-bagi Iswadi Pratama
Cerpen Alex R. Nainggolan
sepanjang jalan tanjungkarang
januari gugur sepertu hujan
kemilau pasar: cahaya di pipi perempuan **)
MUNGKIN, di Januari ini engkau akan sedikit menyepi. Ketika tahun mulai membuka jubahnya, sekaligus melemparkan kesedihan atau kesakitan bagi puisi yang pernah kautulis. Tapi, bukankah penyair juga berhak berbahagia? Sebab kesedihan terkadang menjadi seluas lautan saat menjelma jadi puisi. Duh, mengapa puisi senang berlarat-larat dengan peristiwa? Barangkali pula, ini bukanlah hujan sebagaimana yang tertulis dalam puisimu. Tapi bukankah hujan tetaplah hujan? Tak peduli bagaimana bentuknya. Entah itu gerimis, deras, ataupun rinai.
Dengan dinginnya yang wingit, semacam memberikan celah yang sempit. Sekejap segalanya membasah. Jalanan, rumah, gedung-gedung, kendaraan, orang-orang, juga puisi. Seperti juga tubuhmu, yang kuyup—kenangan mendadak buram. Tak ada halte buat dirimu singgah, bahkan perempuan yang ranum sekalipun. Bukankah kenangan pula yang membuat kita kerapkali buta? Dengan sekejap datang tanpa diduga, serupa hantu.
Ah, mengapa engkau lupakan jalan pulang? Bukankah di rumah mungil itu telah lama menunggu; canda anak-anak dan seorang istri yang senantiasa menyeduhkan secangkir kopi setiap pagi? Setidaknya engkau bisa melepaskan setiap lelap pikiranmu. Saat tiba di sebuah rumah, anak-anak yang berlarian menyebut namamu: Ayah. Ketika pagar kaubuka, mereka akan sigap melompat, berlarian mengejarmu.
lelakiku kesasar di sini
dalam setiap dering telepon, kartu pos, atau pacar lama **)
Januari ini hujan turun lagi. Hampir setiap hari. Hampir sepanjang hari. Langit melulu redup. Dingin serasa terkunci, mengatup. Dan kota yang kutinggali dicekam ketakutan. Air menggenang di mana-mana. Tubuh-tubuh membeku. Terkunci. Tak bisa bergerak. Jalanan serasa mampat. Di kota yang kutinggali, hanya ada bukit kecemasan, setiap kali aku bertemu dengan orang lain. Yang ditanyakan hanyalah: ”Apakah tempat tinggalmu dikepung banjir?” atau ”Seberapa tinggi banjir yang masuk ke dalam rumah?” atau ”Apakah engkau bisa berangkat kerja dengan banjir yang mengepung?” atau ”Apakah engkau mengungsi saat banjir datang? Ke mana? Ke hotel apa apartemen?” atau puluhan tanya lainnya yang nadanya sama. Ketakutan tentang banjir yang melanda. Pertanyaan yang membuat dirimu muak. Pertanyaan yang terasa semacam ketololan semata.
Mudah-mudahan bukan di kotamu, penyair. Sebab bagiku Tanjungkarang selalu menyisakan gemintang harap, yang senantiasa menggertap. Tanjungkarang akan kerap berpijar dengan denyarannya yang abadi. Bukankah kota itu telah lama menyihir para penyair? Seakan menjadi tenung yang panjang, katakanlah untuk sekadar merenung. Di setiap sudutnya, masih ada puluhan diksi yang abadi. Diksi itu ibarat buat yang telah masak, sehingga tinggal dipetik saja. Hmm. Betapa Tanjungkarang meninggalkan segurat tanda di kepalaku. Jalanannya yang seperti abadi dalam ingatan. Bertahun-tahun, setiap kali aku bertandang ke kota itu, tak banyak yang berubah.
DI JALANAN Tanjungkarang itu pulalah, terasa benar jika sunyi telah membesar. Sunyi yang berkecambah acapkali menguliti rindu yang magis. Tanpa mesti ada tangis. Di kotamu, segalanya seperti meninggalkan tanda, bukan hanya tertera pada plang nama jalan semata. Melainkan juga pada setiap relung yang terlewati. Saat kita melangkahkan kaki, terasa benar sudutnya yang bergetar. Semacam ada sekelebat cahaya yang melambai, untuk minta didatangi.
Sebagaimana aku yang dulu menikmati kotamu. Sebuah jalan yang lurus terbentang, menuju sebuah titik. Tanjungkarang yang dipenuhi rindang cahaya. Tak ada keramaian di kota itu yang benar-benar riuh, bagiku. Sepertinya orang-orang begitu menikmati segala metamorfosa sunyi dari Tanjungkarang. Meskipun sesekali, mobil angkutan kota bergerak dengan hantaman bising lagu house music-nya, yang membuat sunyi itu pecah. Tapi itu pun tak terlalu lama, dengan sekejap sunyi kembali menyusun dirinya, selapis demi selapis.
Tapi Januari di kotaku terasa berbeda. Kota yang dipenuhi selokan yang mampat. Belum lagi sejumlah orang yang berkomplot, dengan pelbagai muslihat atau rencana jahat. Ya, justru di Januari ini, orang-orang sibuk membaca denah kota. Saling menyalahkan mengapa hujan yang turun sepanjang hari, setiap hari itu meninggalkan genangan air yang abadi.
Tapi apa yang salah dengan hujan yang turun di bulan Januari? Mereka saling berteriak, saat curahan hujan turun begitu deras. Saat hujan seperti jatuh tanpa ampun. Seketika mendadak ngungun. Saat hujan masih turun, lalu menciptakan beberapa genangan di setiap sudut. Bahkan saat hujan semakin deras, genangan seperti cepat beranak-pinak, menjadi banyak dan semakin meninggi.
Di kotaku, bayangan hujan mendadak menjelma jadi ketakutan yang memanjang. Bahkan untuk sekadar bayang-bayang hujan sekalipun! Saat langit mulai gelap, dengan mendung yang terkurung. ”Sialah, hujan turun lagi!” umpat mereka. Mereka seperti menyesali hujan yang bertandang. Ketika hujan mulai datang yang bermula dari gerimis, kemudian menjadi deras dan lebat. Seketika mereka mulai memeriksa saluran di sisi rumah. Saluran yang dipenuhi endapan lumpur ditambah sampah yang menumpuk. Di kotaku, tak ada yang menyambut hujan dengan raut wajah ceria. Melihat hujan wajah mereka sekejap murung.
Pun di televisi, mereka asik berdebat. Berbusa dalam omongan. Menyodorkan sejumlah asumsi dan teori. Saling menyalahkan kembali. Memberikan solusi, namun tak sepenuhnya dikerjakan. Jika banjir akibat salahnya tata kota. Jika banjir akibat banyaknya curah air dari tempat yang lebih tinggi. Jika banjir pembangunan kota yang semrawut. Ah, bukankah banjir sendiri adalah berkah? Dengan begitu, kita seperti ditegur dengan keras—jika manusia memang sekadar pion bagi Tuhan. Bahwa kita tak pernah bisa melawan kehendak-Nya. Jika kita memang hanya bisa berencana, namun Tuhan pulalah yang menentukan.
Bukankah renungan itu seperti dengung yang abadi. Untuk kita senantiasa berbenah, secara tidak langsung jika hal ini akibat ulah kita sendiri. Menghilangkan resapan air, membuang sampah sembarangan, membuat sempit aliran sungai. Duh, mengapa justru aku yang melantur. Mendadak jadi seorang pengkhotbah? Padahal aku hanya ingin menikmati hujan yang turun di Januari ini, sebagaimana yang kautuliskan dalam puisi. Hujan yang membuat dirimu terus menggeluti setiap jejak sunyi. Terasa begitu kepayahan dirimu untuk memungutinya satu per satu. Semacam pekerjaan yang serius dan tekun; ketika menyusun kepingan puzzle. Kepingan-kepingan itu adalah sisa ingatanmu yang masih sempat berdenyar. Ah, betapa kenangan terasa begitu menyesakkan dada. Terasa banyak yang mesti disusun ulang, rencana-rencana yang terasa tinggal sekadar kata-kata.
Dengan ingatan itulah, engkau seperti ingin mengajak berdamai dengan masalalu. Seperti ingin merekatkannya dengan kuat. Namun serasa tak sepenuhnya segala hal bisa kauingat dengan sempurna. Terasa ada hal-hal yang kurang, berlalu begitu saja. Abai bersama waktu. Di muka tahun, ingatan-ingatan itu terus saja meenerjang lalu-lintas pikiranmu.
Januari ini hujan terasa panjang. Memasuki setiap urat kota, menelusup di segala ruang. Jalanan basah dalam erang. Langit begitu meriang. Tak ada tirai matahari yang terbuka. Tak terasa pijar hangat yang terkuak dari sinarnya. Mendung seperti terkurung di angkasa. Tak bisa ke mana-mana.
Lalu, orang-orang di kotaku akan berteriak hingga serak, ”Cahaya... di mana cahaya? Kami butuh cahaya! Di mana matahari kami?”
*
aku merapatkan mantel dan kerah kemeja
orang-orang menyusun dirinya
memasuki masa lalu
yang terus tumbuh dalam otakku **)
Januari ini hujan turun lagi. Hampir setiap hari. Hampir sepanjang hari. Langit melulu redup. Dingin serasa terkunci, mengatup. Dari kejauhan, aku sendirian membaca puisi yang kautuliskan. Di kejauhan, kaca jendela terciprat hujan yang luruh. Menjadi sebuah bayangan magis, yang mengumpulkan segala ingatanku. Tentang kota atau seorang perempuan. Mendadak pandanganku buram, kota seperti berenang menghampiriku. Hampir tenggelam.
Poris Plawad/Edelweis, 2014
Catatan:
*) Judul kisah ini diambil dari puisi Iswadi Pratama dengan judul yang sama, setidaknya turut menjadi inspirasi bagi kisah di dalamnya.
**) Lirik puisi Hujan Bulan Januari ditulis oleh Iswadi Pratama
Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2014
Cerpen Alex R. Nainggolan
sepanjang jalan tanjungkarang
januari gugur sepertu hujan
kemilau pasar: cahaya di pipi perempuan **)
MUNGKIN, di Januari ini engkau akan sedikit menyepi. Ketika tahun mulai membuka jubahnya, sekaligus melemparkan kesedihan atau kesakitan bagi puisi yang pernah kautulis. Tapi, bukankah penyair juga berhak berbahagia? Sebab kesedihan terkadang menjadi seluas lautan saat menjelma jadi puisi. Duh, mengapa puisi senang berlarat-larat dengan peristiwa? Barangkali pula, ini bukanlah hujan sebagaimana yang tertulis dalam puisimu. Tapi bukankah hujan tetaplah hujan? Tak peduli bagaimana bentuknya. Entah itu gerimis, deras, ataupun rinai.
Dengan dinginnya yang wingit, semacam memberikan celah yang sempit. Sekejap segalanya membasah. Jalanan, rumah, gedung-gedung, kendaraan, orang-orang, juga puisi. Seperti juga tubuhmu, yang kuyup—kenangan mendadak buram. Tak ada halte buat dirimu singgah, bahkan perempuan yang ranum sekalipun. Bukankah kenangan pula yang membuat kita kerapkali buta? Dengan sekejap datang tanpa diduga, serupa hantu.
Ah, mengapa engkau lupakan jalan pulang? Bukankah di rumah mungil itu telah lama menunggu; canda anak-anak dan seorang istri yang senantiasa menyeduhkan secangkir kopi setiap pagi? Setidaknya engkau bisa melepaskan setiap lelap pikiranmu. Saat tiba di sebuah rumah, anak-anak yang berlarian menyebut namamu: Ayah. Ketika pagar kaubuka, mereka akan sigap melompat, berlarian mengejarmu.
lelakiku kesasar di sini
dalam setiap dering telepon, kartu pos, atau pacar lama **)
Januari ini hujan turun lagi. Hampir setiap hari. Hampir sepanjang hari. Langit melulu redup. Dingin serasa terkunci, mengatup. Dan kota yang kutinggali dicekam ketakutan. Air menggenang di mana-mana. Tubuh-tubuh membeku. Terkunci. Tak bisa bergerak. Jalanan serasa mampat. Di kota yang kutinggali, hanya ada bukit kecemasan, setiap kali aku bertemu dengan orang lain. Yang ditanyakan hanyalah: ”Apakah tempat tinggalmu dikepung banjir?” atau ”Seberapa tinggi banjir yang masuk ke dalam rumah?” atau ”Apakah engkau bisa berangkat kerja dengan banjir yang mengepung?” atau ”Apakah engkau mengungsi saat banjir datang? Ke mana? Ke hotel apa apartemen?” atau puluhan tanya lainnya yang nadanya sama. Ketakutan tentang banjir yang melanda. Pertanyaan yang membuat dirimu muak. Pertanyaan yang terasa semacam ketololan semata.
Mudah-mudahan bukan di kotamu, penyair. Sebab bagiku Tanjungkarang selalu menyisakan gemintang harap, yang senantiasa menggertap. Tanjungkarang akan kerap berpijar dengan denyarannya yang abadi. Bukankah kota itu telah lama menyihir para penyair? Seakan menjadi tenung yang panjang, katakanlah untuk sekadar merenung. Di setiap sudutnya, masih ada puluhan diksi yang abadi. Diksi itu ibarat buat yang telah masak, sehingga tinggal dipetik saja. Hmm. Betapa Tanjungkarang meninggalkan segurat tanda di kepalaku. Jalanannya yang seperti abadi dalam ingatan. Bertahun-tahun, setiap kali aku bertandang ke kota itu, tak banyak yang berubah.
DI JALANAN Tanjungkarang itu pulalah, terasa benar jika sunyi telah membesar. Sunyi yang berkecambah acapkali menguliti rindu yang magis. Tanpa mesti ada tangis. Di kotamu, segalanya seperti meninggalkan tanda, bukan hanya tertera pada plang nama jalan semata. Melainkan juga pada setiap relung yang terlewati. Saat kita melangkahkan kaki, terasa benar sudutnya yang bergetar. Semacam ada sekelebat cahaya yang melambai, untuk minta didatangi.
Sebagaimana aku yang dulu menikmati kotamu. Sebuah jalan yang lurus terbentang, menuju sebuah titik. Tanjungkarang yang dipenuhi rindang cahaya. Tak ada keramaian di kota itu yang benar-benar riuh, bagiku. Sepertinya orang-orang begitu menikmati segala metamorfosa sunyi dari Tanjungkarang. Meskipun sesekali, mobil angkutan kota bergerak dengan hantaman bising lagu house music-nya, yang membuat sunyi itu pecah. Tapi itu pun tak terlalu lama, dengan sekejap sunyi kembali menyusun dirinya, selapis demi selapis.
Tapi Januari di kotaku terasa berbeda. Kota yang dipenuhi selokan yang mampat. Belum lagi sejumlah orang yang berkomplot, dengan pelbagai muslihat atau rencana jahat. Ya, justru di Januari ini, orang-orang sibuk membaca denah kota. Saling menyalahkan mengapa hujan yang turun sepanjang hari, setiap hari itu meninggalkan genangan air yang abadi.
Tapi apa yang salah dengan hujan yang turun di bulan Januari? Mereka saling berteriak, saat curahan hujan turun begitu deras. Saat hujan seperti jatuh tanpa ampun. Seketika mendadak ngungun. Saat hujan masih turun, lalu menciptakan beberapa genangan di setiap sudut. Bahkan saat hujan semakin deras, genangan seperti cepat beranak-pinak, menjadi banyak dan semakin meninggi.
Di kotaku, bayangan hujan mendadak menjelma jadi ketakutan yang memanjang. Bahkan untuk sekadar bayang-bayang hujan sekalipun! Saat langit mulai gelap, dengan mendung yang terkurung. ”Sialah, hujan turun lagi!” umpat mereka. Mereka seperti menyesali hujan yang bertandang. Ketika hujan mulai datang yang bermula dari gerimis, kemudian menjadi deras dan lebat. Seketika mereka mulai memeriksa saluran di sisi rumah. Saluran yang dipenuhi endapan lumpur ditambah sampah yang menumpuk. Di kotaku, tak ada yang menyambut hujan dengan raut wajah ceria. Melihat hujan wajah mereka sekejap murung.
Pun di televisi, mereka asik berdebat. Berbusa dalam omongan. Menyodorkan sejumlah asumsi dan teori. Saling menyalahkan kembali. Memberikan solusi, namun tak sepenuhnya dikerjakan. Jika banjir akibat salahnya tata kota. Jika banjir akibat banyaknya curah air dari tempat yang lebih tinggi. Jika banjir pembangunan kota yang semrawut. Ah, bukankah banjir sendiri adalah berkah? Dengan begitu, kita seperti ditegur dengan keras—jika manusia memang sekadar pion bagi Tuhan. Bahwa kita tak pernah bisa melawan kehendak-Nya. Jika kita memang hanya bisa berencana, namun Tuhan pulalah yang menentukan.
Bukankah renungan itu seperti dengung yang abadi. Untuk kita senantiasa berbenah, secara tidak langsung jika hal ini akibat ulah kita sendiri. Menghilangkan resapan air, membuang sampah sembarangan, membuat sempit aliran sungai. Duh, mengapa justru aku yang melantur. Mendadak jadi seorang pengkhotbah? Padahal aku hanya ingin menikmati hujan yang turun di Januari ini, sebagaimana yang kautuliskan dalam puisi. Hujan yang membuat dirimu terus menggeluti setiap jejak sunyi. Terasa begitu kepayahan dirimu untuk memungutinya satu per satu. Semacam pekerjaan yang serius dan tekun; ketika menyusun kepingan puzzle. Kepingan-kepingan itu adalah sisa ingatanmu yang masih sempat berdenyar. Ah, betapa kenangan terasa begitu menyesakkan dada. Terasa banyak yang mesti disusun ulang, rencana-rencana yang terasa tinggal sekadar kata-kata.
Dengan ingatan itulah, engkau seperti ingin mengajak berdamai dengan masalalu. Seperti ingin merekatkannya dengan kuat. Namun serasa tak sepenuhnya segala hal bisa kauingat dengan sempurna. Terasa ada hal-hal yang kurang, berlalu begitu saja. Abai bersama waktu. Di muka tahun, ingatan-ingatan itu terus saja meenerjang lalu-lintas pikiranmu.
Januari ini hujan terasa panjang. Memasuki setiap urat kota, menelusup di segala ruang. Jalanan basah dalam erang. Langit begitu meriang. Tak ada tirai matahari yang terbuka. Tak terasa pijar hangat yang terkuak dari sinarnya. Mendung seperti terkurung di angkasa. Tak bisa ke mana-mana.
Lalu, orang-orang di kotaku akan berteriak hingga serak, ”Cahaya... di mana cahaya? Kami butuh cahaya! Di mana matahari kami?”
*
aku merapatkan mantel dan kerah kemeja
orang-orang menyusun dirinya
memasuki masa lalu
yang terus tumbuh dalam otakku **)
Januari ini hujan turun lagi. Hampir setiap hari. Hampir sepanjang hari. Langit melulu redup. Dingin serasa terkunci, mengatup. Dari kejauhan, aku sendirian membaca puisi yang kautuliskan. Di kejauhan, kaca jendela terciprat hujan yang luruh. Menjadi sebuah bayangan magis, yang mengumpulkan segala ingatanku. Tentang kota atau seorang perempuan. Mendadak pandanganku buram, kota seperti berenang menghampiriku. Hampir tenggelam.
Poris Plawad/Edelweis, 2014
Catatan:
*) Judul kisah ini diambil dari puisi Iswadi Pratama dengan judul yang sama, setidaknya turut menjadi inspirasi bagi kisah di dalamnya.
**) Lirik puisi Hujan Bulan Januari ditulis oleh Iswadi Pratama
Lampung Post, Minggu, 18 Januari 2014
No comments:
Post a Comment