-lagi melintas, berwarna hitam, seperti noktah yang digerakkan waktu sementara langit di ufuk semakin terang warnanya. Dia tak dapat melihat pemandangan apa pun di tempat ini karena semuanya tertutupi pohon kemboja dan kenanga yang tumbuh tinggi. Puring juga tumbuh di mana-mana.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Aku tujuh tahun, Paman. Tidak enak dipangku terus."

Sebenarnya lelaki itu ingin memberitahu keponakannya bahwa langit begitu indah hari ini. Bentuknya selalu berubah-ubah. Terakhir langit di hadapannya seperti pasir di tepi pantai, setelah lama berdiam diri seperti gerombolan domba—di pikiran lelaki itu. Bentuknya seperti habis diterjang ombak. Ada beberapa garis tidak menentu, kadang sebenarnya, terlihat seperti benang yang serabutan, tapi garisnya sangat panjang dan memang terlihat mirip seperti pasir sehabis disapu ombak.

Akan tetapi keponakannya tampaknya tidak terlalu memberikan perhatian lebih. Si Gadis Kecil itu lebih sering melihat ke bawah. Ke arah iring-iringan semut yang menggotong remah-remah kayu dan dedaunan. Berbaris di tepi keramik, panjang, mengarah ke sebuah lubang yang letaknya sangat jauh dari tempat mereka memulai. Semut merah, mirip semut rangrang, tapi semut rangrang seharusnya ada di tangkai-tangkai pohon. Jadi, pikir lelaki itu, mereka bukan semut rangrang. Namun semut adalah semut. Perilaku mereka membuat orang kagum; membuat keponakannya lebih suka memerhatikan mereka ketimbang dia dan pikiran tentang langit. Pikirnya, di tempat seperti ini memang lumrah ditemui banyak semut. Hampir di setiap sudut ada semut bergotong-royong, mencari makan, membuat sarang, atau ramai-ramai mengerubungi objek benda tertentu; tapi kelakuan mereka masih membuat orang tertarik—dan itu membuat dia agak kesal, tapi juga tenang. Maka dia sedikit menyunggingkan senyum melihat wajah keponakannya. Mengelus-elus rambutnya yang panjang dan wangi.

"Ah, Paman," Si Gadis Kecil menggeleng, "Aku ingin dibelikan makanan saja."

"Kita belum boleh ke mana-mana, Sayang."

"Kenapa?"

"Kita harus menunggu orang-orang pulang dulu. Menghormati mereka."

"Siapa mereka?"

"Mereka... tamu...," lelaki itu mengatupkan bibirnya.

Dadanya kembang-kempis menghembuskan napas yang pendek-pendek. Bau bunga kenanga terhirup masuk bersama udara, sangat tajam, sehingga dia merasa agak pusing dan kembali biasa setelah beberapa saat. Angin meniup tengkuknya sehingga dia merasa agak merinding dan hangat; matanya tiba-tiba memerah dan bibirnya juga merah sebelum telinganya menyusul berwarna merah. Dia mengambil saputangan di saku kemejanya dan mengelap wajahnya. Kemeja berwarna hitam memiliki kemampuan menyerap panas sehingga udara akan tersimpan pada benang-benangnya dan menguap ke seluruh tubuh membuatnya merasa gerah; dia berkeringat pada dahi dan cuping hidung. Namun air pada matanya diragukan apakah itu keringat atau berarti sesuatu. Bagaimanapun, lelaki itu tidak berusaha mencari tahu. Ketika Si Gadis Kecil itu menoleh kepadanya dia buru-buru menyelesaikannya dan menyurukkan saputangan ke saku kemejanya. Lalu dia buru-buru tersenyum.

"Boleh aku melihat orang-orang itu?"

Si paman buru-buru menghalang-halangi si gadis kecil. Badannya cukup besar, dan dadanya bidang. Hal itu menghalangi pandangan si gadis kecil untuk melihat langsung ke belakang. Sebab, kalau terlalu memutar akan membuat lehernya sakit di kemudian hari. Ia hanya mampu menolehkan kepalanya sedikit sementara badan yang seharusnya membantunya memperluas jarak memutar tidak dapat bergerak leluasa karena tangan si paman terlalu mengekangnya. Ia tidak bebas melakukan apa pun yang ia mau. Selain itu, sudah sejam lebih ia berada di tempat ini bersama pamannya.

"Kamu pernah ke gunung, Sayang?"

"Ayah pernah mengajakku ke gunung, tapi sampai sekarang aku belum pernah ke gunung."

"Aku pernah ke Sibolangit."

"Itu bukan gunung, Paman."

Si paman terkekeh. "Ya, kamu betul. Tapi mirip gunung. Aku dan ayahmu berkemah berdua di tempat itu setelah kakekmu memaksa."

"Kenapa kakek memaksa, Paman?"

Pada kenyataannya dia dan ayah si gadis kecil adalah saudara kembar. Ayah mereka menyuruh keduanya untuk pergi ke bumi perkemahan agar belajar mandiri setelah selama ini mendapat pelayanan maksimal dari ibunya dan pembantunya. Tidak satu lelaki pun bisa disebut lelaki apabila mereka belum pernah menaklukkan apa pun yang menjadi ketakutannya, ucap si paman meniru ayahnya. Dan, saudara kembar itu memang dipaksa untuk menaklukkan ketakutannya dengan berangkat menuju Bumi Perkemahan Sibolangit dan mendirikan kemah di sana.
Si lelaki tahu bahwa dia dan saudara kembarnya belum pernah belajar mengenai tenda dan sejenisnya sebelumnya. Pengetahuan mengenai simpul dia dapatkan di pramuka saat SD dan sudah tentu dia lupa 80 persen materi pelajarannya karena tidak pernah mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Saat jambore tingkat sekolah dasar, dia menolak ikut karena alasan yang dibuat-buat; tak beda jauh dengan saudara kembarnya yang ikut pasukan pengibar bendera sekolah, dia tidak pernah ikut "pasukannya" saat kegiatan itu berlangsung di luar dan harus bersusah-susah mendirikan tenda atau bertahan hidup seadanya.

"Jadi kalian sangat manja?"

"Ya, kami terlalu manja."

Ketakutan terbesar saudara kembar itu adalah hidup sendirian tanpa ditemani oleh siapa pun karena kalau begitu, mereka harus melakukan semuanya sendirian demi mempertahankan hidup. Mereka telah diberi bekal alat-alat kemah yang lengkap dan rute menuju Sibolangit menggunakan bis umum. Setibanya di sana, keduanya kocar-kacir karena tak satu pun dari alat-alat yang mereka bawa tahu namanya. Mereka hanya tahu tenda dan tali tambang dan memasangnya lebih dulu. Setelah melalui proses yang rumit mendirikan tenda yang sempurna mereka harus membuat api unggun yang artinya mereka harus mengumpulkan kayu bakar.

"Di sana dilarang memotong pohon."

Jadi mereka mencari dahan-dahan pohon jatuh dengan susah payah lalu mengangkutnya dengan lebih payah ke perkemahan.

Mereka di Sibolangit hanya untuk tiga hari. Akan tetapi, perjuangan untuk mempertahankan diri selama itu lebih sulit dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Mereka pikir bisa meminta bantuan dari orang-orang yang tinggal di sekitar perkemahan.

"Ternyata mereka lebih dingin dari sekotak es batu sekalipun."

"Jadi kalian benar-benar melewati tiga hari itu sendirian, Paman?"

"Ya, dan Rudi membuatku jengkel selama tiga hari itu."

"Kenapa ayahku?"

"Dia selalu merengek minta pulang. Kamu tahu, setiap malam kami mendengar suara aneh dan Rudi paling sering menangis di antara kami."

Tenggorokannya terasa hangat setelah itu; dia tidak yakin setelah ini akan berbicara dengan lancar.

"Benarkah? Tapi ayah selalu melarang aku menangis."

"Ya, benar...," dia tercekat, matanya merah.

"Kenapa, Paman?"

"Tidak apa-apa."

"Bagaimana kelanjutannya, Paman?"

"Kami melewati tiga hari itu. Dan kami mulai belajar."

Si gadis kecil merasa gerah. Tiba-tiba mukanya memerah. Pita merah muda di rambutnya masih berayun-ayun dihempas angin, seperti rumput laut. Ia teringat ayah dan ibunya. Tiba-tiba ia merasa setiap hari akan sangat sunyi. Ia merasa ketakutan terbesar dalam hidupnya menunggunya di depan pintu dan menyambutnya dengan kesedihan. Ia ingin menangis saat itu juga akan tetapi pamannya tiba-tiba berteriak dan menuding langit.

"Jarang-jarang ada burung sebesar itu!"

"Itu hanya seekor elang, Paman."

"Oh, ya, aku tahu."

Ia tidak pernah berada di tempat ini sebelumnya. Saat neneknya meninggal, ia masih berada dalam kandungan. Itu tidak berarti ia benar-benar pernah berada di tempat ini sebelumnya. Ia bahkan belum pernah membayangkan bagaimana bentuk liang lahat itu. Sekarang barulah ia tahu bagaimana wujud sebenarnya tempat yang dikelilingi batu-batu nisan dan pohon-pohon yang tumbuh sendiri-sendiri. Sepi. Cenderung aneh. Semua orang hikmat. Doa-doa dilantunkan dan ia sama sekali tidak dapat melihat orang-orang yang sedang berdoa. Badan pamannya terlalu besar untuk ditembus.

Sekarang ia merasa kepalanya benar-benar hangat. Telinganya juga hangat seperti seseorang sedang bernapas di dekatnya. Sekalipun ia ingin tidak memedulikan perasaan itu, tetap saja seperti ada seseorang bernapas di telinganya atau di depan wajahnya. Ujung baju ia tarik-tarik sedemikian rupa. Tiba-tiba rasa kehilangan itu muncul begitu saja dalam kepalanya. Rasanya seperti habis memecahkan vas bunga milik ibunya.

"Paman, kapan kita pulang? Aku sudah lapar."

Lelaki itu tidak menjawab. Wajahnya benar-benar merah dan matanya lembab. Namun bagaimanapun, si gadis kecil tak mampu melihat wajah lelaki itu. Dia sengaja mengencangkan pelukannya agar ia tak bebas bergerak.

Sekawanan burung lagi-lagi melintas. Di gadis kecil tengadah memerhatikan kawanan burung seperti sekumpulan noktah yang digerakkan oleh waktu. Ia tak tahu sudah berapa lama ia berada di sini. Langit di kejauhan sudah memerah. Beberapa orang yang tiba-tiba muncul dari balik punggungnya mengucapkan beberapa kalimat kepadanya dan pamannya, lalu tak kelihatan. Terus begitu. Sampai ia benar-benar merasa sesuatu mengganjal di hatinya.

"Berikan senyum terbaikmu, Sayang."

"Kapan kita akan pulang, Paman?"

"Sudah berapa lama kamu tidak mengunjungi paman dan bibi?"

Si Gadis Kecil menggeleng.

"Setelah semua selesai, kamu harus ke rumah paman dan bibi, ya?"

"Kenapa, Paman?"

"Di sana banyak makanan. Kamu bisa memakan semuanya sampai puas." n


Lampung Post, Minggu, 24 Juli 2011

Sunday, July 17, 2011

Kolam

Cerpen F. Moses


CERITA 74 halaman baru saja selesai dibaca, lalu perempuan itu bergegas dari kursi santai di pinggir kolam renang. Mengenakan pakaian renang bermotif dark chocholate doty, perempuan bertubuh ramping itu melesat ke dalam kolam. Terlihat begitu mahir dan tak mengesankan laiknya perenang biasa, dalam jarak pandang dari sudut kafe itu.

Mendung tampak menggantung di kota itu. Semilir angin menggetarkan rerimbunan aneka bunga di taman sekitar area kolam, di antara jejeran kursi santai dan meja-meja kecil yang terlihat begitu kaku dan sepi, tiada lagi orang-orang untuk kembali berenang saat sore tak bersenja ini, mungkin lantaran sebentar lagi hujan, pikir lelaki itu. Kecuali bersama dirinya di pertemuan kali pertama ini, berawal dari janjian, sore hari di kolam renang hotel lumayan berkelas.

Lelaki itu seperti membelai kerinduan darinya dalam pertemuan ini. Kerinduan tak tertahankan. Dalam pikirannya tak tahu, apakah sebenarnya perempuan itu juga demikian. Lelaki itu tak ambil pusing.

***

Tak lama berselang, lelaki itu menyaksikannya berenang, tiba wajahnya yang manis menyembul di atas permukaan kolam. Disibak rambutnya yang basah tergerai menghalangi jarak pandang, ia menatap tajam lelaki itu, mengerdipkan kedua bola matanya yang bening, lelaki itu diam saja. Segera lelaki itu tahu, setelah mengenakan kimono handuk, perempuan itu bergegas menghampirinya, langsung diseruputnya segelas jus jambu merah.

Mereka saling terdiam beberapa saat. Hening. Terasa angin kembali mengirimkan semilir dari rerimbunan pohon.

"Jadi kau menginap di mana?" kata lelaki itu.

Sebatang rokok dihisapnya, dimainkannya di antara celah jemari. Perempuan itu tampak berkali-kali mengitari handuk mini merah marun pada permukaan wajahnya hingga sudut-sudut telinga, lehernya yang agak jenjang, serta lengan putihnya yang mulus. Dan wajah manisnya, yang sedari tadi menunduk, didongaknya pelan ke arah lelaki itu. Mereka saling bersitatap. Tiada kekosongan di antara keduanya.

"Aku menginap di hotel ini, butuh seminggu untuk mengurus berkas di Kantor Imigrasi besok. Kuharap kau mau menemaniku lagi. Cukup kau tunggu di tempat ini lagi maka aku segera menyusul. Ah, aku rindu kita ngobrol berduaan seperti masa lalu," kata perempuan itu dalam ketenangan yang seperti mengemas kenangan dari waktu sekian lama yang barangkali diremasnya.

"Terus aku...."

"Ya kau pulang, masak mau bermalam juga, kecuali kalau mau ikutan berenang," tukasnya semringah dipaksakan.

Mereka kembali sama-sama terdiam. Lelaki itu disergap ingatan masa kisah-kasih yang lama menjadi kenangan.

Selang beberapa menit, perempuan itu kembali mengatakan, "Juli ini kesempatan terakhirku untuk mengatakan kepada Platini, apakah aku diberikan hak untuk tidak ingin memiliki anak dulu."

***

Hari kedua, gerimis dan macetnya arus lalu-lintas di kota itu tak mematahkan semangat lelaki itu untuk menemuinya kembali. Dari kantornya menuju hotel, seperti kemarin, lelaki itu langsung menuju tempat dari yang pernah dijanjikannya. Suasana di sekitar kolam masih tak seorang pun, kecuali perempuan itu yang tengah berenang.

Dalam jarak pandang, kesekian-kalinya lelaki itu memerhatikannya; bersandar, menyalakan rokok, menunggu teh manis hangat yang baru dipesan, sembari bersedekap kemudian menarik napas panjang, ingin menyambanginya untuk ikutan berenang, namun memalukan buat lelaki itu lantaran tak bisa.

Seketika sang perempuan melihat lelaki itu tersenyum. Senyumnya seperti masih menggetarkan masa lalu di antara mereka. Seperti melempar kenangan yang sekian lama dikemas dan diremasnya.

Kemudian perempuan itu bergegas menghampirinya. Seulas senyumnya menggoda, duduk di sebelahnya sambil memesan segelas minuman.

"Aku menunggumu sejak sore," katanya.

Sambil menyalakan sebatang rokok, kembali dikatakannya, "Ternyata semua berkas di Kantor Imigrasi sudah beres, tiket untuk besok siang juga sudah kupesan. Tinggal mengambilnya di agen perjalanan. O, ya, terima kasih sudah kembali datang."

Perempuan itu kembali memalingkan wajahnya ke arah kolam.

Sambil mengisap sebatang rokok, mengembuskannya ke mana angin sesuka hati membawa, lelaki itu menyentuh lengannya. Seperti masa lalu di dalam bioskop tatkala adegan menakutkan menyergap. Di mana sehari sebelum mereka saling memutuskan hubungan kisah-kasih yang hancur lantaran berbeda keyakinan. Kenang sang lelaki.

"Kau yakin atas keputusanmu itu?"

"Ya, seyakin-yakinnya."

"Dari prinsipmu itu?"

"Ya, seprinsip-prinsipnya."

Lelaki itu tertegun, perempuan itu pun tak menjawab. Mereka terdiam beberapa saat. Sambil menyeruput teh hangat, kembali lelaki itu berucap.

"Kau kan sudah menikah, sekurang-kurangnya, dalam ikatan berarti siap bagi anak-anakmu kelak."

Perempuan itu terdiam. Tampak sibuk mengemas kalimat-kalimat berikutnya.

"Ya, pernikahan memang tak lain adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, sebagai suami-istri. Bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal, selamanya."

"Ya, itulah pernikahan, megah kan? Nah, itu kau tahu."

"Ya, betapa megah dan dijunjung tingginya sebuah pernikahan yang diselenggarakan secara seremonial, keagamaan, dan adat. Dan dampaknya, tinggi pula riuhnya resepsi pernikahan yang dihadiri ratusan atau ribuan orang yang secara tak langsung mengumumkan legitimasi atas pasangan."

Waktu menunjuk pukul 21.10.

"Senyatanya, sungguh indah memang, jika sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera-kekal selamanya itu memang terlahir dari sebuah pernikahan—yang sudah dirayakan secara adat maupun diumumkan dalam resepsi besar. Aku hanya berfokus kepada hasil. Sebab, bagiku esensi dan hasil akhir lebih penting ketimbang kertas yang tertanda tangan dalam upacara adat maupun keagamaan nantinya."

"Nah, itu kau seperti sudah memiliki tujuan," kata lelaki itu jumawa.

"Ya, aku memang memiliki tujuan dan keinginan untuk hidup berpasangan, tapi aku juga menganut paham banyak cara untuk menuju jalan, bahwa tujuan ini tidak dicapai hanya dengan satu jalan, pernikahan. Di mana berkas untuk mencatatkan diri ke pemerintahan mesti ditandatangi, atas nama kemudahan akses untuk berpasangan. Namun, aku memilih membentuk keluarga dengan cara yang lain, dengan bentuk pernikahan yang lain...."

"Maksudmu?" tukas lelaki itu.

"Tanpa seremoni, tanpa resepsi, tanpa ritual agama, dan tanpa perayaan besar-besaran dengan ratusan hadirin. Buktinya, kami dapat menjalani komitmen dan tanggung-jawab sebagai pasangan yang bahagia sejahtera kekal selamanya."

"Bersama calon anak-anakmu kelak, tentunya."

"Tidak, aku memilih hidup tanpa anak," ucap perempuan itu yakin.

"Kau sudah katakan kepadanya?"

"Karena itulah aku ke sana," pungkasnya tenang.

Kemudian perempuan itu pun berdiri untuk bergegas menuju kolam. Air hangat yang ditujunya.
Tak terasa pukul 22.05. Dari jarak pandang sekitar 50-an meter, perempuan itu menatapnya. Kembali mengajak lelaki itu seperti memohon menyambanginya agar berdiri dari pinggir kolam.

"Berenanglah di sini sambil kita ngobrol," pintanya.

Lelaki itu menggeleng, selanjutnya pamit untuk pulang.

"Tolong jangan pulang dulu. Berenang, kan, bisa tak harus di kolam ini," katanya.

Setelah beberapa langkah memalingkannya, perasaan lelaki itu luluh, berakhir menemaninya di kolam itu hingga larut malam. Mereka mengobrol seperti biasanya.

***

Seminggu setelah kepergian perempuan itu ke Prancis, lelaki itu tak kunjung padam membaca pikiran perempuan itu. Karena belum lama lelaki itu memang sering mendengar: seorang istri yang ditinggal suaminya karena dianggap tak kunjung memberinya anak. Lelaki itu tak pernah tahu, "Siapa yang tolol kalau demikian," katanya membatin. Juga seorang suami yang ditinggal oleh istrinya untuk kawin lagi, lantaran suaminya memilih untuk tak mau punya anak.
Lantas, bagaimana dengan mantan kekasih hati lelaki itu? Ah, lelaki itu masih belum memikirkannya terlalu dalam.

O ya, semoga kita berkenan tahu apa yang dikabarkannya. Sehari setelah seminggu lalu perempuan itu pergi, lelaki itu menerima pos-el dari perempuan itu—dari negeri jauh di sana. Betapa perempuan itu, rupanya, hanya mengucapkan rasa berterima kasih kepada suaminya yang sangat menghargai hak seksual dan reproduksinya—untuk memilih bentuk berpasangan yang nyaman bagi perempuan itu. Dan untuk memutuskan akan bereproduksi atau tidak. Perempuan seperti menikmati pernikahan yang memerdekakan.

Maaf, memang tidak ada resepsi. Mungkin itu sebab tak turut mengundangmu pada waktu itu. Begitulah perempuan itu mengakhiri isi suratnya.

Lelaki itu menarik napas panjang. Semakin tenggelam di dasar kedalaman kolam air mata kebahagiannya. Kebahagian perempuan itu yang tersisa hanyalah untuk dikenangnya.

Yogyakarta-Lampung, 2011


Lampung Post, Minggu, 17 Juli 2011

Sunday, July 10, 2011

Nanci, Marine, Luppit

Cerpen Yetti A.KA.


Nanci

Teman kita itu benar-benar perempuan menyedihkan. Ia seorang pembual. Bergaduk pembangkang. Merasa paling keras kepala. Sombong sekali dia. Padahal, ibarat roti yang terlalu lama dibakar, ia repas. Jika sudah begitu, tak ada lagi yang bisa ia harapkan, selain menyerah dan terus membiarkan laki-laki itu menguasai dirinya.

Soal satu ini, kuminta jangan bilang-bilang padanya. Ini sebetulnya rahasia kami. Ia sengaja tidak memberitahumu, sebab kau berbeda, katanya. Paling-paling kau akan bilang: kalau suami sampai memukulmu, pasti karena kau telah membuat kesalahan. Sebaliknya aku justru sulit mengeluarkan kalimat semacam itu dan lebih terbiasa berkata: kau harus membalasnya, beberapa tingkat lebih keras, buat dia sedikit tercengang.

Ternyata teman kita itu lebih menyukai pendapatku. Aku memberinya inspirasi, menurutnya. Meskipun aku tahu ia tidak akan melakukan apa-apa pada suaminya—sekecil apa pun itu. Bukankah teman kita itu amat mudah tergoda. Dengan rayuan: maafkan aku, aku menyesal, aku tidak bisa hidup tanpamu—dari suaminya—ia langsung cair seperti es. Tangan-tangannya yang semula terkepal, lemas seketika, dan saat itulah ia terlihat mudah dikuasai.

Sekarang kau mengerti kenapa aku bosan sekali padanya, ia tipikal perempuan yang mudah meleleh. Aku masih ingat, dulu dia begitu cantik di antara kita. Semua teman laki-laki kita menginginkannya, menganggap kita tidak penting di setiap acara yang kita hadiri, baik itu yang diadakan pihak sekolah maupun di beberapa pesta ulang tahun. Sangat mengesalkan ketika itu. Apalagi saat melihatnya demikian genit dan tahu betul cara memanfaatkan puncak kegemilangannya.

Dalam sebulan, teman kita itu bisa ganti pacar dua sampai tiga kali, sedangkan aku dalam setahun ditolak dua kali atau kalau ada seseorang memintaku jadi pacar—dan ini pasti dari kelompok anak lelaki kurang populer—tetap saja aku merasa kurang dicintai. Apa? Kau tidak peduli tentang itu? Kami semua tahu kau memang kurang berminat dengan dunia begituan. Kau lebih senang merajut tas tangan ketika jam istirahat, membuat dirimu tampak terkucil dan berdebu di tengah hamparan bangku-bangku kosong yang ditinggalkan rombongan siswa keluar main.

Ya, kau memang manis sekali sejak dulu. Siapa pun lelaki itu pasti menyukai perempuan sejenismu. Setelah menikah, kau tetap berkarier dan mengurus rumah tangga sekaligus, tanpa keluh kesah. Aku kadang penasaran, di mana kau dapatkan semangat sebesar itu. Atau kesabaran sedalam itu. Sering aku menganggapmu kebanyakan mendengar dongeng masa lalu dari ibumu, tentang perempuan yang hanya bahagia bila berhasil menguasai sebuah rumah, terutama bagian dapur.

Kau tidak sendirian dan justru kau berada dalam kelompok besar perempuan yang seperti itu, karenanya kau merasa berada di jalan yang tepat? Kau benar juga. Hanya saja jarang sekali yang tanpa keluh kesah, bukan? Teman kita itu? Wah, kalau dia jangan kau tanyakan. Aku yakin bibirnya berkerut-kerut saat mengiris bawang. Dia kurang menjiwai apa saja yang berhubungan dengan dapur. Kau berpendapat bahwa teman kita itu tipe perempuan modern, banyak mau, tetapi tidak tahu apa-apa yang benar-benar ia inginkan? Kalimatmu hebat sekali. Kau pasti mengutip kalimat itu dari sebuah buku.

Terakhir menelepon, teman kita itu terdengar kesal karena suaminya tidak mau ikut mengurus anak-anak mereka yang masih kecil, terutama di pagi hari yang sibuk, ketika teman kita mesti menyiapkan sarapan, membersihkan lantai, menyetrika, dan mengganti air dalam bak mandi, anak-anak lucu itu tidak henti meminta perhatian darinya dengan membuat kegaduhan luar biasa.

Tahukah kau lelaki itu sedang apa? Ia minum kopi di ruang depan seakan tidak ada keributan sama sekali. Apa? Urusan rumah dan anak adalah mutlak pekerjaan perempuan? Kau memang payah untuk pembicaraan yang satu ini. Payah sekali.

Biar kuberitahu, ternyata satu-satunya peran yang paling pantas kau mainkan: tetaplah jadi anak manis sampai kau berusia lima puluh tahun. Aku menyindirmu dan seolah-olah mau mengatakan kalau kau kurang cocok melakukan perubahan kecil kecuali tetap menjadi seseorang yang polos? Kali ini kau hampir benar. Kira-kira begitulah yang ingin kukatakan. Aku tetap berharap kau akan tersinggung. Kau masih bertanya untuk apa kau tersinggung? Astaga, kau kelewat tak terjangkau oleh apa pun. Aku menyesal tidak bisa menolongmu.


Marine

Hah? Ia membeberkan rahasiaku kepadamu? Brengsek sekali dia. Ingin kugampar wajahnya yang berminyak itu. Aku terkicu telah percaya padanya. Harusnya aku ingat dirimu—seseorang yang kapan saja siap menjadi gudang bagiku. Aku merasa ini kesalahan terbesarku untuk kedua kali. Ternyata dia tidak berubah setelah membuka rahasia-rahasiaku sebelum ini pada orang lain—sialnya, mereka itu bahkan bukan temanku, melainkan kenalan suamiku—dan sudah pasti terjadi keributan serius antara kami yang membuatku cukup repot untuk memulihkan situasi.

Kenapa aku menerimanya lagi sebagai teman kalau ternyata dia sering merepotkanku? Tolonglah, kau tetap saja tidak paham bahwa kehilangan dia sama saja dengan menutup sisi lain hidupku. Dia memberiku tempat untuk membayangkan diriku yang seorang pembangkang. Pendek kata, kalau ada dia, aku bahkan bisa meraih kembali diriku yang dulu itu. Apa pentingnya diriku yang dulu? Kau sulit memahaminya, sebaiknya kau simpan saja pertanyaan itu. Aku menyepelekanmu seperti yang sering dilakukan teman kita itu? Kuharap kau tidak berkecil hati, namun itulah yang kupikirkan tentangmu.

Walau begitu, aku iri padamu. Kau mendapatkan semua yang kauangankan. Kau punya rumah sesuai dengan yang kau gambar di dinding WC sekolah kita: rumah cukup besar dan pohon-pohon di sekitarnya. Kau punya suami baik hati dan anak-anak yang menyayangimu—balasan yang wajar atas ketulusanmu. Paling penting kau tidak pernah merasakan nyeri dipukul atau ditampar lelaki yang kaucintai, pastinya karena ia tidak mungkin tega melakukannya pada orang semanis kamu. Aku? Bahkan aku dipukul saat suamiku bilang “Aku cinta padamu”. Itu membingungkan? Sudahlah. Aku tahu kau sulit percaya atau malah menganggapku bohong.

Lantas lihatlah teman kita itu, seolah tidak ada pekerjaan lain kecuali mencari kesalahan laki-laki. Hampir setiap hari ia juga menyerang perempuan manis sepertimu atau melakukan protes di jalanan di saat perempuan seusianya tengah memikirkan rencana piknik keluarga di hari Minggu. Aku heran, apa yang dia inginkan dari hidup ini. Padahal, apa salahnya kalau perempuan seperti kau tetap manis. Kami semua—kecuali dia, barangkali—sangat menyukai dirimu yang begini.

Kau tidak percaya aku membelamu? Bagaimana bisa kau punya pikiran demikian? Bukankah saat kau dilecehkan sewaktu kita sekolah dulu aku orang pertama yang berdiri di sampingmu, menggenggam tanganmu, dan berkata: aku bersamamu. Jangan pernah cengeng lagi. Setelah itu kau memang tidak pernah lagi menangis, bukan? Aku memang teman yang bisa kau andalkan, terutama yang berurusan dengan laki-laki usil. Aku bisa membuat mereka terkapar di bawah kakiku, dalam lima menit. Apa? Kau bilang lelaki mana yang tidak mau terkapar kalau bisa mengintip sesuatu dalam rokku? Kau mulai ketularan teman kita itu rupanya. Tapi kuharap kau tak sesinis dia.

Sudahlah. Lupakan masalah itu. Lagipula kejadiannya sudah lama sekali.

Ah, aku merasa dadaku sedikit ringan sekarang. Apa? Aku mudah meleleh? Kau mengejutkanku. Boleh juga. Meleleh. Sungguh, aku menemukan satu kata yang pas untuk menggambarkan seluruh diriku: meleleh. Jangan tatap aku begitu. Ah, maaf. Aku sedang sentimentil. Biasanya aku tidak begini. Jarang sekali. Dan inilah aku sekarang. Teman kita itu ada benarnya, aku mulai membiarkan diriku berantakan. Bagian ini tidak pernah kuceritakan pada siapa pun sebelumnya, termasuk pada teman kita itu. Aku tidak mau dia merisaukanku. Bagaimanapun dia teman terbaikku. Oh, aku tidak bermaksud menganggapmu tidak penting. Namun, pada dia aku merasa lebih bisa terang-terangan, sedangkan kau, sungguh, tampangmu yang selalu manis itu membuat siapa pun harus pura-pura sepadan dengan kegembiraan yang terpancar di matamu.

Aku tidak habis pikir kenapa kau selalu bisa begini, selalu manis, persis sama saat melihat kau main lompat tali, puluhan tahun lalu, tepatnya saat kau melompat dan kau tengah berada di udara. Mengambang. Bagimu seakan hidup itu amat ringan. Maksudmu tidak sepenuhnya demikian? Kau cuma berusaha untuk menahan diri, tidak histeris? Kau menyindirku. Soal histeris itu memang milikku. Aku tidak dapat mengungkapkan apa-apa tanpa marah atau berteriak. Tapi pada akhirnya aku tetap saja meleleh, sesuai yang kau katakan. Apa? Itu bukan istilahmu, melainkan kata yang kau kutip dari teman kita itu?

Sudah kuduga ia pasti terlibat dalam hal apa pun yang ada hubungannya denganku. Lihat, ia bahkan sudah menyimpulkan hidupku dalam satu kata: meleleh. Berani benar dia. Aku tidak tahu apa aku harus benar-benar menggamparnya dalam waktu dekat ini.

Kau masih juga ingin tahu pendapatku tentang teman kita yang tidak menikah dalam usia tiga puluh lima tahun? Barangkali lebih baik dia tidak menikah. Aku tahu ia tidak akan berhasil menjadi seorang istri dari seorang lelaki dari jenis mana saja, sebab teman kita itu bahkan menolak mencuci satu piring pun bila ia menikah nanti. Itu ia katakan padaku dengan suara keras, seolah-olah sebuah pengumuman yang disengaja. Menurutmu, apa ada seorang laki-laki mau hidup dengan perempuan yang membiarkan piring kotor tergeletak di lantai? Ayolah, kau tidak perlu bergidik begitu, seakan-akan kau baru berkenalan dengan teman kita itu satu bulan lalu.


Luppit

Kau benar-benar sebal padaku? Tolong jangan lakukan itu. Aku merasa bersalah sekali padamu. Aku tidak bermaksud melakukan pertemuan diam-diam di belakangmu. Semua terjadi begitu saja. Teman kita itu meneleponku. Lalu mengajakku minum teh di tempat biasa kita bertemu. Kami tidak memberitahumu karena kami pikir kau sedang sibuk sekali. Teman kita bilang beberapa kali kau tidak membalas pesan pendek dia. Kau sedang bosan padanya? Tapi ia mengira kau terlalu sibuk. Kami putuskan pergi berdua saja.

Kuakui aku terbawa emosi ketika diam-diam kuperhatikan beberapa titik kebiruan di sekitar mata dan bibirnya. Aku berseru: astaga! Jadi benar kalau kau dipukuli lelaki itu. Teman kita itu kaget. Masih kuingat bola matanya memandangku takjub, seakan tidak percaya aku tahu sesuatu tentangnya. Ia mendesakku. Kukatakan aku tahu darimu. Dia menjerit.

Menurutnya, itu rahasia kalian dan aku semestinya tidak boleh tahu. Setelah itu ia berkata ingin sekali menggamparmu, tentu saja dengan tampang geram setengah mati. Tapi seperti katamu, aku tahu ia tidak akan melakukan apa-apa—sekecil apa pun itu. Bukankah dia mudah sekali meleleh. Apalagi ia tidak bisa kehilanganmu.

Aku lega kau mau mengerti. Lain kali aku akan lebih hati-hati menyimpan sebuah rahasia. Terutama mengenai teman kita itu. Kau bertanya tentang kabarku? Tentu saja aku masih bahagia sebagaimana biasa. Hanya sedikit lelah, tapi tak begitu mengganggu. Pagi-pagi aku bangun untuk membereskan segala hal. Sehabis kerja aku juga buru-buru pulang untuk kembali melakukan hal yang sama. Itulah tugasku. Baiklah kuberitahu padamu isi kepala hampir semua laki-laki saat ia menikahi seorang perempuan. Pertama, ia memastikan ada seseorang yang akan mengantar teh atau kopi ke tempat tidur saat ia terjaga di pagi hari. Kedua, ada seseorang yang akan mencucikan baju kotornya, dua hari sekali.

Kau tak usah menggeleng-gelengkan kepalamu. Mana mungkin aku mengabaikan pekerjaan rumah dan membiarkan suamiku mencuci bajunya sendiri. Itu bukan yang diajarkan ibuku. Kesetiaan perempuan ditunjukkan dengan cara melayani. Cukup sampai di situ. Tak usah disanggah lagi, begitu ibu memberi nasihat seusai acara lamaran ketika itu. Bertahun-tahun aku menyimpan nasihat itu baik-baik.

Kau tentu saja sulit membayangkannya. Untungnya lagi kau tak perlu bertemu ibuku.
Kau harus segera pergi? Tidak biasa kau buru-buru mau pulang. Bukankah kau menyukai duduk berlama-lama di halaman belakang rumahku ini. Lagipula aku masih ingin ngobrol denganmu. Oh, kau ada janji dengan orang lain. Aku harap kau tidak perlu merahasiakannya dariku jika kau dan teman kita itu berencana minum teh di tempat biasa, sebab itu akan membuatku merasa seperti orang lain bagi kalian. Kau tidak yakin aku ada waktu untuk ikut bersama kalian sekalipun ini hari libur? Kebetulan sekali aku sudah menyelesaikan semua urusan rumahku, termasuk mengganti pisau cukur lama di rak sabun.

Jalan Enam Mei, 2009-2011

Sunday, July 3, 2011

Rumah Masa lalu

Cerpen Sungging Raga


KIAN renta rumah ini, ketika kupijakkan kaki di atas tanah berkerikil, kudengar suara angin yang seolah menyambutku. Sudah berapa tahun berlalu? Seperti baru kemarin ketika aku melihatmu menyirami bunga-bunga yang sekarang entah di mana bangkainya. Pot-pot telah jadi hitam, terbakar oleh cuaca yang berganti-ganti, sementara rumput dan daun sudah menyatu, kering dan berdebu.

***

Biografi Kepergian

Setelah hari itu, kudengar kau tak pernah lagi kembali untuk sekadar merapikan kamar yang kau tinggalkan, bahkan untuk sekadar mengunci pagar agar tak ada orang asing masuk. Tetapi kepergianmu sepertinya telah dipastikan, lewat sisa tatapan matamu yang sempat kuingat, lewat kebersamaan yang berangsur-angsur padam seperti sore yang jelaga. Ah, di kursi bambu itu, terkadang kita suka melihat matahari jatuh di balik rimbun ranting pepohonan, menghirup udara sore yang merayap lewat celah-celah kecil dedaunan tempat masuknya cahaya. Kau yang mengatakan padaku, bahwa duduk di sore hari itu bukan menghabiskan waktu, melainkan untuk menghayati kesunyian. Jadi, sekarang kau telah berpindah untuk mencari kesunyian baru?

Aku melangkah melewati pekarangan, berhenti di depan pintu, kulihat gagangnya sudah berkarat, ada rantai pejal melingkar namun sepertinya tak lagi terkunci, barangkali ada orang lain yang pernah memotongnya dengan gergaji untuk memasuki rumah ini. Mengambil sesuatu di dalamnya, seperti kenangan. Barangkali kau sendiri yang diam-diam datang di tengah malam. Kudorong pintu ini, terbuka. Aroma lembap menyeruak begitu saja di wajahku. Aku menutup hidung, ada debu beterbangan dari segala sudut. Dari celah lebar yang baru saja kubuka, di dalamnya, seperti berdiam ratusan tahun kegelapan. Bayangkan, terakhir kali kulihat kau berdiri di pintu ini, adalah saat di mana kita berpegangan tangan. Aku tak akan melupakan bagaimana caramu menciumku, lantas berbisik, "Aku akan di sini, setia, seperti rumah ini." Tetapi setelah mengucapkan itu kau justru melangkah, menjauh, dan hilang seperti hujan yang sia-sia di awal kemarau.

Sekarang kutatap ruang tamu, dengan mata menyipit yang dipaksa-paksakan, akhirnya beberapa puluh detik kemudian aku mulai terbiasa. Keremangan yang sempurna, kotor yang sempurna, pengap yang sempurna. Tak ada lagi sapu yang biasanya tergeletak di dekat gorden jendela. Tentu saja aku masih hapal letak beragam perabotan yang pernah hidup di sini, yang pernah kita gunakan beberapa tahun sebelum karam sampan itu.

Ah, mungkin aku yang terlalu kasar padamu, ketika kupaksa kau untuk tak ikut pergi ke perantauan, ketika kupaksa kau untuk sejenak bersabar dengan berbagai kekurangan dalam pernikahan kita. Tetapi bukankah kau yang akhirnya pergi terlebih dahulu?

Barangkali kita hanya salah menentukan waktu, kita berselisih dalam sengkarut kenangan. Dan hari ini, sekembalinya dari tanah rantau, aku hanya bisa tertunduk di ruang tamu ini. Sendirian.

Masih terdengar suara kicau burung-burung di luar itu, seperti sebuah orkestra akan masa lalu yang terus berayun-ayun di kepalaku.

Foto Pernikahan

Pada dinding bagian utara, yang catnya telah mengelupas dan penuh dengan jaring laba-laba, foto pernikahan itu tampak semakin usang saja, seperti usangnya cinta kita. Foto yang tak sempat kita rawat usianya. Di foto itu kita hanya berdua, tersenyum bahagia. Mengapa hanya berdua? Kau memang bilang bahwa kau merindukan seorang anak, sementara kau pun mengeluh karena aku tak juga mampu mendapatkan pekerjaan yang layak. Nanti anak kita mau dikasih makan apa? Mimpi-mimpi?

Begitu besar keinginan itu sehingga setiap malam aku terusik, tidurku tak tenang, sementara kau kadang terisak, dalam tangis yang seolah berbisik-bisik pada kesunyian di tengah malam. Sabar, kataku, sambil kuusap rambutmu, kubelai, dan kau menggeliat, menolak, merebahkan diri, lantas pura-pura terpejam.

Tetapi ketika suatu hari kudapatkan berita gembira itu, ketika kudapatkan kesempatan mengumpulkan uang di negeri lain, di tanah yang lain, kau justru menghadirkan dilema yang lain, dalam bentuk yang lain. "Nanti aku kesepian," katamu. Padahal ini semua demi kita, bukankah sudah lama kau merindukan bagaimana kita akan dengan santai menenggak minuman dingin tanpa harus keluar rumah untuk membeli sebongkah es dari tetangga? Bukankah kau ingin menikmati nasi yang selalu hangat di dalam rice cooker? Tak akan ada lagi nasi yang selalu basah dan berbau basi. Bukankah sebuah gelang emas begitu kau dambakan untuk melingkar di pergelangan tanganmu ketika kau keluar untuk berkumpul bersama ibu-ibu tetangga sekitar rumah kita?

Baiklah, kau punya segudang harapan, dan kau memang tak selalu mengatakan apa yang kau pikirkan, setiap orang punya rahasia. Mungkin ada yang tak terungkapkan di foto pernikahan itu. Di foto itu kau dan aku tersenyum, bahagia, di depan cipratan cahaya kamera. Padahal ada banyak foto-foto lain yang terbuang, yang tak bisa memunculkan chemistry, hingga tersisa foto itu, yang kemudian diperbesar, dan ditakdirkan untuk menggantung di ruang tengah.

Kemudian foto itu tak lebih dari sekadar hiasan, selebihnya adalah desas-desus dari para tetangga tentang dirimu. Bahwa jika kusimpulkan secara kasar, kau seolah hendak membuat foto yang lain, foto di mana ada dirimu bersama lelaki lain yang bukan aku. Secepat itukah? Padahal foto kita saja belum juga aus dimakan rayap, belum juga terempas badai yang menyergap. Tetapi mengapa begitu gencar tiba kabar itu di telingaku? Kabar yang tumbuh berjamur dan nyaris kuanggap sebagai kebenaran ketika ditutup dengan kepergianmu.

Lalu, kapankah terakhir kali kau menatap foto pernikahan kita? Mungkin ketika aku sedang tak berada di rumah, kau seringkali menangis, meratapi pernikahan yang tak sesuai dengan bayanganmu dahulu. Namun setidaknya foto ini pun masih menjadi satu-satunya tanda, bahwa setidaknya kita, pernah—pura-pura—merasa bahagia.

Akhir Penghujan

Rumah ini sudah selesai direnovasi, pagarnya pun sudah dicat, warna merah, pot-pot ditata rapi, baru saja sebuah pikap berhenti dan menurunkan beberapa kursi yang masih terbungkus plastik. Aroma segar tercium dari pekarangan hingga pintu depan. Kau suka menanam bunga, kan? Sekarang kau tak perlu lagi menanamnya di atas tanah, cukup dengan pot-pot yang telah dihias indah itu, kau akan semakin senang ketika memandangi bunga peliharaanmu setiap pagi dan sore, melihat kuncupnya, melihat kelopaknya. Dan aku akan memandangimu dari sini, dari teras rumah ini.

Ruang tamu sudah rapi, beberapa tirai dipasang untuk menahan sinar matahari yang terkadang menyilaukan, televisi diletakkan di dekat akuarium yang telah terisi air, lengkap dengan hiasan bunga laut dan karang-karang buatan, ah, sebentar lagi ikannya datang. Tentu sebuah kejutan untukmu, kejutan yang menyenangkan.

Aku masih menanti kedatanganmu, sebuah pita sudah kubentangkan di kedua pagar pekarangan, agar tampak seperti sebuah peresmian, pita merah muda yang berhiaskan bunga di tengahnya. Aku menunggumu pulang. Cepatlah, aku tak sabar melihat senyummu, sehingga aku yakin bahwa pilihanku untuk merantau ke negeri tetangga tidaklah sia-sia, sekarang semua sudah lengkap. Rumah mungil ini menjadi mewah, dan asri. kalau perlu, besok akan kubuatkan sebuah taman kecil di samping rumah. Taman yang terdiri dari kolam ikan juga sebuah ayunan agar kau bisa bersantai, juga beberapa pepohonan untuk hinggap burung-burung, dan kursi agar kau dapat duduk tenang memandangi ikan di air jernih itu.

Bayangkan, sekarang semua itu bukan lagi mimpi, aku tak bisa mengira, bagaimana gembiranya ketika kau datang nanti? Aku tersenyum, tak sabar. Aku duduk di teras, memandangi hijau rumput dan deretan pot dengan bunga-bunga kecil yang segar. Sore sudah surut, cahaya reda. Mungkin kau kini sedang mencari jalan untuk kembali ke rumah ini, untuk kemudian mencintaiku lagi dengan cara yang paling mengesankan...

***

Hujan turun begitu deras malam harinya, pita di depan rumah menjadi basah dan putus, saat itu pula aku yakin, kau tak akan pernah datang. Aku bergegas masuk ke rumah, melihat suasana yang serbaburam dari balik kaca jendela yang tadinya telah bersih mengkilap. Selalu kaca jendela, yang seolah menjadi bingkai dari sebuah dunia di luar kita, di luar imajinasi kita. Apakah kini kau sedang kehujanan di luar sana? Apakah kau sedang berteduh di suatu tempat dan merasa cemas? Atau kau sedang berada di sebuah rumah yang tak lagi bisa mendengar suara hujan?

Entahlah, begitu banyak tempat di dunia ini yang bisa kau jelajahi sendirian. Yang pasti, di mana pun kau berada saat ini, di rumah manapun kau merasa nyaman malam ini, aku hanya berharap, semoga kau tak pernah pura-pura merasa kesepian. n


Lampung Post, Minggu, 3 Juli 2011