Cerpen Muhammad Amin
MALAM temaram. Senyap diselimuti dingin. Nun jauh di sana, cahaya lampu berkerlap-kerlip seperti ribuan kunang-kunang yang hinggap di atas dataran yang luas. Ribuan bahkan mungkin jutaan. Tetapi itu bukan kunang-kunang. Namun, hanya cahaya lampu yang tampak kekuningan yang terpendar. Cahaya dari gedung-gedung, rumah-rumah, dan jalan-jalan.
Malam di atas bukit itu seperti selalu tampak berbeda. Angin malam sesekali berhembus menggesek dedaun jati. Lihatlah, jauh di sana pemandangan ribuan bahkan jutaan lelampu yang terpancar dari gedung-gedung, rumah-rumah, dan jalan-jalan bekerlip begitu indahnya. Hingga ke lereng-lereng bukit. Lampu-lampu di atas tower. Juga lampu-lampu dari permukiman di lereng Merapi. Ditambah bintang-bintang bekerlipan di langit. Aroma malam yang meruap memenuhi dada.
Di atas gedung lantai tiga, Zaky duduk di buah kursi kayu, menikmati pemandangan malam yang selalu memesona baginya. Malam-malam seperti sebelumnya. Dingin. Tubuhnya sudah dibungkus oleh sweter. Laptop dibiarkan menyala. Secangkir kopi dingin. Zaky membekapkan kedua tangan di dadanya. Seperti hendak mengusir dingin.
Seharusnya dia menjaga kesehatannya. Zaky mudah sekali sakit. Beberapa hari yang lalu, karena terlambat, dia seperti kaget. Tiba-tiba dadanya sesak. Tubuhnya lemas, tak berdaya. Sampai di depan tangga, tubuhnya limbung. Untung ada teman-temannya yang segera membopongnya kembali ke asrama. Dia dibiarkan istirahat. Tidak jadi kuliah. Seharian dia hanya tiduran di kamarnya.
Tiga tahun lalu.
Di rumahnya. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialaminya. Tapi yang terakhir yang paling parah. Sore itu dia baru pulang main bola. Masih keringatan. Wajahnya masih semringah. Senang karena timnya menang di lapangan. Dia melepas alas kakinya. Beranjak mandi.
Selepas magrib, tiba-tiba dadanya sesak. Napasnya tersengal-sengal. Badannya lemas. Dia tiduran. Badannya panas. Saat ibunya tahu, dia langsung memanggil pamannya. Ayahnya sedang tidak di rumah. Bekerja. Pamannya datang. Melihat keadaannya. Lalu dia langsung dibawa ke tabib. Seorang tabib yang masih teman pamannya, tetangganya dulu.
Oleh tabib, dia disuruh melepas baju. Si tabib menempelkan telinga di dadanya. Seperti mendengarkan sesuatu di dalam dadanya. Kemudian dia berbicara kepada pamannya.
“Anak saudaramu ini sudah sangat parah. Seperti ada kelainan. Paru-parunya sudah rusak. Aku sarankan nanti bisa rutin ke sini seminggu sekali. Semoga bisa cukup membantu,” katanya.
Kemudian dia meramu obat. Membuka keranjang yang isinya ular, yang biasa digunakannya untuk mengobati pasien. Oleh si tabib, ular itu dipotongnya, dituangkannnya beberapa tetes darah ular itu ke dalam gelas. Juga jantung ular itu. Kemudian diracik olehnya.
Zaky disuruh meminumnya. Awalnya dia ragu. Dia tidak mau. Tapi pamannya menasihatinya, ini demi kesembuhannya. Akhirnya Zaky mau meminumnya. Anyir. Membuatnya mual.
“Kalau nanti kamu panas, minum ini,” kata si tabib sambil menyerahkan beberapa butir kapsul dan air dalam kemasan yang sudah dijampi-jampi.
Mereka pulang. Sampai di rumah, tubuhnya masih lemas. Dia tiduran. Pamannya juga sudah berpamitan pulang. Rumah pamannya hanya berjarak sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.
Tak lama kemudian, tiba-tiba badannya panas. Panasnya semakin meninggi. Kejang-kejang. Matanya mendelik menyisakan putih. Ingatannya kacau, setengah sadar. Keringat dingin. Mengigau. Dia berguling-guling kesakitan. Napasnya tersengal-sengal. Dia berteriak-teriak memanggil ibunya. Antara sadar dan tidak. Suaranya lemah.
Ibunya mendengar anaknya yang sedang sakit berteriak lemah memanggilnya. Tergopoh-gopoh ia ke kamar putranya. Kaget. Di rumah tidak ada orang. Panik. Ibunya langsung menelepon ayahnya. Kemudian menelepon pamannya. Pamannya yang belum tiba di rumahnya, berbalik arah. Kembali.
Ibunya menangis demi melihat itu. Ibunya memeluknya. Untuk pertama kalinya dia merasakan dipeluk oleh ibunya. Untuk pertama kalinya. Antara sadar dan tidak. Dia masih kesakitan dan kejang-kejang. Tubuhnya bertambah panas. Ibunya bingung, tak mengerti apa yang harus dilakukan. Dia hanya bisa memeluknya sambil menangis.
Tak lama kemudian pamannya tiba. Dia memeriksa keadaannya dan segera memberikan air minum dan obat yang diberikan tabib itu. Malam itu tiba-tiba rumahnya menjadi penuh, sampai teras. Banyak saudara dan tetangga yang datang. Bahkan neneknya yang sudah sangat tua, yang sudah tidak kuat dan tiga tahun tidak pernah ke sana, datang dengan memaksakan diri berjalan kaki. Ayahnya pulang. Melihat anaknya terkapar dan meronta kesakitan. Ayahnya marah-marah sambil menendang-nendang kursi. Dia tidak pernah setuju anaknya dibawa ke tabib. Suasana jadi gaduh. Ada yang menangis. Ada yang marah-marah. Sementara dia sendiri masih kondisi yang memprihatinkan.
Ibunya masih menangis. Ayahnya masih marah-marah.
“Sudah kubilang, ngapain pergi ke dukun. Enggak punya alat, enggak punya keahlian. Siapa yang mengantarnya, hah?!” terdengar pintu dibanting dengan keras.
Dalam kondisi seperti itu, antara sadar dan tidak, Zaky masih sempat terpikir dalam benaknya, “Kalau seperti ini, lebih baik aku tidak usah hidup saja.” Dalam kondisi dia sedang sakit parah, orang tuanya malah marah-marah, seperti tidak peduli padanya. Dan dia merasa seperti manusia yang tidak berguna. Merepotkan saja. Untuk apa hidup kalau begini?
Emosi ayahnya mulai mereda. Neneknya ada di situ, di samping ibunya. Neneknya juga menangis. Sudah lama dia tidak dijenguk oleh neneknya. Bukankah seharusnya mereka yang sering-sering menjenguk neneknya yang sudah tua?
Setelah satu jam, panasnya mulai mereda. Sudah melewati masa kritis. Tapi dia belum kuat duduk. Dia masih berbaring. Tertidur. Ibunya mengelap keringat di dahinya dan membetulkan posisi tidurnya. Hari itu, mungkin untuk pertama kalinya Zaky seperti baru merasakan perhatian seorang ibu kepadanya. Seingatnya seperti itu. Dia baru tahu bahwa ternyata ibunya sayang padanya. Selama ini dia tidak pernah tahu.
Keesokan harinya Zaky sudah pulih, meski belum sepenuhnya. Ibunya selalu datang ke kamarnya, menyuapinya makan. Zaky tidak mau disuapi. Dia malu karena merasa sudah besar. Dia bisa makan sendiri.
Setelah sakit parah itu, seperti ada yang berubah. Pada hari-hari yang dilewatinya, tak seperti hari sebelumnya. Dia selalu murung. Tidak bergairah. Hanya diam. Diam. Duduk dan termenung. Murung. Hanya seperti itulah hari-hari yang dilewatinya. Dia yang sebelumnya ceria. Sering main bola dan mencetak gol di gawang lawan. Tapi itu semua cepat sekali berubah.
Dia juga jadi cepat marah. Emosinya meledak-ledak. Kadang diam saja. Murung sepanjang hari. Dia selalu mengingat kejadian itu, saat sakitnya sangat parah. Dia merasa seperti tidak akan hidup lagi. Dan dia merasa seperti orang yang tak berguna. Buat apa hidup ini?
Itulah pertanyaan yang selalu mengganggunya. Selama ini hubungannya dengan orang tuanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, yang sangat mesra dengan orang tuanya. Mereka akrab dan hangat dengan orang tuanya. Mereka sangat dekat. Kadang dia bertanya, kenapa dia berbeda dengan teman-temannya yang lain? Dia tidak seperti mereka.
Hubungannya dengan orang tuanya biasa saja. Sudah terlalu biasa. Tidak ada yang istimewa. Kering. Hampa. Seperti gurun. Seperti padang yang tandus tak ada tanaman. Kaku. Dia dan orang tuanya seperti hidup sendiri-sendiri. Meski dalam satu atap. Meski dalam satu ruangan. Dekat tetapi seperti jauh. Kadang mereka bercakap-cakap, tetapi bukan mengobrol. Hanya bergantian berbicara.
Semuanya terasa kering. Kerontang. Apalagi ayahnya. Ayahnya tak pernah bertanya sesuatu pun padanya. Kecuali bertanya sesuatu yang sangat penting dan mendesak saja. Seperti basa-basi. Kenapa seperti ini?
Dia tidak pernah tahu apakah ayah dan ibunya sayang padanya. Dia tidak pernah tahu itu. Yang dia tahu hanyalah dia menumpang hidup di sana. Satu atap, satu rumah. Dekat tapi serasa jauh. Semua seperti sendiri-sendiri. Betapa ganjil. Kenapa dia berbeda dari keluarga yang lainnya? Apakah dia merindukan keluarga seperti teman-temannya? Ah, mungkin tidak juga. Dia sudah terlalu nyaman dengan keadaan seperti ini. Dia sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Jadi bukan hal yang aneh lagi.
Dan pada hari dia sakit parah, untuk pertama kalinya dia merasakan pelukan ibunya. Pelukan yang terasa berbeda. Seperti sesuatu yang dirindukannya. Apakah itu yang dinamakan kasih sayang? Dan dia bisa menyimpulkan jika ternyata dia baru tahu bahwa setidaknya ibunya menyayanginya. Dia bisa merasakan itu. Dia bisa menangkap getar-getar itu. Kepanikan ibunya. Pelukannya. Tangisnya.
Meskipun setelah sakit parah itu, suasana menjadi seperti semula. Terlalu biasa. Tak ada yang istimewa. Tak ada kehangatan dan kemesraan di ruang keluarga. Kering. Seperti gurun. Tapi setidaknya dia tahu bahwa ibunya menyayanginya. Itu sudah cukup baginya.
Dia masih menyimpan pertanyaan itu di kepalanya. Kadang hilang, kadang berkelebat. Dia menjadi murung karena perasaannya. Merasa tidak berguna. Merasa tak berdaya. Merasa tak berharga. Merasa hidupnya tak ada artinya. Untuk apa hidup ini kalau begini?
Suatu malam dia bermimpi. Mimpi yang sangat aneh. Dalam mimpinya, dia memesan sebuah kuburan untuk dirinya. Dia meminta kepada dua orang penggali kuburan. Kedua penggali kuburan itu bekerja sesuai permintaannya. Setelah kuburan jadi, dia menatap kuburan untuknya. Lama dia menatapnya, seperti ada suasana lain di dalamnya. Suasana yang asing dan ganjil. Menakutkan. Dia ketakutan. Dia tidak ingin mati dulu. Kemudian dia lari menjauh dari kuburan itu.
Dia berkata kepada kedua penggali kubur itu bahwa dia tidak jadi memesan kuburan. Kedua tukang gali kubur itu tidak terima. Mereka marah. Dia lari. Mereka mengejar membawa linggis dan cangkul seperti ingin membunuhnya dan memasukkannya ke dalam kubur itu. Dia lari, terengah-engah. Lalu terbangun. Dadanya sesak. Keringat dingin.
Semenjak malam itu, dia tidak pernah lagi berpikiran untuk mati. Dia takut. Dia menceritakan mimpinya itu kepada kakaknya yang pertama. Kakanya menasihatinya dan menyarankannya tidak perlu menceritakannya kepada orang lain. Abangnya selalu menyemangatinya sehingga perlahan-lahan dia tidak murung lagi. Dan setidaknya sakitnya tidak pernah kambuh lagi.
Selepas lulus SMA, abangnya menyuruhnya untuk kuliah di sebuah kampus berpesantren di Yogyakarta. Dia menurut saja. Dia tidak pernah tahu dan tidak pula pernah bertanya kenapa dia dikirim ke kampus ini, bukan kampus yang lain. Yang dia tahu bahwa kakaknya pasti lebih tahu mana yang baik bagi dirinya.
Malam itu, di sebuah bangunan lantai tiga, yaitu bangunan kampusnya yang belum selesai. Zaky menatap kejauhan. Menatap gemintang di langit sana. Menatap ribuan cahaya lampu seperti ribuan bahkan jutaan kunang-kunang yang tumpah di dataran yang luas. Zaky memperbaiki posisi duduknya. Laptopnya masih menyala. Kopi dingin yang tak disentuhnya.
Kadang di kepalanya masih saja berkelebat pertanyaan; kenapa keluarganya berbeda dengan keluarga teman-temannya yang hangat dan mesra?
Dia tidak pernah tahu, bagaimana bentuk kasih sayang itu. Dia tidak tahu, kenapa ayah dan ibunya tak pernah mengajaknya mengobrol hangat di ruang keluarga. Dia tidak tahu, kenapa ayah dan ibunya tak pernah memeluknya? n
Yogyakarta, Mei 2014
Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2014
MALAM temaram. Senyap diselimuti dingin. Nun jauh di sana, cahaya lampu berkerlap-kerlip seperti ribuan kunang-kunang yang hinggap di atas dataran yang luas. Ribuan bahkan mungkin jutaan. Tetapi itu bukan kunang-kunang. Namun, hanya cahaya lampu yang tampak kekuningan yang terpendar. Cahaya dari gedung-gedung, rumah-rumah, dan jalan-jalan.
Malam di atas bukit itu seperti selalu tampak berbeda. Angin malam sesekali berhembus menggesek dedaun jati. Lihatlah, jauh di sana pemandangan ribuan bahkan jutaan lelampu yang terpancar dari gedung-gedung, rumah-rumah, dan jalan-jalan bekerlip begitu indahnya. Hingga ke lereng-lereng bukit. Lampu-lampu di atas tower. Juga lampu-lampu dari permukiman di lereng Merapi. Ditambah bintang-bintang bekerlipan di langit. Aroma malam yang meruap memenuhi dada.
Di atas gedung lantai tiga, Zaky duduk di buah kursi kayu, menikmati pemandangan malam yang selalu memesona baginya. Malam-malam seperti sebelumnya. Dingin. Tubuhnya sudah dibungkus oleh sweter. Laptop dibiarkan menyala. Secangkir kopi dingin. Zaky membekapkan kedua tangan di dadanya. Seperti hendak mengusir dingin.
Seharusnya dia menjaga kesehatannya. Zaky mudah sekali sakit. Beberapa hari yang lalu, karena terlambat, dia seperti kaget. Tiba-tiba dadanya sesak. Tubuhnya lemas, tak berdaya. Sampai di depan tangga, tubuhnya limbung. Untung ada teman-temannya yang segera membopongnya kembali ke asrama. Dia dibiarkan istirahat. Tidak jadi kuliah. Seharian dia hanya tiduran di kamarnya.
Tiga tahun lalu.
Di rumahnya. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialaminya. Tapi yang terakhir yang paling parah. Sore itu dia baru pulang main bola. Masih keringatan. Wajahnya masih semringah. Senang karena timnya menang di lapangan. Dia melepas alas kakinya. Beranjak mandi.
Selepas magrib, tiba-tiba dadanya sesak. Napasnya tersengal-sengal. Badannya lemas. Dia tiduran. Badannya panas. Saat ibunya tahu, dia langsung memanggil pamannya. Ayahnya sedang tidak di rumah. Bekerja. Pamannya datang. Melihat keadaannya. Lalu dia langsung dibawa ke tabib. Seorang tabib yang masih teman pamannya, tetangganya dulu.
Oleh tabib, dia disuruh melepas baju. Si tabib menempelkan telinga di dadanya. Seperti mendengarkan sesuatu di dalam dadanya. Kemudian dia berbicara kepada pamannya.
“Anak saudaramu ini sudah sangat parah. Seperti ada kelainan. Paru-parunya sudah rusak. Aku sarankan nanti bisa rutin ke sini seminggu sekali. Semoga bisa cukup membantu,” katanya.
Kemudian dia meramu obat. Membuka keranjang yang isinya ular, yang biasa digunakannya untuk mengobati pasien. Oleh si tabib, ular itu dipotongnya, dituangkannnya beberapa tetes darah ular itu ke dalam gelas. Juga jantung ular itu. Kemudian diracik olehnya.
Zaky disuruh meminumnya. Awalnya dia ragu. Dia tidak mau. Tapi pamannya menasihatinya, ini demi kesembuhannya. Akhirnya Zaky mau meminumnya. Anyir. Membuatnya mual.
“Kalau nanti kamu panas, minum ini,” kata si tabib sambil menyerahkan beberapa butir kapsul dan air dalam kemasan yang sudah dijampi-jampi.
Mereka pulang. Sampai di rumah, tubuhnya masih lemas. Dia tiduran. Pamannya juga sudah berpamitan pulang. Rumah pamannya hanya berjarak sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.
Tak lama kemudian, tiba-tiba badannya panas. Panasnya semakin meninggi. Kejang-kejang. Matanya mendelik menyisakan putih. Ingatannya kacau, setengah sadar. Keringat dingin. Mengigau. Dia berguling-guling kesakitan. Napasnya tersengal-sengal. Dia berteriak-teriak memanggil ibunya. Antara sadar dan tidak. Suaranya lemah.
Ibunya mendengar anaknya yang sedang sakit berteriak lemah memanggilnya. Tergopoh-gopoh ia ke kamar putranya. Kaget. Di rumah tidak ada orang. Panik. Ibunya langsung menelepon ayahnya. Kemudian menelepon pamannya. Pamannya yang belum tiba di rumahnya, berbalik arah. Kembali.
Ibunya menangis demi melihat itu. Ibunya memeluknya. Untuk pertama kalinya dia merasakan dipeluk oleh ibunya. Untuk pertama kalinya. Antara sadar dan tidak. Dia masih kesakitan dan kejang-kejang. Tubuhnya bertambah panas. Ibunya bingung, tak mengerti apa yang harus dilakukan. Dia hanya bisa memeluknya sambil menangis.
Tak lama kemudian pamannya tiba. Dia memeriksa keadaannya dan segera memberikan air minum dan obat yang diberikan tabib itu. Malam itu tiba-tiba rumahnya menjadi penuh, sampai teras. Banyak saudara dan tetangga yang datang. Bahkan neneknya yang sudah sangat tua, yang sudah tidak kuat dan tiga tahun tidak pernah ke sana, datang dengan memaksakan diri berjalan kaki. Ayahnya pulang. Melihat anaknya terkapar dan meronta kesakitan. Ayahnya marah-marah sambil menendang-nendang kursi. Dia tidak pernah setuju anaknya dibawa ke tabib. Suasana jadi gaduh. Ada yang menangis. Ada yang marah-marah. Sementara dia sendiri masih kondisi yang memprihatinkan.
Ibunya masih menangis. Ayahnya masih marah-marah.
“Sudah kubilang, ngapain pergi ke dukun. Enggak punya alat, enggak punya keahlian. Siapa yang mengantarnya, hah?!” terdengar pintu dibanting dengan keras.
Dalam kondisi seperti itu, antara sadar dan tidak, Zaky masih sempat terpikir dalam benaknya, “Kalau seperti ini, lebih baik aku tidak usah hidup saja.” Dalam kondisi dia sedang sakit parah, orang tuanya malah marah-marah, seperti tidak peduli padanya. Dan dia merasa seperti manusia yang tidak berguna. Merepotkan saja. Untuk apa hidup kalau begini?
Emosi ayahnya mulai mereda. Neneknya ada di situ, di samping ibunya. Neneknya juga menangis. Sudah lama dia tidak dijenguk oleh neneknya. Bukankah seharusnya mereka yang sering-sering menjenguk neneknya yang sudah tua?
Setelah satu jam, panasnya mulai mereda. Sudah melewati masa kritis. Tapi dia belum kuat duduk. Dia masih berbaring. Tertidur. Ibunya mengelap keringat di dahinya dan membetulkan posisi tidurnya. Hari itu, mungkin untuk pertama kalinya Zaky seperti baru merasakan perhatian seorang ibu kepadanya. Seingatnya seperti itu. Dia baru tahu bahwa ternyata ibunya sayang padanya. Selama ini dia tidak pernah tahu.
Keesokan harinya Zaky sudah pulih, meski belum sepenuhnya. Ibunya selalu datang ke kamarnya, menyuapinya makan. Zaky tidak mau disuapi. Dia malu karena merasa sudah besar. Dia bisa makan sendiri.
Setelah sakit parah itu, seperti ada yang berubah. Pada hari-hari yang dilewatinya, tak seperti hari sebelumnya. Dia selalu murung. Tidak bergairah. Hanya diam. Diam. Duduk dan termenung. Murung. Hanya seperti itulah hari-hari yang dilewatinya. Dia yang sebelumnya ceria. Sering main bola dan mencetak gol di gawang lawan. Tapi itu semua cepat sekali berubah.
Dia juga jadi cepat marah. Emosinya meledak-ledak. Kadang diam saja. Murung sepanjang hari. Dia selalu mengingat kejadian itu, saat sakitnya sangat parah. Dia merasa seperti tidak akan hidup lagi. Dan dia merasa seperti orang yang tak berguna. Buat apa hidup ini?
Itulah pertanyaan yang selalu mengganggunya. Selama ini hubungannya dengan orang tuanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, yang sangat mesra dengan orang tuanya. Mereka akrab dan hangat dengan orang tuanya. Mereka sangat dekat. Kadang dia bertanya, kenapa dia berbeda dengan teman-temannya yang lain? Dia tidak seperti mereka.
Hubungannya dengan orang tuanya biasa saja. Sudah terlalu biasa. Tidak ada yang istimewa. Kering. Hampa. Seperti gurun. Seperti padang yang tandus tak ada tanaman. Kaku. Dia dan orang tuanya seperti hidup sendiri-sendiri. Meski dalam satu atap. Meski dalam satu ruangan. Dekat tetapi seperti jauh. Kadang mereka bercakap-cakap, tetapi bukan mengobrol. Hanya bergantian berbicara.
Semuanya terasa kering. Kerontang. Apalagi ayahnya. Ayahnya tak pernah bertanya sesuatu pun padanya. Kecuali bertanya sesuatu yang sangat penting dan mendesak saja. Seperti basa-basi. Kenapa seperti ini?
Dia tidak pernah tahu apakah ayah dan ibunya sayang padanya. Dia tidak pernah tahu itu. Yang dia tahu hanyalah dia menumpang hidup di sana. Satu atap, satu rumah. Dekat tapi serasa jauh. Semua seperti sendiri-sendiri. Betapa ganjil. Kenapa dia berbeda dari keluarga yang lainnya? Apakah dia merindukan keluarga seperti teman-temannya? Ah, mungkin tidak juga. Dia sudah terlalu nyaman dengan keadaan seperti ini. Dia sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Jadi bukan hal yang aneh lagi.
Dan pada hari dia sakit parah, untuk pertama kalinya dia merasakan pelukan ibunya. Pelukan yang terasa berbeda. Seperti sesuatu yang dirindukannya. Apakah itu yang dinamakan kasih sayang? Dan dia bisa menyimpulkan jika ternyata dia baru tahu bahwa setidaknya ibunya menyayanginya. Dia bisa merasakan itu. Dia bisa menangkap getar-getar itu. Kepanikan ibunya. Pelukannya. Tangisnya.
Meskipun setelah sakit parah itu, suasana menjadi seperti semula. Terlalu biasa. Tak ada yang istimewa. Tak ada kehangatan dan kemesraan di ruang keluarga. Kering. Seperti gurun. Tapi setidaknya dia tahu bahwa ibunya menyayanginya. Itu sudah cukup baginya.
Dia masih menyimpan pertanyaan itu di kepalanya. Kadang hilang, kadang berkelebat. Dia menjadi murung karena perasaannya. Merasa tidak berguna. Merasa tak berdaya. Merasa tak berharga. Merasa hidupnya tak ada artinya. Untuk apa hidup ini kalau begini?
Suatu malam dia bermimpi. Mimpi yang sangat aneh. Dalam mimpinya, dia memesan sebuah kuburan untuk dirinya. Dia meminta kepada dua orang penggali kuburan. Kedua penggali kuburan itu bekerja sesuai permintaannya. Setelah kuburan jadi, dia menatap kuburan untuknya. Lama dia menatapnya, seperti ada suasana lain di dalamnya. Suasana yang asing dan ganjil. Menakutkan. Dia ketakutan. Dia tidak ingin mati dulu. Kemudian dia lari menjauh dari kuburan itu.
Dia berkata kepada kedua penggali kubur itu bahwa dia tidak jadi memesan kuburan. Kedua tukang gali kubur itu tidak terima. Mereka marah. Dia lari. Mereka mengejar membawa linggis dan cangkul seperti ingin membunuhnya dan memasukkannya ke dalam kubur itu. Dia lari, terengah-engah. Lalu terbangun. Dadanya sesak. Keringat dingin.
Semenjak malam itu, dia tidak pernah lagi berpikiran untuk mati. Dia takut. Dia menceritakan mimpinya itu kepada kakaknya yang pertama. Kakanya menasihatinya dan menyarankannya tidak perlu menceritakannya kepada orang lain. Abangnya selalu menyemangatinya sehingga perlahan-lahan dia tidak murung lagi. Dan setidaknya sakitnya tidak pernah kambuh lagi.
Selepas lulus SMA, abangnya menyuruhnya untuk kuliah di sebuah kampus berpesantren di Yogyakarta. Dia menurut saja. Dia tidak pernah tahu dan tidak pula pernah bertanya kenapa dia dikirim ke kampus ini, bukan kampus yang lain. Yang dia tahu bahwa kakaknya pasti lebih tahu mana yang baik bagi dirinya.
Malam itu, di sebuah bangunan lantai tiga, yaitu bangunan kampusnya yang belum selesai. Zaky menatap kejauhan. Menatap gemintang di langit sana. Menatap ribuan cahaya lampu seperti ribuan bahkan jutaan kunang-kunang yang tumpah di dataran yang luas. Zaky memperbaiki posisi duduknya. Laptopnya masih menyala. Kopi dingin yang tak disentuhnya.
Kadang di kepalanya masih saja berkelebat pertanyaan; kenapa keluarganya berbeda dengan keluarga teman-temannya yang hangat dan mesra?
Dia tidak pernah tahu, bagaimana bentuk kasih sayang itu. Dia tidak tahu, kenapa ayah dan ibunya tak pernah mengajaknya mengobrol hangat di ruang keluarga. Dia tidak tahu, kenapa ayah dan ibunya tak pernah memeluknya? n
Yogyakarta, Mei 2014
Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2014
No comments:
Post a Comment