Sunday, June 1, 2014

Kupu-kupu Tanalia

Cerpen Yetti A.KA


TANALIA menatap dinding kamarnya. Di sana tergantung satu lukisan. Ia sendiri yang melukis saat umurnya enam tahun. Lukisan seekor kupu-kupu dengan salah satu sayap yang robek. Sekarang ia tidak pernah melukis lagi. Masya melarangnya melukis kupu-kupu dan ia tidak berminat melukis objek lain.

Kenapa Masya melarang ia melukis kupu-kupu? Kata Masya, seekor kupu-kupu besar pernah hinggap di lengannya—kupu-kupu besar yang keluar dari hutan. Ketika terbang, kupu-kupu itu meninggalkan serbuk yang beterbangan dan membuat batuk. Sejak itu Masya menganggap kupu-kupu binatang yang buruk.

Tanalia sudah tidak percaya pada cerita mamanya itu. Ia anak kelas lima SD yang tidak mudah lagi dibohongi.

Pintu kamar Tanalia terbuka. Kepala Masya menyembul. “Belum tidur?” tanyanya. Tanalia cepat-cepat bangkit. Sudah satu jam ia tidur-tiduran, menunggu mamanya pulang kerja. Dari siang ia sudah menyusun rencana demi seekor kupu-kupu. Ia mau memberi tahu Masya tentang keinginannya memelihara kupu-kupu dalam kamar. Permintaan itu memang hampir tidak masuk akal mengingat Masya pembenci kupu-kupu. 

“Kupu-kupu?” mata Masya terbelalak. Masya menjaga emosinya tidak meletup di hadapan Tanalia. Ia mengembuskan napas pelan-pelan dan menggeleng.

“Aku melihatnya hinggap di pagar sekolah. Sayapnya ungu…”

“Tidak, Nalia,” potong Masya.

“Aku ingin sekali.” Tanalia hampir menangis.

“Kamarmu bukan kebun bunga, Nalia. Bagaimana bisa kau memelihara kupu-kupu?” Masya membujuk.

Mata Tanalia mendadak berbinar, “Ma, aku ingin punya kebun bunga di depan kamarku. Biar aku bisa pelihara seekor kupu-kupu di sana. Boleh, ya?”

Masya memandang lelah pada Tanalia.

Tanalia menunggu. Dadanya sedikit gugup. 

“Mama tidak suka kupu-kupu, Nalia. Kau ingat?” ujar Masya meruntuhkan harapan Tanalia. Membuat Tanalia langsung masuk dalam selimutnya dan tidak mau bicara lagi. Ia bahkan diam saja ketika Masya mengucapkan selamat tidur dengan suara rendah. Ia menyukai kupu-kupu. Masya justru membencinya. Mungkin hanya mamanya yang membenci kupu-kupu di dunia ini. 

Ia dengar langkah kaki Masya menjauhi tempat tidurnya. Lalu bunyi pintu. Lalu hening. Seperti biasanya, kalau sedih, kembali ia menginginkan kehadiran lelaki kupu-kupu. Ia memanggil orang itu paman. Paman kupu-kupu. Ia yang dulu sering mengetuk jendela kamarnya dan mengajak keluar untuk mencari kupu-kupu di pagi hari. Setiap kupu-kupu yang mereka temui akan ia lukis sepulang dari perjalanan itu. Masya tentu tidak tahu apa-apa. Masya cuma tahu Tanalia masih tidur di kamar saat ia berangkat kerja. Tugas pembantu memandikan dan mengantar Tanalia ke sekolah bermain. Dan pembantu itu tidak pernah memberi tahu Masya kalau ia sering menemukan Tanalia melukis di lantai kamar dengan baju yang kotor sekali atau kadang-kadang lembap embun.

Sudah enam tahun paman kupu-kupu tidak lagi menemui Tanalia. Waktu itu, untuk terakhir kali, ia muncul di jendela, melambaikan tangan, pergi untuk selamanya—bertepatan dengan Masya mulai melarang Tanalia melukis kupu-kupu dan memasukkan semua lukisan Tanalia ke dalam gudang kecuali lukisan yang sekarang dipajang di dinding.

***

Di kamarnya, Masya tidak bisa tidur. Ia teringat terus pada permintaan Tanalia. Kupu-kupu. Kebun bunga. Bukan. Sebenarnya Tanalia bukan menginginkan kebun bunga, tapi kupu-kupu. Apa yang Tanalia pikirkan tentang itu semua? Kupu-kupu. Masya mengembuskan napas. Ia menarik sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Membakar bagian ujung. Ia memain-mainkan rokok itu. Dulu, bermalam-malam, ia merokok dalam kamar yang gelap saat ia berada dalam keadaan kacau. Ia menciptakan kunang-kunang agar tidak merasa sendirian. Sekarang ia kembali pada perasaan itu. Sendirian. Dan ia tidak lagi sempat memikirkan kunang-kunang, sebab kepalanya mendadak dipenuhi kupu-kupu dari masa lalu.

Kupu-kupu. Lelaki penyuka kupu-kupu, itu. Ia yang mengaku datang dari sebuah hutan.

“Kau suka kupu-kupu?” tanya lelaki itu.

Masya berumur enam belas—seorang gadis kesepian waktu itu. Sebenarnya, ia tidak tahu apa ia suka kupu-kupu. Ia cuma senang pergi bersama lelaki itu mencari kupu-kupu. Mereka singgah di kebun bunga orang, ladang di pinggir kota, dan tempat-tempat bersemak di mana kupu-kupu terbang bebas.

Lama-lama lelaki itu sering datang pada Masya membawa rombongan kupu-kupu yang banyak sekali. Masya kadang heran melihat ratusan kupu-kupu terbang di atas kepala lelaki itu dan beberapa hinggap di bahu, rambut, dan punggungnya.

Sekarang ia berpikir, pasti saja semua itu hanya halusinasinya saat remaja dulu. Ia tersihir ketika itu. Juga saat lelaki itu mengajaknya mencari kupu-kupu pada tengah malam. Ia tahu kupu-kupu tidak terbang malam hari, tapi ia tidak peduli. Ia keluar lewat jendela saat orang tuanya tertidur. Berkali-kali ia melakukannya bersama lelaki kupu-kupu.    

Ah, sesuatu menusuk dada Masya. Ia mengisap rokok dan memainkan asap yang mengambang. Ia ingat betul, enam bulan setelah itu, ia merasakan sesuatu tumbuh dalam tubuhnya.

“Itu seekor kupu-kupu,” bisik lelaki itu sebelum ditelan kegelapan dan tak bisa lagi ia temukan.

Dan kini kau minta seekor kupu-kupu, Nalia? Masya menyandarkan punggungnya di dinding. Dari kedua sudut matanya keluar air yang selama ini ia tahan. Dalam gelap, Masya membiarkan air dari matanya kian meluap.

***

Dari atas tempat tidurnya, Tanalia memandangi malam yang muram. Ia sengaja membuka jendela beberapa saat setelah Masya keluar. Malam sering menyembuhkannya dari kesedihan-kesedihan. Dalam kegelapan malam ia merasa lelaki kupu-kupu tengah menatapnya dari kejauhan. Dan ia sudah setengah tidur, saat matanya benar-benar menangkap sebentuk bayangan di balik jendela.

“Paman kupu-kupu?” desisnya tak percaya. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar, namun kelopak matanya kaku. Tanalia ingin bangun, tubuhnya berat. Ia cuma bisa menatap bayangan lelaki kupu-kupu itu. Juga mendengar suara sayap kupu-kupu yang halus. Lelaki itu datang membawa banyak kupu-kupu. Apa ia membawanya dalam kandang kawat? Tanalia penasaran sekali.

“Tetaplah di sana, Nalia,” suara lelaki kupu-kupu, “Aku datang untuk memberimu hadiah.”

Tanalia menunggu. Satu detik. Lalu satu menit. Dan… dari luar jendela, kupu-kupu aneka warna menerobos masuk. Mereka beterbangan di ruang kamar Tanalia. Beberapa ekor hinggap di dinding dan lemari. Sementara Kupu-kupu lain terus berdatangan, bagai keluar dari kotak seorang pesulap yang lupa ditutup.

“Kupu-kupu, kupu-kupu,” Tanalia berseru-seru. Ia tertawa bahagia.

Lelaki kupu-kupu tersenyum.

***

Masya pergi ke kamar Tanalia untuk melihat wajah anaknya yang sedang tidur. Ia biasa melakukan itu pada tengah malam saat ia belum juga bisa memejamkan mata. Tapi, ia terperangah menyaksikan kupu-kupu memenuhi kamar Tanalia. Di tempat tidur, anaknya terlelap dengan tangan memeluk guling dan bibir menyunggingkan senyum. Ia melihat jendela. Tanalia lupa menutupnya, pikir Masya. Dari sanalah kupu-kupu masuk, seakan mereka mendengar keinginan hati Tanalia. Masya segera berlari menuju lemari pakaian sambil menghalau kupu-kupu yang terbang di depannya dengan kedua tangan. Dari lemari, ia keluarkan sepotong kain. Dengan kain itulah Masya mengusir kupu-kupu. Kain ia kibas-kibaskan.

“Pergi!” desis Masya, “Pergi!” Tiga ekor kupu-kupu jatuh. Sayap-sayapnya remuk. Masya bergerak ke sana ke mari. Mengikuti ke mana pun kupu-kupu terbang tanpa memberikan kesempatan pada serangga itu hinggap. Sebagian kupu-kupu sudah keluar lewat jendela, sebagian masih beterbangan di kamar Tanalia.

***

Begitu pagi, pertama-tama yang dilihat Tanalia serpihan sayap kupu-kupu terserak di lantai. Belum sempat ia berpikir jauh, matanya menemukan tulisan pada kertas yang ditempel di dinding—tempat biasa Masya meninggalkan pesan jika ia pagi-pagi pergi kerja: Tiga hari lagi Mama akan memberimu hadiah kebun bunga. Tapi, kau harus lupakan kupu-kupu. Janji ya.

Tanalia membaca ulang pesan itu. Sampai tiga kali. Mamanya sengaja meninggalkan pesan itu agar ia tidak bisa membantah. 

***

Tanalia memandangi kebun bunganya dengan mata tak berkedip.

“Kau suka, Nalia?” tanya Masya. Tangannya mencengkeram lembut bahu Tanalia.

Tiga hari lalu, saat Masya menulis pesan akan memberinya kebun bunga, Tanalia sudah membayangkan batang-batang dahlia, kembang sepatu, seruni, bahkan juga cempaka. Tiga hari lamanya ia sudah memikirkan bagaimana kupu-kupu tersesat di kebun bunga itu dan ia akan menyembunyikannya.

“Nalia?” Kali ini Masya mengguncang pelan bahu Tanalia. “Bagaimana menurutmu?” Masya tidak sabar. 

Ini tentu saja bukan kebun bunga sebagaimana yang ia bayangkan, namun Tanalia tetap saja bahagia. Paling tidak, ia tahu, mamanya sudah meluangkan waktu untuk kejutan ini. Mamanya sangat jarang pulang cepat. Namun, hari ini ia sudah menunggu Tanalia di pintu saat pulang sekolah pada pukul lima sore.

“Cantik sekali, Ma.” Mata Tanalia sudah berkedip lagi. Ia mengembangkan senyum, berbalik, dan memeluk Masya. “Tapi pasti tak akan pernah ada kupu-kupu yang tersesat di sana.” Wajah Tanalia seketika berubah murung.

“Lupakan kupu-kupu, Nalia.” Masya mengelus rambut anaknya yang panjang.

Tanalia segera membalikkan badannya kembali, memandangi kebun bunga di dinding kamarnya. Kebun bunga itu menempel di dinding keramik dengan warna dasar hijau tua. Bunga-bunga itu tampak begitu hidup. Ada bunga mawar yang besar-besar. Lengkap dengan daun-daunnya yang masih muda dan tepi yang tidak rata. Di petak lain, ada kembang seruni merah. Ada banyak jenis bunga lainnya. Masya pasti sudah merencanakan semua itu dengan serius. Memilih sendiri motif bunga pada petak-petak keramik yang akan dipasang di sebidang dinding kamarnya agar kebun bunga itu terlihat penuh. Lalu minta tukang mengerjakannya saat ia  di sekolah.

***

Betapa terkejutnya Tanalia saat suatu hari, sepulang sekolah, ia melihat bunga-bunga yang menempel di dinding keramik benar-benar hidup. Beberapa bunga berkembang segar. Beberapa lain sudah layu dan membusuk. Mata Tanalia mengerjap-ngerjap. Bunga yang layu itu segera pula digantikan bunga baru yang mungil. Terlebih, di kebun itu ia juga melihat seekor kupu-kupu sedang terbang. “Kupu-kupu!” jeritnya. Itu kupu-kupu yang tersesat. Memang bukan kupu-kupu ungu yang dilihatnya di pagar sekolah, melainkan kupu-kupu bersayap kuning dengan bintik cokelat.

Semenjak ada seekor kupu-kupu di kebun bunga, Tanalia selalu bermain bersamanya. Karena itu, jika suatu ketika Masya pulang ke rumah dan tidak lagi menemukan Tanalia, anak perempuan itu tentu tengah asyik berlari-lari dalam kebun bunga di dinding kamarnya. Masya mungkin panik, memanggil-manggil nama Tanalia. Mencari ke berbagai sudut rumah. Dari gudang hingga semua kamar mandi. Tanalia tidak juga ia temukan.

Sementara itu, di kebun bunganya, Tanalia sedang mengejar seekor kupu-kupu kuning sambil tertawa-tawa. Ia sungguh tidak mendengar apa-apa. Tidak pernah mendengar apa-apa lagi.

Dan tanpa sepengetahuan Masya dan Tanalia, di tempat yang jauh lelaki kupu-kupu memandang mereka berdua dengan kedua matanya yang segelap malam. n

GM, 2014
   

Lampung Post, Minggu, 1 Juni 2014

No comments:

Post a Comment