Cerpen Restoe Prawironegoro Ibrahim
SEMENJAK tamat dari es-em-a, tahun 1977 lalu, aku bekerja sebagai guide pada sebuah biro perjalanan. Jangan heran kalau aku bisa jadi pemandu, sebab meskipun hanya lulusan es-em-a, aku telah mengantongi ijazah bahasa Inggris dan Jerman. Bintang terang agaknya selalu menerangiku sehingga dalam waktu singkat aku bisa menjadi seorang pemandu yang paling laris di perusahaan tempatku mengabdi.
Pada 1980, sewaktu aku sedang bertugas mengantar tamu ke Pulau Dewata, aku sempat berkenalan dengan seorang gadis cantik bernama Eva. Ia seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah perguruan tinggi negeri. Perkenalan itu kemudian berlanjut menjadi percintaan. Dan masa berpacaran berakhir pula dengan sebuah pernikahan kami, setelah Eva berhasil menggondol gelar doktoranda.
Sebenarnya, hubungan kami yang akhirnya berlanjut pada jenjang pernikahan kurang disetujui oleh keluargaku, terutama ibu yang telah menjanda. Banyak argumentasi yang mereka kemukakan. Antara lain karena Eva anak orang kaya, sedang aku dari keluarga “Senin-Kemis”. Karena Eva sarjana, sementara aku cuma lulusan sekolah lanjutan atas. Karena usia Eva lebih tua dariku dua tahun dan sekeranjang alasan lainnya. Tapi dasar namanya sudah terkiwir-kiwir, aku teruskan saja. Ternyata, apa yang mereka khawatirkan terjadi juga.
Tiga bulan sudah perjalanan bahtera rumah tangga kami, ketika sesuatu yang tak pernah kubayangkan terjadi. Terus terang, aku sangat terkejut dan tak percaya melihat sikap istriku yang tiba-tiba berubah. Kalau sebelumnya ia begitu penuh dengan kasih sayang, kemesraan, kemanjaan, dan pengertian, kini berubah menjadi sebaliknya. Ia sudah mulai berani kepadaku dalam segala hal. Bahkan tak jarang pula memerintahku seenak perutnya sendiri. Aku seakan tak berarti di hadapannya. Tersinggung? Tentu saja perasaan itu hadir di hatiku. Tapi aku berusaha tetap menahan diri lantaran selain tak menginginkan pertengkaran, juga karena kami masih menumpang di rumah orang tuanya.
Ternyata, dari hari ke hari sikap Eva kian merajalela kepadaku. Hampir setiap waktu aku menjadi sasaran sikap dan ucapan kasarnya. Wibawaku sebagai seorang suami sudah dihancurkannya, baik di hadapan keluarganya maupun teman kerabatku. Sementara itu, sikap orang tua dan adik-adiknya pun kurang adil terhadapku. Pokoknya, aku terus tersiksa dengan keadaan selalu dimusuhi seperti itu. Untuk mengatasi semua itu, aku bermaksud pindah rumah saja. “Barangkali dengan tinggal di rumah sendiri, aku bisa menundukkan istriku. Karena tak akan ada lagi rasa sungkan kepada mertua,” pikirku. Maka, dengan mengambil uang simpanan di bank, aku bisa mengontrak rumah selama lima tahun.
Rumah yang kukontrak memang tak begitu besar. Tapi halamannya cukup luas dan dirimbuni berbagai pepohonan. Di sebelah kirinya ada sungai kecil yang airnya cukup deras. Di depan rumah terdapat poskamling dengan serumpun pohon bambu kuning di sisi kirinya. Suasana kampung baruku cukup tenang, apalagi kalau malam hari. Yang terdengar hanya alunan nyanyian katak dan jangkrik.
Hari-hari pertama tinggal di sana memang ada perasaan tak kerasan di hatiku, tapi lama-kelamaan senang juga. Hanya satu yang membuat hatiku belum bisa gembira, yakni sikap Eva yang tak kunjung berubah. Bahkan semakin menjadi-jadi. Harapanku setelah pindah ke rumah sendiri istriku dapat menjadi baik, ternyata meleset. Justru malah naik “voltase”nya. Kini, pertengkaran terjadi hampir tiap hari. Ini karena aku sudah mulai unjuk taring. Tak hanya diam mendengarkan dampratannya, dan tak kuat lagi menahan emosi. Ada saja bahan untuk dibuat pertengkaran. Perkara sepele bisa menimbulkan ledakan pertengkaran yang dahsyat.
Suatu hari, kami bertengkar cukup seru. Gara-garanya, aku menolak menyemirkan sepatunya. Malam hari setelah “Perang Bharata Yudha” itu terjadi, aku tinggal seorang diri di rumah karena Eva purik (ngambek) ke rumah orang tuanya.
Jam dinding berdentang dua kali, tapi mata ini tetap tak mau terpejam. Mungkin disebabkan kekacauan pikiranku. Tiba-tiba, terdengar olehku suara langkah kaki di luar seperti mendekati kamarku, dan berhenti persis di jendela. Jujur saja, waktu itu hatiku berdebar keras. Rasa takut dan khawatir mencekam perasaan. Apalagi ketika kuingat cerita Pak Harun, tetangga kanan rumahku, bahwa sebelum kutempati rumah tersebut dikosongkan pemiliknya kurang lebih tiga tahun. Pasalnya, konon rumah yang kudiami sekarang ada “penunggunya”.
Lamunan yang tidak-tidak mendadak buyar oleh semilir angin yang menerpa permukaan kulitku. Sungguh, yang namanya bulu kuduk berdiri tegak, setegak-tegaknya. Mataku yang tak berkedip menatap ke jendela yang membuka dan menutup sendiri, semakin melotot ketika menangkap bayangan di jendela. Bayangan seorang laki-laki muda yang cukup tampan. Ia tampak tersenyum kepadaku, seolah mengatakan, “Jangan takut sobat!”
Aneh, melihat senyumnya, hati ini rasanya tenteram. Rasa takut yang melanda hatiku mendadak sirna. Namun, sayang, sebelum aku sempat berbuat sesuatu, bayangan laki-laki di jendela itu sudah lenyap begitu saja.
Hari-hari berikutnya, bayangan laki-laki misterius itu sering menampakkan diri. Terutama kalau aku habis bertengkar dengan Eva. Apa maksudnya selalu menampakkan diri? Tentu saja aku tak mengerti. Tapi kalau kulihat dari pandangan matanya, seakan ia menaruh rasa iba kepadaku. Bisa jadi. Suatu malam, ketika bayangan itu kembali menampakkan diri, kuberanikan diri untuk menegurnya. Kutanya siapa ia dan apa maksudnya “menggangguku”. Tapi ia tak menjawab, hanya menudingkan jarinya ke arah foto pengantinku, lalu ia kembali lenyap.
Selama aku mendapat “gangguan” tersebut, aku tak pernah menceritakan kepada Eva. Tapi justru pernah sekali kuceritakan pada Pak Harun, itu pun setelah ia menanyakan apakah aku tak pernah mendapat gangguan? “Tenang saja Mas, enggak usah ditanggapi! Nanti kan hilang sendiri. Yang penting, tingkatkan kebaktian kita kepada Tuhan!” saran Pak Harun. Dan, Pak Harun cuma tersenyum, ketika aku ingin mengetahui lebih jauh tentang hantu laki-laki tersebut. “Sudahlah, nanti sampeyan akan tahu sendiri,” jawabnya.
Enam bulan sudah kami tinggal di rumah itu. Keadaan ekonomi rumah tanggaku semakin mantap. Ini karena ditunjang Eva yang sudah punya kedudukan di salah satu instansi yang terkenal “basah”. Namun, pertengkaran semakin sering terjadi.
Pada awal bulan ketujuh, aku bertengkar lagi dengan Eva. Kali ini benar-benar habis-habisan. Begitu emosinya, ia kupukul beberapa kali. Selain itu, barang-barang yang ada, seperti televisi, kulkas, kipas angin, dan sebangsanya, hancur terkena amukanku. Aku benar-benar kalap. Emosiku sudah tak mampu kubendung lagi. Aku sudah nekat. Harga diriku tak boleh diinjak-injak terus.
Awal perkaranya? Sepulangku dari mengantar turis ke Jawa Tengah selama seminggu, mendadak Eva menuntutku untuk menceraikannya. Alasannya, ia sudah bosan hidup bersamaku. Tak hanya itu, Eva juga menyatakan sangat menyesal menjadi istriku. Dan yang paling membuatku naik darah, ia mengulangi cerita lama, mengumpat dan menghinaku; laki-laki tidak bonafide, goblok, keturunan kere, tidak intelek dan semacamnya.
Semenjak bom emosi itu meledak, Eva minggat ke rumah orang tuanya. Dan sekali lagi, aku digempur ramai-ramai oleh ibu dan adik-adiknya, seperti biasanya kalau kami lagi berselisih. Sekitar tiga minggu kami pisah tidur, mendadak pada suatu pagi, Eva pulang sambil menangis minta maaf. Ia menyatakan tak akan menyia-nyiakanku lagi. Kontan saja aku sangat heran dengan perubahan yang tiba-tiba itu. Setelah tenang, Eva menceritakan asal mula yang mengilhami kesadarannya.
Selama berada di rumah orang tuanya, katanya, ia selalu mimpi bertemu dengan seorang laki-laki misterius yang tak dikenalnya. Setiap bertemu, laki-laki itu selalu minta agar Eva mau “gencatan senjata” denganku. Mula-mula Eva tak menanggapi. Tapi lama-lama, dipikirkannya juga permintaan tersebut. Hatinya benar-benar tersentuh, ketika pada suatu malam, dalam mimpi, laki-laki itu datang dan memberikan gambaran buruk yang pernah dialaminya sendiri. Entah, mukjizat apa yang turun, sehingga cerita itu masuk ke dalam jiwa Eva.
Malam harinya setelah “gencatan senjata”, kami memulai lagi malam manis penuh kemesraan, seperti saat sehabis naik pelaminan dulu. Tengah malam, tiba-tiba aku dibangunkan Eva. Wajahnya tampak sangat ketakutan, sambil menatap ke arah jendela. Ketika kulihat, laki-laki misterius yang selalu menggodaku, kembali menampakkan diri. “Dia Mas. Dia yang …. yang datang kepadaku!” teriak Eva. Namun, sebelum aku bangkit untuk mendekatinya, laki-laki misterius itu telah lenyap. Kepergiannya diakhiri dengan senyuman dan lambaian tangan. Sejak saat itu, sahabat misteriusku itu tak pernah muncul lagi.
Sungguh aku tak menyangka, hantu laki-laki di jendela yang selama ini kuanggap selalu mengganggu ternyata justru sebagai pahlawan penyelamat rumah tanggaku dari jurang kehancuran. Badai yang selama ini melanda, ternyata dengan mudah dihentikannya. Padahal, selama ini aku sangat kesulitan menemukan jalan keluarnya. Berbagai cara telah kucoba. Tapi hasilnya nihil.
Kini, sikap istriku tak lagi seperti dulu. Sekarang ia begitu mencintai dan menghormati padaku, sebagaimana layaknya seorang istri. Rumah tangga kami berjalan manis dan harmonis. Apalagi setelah kami dianugerahi momongan yang mungil dan lucu. “Terima kasih Tuhan. Engkau telah menurunkan mukjizat lewat laki-laki misterius itu,” pujiku.
Siapa sebenarnya laki-laki di jendela itu? Menurut cerita Pak Harun, sepuluh tahun yang lampau, seorang warga kampung bernama Sukarno ditemukan tewas bunuh diri dengan jalan menyilet nadi pergelangan tangannya. Laki-laki itu ditemukan tergeletak di bawah jendela kamarnya. Yang membuatnya putus asa hingga nekat bunuh diri, lantaran ia tak kuasa lagi menahan kehancuran harga dirinya karena perbuatan istrinya. Istrinya yang bernama Rahayu, terlalu berani dan tak mau menghormati suaminya sedikit pun.
Bahkan, beberapa kali Sukarno memergoki Rahayu berbuat zina dengan seorang pemuda kampung di dalam kamar tidurnya. Entah bagaimana kejadian selanjutnya yang sampai membuat Sukarno nekat menghabisi nyawanya. Yang jelas, ia telah menyelamatkan kehancuran rumah tanggaku. Agaknya ia tak rela, kisah sedih yang pernah dialaminya terulang kembali, terjadi padaku. n
Jakarta, Gang Harlan, Petamburan; 6 Mei 2014
Lampung Post, Minggu, 8 Juni 2014
SEMENJAK tamat dari es-em-a, tahun 1977 lalu, aku bekerja sebagai guide pada sebuah biro perjalanan. Jangan heran kalau aku bisa jadi pemandu, sebab meskipun hanya lulusan es-em-a, aku telah mengantongi ijazah bahasa Inggris dan Jerman. Bintang terang agaknya selalu menerangiku sehingga dalam waktu singkat aku bisa menjadi seorang pemandu yang paling laris di perusahaan tempatku mengabdi.
Pada 1980, sewaktu aku sedang bertugas mengantar tamu ke Pulau Dewata, aku sempat berkenalan dengan seorang gadis cantik bernama Eva. Ia seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah perguruan tinggi negeri. Perkenalan itu kemudian berlanjut menjadi percintaan. Dan masa berpacaran berakhir pula dengan sebuah pernikahan kami, setelah Eva berhasil menggondol gelar doktoranda.
Sebenarnya, hubungan kami yang akhirnya berlanjut pada jenjang pernikahan kurang disetujui oleh keluargaku, terutama ibu yang telah menjanda. Banyak argumentasi yang mereka kemukakan. Antara lain karena Eva anak orang kaya, sedang aku dari keluarga “Senin-Kemis”. Karena Eva sarjana, sementara aku cuma lulusan sekolah lanjutan atas. Karena usia Eva lebih tua dariku dua tahun dan sekeranjang alasan lainnya. Tapi dasar namanya sudah terkiwir-kiwir, aku teruskan saja. Ternyata, apa yang mereka khawatirkan terjadi juga.
Tiga bulan sudah perjalanan bahtera rumah tangga kami, ketika sesuatu yang tak pernah kubayangkan terjadi. Terus terang, aku sangat terkejut dan tak percaya melihat sikap istriku yang tiba-tiba berubah. Kalau sebelumnya ia begitu penuh dengan kasih sayang, kemesraan, kemanjaan, dan pengertian, kini berubah menjadi sebaliknya. Ia sudah mulai berani kepadaku dalam segala hal. Bahkan tak jarang pula memerintahku seenak perutnya sendiri. Aku seakan tak berarti di hadapannya. Tersinggung? Tentu saja perasaan itu hadir di hatiku. Tapi aku berusaha tetap menahan diri lantaran selain tak menginginkan pertengkaran, juga karena kami masih menumpang di rumah orang tuanya.
Ternyata, dari hari ke hari sikap Eva kian merajalela kepadaku. Hampir setiap waktu aku menjadi sasaran sikap dan ucapan kasarnya. Wibawaku sebagai seorang suami sudah dihancurkannya, baik di hadapan keluarganya maupun teman kerabatku. Sementara itu, sikap orang tua dan adik-adiknya pun kurang adil terhadapku. Pokoknya, aku terus tersiksa dengan keadaan selalu dimusuhi seperti itu. Untuk mengatasi semua itu, aku bermaksud pindah rumah saja. “Barangkali dengan tinggal di rumah sendiri, aku bisa menundukkan istriku. Karena tak akan ada lagi rasa sungkan kepada mertua,” pikirku. Maka, dengan mengambil uang simpanan di bank, aku bisa mengontrak rumah selama lima tahun.
Rumah yang kukontrak memang tak begitu besar. Tapi halamannya cukup luas dan dirimbuni berbagai pepohonan. Di sebelah kirinya ada sungai kecil yang airnya cukup deras. Di depan rumah terdapat poskamling dengan serumpun pohon bambu kuning di sisi kirinya. Suasana kampung baruku cukup tenang, apalagi kalau malam hari. Yang terdengar hanya alunan nyanyian katak dan jangkrik.
Hari-hari pertama tinggal di sana memang ada perasaan tak kerasan di hatiku, tapi lama-kelamaan senang juga. Hanya satu yang membuat hatiku belum bisa gembira, yakni sikap Eva yang tak kunjung berubah. Bahkan semakin menjadi-jadi. Harapanku setelah pindah ke rumah sendiri istriku dapat menjadi baik, ternyata meleset. Justru malah naik “voltase”nya. Kini, pertengkaran terjadi hampir tiap hari. Ini karena aku sudah mulai unjuk taring. Tak hanya diam mendengarkan dampratannya, dan tak kuat lagi menahan emosi. Ada saja bahan untuk dibuat pertengkaran. Perkara sepele bisa menimbulkan ledakan pertengkaran yang dahsyat.
Suatu hari, kami bertengkar cukup seru. Gara-garanya, aku menolak menyemirkan sepatunya. Malam hari setelah “Perang Bharata Yudha” itu terjadi, aku tinggal seorang diri di rumah karena Eva purik (ngambek) ke rumah orang tuanya.
Jam dinding berdentang dua kali, tapi mata ini tetap tak mau terpejam. Mungkin disebabkan kekacauan pikiranku. Tiba-tiba, terdengar olehku suara langkah kaki di luar seperti mendekati kamarku, dan berhenti persis di jendela. Jujur saja, waktu itu hatiku berdebar keras. Rasa takut dan khawatir mencekam perasaan. Apalagi ketika kuingat cerita Pak Harun, tetangga kanan rumahku, bahwa sebelum kutempati rumah tersebut dikosongkan pemiliknya kurang lebih tiga tahun. Pasalnya, konon rumah yang kudiami sekarang ada “penunggunya”.
Lamunan yang tidak-tidak mendadak buyar oleh semilir angin yang menerpa permukaan kulitku. Sungguh, yang namanya bulu kuduk berdiri tegak, setegak-tegaknya. Mataku yang tak berkedip menatap ke jendela yang membuka dan menutup sendiri, semakin melotot ketika menangkap bayangan di jendela. Bayangan seorang laki-laki muda yang cukup tampan. Ia tampak tersenyum kepadaku, seolah mengatakan, “Jangan takut sobat!”
Aneh, melihat senyumnya, hati ini rasanya tenteram. Rasa takut yang melanda hatiku mendadak sirna. Namun, sayang, sebelum aku sempat berbuat sesuatu, bayangan laki-laki di jendela itu sudah lenyap begitu saja.
Hari-hari berikutnya, bayangan laki-laki misterius itu sering menampakkan diri. Terutama kalau aku habis bertengkar dengan Eva. Apa maksudnya selalu menampakkan diri? Tentu saja aku tak mengerti. Tapi kalau kulihat dari pandangan matanya, seakan ia menaruh rasa iba kepadaku. Bisa jadi. Suatu malam, ketika bayangan itu kembali menampakkan diri, kuberanikan diri untuk menegurnya. Kutanya siapa ia dan apa maksudnya “menggangguku”. Tapi ia tak menjawab, hanya menudingkan jarinya ke arah foto pengantinku, lalu ia kembali lenyap.
Selama aku mendapat “gangguan” tersebut, aku tak pernah menceritakan kepada Eva. Tapi justru pernah sekali kuceritakan pada Pak Harun, itu pun setelah ia menanyakan apakah aku tak pernah mendapat gangguan? “Tenang saja Mas, enggak usah ditanggapi! Nanti kan hilang sendiri. Yang penting, tingkatkan kebaktian kita kepada Tuhan!” saran Pak Harun. Dan, Pak Harun cuma tersenyum, ketika aku ingin mengetahui lebih jauh tentang hantu laki-laki tersebut. “Sudahlah, nanti sampeyan akan tahu sendiri,” jawabnya.
Enam bulan sudah kami tinggal di rumah itu. Keadaan ekonomi rumah tanggaku semakin mantap. Ini karena ditunjang Eva yang sudah punya kedudukan di salah satu instansi yang terkenal “basah”. Namun, pertengkaran semakin sering terjadi.
Pada awal bulan ketujuh, aku bertengkar lagi dengan Eva. Kali ini benar-benar habis-habisan. Begitu emosinya, ia kupukul beberapa kali. Selain itu, barang-barang yang ada, seperti televisi, kulkas, kipas angin, dan sebangsanya, hancur terkena amukanku. Aku benar-benar kalap. Emosiku sudah tak mampu kubendung lagi. Aku sudah nekat. Harga diriku tak boleh diinjak-injak terus.
Awal perkaranya? Sepulangku dari mengantar turis ke Jawa Tengah selama seminggu, mendadak Eva menuntutku untuk menceraikannya. Alasannya, ia sudah bosan hidup bersamaku. Tak hanya itu, Eva juga menyatakan sangat menyesal menjadi istriku. Dan yang paling membuatku naik darah, ia mengulangi cerita lama, mengumpat dan menghinaku; laki-laki tidak bonafide, goblok, keturunan kere, tidak intelek dan semacamnya.
Semenjak bom emosi itu meledak, Eva minggat ke rumah orang tuanya. Dan sekali lagi, aku digempur ramai-ramai oleh ibu dan adik-adiknya, seperti biasanya kalau kami lagi berselisih. Sekitar tiga minggu kami pisah tidur, mendadak pada suatu pagi, Eva pulang sambil menangis minta maaf. Ia menyatakan tak akan menyia-nyiakanku lagi. Kontan saja aku sangat heran dengan perubahan yang tiba-tiba itu. Setelah tenang, Eva menceritakan asal mula yang mengilhami kesadarannya.
Selama berada di rumah orang tuanya, katanya, ia selalu mimpi bertemu dengan seorang laki-laki misterius yang tak dikenalnya. Setiap bertemu, laki-laki itu selalu minta agar Eva mau “gencatan senjata” denganku. Mula-mula Eva tak menanggapi. Tapi lama-lama, dipikirkannya juga permintaan tersebut. Hatinya benar-benar tersentuh, ketika pada suatu malam, dalam mimpi, laki-laki itu datang dan memberikan gambaran buruk yang pernah dialaminya sendiri. Entah, mukjizat apa yang turun, sehingga cerita itu masuk ke dalam jiwa Eva.
Malam harinya setelah “gencatan senjata”, kami memulai lagi malam manis penuh kemesraan, seperti saat sehabis naik pelaminan dulu. Tengah malam, tiba-tiba aku dibangunkan Eva. Wajahnya tampak sangat ketakutan, sambil menatap ke arah jendela. Ketika kulihat, laki-laki misterius yang selalu menggodaku, kembali menampakkan diri. “Dia Mas. Dia yang …. yang datang kepadaku!” teriak Eva. Namun, sebelum aku bangkit untuk mendekatinya, laki-laki misterius itu telah lenyap. Kepergiannya diakhiri dengan senyuman dan lambaian tangan. Sejak saat itu, sahabat misteriusku itu tak pernah muncul lagi.
Sungguh aku tak menyangka, hantu laki-laki di jendela yang selama ini kuanggap selalu mengganggu ternyata justru sebagai pahlawan penyelamat rumah tanggaku dari jurang kehancuran. Badai yang selama ini melanda, ternyata dengan mudah dihentikannya. Padahal, selama ini aku sangat kesulitan menemukan jalan keluarnya. Berbagai cara telah kucoba. Tapi hasilnya nihil.
Kini, sikap istriku tak lagi seperti dulu. Sekarang ia begitu mencintai dan menghormati padaku, sebagaimana layaknya seorang istri. Rumah tangga kami berjalan manis dan harmonis. Apalagi setelah kami dianugerahi momongan yang mungil dan lucu. “Terima kasih Tuhan. Engkau telah menurunkan mukjizat lewat laki-laki misterius itu,” pujiku.
Siapa sebenarnya laki-laki di jendela itu? Menurut cerita Pak Harun, sepuluh tahun yang lampau, seorang warga kampung bernama Sukarno ditemukan tewas bunuh diri dengan jalan menyilet nadi pergelangan tangannya. Laki-laki itu ditemukan tergeletak di bawah jendela kamarnya. Yang membuatnya putus asa hingga nekat bunuh diri, lantaran ia tak kuasa lagi menahan kehancuran harga dirinya karena perbuatan istrinya. Istrinya yang bernama Rahayu, terlalu berani dan tak mau menghormati suaminya sedikit pun.
Bahkan, beberapa kali Sukarno memergoki Rahayu berbuat zina dengan seorang pemuda kampung di dalam kamar tidurnya. Entah bagaimana kejadian selanjutnya yang sampai membuat Sukarno nekat menghabisi nyawanya. Yang jelas, ia telah menyelamatkan kehancuran rumah tanggaku. Agaknya ia tak rela, kisah sedih yang pernah dialaminya terulang kembali, terjadi padaku. n
Jakarta, Gang Harlan, Petamburan; 6 Mei 2014
Lampung Post, Minggu, 8 Juni 2014
No comments:
Post a Comment